agrariafolksAvatar border
TS
agrariafolks
Kucing Pemakan Manusia (Cerpen Terjemahan)
Oleh Haruki Murakami

Aku membeli koran di pelabuhan dan menemukan sebuah artikel tentang seorang wanita tua yang dimakan kucing. Ia berusia tujuh puluh tahun dan tinggal sendirian di kota kecil pinggiran Athena—semacam kehidupan yang tenang, hanya ia dan tiga ekor kucing dalam sebuah apartemen kecil. Suatu hari, ia tiba-tiba jatuh pingsan dengan posisi tertelungkup di sofa—serangan jantung, kemungkinan besar. Tak ada yang tahu berapa lama waktu yang dibutuhkan hingga ia meninggal dunia setelah pingsan. Wanita tua itu tidak memiliki kerabat atau teman yang mengunjunginya secara teratur, dan diperlukan satu minggu sebelum tubuhnya ditemukan. Jendela dan pintu ditutup, dan kucing terjebak. Tak ada makanan di dalam apartemen itu. Memang, mungkin ada sesuatu di lemari es, namun kucing tidak berevolusi sampai titik di mana mereka bisa membuka lemari es sendiri. Di ambang kelaparan, mereka akhirnya melahap daging tuan mereka.

Aku membaca artikel ini untuk Izumi, yang duduk di depanku. Pada hari-hari cerah, kami biasanya berjalan ke pelabuhan, membeli salinan koran Athena yang berbahasa Inggris, memesan kopi di kafe sebelah kantor pajak, dan setelah itu aku akan meringkas dalam bahasa Jepang sesuatu yang menarik yang mungkin kutemukan. Sejauh ini, itulah jadwal rutin kami sehari-hari di pulau. Jika ada sesuatu di artikel khusus yang menarik minat kami, kami akan berdiskusi santai sejenak tentang artikel itu. Bahasa Inggris Izumi cukup bagus, dan sesungguhnya ia bisa dengan mudah membaca artikel sendiri. Tapi aku tidak pernah sekalipun melihat ia membeli koran.

“Aku ingin memiliki seseorang yang membacakannya untukku,” jelasnya. “Itu mimpiku sejak masih kecil—duduk di tempat yang cerah, memandangi langit atau laut, dan memiliki seseorang yang membaca keras-keras untukku. Aku enggak peduli apa yang mereka baca—koran, buku pelajaran, novel. Bukan masalah. Tapi belum pernah ada seorang pun yang membaca untukku. Jadi, kukira, itu artinya kamu diciptakan untuk semua kesempatan yang hilang itu. Dan selain itu, aku suka suaramu.”

Yah, ada langit dan laut di hadapan kami. Dan aku senang membaca keras-keras. Saat tinggal di Jepang, aku biasa membacakan buku-buku bergambar dengan lantang untuk anak lelakiku. Membaca dengan suara lantang berbeda dengan hanya mengikuti kalimat dengan sepasang matamu. Sesuatu yang sungguh tak terduga mengalir di dalam pikiranmu, semacam resonansi tak terlukiskan yang tidak mungkin dilawan.

Sambil sesekali menyesap kopi, aku membaca artikel dengan perlahan-lahan. Aku lebih dulu membaca beberapa baris untuk diriku sendiri, merenungkan bagaimana memasukkannya ke dalam bahasa Jepang, kemudian menerjemahkannya dengan suara keras. Beberapa lebah muncul dari suatu tempat untuk menjilat selai sisa pelanggan sebelumnya yang tumpah di atas meja. Sesaat lebah-lebah itu menjilatinya, lalu, seolah tiba-tiba teringat sesuatu, terbang ke udara dengan dengung yang seperti upacara, mengitari meja beberapa kali, dan kemudian—lagi-lagi seolah sesuatu membangkitkan ingatan mereka—menetap sekali lagi di atas meja. Setelah aku selesai membaca seluruh artikel, Izumi duduk di sana, tak bergerak, dengan siku bertumpu di atas meja. Ia mempertemukan ujung jemari kanan dengan ujung jemari kirinya. Aku meletakkan koran di atas pangkuan dan menatap jemari rampingnya. Ia menatapku melalui ruang antara jemarinya.

“Lalu, apa yang terjadi?” tanyanya.

“Cuma begitu saja,” jawabku, dan melipat koran. Aku mengambil sapu tangan dari dalam saku dan menyeka bintik-bintik ampas kopi dari bibirku. “Setidaknya, hanya itulah yang diwartakan.”

“Tapi apa yang terjadi dengan kucing-kucingnya?”

Aku memasukkan saputangan kembali ke dalam saku. “Entahlah. Enggak dibahas lebih lanjut.”

Izumi mengerutkan bibirnya ke satu sisi, kebiasaan kecilnya. Setiap kali ia hendak melontarkan pendapat—yang kerap berbentuk seperti deklarasi kecil— ia mengerutkan bibir seperti itu, seolah tengah menyentak sprei untuk merapikan kerutan-kerutan liar. Ketika pertama kali bertemu dengannya, kebiasaan itu cukup memikatku.

“Koran itu semua sama saja, ke mana pun kamu pergi,” ia akhirnya melanjutkan. “Koran-koran itu enggak pernah memberitahu apa yang benar-benar ingin kautahu.”

Izumi mengeluarkan sebatang rokok Salem dari kotaknya, meletakkannya di mulut, dan menggesek korek api. Setiap hari, ia menghabiskan sebungkus rokok Salem—tidak kurang, tidak lebih. Ia membuka bungkus baru di pagi hari dan menghabiskan rokok itu hingga hari berakhir. Aku tidak merokok. Istriku membuatku berhenti, lima tahun yang lalu, saat ia hamil.

“Apa yang aku benar-benar ingin tahu,” Izumi memulai, asap dari rokoknya bergelung tanpa suara di udara, “Adalah apa yang terjadi dengan para kucing setelahnya. Apakah pihak berwajib membunuh mereka karena mereka makan daging manusia? Ataukah mereka bilang, ‘kalian sudah melawati masa-masa sulit,’ lantas memberi mereka tepukan di kepala, dan membiarkan mereka pergi? Menurutmu bagaimana?”

Aku memandangi lebah yang melayang di atas meja dan berpikir tentang pertanyaan itu. Lebah-lebah kecil yang gelisah menjilati selai dan tiga kucing yang melahap daging wanita tua itu menjadi satu dalam benakku. Jeritan burung-burung camar di kejauhan berkelindan dengan dengung lebah, dan sepersekian detik kesadaranku tersesat di ambang batas kenyataan dan ilusi. Di manakah aku? Apa yang sedang kulakukan di sini? Aku kehilangan tumpuan dalam situasi seperti ini. Aku menarik napas dalam-dalam, menatap ke langit, dan berpaling ke Izumi.

“Aku enggak tahu.”

“Coba pikirkan ini. Jika kamu adalah seorang walikota atau kepala polisi, apa yang akan kamu lakukan dengan kucing-kucing itu?”

“Bagaimana kalau menempatkan mereka dalam sebuah institusi untuk mereformasi mereka?” kataku. “Ubah mereka jadi vegetarian.”

Izumi tidak tertawa. Ia menghisap rokok dan mengeluarkan asapnya dengan sangat perlahan. “Cerita itu mengingatkanku pada sebuah ceramah yang kudengar saat baru masuk di SMP Katolik. Eh, apa aku sudah bilang aku pernah bersekolah di sekolah Katolik yang sangat ketat? Sesaat setelah upacara masuk, salah satu suster kepala menyuruh kami semua berkumpul di auditorium, dan kemudian dia naik ke podium dan memberikan ceramah tentang ajaran Katolik. Ia berbicara banyak hal, tapi yang paling kuingat—sebenarnya, satu-satunya hal yang kuingat—adalah cerita yang ia tuturkan kepada kami tentang terdampar di sebuah pulau terpencil bersama seekor kucing.”

“Kedengarannya menarik,” ujarku.

“’Kalian berada dalam kecelakaan kapal,’ katanya kepada kami. ‘Satu-satunya yang ada di sekoci hanya kalian dan kucing. Kalian terdampar di salah satu pulau terpencil tak bernama, dan di sana tidak ada satu pun untuk dimakan. Yang kalian miliki hanya air secukupnya dan biskuit kering untuk menopang hidup satu orang selama sekitar sepuluh hari.’ Ujarnya, ‘Baiklah, semuanya, saya ingin kalian membayangkan diri dalam situasi ini. Tutup mata kalian dan cobalah membayangkannya. Kalian sendirian di pulau terpencil, hanya kalian dan seekor kucing. Kalian hampir tidak memiliki makanan sama sekali. Kalian paham? Kalian lapar, haus, dan akhirnya kalian akan mati. Apa yang harus kalian lakukan? Haruskah kalian berbagi simpanan makanan dengan kucing? Tidak, kalian tidak harus melakukannya. Itu merupakan suatu kesalahan. Kalian semua adalah makhluk mulia, makhluk pilihan Tuhan, dan kucing bukan. Itulah mengapa kalian harus makan semua makanan itu sendiri.’ suster itu memandangi kami dengan tatapan yang amat serius. Aku sedikit terkejut. Apa gerangan tujuannya bercerita seperti itu kepada anak-anak yang baru saja masuk sekolah? Aku berpikir, wah, tempat macam apa yang aku masuki ini?”

Izumi dan aku tinggal di sebuah apartemen sederhana di salah satu pulau kecil Yunani. Saat ini bukanlah musim liburan, dan pulau ini tidak memiliki terlalu banyak tempat wisata, jadi harga sewanya murah. Sebelumnya, tak satu pun dari kami pernah mendengar tentang pulau ini. Terletak dekat perbatasan Turki, dan pada hari-hari yang cerah kau bisa melihat pegunungan Turki yang kehijauan. Ada guyonan setempat yang mengatakan bahwa di hari-hari berangin, kau bisa menghirup aroma shish kebab. Lelucon lainnya, pulau itu bahkan lebih dekat ke pantai Turki daripada pulau Yunani terdekat. Dan di sana—nampak samar tepat di hadapan kami—adalah Asia Kecil.

Di alun-alun kota terdapat patung pahlawan kemerdekaan Yunani. Ia memimpin insureksi di daratan Yunani dan merencanakan pemberontakan melawan Turki, yang kala itu menguasai pulau itu. Tapi Turki menangkap dan membunuhnya. Mereka mendirikan tiang pancang berujung runcing di alun-alun dekat pelabuhan, melucuti sang pahlawan malang hingga telanjang, dan menusukkannya ke tiang pancang itu. Berat tubuhnya mendorong ujung runcing pancang melewati anusnya dan lalu seluruh tubuhnya—dengan amat-sangat perlahan—hingga akhirnya keluar dari mulut, cara mati yang mengerikan. Patung itu didirikan di titik yang diperkirakan adalah tempat peristiwa itu berlangsung. Saat kali pertama dibangun, pasti sangat mengesankan, namun kini, akibat ulah angin laut, debu, dan kotoran burung camar, kau bahkan nyaris tidak bisa melihat wajah pria itu. Penduduk lokal hanya melihat patung lusuh itu sekilas lalu, dan kini pahlawan itu tampak seolah-olah tengah memunggungi orang-orang, pulau itu, memunggungi dunia.

Saat Izumi dan aku duduk di bagian luar kafe, minum kopi atau bir, menatap tanpa tujuan ke kapal yang bersandar di pelabuhan, burung-burung camar, dan bukit-bukit Turki yang jauh, kami sesungguhnya tengah duduk di tepian Eropa. Angin yang berhembus adalah angin di tepian dunia. Tak terhindarkan lagi, aura retro memenuhi tempat itu. Keadaan itu membuatku merasa seakan sedang diam-diam ditelan oleh kenyataan ganjil, sesuatu yang asing dan tak terjamah, samar-samar namun lembut menyapaku dengan cara yang tak lazim. Dan bayangan dari substansi itu mewarnai roman muka, mata, dan kulit orang-orang yang berkumpul di pelabuhan.

Kadang kala aku tidak bisa memahami fakta bahwa aku adalah bagian dari pemandangan ini. Berapa kali pun aku memandangi panorama di sekitarku, sebanyak apa pun udara yang kuhirup, tetap saja tak kutemukan hubungan yang padu antara aku dan semua ini.

Dua bulan yang lalu, aku tinggal bersama istri dan anak lelaki kami yang berusia empat tahun di sebuah apartemen tiga kamar di Unoki, di Tokyo. Bukan tempat yang luas, akan tetapi cukup menopang hidupmu, sebuah apartemen yang fungsional. Aku dan istriku menempati kamar tidur kami sendiri, begitu pula anak kami, dan ruang yang tersisa menjadi ruang belajarku. Apartemen itu tenang, dengan pemandangan yang bagus. Pada akhir pekan, kami bertiga akan berjalan-jalan di sepanjang tepi Sungai Tama. Pada musim semi, pohon-pohon ceri di sepanjang tepi sungai bermekaran, aku biasanya naik sepeda memboncengi anakku dan kami pergi menonton pelatihan musim semi tim Giants’ Triple A.

Aku bekerja di sebuah perusahaan desain skala menengah yang khusus menangani buku dan layout majalah. Menyebutku seorang ‘desainer’ akan membuat pekerjaanku terdengar lebih menarik dari kenyataannya, karena pekerjaan itu sendiri nyaris ‘tak bisa diapa-apakan lagi’. Tak ada kemewahan, dan tak bisa dibayangkan lebih. Seringnya, jadwal kami agak terlalu sibuk, dan beberapa kali dalam sebulan aku harus lembur di kantor. Beberapa pekerjaannya amat-sangat membosankan sampai-sampai membuatku ingin menangis. Namun, aku tidak terlalu memikirkannya, dan perusahaannya sendiri tempat yang santai. Dengan senioritasku, aku bisa memilih sendiri pekerjaanku, dan cukup bebas berkata apa pun yang aku mau. Atasanku baik, dan aku bisa membaur dengan rekan kerja yang lain. Dan gajiku tidak terlalu buruk. Jadi jika tidak ada halangan, aku mungkin akan menetap di perusahaan itu hingga masa mendatang. Dan hidupku, seperti Sungai Moldau—lebih tepatnya sekumpulan air tanpa nama yang membentuk Sungai Moldau—akan terus mengalir, dengan cepat, menuju laut.

Tapi di tengah perjalanan aku bertemu Izumi.

*

Izumi sepuluh tahun lebih muda dariku. Kami bertemu di sebuah pertemuan bisnis. Sesuatu yang ‘klik’ terjadi antara kami saat pertama kali mata kami beradu-pandang. Bukanlah hal yang sering terjadi. Setelah itu, kami bertemu beberapa kali untuk membahas rincian proyek kerja sama itu. Aku pergi ke kantornya, atau dia mampir ke kantorku. Pertemuan kami selalu singkat, melibatkan orang lain, dan hanya membahas soal bisnis. Ketika proyek kami selesai, entah bagaimana, kesepian yang dahsyat menerpaku, seolah-olah sesuatu yang sangat penting telah direnggut paksa dari genggamanku. Bertahun-tahun aku tak pernah merasa seperti itu. Dan, kupikir, ia merasakan hal yang sama.

bersambung hehe

diambil dari sini agraria

diambil dari sini agraria
0
2K
3
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan