- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
[ 12 tahun sudah berlalu] Sengketa Sipadan dan Ligitan


TS
n4z1
[ 12 tahun sudah berlalu] Sengketa Sipadan dan Ligitan
![[ 12 tahun sudah berlalu] Sengketa Sipadan dan Ligitan](https://s.kaskus.id/images/2014/12/26/482992_20141226032505.jpg)
Sengketa Sipadan dan Ligitan
Sengketa Sipadan dan Ligitan adalah persengketaan Indonesia dan Malaysia atas pemilikan terhadap kedua pulau yang berada di Selat Makassar yaitu pulau Sipadan (luas: 50.000 meter²) dengan koordinat: 4°6′52,86″LU 118°37′43,52″BT dan pulau Ligitan (luas: 18.000 meter²) dengan koordinat: 4°9′LU 118°53′BT. Sikap Indonesia semula ingin membawa masalah ini melalui Dewan Tinggi ASEAN namun akhirnya sepakat untuk menyelesaikan sengketa ini melalui jalur hukum Mahkamah Internasional
Kronologi sengketa
Persengketaan antara Indonesia dengan Malaysia, mencuat pada tahun 1967ketika dalam pertemuan teknis hukum laut antara kedua negara, masing-masing negara ternyata memasukkan pulau Sipadan dan pulau Ligitan ke dalam batas-batas wilayahnya. Kedua negara lalu sepakat agar Sipadan dan Ligitan dinyatakan dalam keadaan status status quo akan tetapi ternyata pengertian ini berbeda. Pihak Malaysia membangun resor parawisata baru yang dikelola pihak swasta Malaysia karena Malaysia memahami status quo sebagai tetap berada di bawah Malaysia sampai persengketaan selesai, sedangkan pihak Indonesia mengartikan bahwa dalam status ini berarti status kedua pulau tadi tidak boleh ditempati/diduduki sampai persoalan atas kepemilikan dua pulau ini selesai. Sedangkan Malaysia malah membangun resort di sana. Sipadan dan Ligitan tiba-tiba menjadi berita, awal bulan lalu. Ini, gara-gara di dua pulau kecil yang terletak di Laut Sulawesi itu dibangun cottage. Di atas Sipadan, pulau yang luasnya hanya 4 km2 itu, kini, siap menanti wisatawan. Pengusaha Malaysia telah menambah jumlah penginapan menjadi hampir 20 buah. Dari jumlahnya, fasilitas pariwisata itu memang belum bisa disebut memadai. Tapi pemerintah Indonesia, yang juga merasa memiliki pulau-pulau itu, segera mengirim protes ke Kuala Lumpur, minta agar pembangunan di sana disetop dahulu. Alasannya, Sipadan dan Ligitan itu masih dalam sengketa, belum diputus siapa pemiliknya.Pada tahun 1969 pihak Malaysia secara sepihak memasukkan kedua pulau tersebut ke dalam peta nasionalnya
Pada tahun 1976, Traktat Persahabatan dan Kerja Sama di Asia Tenggara atau TAC (Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia) dalam KTT pertama ASEAN di pulau Bali ini antara lain menyebutkan bahwa akan membentuk Dewan Tinggi ASEAN untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi di antara sesama anggota ASEAN akan tetapi pihak Malaysia menolak beralasan karena terlibat pula sengketa dengan Singapura untuk klaim pulau Batu Puteh, sengketa kepemilikan Sabah dengan Filipina serta sengketa kepulauan Spratley di Laut Cina Selatan dengan Brunei Darussalam, Filipina, Vietnam, Cina, dan Taiwan. Pihak Malaysia pada tahun 1991 lalu menempatkan sepasukan polisi hutan (setara Brimob) melakukan pengusiran semua warga negara Indonesia serta meminta pihak Indonesia untuk mencabut klaim atas kedua pulau.
Sikap pihak Indonesia yang ingin membawa masalah ini melalui Dewan Tinggi ASEAN dan selalu menolak membawa masalah ini ke ICJ kemudian melunak.Dalam kunjungannya ke Kuala Lumpur pada tanggal 7 Oktober 1996, Presiden Soeharto akhirnya menyetujui usulan PM Mahathir tersebut yang pernah diusulkan pula oleh Mensesneg Moerdiono dan Wakil PM Anwar Ibrahim, dibuatkan kesepakatan "Final and Binding," pada tanggal 31 Mei 1997, kedua negara menandatangani persetujuan tersebut. Indonesia meratifikasi pada tanggal 29 Desember 1997 dengan Keppres Nomor 49 Tahun 1997 demikian pula Malaysia meratifikasi pada 19 November 1997.
Keputusan Mahkamah Internasional
Pada tahun 1998 masalah sengketa Sipadan dan Ligitan dibawa ke ICJ,[1][2] kemudian pada hariSelasa 17 Desember 2002 ICJ mengeluarkan keputusan tentang kasus sengketa kedaulatan Pulau Sipadan-Ligatan antara Indonesia dengan Malaysia. Hasilnya, dalam voting di lembaga itu, Malaysia dimenangkan oleh 16 hakim, sementara hanya 1 orang yang berpihak kepada Indonesia. Dari 17 hakim itu, 15 merupakan hakim tetap dari MI, sementara satu hakim merupakan pilihan Malaysia dan satu lagi dipilih oleh Indonesia. Kemenangan Malaysia, oleh karena berdasarkan pertimbangan effectivity (tanpa memutuskan pada pertanyaan dari perairan teritorial dan batas-batas maritim), yaitu pemerintah Inggris (penjajah Malaysia) telah melakukan tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak tahun 1930, dan operasi mercu suar sejak 1960-an. Sementara itu, kegiatan pariwisata yang dilakukan Malaysia tidak menjadi pertimbangan, serta penolakan berdasarkan chain of title (rangkaian kepemilikan dari Sultan Sulu) akan tetapi gagal dalam menentukan batas di perbatasan laut antara Malaysia dan Indonesia di selat Makassar.
=====================================
Kasus Sipadan-Ligitan memang menyisakan duka bagi bangsa Indonesia, khususnya WNI yang cinta tanah air. Namun kita seharusnya juga tidak serta merta menyalahkan siapapun dalam hal ini, karena kita harus tahu juga duduk perkaranya, sejarah sengketa dan kepemilikan awal. Toh nyatanya hal ini sudah dimulai sejak 1967, begitu konflik Indonesia-Malaysia berakhir, dan Soeharto yang saat itu berkuasa, terkesan membiarkan. Pada era Soeharto jugalah Malaysia mengadali Indonesia.
Kasus Sipadan-Ligitan pernah jadi tolak ukur diplomat-diplomat kita yang gagal, padahal di era perjuangan kemerdekaan, diplomat-diplomat kita adalah diplomat-diplomat yang handal dalam berdebat dan berargumen.
Kasus Sipadan-Ligitan pernah jadi tolak ukur diplomat-diplomat kita yang gagal, padahal di era perjuangan kemerdekaan, diplomat-diplomat kita adalah diplomat-diplomat yang handal dalam berdebat dan berargumen.
Dan berikut ini adalah pernyataan Menteri Luar Negeri era SBY :
Sipadan-Ligitan Bukan Wilayah RI yang Lepas?
Jumat, 26 Juni 2009 | 19:28 WIB
SURABAYA, KOMPAS.com — Menteri Luar Negeri (Menlu) Dr H Hassan Wirajuda, SH, MALD, LLM, menegaskan, Pulau Sipadan dan Ligitan sesungguhnya memang bukan wilayah Indonesia karena itu Sipadan-Ligitan bukan wilayah kedaulatan Indonesia yang lepas.
"Sipadan-Ligitan juga bukan wilayah Malaysia, tapi ibarat dua anak yang menemukan sebutir kelereng, lalu keduanya berebut memiliki kelereng itu, jadi kelereng itu sebenarnya bukan milik keduanya, tapi temuan," katanya di Surabaya, Jumat (26/6).
Ia mengemukakan hal itu di hadapan ratusan mahasiswa dalam kuliah umum bertajuk "Perundingan Batas Wilayah Maritim Dengan Negara Tetangga", yang diadakan Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya.
Dalam acara yang juga dihadiri Wakil Menlu Triyono Wibowo, ia mengatakan bahwa konsep kewilayahan negara yang diatur dalam UU 4/Prp/1960 tentang negara kepulauan (peta wilayah Indonesia baseline NKRI) memang tidak memasukkan Sipadan-Ligitan.
"Jadi, fakta sejarah menunjukkan Sipadan-Ligitan memang bukan wilayah kita, tapi juga bukan wilayah Malaysia, karena itu Indonesia dan Malaysia berebut untuk memilikinya dengan mengembangkan berbagai argumentasi," katanya.
Namun, Mahkamah Internasional (MI) tidak mengakui argumentasi Malaysia bahwa Sipadan-Ligitan merupakan bagian dari Kesultanan Sabah. Tapi, argumentasi Indonesia bahwa Sipadan-Ligitan merupakan bagian dari Kesultanan Wuluhan juga tidak diakui.
"Argumentasi yang diterima MI bukan karena Malaysia lebih dulu masuk ke Sipadan-Ligitan dan membangun dermaga, namun bukti sejarah yang paling awal masuk Sipadan-Ligitan yakni Inggris (penjajah Malaysia) dan Belanda (penjajah Indonesia)," katanya.
Dalam kaitan itu, Malaysia akhirnya dapat membuktikan bahwa Inggris paling awal masuk Sipadan-Ligitan dengan bukti berupa mercusuar dan konservasi penyu, sedangkan Belanda hanya terbukti pernah masuk ke Sipadan-Ligitan, tetapi singgah sebentar tanpa melakukan apa pun.
"Dari fakta sejarah itulah, MI akhirnya menyerahkan Sipadan-Ligitan kepada Malaysia yang merupakan bekas jajahan Inggris sehingga alasannya bukan karena siapa yang lebih dulu membangun dermaga di sana, melainkan bukti-bukti sejarah yang ada," katanya.
Menteri yang menyelesaikan program doktornya di Virginia School of Law, Charlottesville, Amerika Serikat, itu menambahkan bahwa Indonesia saat ini memang memiliki batas laut dengan 10 negara dan batas darat dengan tiga negara (Malaysia, Timor Leste, dan Papua Niugini).
"Perundingan batas wilayah itu tidak bisa cepat penyelesaiannya seperti orang membeli kacang, tapi membutuhkan waktu yang lama. Karena itu, bila penyelesaiannya lama, bukan berarti kita enggak serius atau lembek," katanya.
Dalam sesi dialog, mahasiswa dan dosen banyak bertanya tentang sengketa Blok Ambalat dan diplomasi yang sudah dilakukan Indonesia, serta perjanjian Indonesia-Singapura terkait reklamasi pantai yang menjorok ke Indonesia.
"Sipadan-Ligitan juga bukan wilayah Malaysia, tapi ibarat dua anak yang menemukan sebutir kelereng, lalu keduanya berebut memiliki kelereng itu, jadi kelereng itu sebenarnya bukan milik keduanya, tapi temuan," katanya di Surabaya, Jumat (26/6).
Ia mengemukakan hal itu di hadapan ratusan mahasiswa dalam kuliah umum bertajuk "Perundingan Batas Wilayah Maritim Dengan Negara Tetangga", yang diadakan Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya.
Dalam acara yang juga dihadiri Wakil Menlu Triyono Wibowo, ia mengatakan bahwa konsep kewilayahan negara yang diatur dalam UU 4/Prp/1960 tentang negara kepulauan (peta wilayah Indonesia baseline NKRI) memang tidak memasukkan Sipadan-Ligitan.
"Jadi, fakta sejarah menunjukkan Sipadan-Ligitan memang bukan wilayah kita, tapi juga bukan wilayah Malaysia, karena itu Indonesia dan Malaysia berebut untuk memilikinya dengan mengembangkan berbagai argumentasi," katanya.
Namun, Mahkamah Internasional (MI) tidak mengakui argumentasi Malaysia bahwa Sipadan-Ligitan merupakan bagian dari Kesultanan Sabah. Tapi, argumentasi Indonesia bahwa Sipadan-Ligitan merupakan bagian dari Kesultanan Wuluhan juga tidak diakui.
"Argumentasi yang diterima MI bukan karena Malaysia lebih dulu masuk ke Sipadan-Ligitan dan membangun dermaga, namun bukti sejarah yang paling awal masuk Sipadan-Ligitan yakni Inggris (penjajah Malaysia) dan Belanda (penjajah Indonesia)," katanya.
Dalam kaitan itu, Malaysia akhirnya dapat membuktikan bahwa Inggris paling awal masuk Sipadan-Ligitan dengan bukti berupa mercusuar dan konservasi penyu, sedangkan Belanda hanya terbukti pernah masuk ke Sipadan-Ligitan, tetapi singgah sebentar tanpa melakukan apa pun.
"Dari fakta sejarah itulah, MI akhirnya menyerahkan Sipadan-Ligitan kepada Malaysia yang merupakan bekas jajahan Inggris sehingga alasannya bukan karena siapa yang lebih dulu membangun dermaga di sana, melainkan bukti-bukti sejarah yang ada," katanya.
Menteri yang menyelesaikan program doktornya di Virginia School of Law, Charlottesville, Amerika Serikat, itu menambahkan bahwa Indonesia saat ini memang memiliki batas laut dengan 10 negara dan batas darat dengan tiga negara (Malaysia, Timor Leste, dan Papua Niugini).
"Perundingan batas wilayah itu tidak bisa cepat penyelesaiannya seperti orang membeli kacang, tapi membutuhkan waktu yang lama. Karena itu, bila penyelesaiannya lama, bukan berarti kita enggak serius atau lembek," katanya.
Dalam sesi dialog, mahasiswa dan dosen banyak bertanya tentang sengketa Blok Ambalat dan diplomasi yang sudah dilakukan Indonesia, serta perjanjian Indonesia-Singapura terkait reklamasi pantai yang menjorok ke Indonesia.
================================
Kalau merujuk pada kolonialisme, maka benar bahwa Sipadan dan Ligitan adalah milik Malaysia, karena Sipadan dan Ligitan masuk dalam wilayah jajahan Inggris. Begitu juga dengan Papua yang wilayah jajahan Belanda, maka masuk dalam wilayah Indonesia secara mutlak!
Namun, kalau merujuk pada citra satelit, maka Sipadan dan Ligitan masuk wilayah Indonesia. Tapi ini tidak berarti apa-apa, sebab Timor-Timur berada pada wilayah Indonesia, sementara Timor-Timur adalah jajahan kolonial Portugis atau Portugal.
Lalu mengapa saat tahun 1967, Soeharto terkesan membiarkan Malaysia menguasai Sipadan-Ligitan? Alasannya karena Soeharto lebih fokus terhadap Freeport! Lagipula Soeharto lah yang menghentikan konfrontasi Indonesia-Malaysia.
Namun, kalau merujuk pada citra satelit, maka Sipadan dan Ligitan masuk wilayah Indonesia. Tapi ini tidak berarti apa-apa, sebab Timor-Timur berada pada wilayah Indonesia, sementara Timor-Timur adalah jajahan kolonial Portugis atau Portugal.
Lalu mengapa saat tahun 1967, Soeharto terkesan membiarkan Malaysia menguasai Sipadan-Ligitan? Alasannya karena Soeharto lebih fokus terhadap Freeport! Lagipula Soeharto lah yang menghentikan konfrontasi Indonesia-Malaysia.
Nasionalisme itu penting! Nasionalisme adalah modal dasar untuk membangun sebuah bangsa! Namun slogan nasionalisme menjadi semu manakala sudah dibumbui dengan caci-maki tanpa dasar dan tanpa logika!
![[ 12 tahun sudah berlalu] Sengketa Sipadan dan Ligitan](https://s.kaskus.id/images/2014/12/26/482992_20141226032040.jpg)
![[ 12 tahun sudah berlalu] Sengketa Sipadan dan Ligitan](https://s.kaskus.id/images/2014/12/26/482992_20141226033257.jpg)
![[ 12 tahun sudah berlalu] Sengketa Sipadan dan Ligitan](https://s.kaskus.id/images/2014/12/26/482992_20141226033319.jpg)
![[ 12 tahun sudah berlalu] Sengketa Sipadan dan Ligitan](https://s.kaskus.id/images/2014/12/26/482992_20141226033522.jpg)
0
13K
19


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan