- Beranda
- Komunitas
- News
- Melek Hukum
[Share] Tulisan Prof. Satjipto Rahardjo: Era Hukum Rakyat


TS
hukumprogresif
[Share] Tulisan Prof. Satjipto Rahardjo: Era Hukum Rakyat
![[Share] Tulisan Prof. Satjipto Rahardjo: Era Hukum Rakyat](https://s.kaskus.id/images/2014/09/28/568193_20140928090405.png)
Prof. Satjipto Rahardjo mengawali studi kesarjanaamnya di Fakulas Hukum Universitas Indonesia dan lulus pada tahun 1960. Pada tahun 1979, ia melanjutkan puncak studinya di program doktor ilmu hukum Universitas Diponegoro. Prof Tjip telah berpulang ke Rahmatullah, pada tanggal 8 Januari 2009 tetapi buah pemikirannya berupa gagasan Hukum Progresif terus berkembang hingga kini. Untuk memahami paradigma Hukum Progresif yang digagas oleh Prof. Tjip tidak mungkin dilakukan tanpa membaca tulisan-tulisan beliau. Ane akan berbagi tulisan beliau yang pernah dimuat di beberapa surat kabar nasional. Semoga bermanfaat
![[Share] Tulisan Prof. Satjipto Rahardjo: Era Hukum Rakyat](https://s.kaskus.id/images/2014/09/28/568193_20140928090405.png)
Quote:
Era Hukum Rakyat
(Ditulis untuk Kompas, 20 Januari 2000)
DALAM memasuki abad ke-21 ini, apakah yang unik atau istimewa yang menimpa kehidupan bangsa kita, yang dapat dipakai sebagai ciri zaman? Pada hemat saya adalah meningkatnya (tuntutan) partisipasi rakyat dalam kehidupan publik. Ini adalah sebuah pernyataan akademis yang "indah" yang menutupi kenyataan sosiologis yang lebih keras dan kasar, seperti demonstrasi, perusakan, penjarahan dan bahkan di sana-sini perlawanan terhadap aparat keamanan.
Secara universal, sesungguhnya sudah sejak peralihan ke abad ke-20, kebangkitan rakyat untuk berperan dalam kehidupan publik hampir terjadi di mana-mana. Demokrasi menjadi ciri abad ke-20 yang baru saja berlalu. Secara sosiologis telah terjadi proses vermaatschappelijking (Bld), di mana etatisme dan elitisme institusi telah digerogoti dan dimasuki oleh rakyat. Apa yang kita saksikan sekarang di negeri kita adalah contoh yang sangat polos (brute) dari proses tersebut. Di bawah nanti kita akan kembali ke masalah itu.
Demokrasi yang tahun-tahun terakhir ini makin giat dikembangkan memang membuat kehidupan kita sedikit limbung dan sempoyongan. Ini berbeda sekali dengan demokrasi yang sudah mapan pada umumnya di negara industri maju. Akan tetapi, seraya memuji demokrasi-liberal sebagai puncak sejarah peradaban manusia, Fukuyama mengkritik demokrasi yang mapan di negaranya, yaitu Amerika. Meminjam ungkapan Fukuyama sewaktu mengomentari demokrasi di Amerika sebagai men without chests (Francis Fukuyama, 1992), maka kita boleh sedikit mengubahnya menjadi democracy without spirit. Artinya, di negara-negara yang sudah mapan, maka demokrasi telah menjadi sesuatu yang rutin, sehingga kehilangan semangat kerakyatannya yang asli. Justru di negara-negara seperti Indonesia sekarang inilah semangat demokrasi yang sebenarnya dapat ditangkap. Sedangkan komentar Fukuyama untuk Amerika adalah "But when they finally succeed ... they will create for them-selves a stable democratic society in which struggle and work in the old sense are made unnecessary, and in which the possibility of their even again being as free and as human as in their revolutionary struggle had been abolished" (dalam The End of History and the Last Man, 1992). Di negara-negara yang sudah mapan, demokrasi sudah kehilangan spiritnya, sedang di Indonesia semangat itu tampak nyata.
Dengan bergulirnya reformasi dan diakhirinya suatu pemerintahan otoritarian, kita hampir dapat mengatakan, bahwa telah terjadi penjungkirbalikan dari sekalian tatanan yang ada termasuk institusi dan konsep pendukungnya. Di situ kita melihat betul apa yang dikatakan oleh Fukuyama dalam bukunya tersebut, bahwa "no one really ruled in a democratic society". Secara empiris kita menyaksikan itu sebagai santapan sehari-hari. Bagaimana kabinet dan DPR digeruduk para demonstran, tidak hanya secara idiil, tetapi juga fisik; gedung DPRD dirusak; polisi dilawan; lapangan golf dicangkuli; rakyat ingin menguasai kembali peternakan Tapos keluarga Soeharto. Kita mempunyai daftar panjang tentang fenomena "perlawanan terhadap kekuasaan" dengan sekalian atributnya. Sungguh rakyat telah dibangunkan.
Demokrasi membawa "fenomena massa" atau "kebangkitan rakyat." Ini pernah ditulis oleh Jose Ortega Y Gasset pada tahun 1930 dengan judul sangat sugestif, La Rebelion de las Masas (The revolt of the masses). Kita, bangsa Indonesia, sesungguhnya mengalami sendiri secara konkret dan kita sekarang berada di tengah-tengah pengalaman tersebut. Mengamati kejadian-kejadian seperti disebutkan di atas, sungguh di negeri ini tengah berlangsung the revolt of the masses dalam bentuknya yang optima.
Apa yang sekiranya bisa menjelaskan berbagai "kekerasan yang tidak lazim" yang akhir-akhir ini makin sering terjadi? Bagaimana menjelaskan rakyat yang begitu gampang naik pitam dan melawan pemerintah? Dan tidak mempan digertak dengan tembakan senapan? Apakah benar sedang terjadi proses kebangkrutan kekuasaan? Tajuk Kompas rupanya juga tidak tahan untuk tidak mengulas fenomena ini (Kompas, 16 Desember 1999). Penulis ingin membawa pembaca ke kawasan yang relatif lebih dikenalnya, yaitu dunia hukum.
Selama berpuluh tahun pemerintah dan kekuasaan memonopoli penafsiran terhadap hukum dan kemudian dengan segala kelengkapannya memaksakan penafsirannya itu. Sekarang rakyat bangkit untuk merebutnya. Apa yang sekarang terjadi adalah fenomena rakyat yang sedang memberikan penafsiran terhadap hukum dan negara hukum kita. Era hukum rakyat telah datang.
Negara hukum
Hukum itu menunggu penafsiran, dari situ orang bertindak berdasarkan penafsirannya tersebut. Begitu juga dengan negara hukum. Praktik negara hukum suatu bangsa adalah hasil penafsiran bangsa itu pula. Terus terang, selama ini, khususnya beberapa puluh tahun terakhir ini, kita hidup dalam negara hukum yang lebih pantas untuk diberi makna "negara milik pemerintah", atau "negara hukum milik pemerintah". Pemerintahlah yang menentukan apa makna dari hukum kita. Rakyat mesti diam. Maka sekalian kata-kata bagus mengenai negara hukum Indonesia lebih banyak berkualitas retorika untuk menutupi kenyataan, bahwa negara hukum kita sudah semakin bergeser menjadi tipe negara hukum otoritarian. Pemerintah dan penguasalah yang hampir memonopoli penafsiran hukum. Pada akhir pidato pertanggungjawabannya (1997), Presiden (ketika itu) Soeharto memang mengatakan, "maka dengan ini saya bertunduk kepada MPR." Secara hukum formal yang dikatakan itu ingin menunjukkan, bahwa Presiden RI memang bertanggung jawab terhadap rakyat melalui wakil-wakilnya. Tetapi secara sosiologis itu adalah semacam permainan sandiwara saja. Sebab sekalian aspirasi rakyat yang otentik sudah dikunci oleh rekayasa kekuasaan mengenai siapa yang dapat menjadi anggota MPR.
Dalam suasana "negara milik penguasa" itulah hampir segala pekerjaan hukum dijalankan menurut tafsiran (kepentingan) penguasa. Dengan bahasa rakyat sering dikatakan, bahwa tidak ada lagi keadilan kecuali keadilan dari yang berkuasa. "Staatsblad kalah oleh pejabat." Di atas undang-undang banyak 'surat sakti' berseliweran. Surat-surat ini mengungguli peraturan hukum, asas hukum maupun doktrin hukum. Dengan bahasa akademis, hukum tidak lagi bekerja secara otentik.
Dalam sebuah negara hukum, atau penyelenggaraan hukum pada umumnya, penafsiran mengenai makna hukum merupakan hal mendasar. Seperti dikatakan di atas, hukum itu sebenarnya baru menjadi hukum sesudah ditafsirkan.
Manakala kita membaca masa lalu kita secara sosiologis, maka muncul adanya kekuatan dominan yang sebenarnya telah membentuk dan menafsirkan hukum. Puncaknya adalah pada waktu pemerintah mengembalikan RUU Penyiaran ke DPR, yang sebelumnya sudah disetujui oleh DPR. Pemerintah menambahkan ketentuan bagi lebih mengamankan kepentingan kekuasaan. Dan DPR pun manut.
Hukum, perundang-undangan, putusan pengadilan di masa lalu memang dibuat oleh badan, instansi atau kekuasaan yang secara formal sah melakukan itu. Tetapi sekarang kita mengetahui, bahwa pada umumnya itu adalah paket yang dibuat oleh pemerintah dengan bantuan institusi yang sudah dikuasainya. Hanya sesekali ada putusan, seperti dalam kasus banding Tempo yang keluar dari kelaziman. Maka jadilah putusan itu suatu monumen putusan yang jujur dan otentik di tengah-tengah hukum yang didominasi oleh kekuasaan. Diperlukan suatu reformasi untuk membongkar sekalian "kebohongan hukum" tersebut. Masyarakat Transparansi Indonesia boleh ditunjuk sebagai contoh yang bagus mengenai kebangkitan hukum rakyat, yang menemukan banyak produk hukum yang sebetulnya dibuat hanya untuk memperlancar kepentingan ekonomi golongan yang berkuasa dan kroninya.
(Ditulis untuk Kompas, 20 Januari 2000)
DALAM memasuki abad ke-21 ini, apakah yang unik atau istimewa yang menimpa kehidupan bangsa kita, yang dapat dipakai sebagai ciri zaman? Pada hemat saya adalah meningkatnya (tuntutan) partisipasi rakyat dalam kehidupan publik. Ini adalah sebuah pernyataan akademis yang "indah" yang menutupi kenyataan sosiologis yang lebih keras dan kasar, seperti demonstrasi, perusakan, penjarahan dan bahkan di sana-sini perlawanan terhadap aparat keamanan.
Secara universal, sesungguhnya sudah sejak peralihan ke abad ke-20, kebangkitan rakyat untuk berperan dalam kehidupan publik hampir terjadi di mana-mana. Demokrasi menjadi ciri abad ke-20 yang baru saja berlalu. Secara sosiologis telah terjadi proses vermaatschappelijking (Bld), di mana etatisme dan elitisme institusi telah digerogoti dan dimasuki oleh rakyat. Apa yang kita saksikan sekarang di negeri kita adalah contoh yang sangat polos (brute) dari proses tersebut. Di bawah nanti kita akan kembali ke masalah itu.
Demokrasi yang tahun-tahun terakhir ini makin giat dikembangkan memang membuat kehidupan kita sedikit limbung dan sempoyongan. Ini berbeda sekali dengan demokrasi yang sudah mapan pada umumnya di negara industri maju. Akan tetapi, seraya memuji demokrasi-liberal sebagai puncak sejarah peradaban manusia, Fukuyama mengkritik demokrasi yang mapan di negaranya, yaitu Amerika. Meminjam ungkapan Fukuyama sewaktu mengomentari demokrasi di Amerika sebagai men without chests (Francis Fukuyama, 1992), maka kita boleh sedikit mengubahnya menjadi democracy without spirit. Artinya, di negara-negara yang sudah mapan, maka demokrasi telah menjadi sesuatu yang rutin, sehingga kehilangan semangat kerakyatannya yang asli. Justru di negara-negara seperti Indonesia sekarang inilah semangat demokrasi yang sebenarnya dapat ditangkap. Sedangkan komentar Fukuyama untuk Amerika adalah "But when they finally succeed ... they will create for them-selves a stable democratic society in which struggle and work in the old sense are made unnecessary, and in which the possibility of their even again being as free and as human as in their revolutionary struggle had been abolished" (dalam The End of History and the Last Man, 1992). Di negara-negara yang sudah mapan, demokrasi sudah kehilangan spiritnya, sedang di Indonesia semangat itu tampak nyata.
Dengan bergulirnya reformasi dan diakhirinya suatu pemerintahan otoritarian, kita hampir dapat mengatakan, bahwa telah terjadi penjungkirbalikan dari sekalian tatanan yang ada termasuk institusi dan konsep pendukungnya. Di situ kita melihat betul apa yang dikatakan oleh Fukuyama dalam bukunya tersebut, bahwa "no one really ruled in a democratic society". Secara empiris kita menyaksikan itu sebagai santapan sehari-hari. Bagaimana kabinet dan DPR digeruduk para demonstran, tidak hanya secara idiil, tetapi juga fisik; gedung DPRD dirusak; polisi dilawan; lapangan golf dicangkuli; rakyat ingin menguasai kembali peternakan Tapos keluarga Soeharto. Kita mempunyai daftar panjang tentang fenomena "perlawanan terhadap kekuasaan" dengan sekalian atributnya. Sungguh rakyat telah dibangunkan.
Demokrasi membawa "fenomena massa" atau "kebangkitan rakyat." Ini pernah ditulis oleh Jose Ortega Y Gasset pada tahun 1930 dengan judul sangat sugestif, La Rebelion de las Masas (The revolt of the masses). Kita, bangsa Indonesia, sesungguhnya mengalami sendiri secara konkret dan kita sekarang berada di tengah-tengah pengalaman tersebut. Mengamati kejadian-kejadian seperti disebutkan di atas, sungguh di negeri ini tengah berlangsung the revolt of the masses dalam bentuknya yang optima.
Apa yang sekiranya bisa menjelaskan berbagai "kekerasan yang tidak lazim" yang akhir-akhir ini makin sering terjadi? Bagaimana menjelaskan rakyat yang begitu gampang naik pitam dan melawan pemerintah? Dan tidak mempan digertak dengan tembakan senapan? Apakah benar sedang terjadi proses kebangkrutan kekuasaan? Tajuk Kompas rupanya juga tidak tahan untuk tidak mengulas fenomena ini (Kompas, 16 Desember 1999). Penulis ingin membawa pembaca ke kawasan yang relatif lebih dikenalnya, yaitu dunia hukum.
Selama berpuluh tahun pemerintah dan kekuasaan memonopoli penafsiran terhadap hukum dan kemudian dengan segala kelengkapannya memaksakan penafsirannya itu. Sekarang rakyat bangkit untuk merebutnya. Apa yang sekarang terjadi adalah fenomena rakyat yang sedang memberikan penafsiran terhadap hukum dan negara hukum kita. Era hukum rakyat telah datang.
Negara hukum
Hukum itu menunggu penafsiran, dari situ orang bertindak berdasarkan penafsirannya tersebut. Begitu juga dengan negara hukum. Praktik negara hukum suatu bangsa adalah hasil penafsiran bangsa itu pula. Terus terang, selama ini, khususnya beberapa puluh tahun terakhir ini, kita hidup dalam negara hukum yang lebih pantas untuk diberi makna "negara milik pemerintah", atau "negara hukum milik pemerintah". Pemerintahlah yang menentukan apa makna dari hukum kita. Rakyat mesti diam. Maka sekalian kata-kata bagus mengenai negara hukum Indonesia lebih banyak berkualitas retorika untuk menutupi kenyataan, bahwa negara hukum kita sudah semakin bergeser menjadi tipe negara hukum otoritarian. Pemerintah dan penguasalah yang hampir memonopoli penafsiran hukum. Pada akhir pidato pertanggungjawabannya (1997), Presiden (ketika itu) Soeharto memang mengatakan, "maka dengan ini saya bertunduk kepada MPR." Secara hukum formal yang dikatakan itu ingin menunjukkan, bahwa Presiden RI memang bertanggung jawab terhadap rakyat melalui wakil-wakilnya. Tetapi secara sosiologis itu adalah semacam permainan sandiwara saja. Sebab sekalian aspirasi rakyat yang otentik sudah dikunci oleh rekayasa kekuasaan mengenai siapa yang dapat menjadi anggota MPR.
Dalam suasana "negara milik penguasa" itulah hampir segala pekerjaan hukum dijalankan menurut tafsiran (kepentingan) penguasa. Dengan bahasa rakyat sering dikatakan, bahwa tidak ada lagi keadilan kecuali keadilan dari yang berkuasa. "Staatsblad kalah oleh pejabat." Di atas undang-undang banyak 'surat sakti' berseliweran. Surat-surat ini mengungguli peraturan hukum, asas hukum maupun doktrin hukum. Dengan bahasa akademis, hukum tidak lagi bekerja secara otentik.
Dalam sebuah negara hukum, atau penyelenggaraan hukum pada umumnya, penafsiran mengenai makna hukum merupakan hal mendasar. Seperti dikatakan di atas, hukum itu sebenarnya baru menjadi hukum sesudah ditafsirkan.
Manakala kita membaca masa lalu kita secara sosiologis, maka muncul adanya kekuatan dominan yang sebenarnya telah membentuk dan menafsirkan hukum. Puncaknya adalah pada waktu pemerintah mengembalikan RUU Penyiaran ke DPR, yang sebelumnya sudah disetujui oleh DPR. Pemerintah menambahkan ketentuan bagi lebih mengamankan kepentingan kekuasaan. Dan DPR pun manut.
Hukum, perundang-undangan, putusan pengadilan di masa lalu memang dibuat oleh badan, instansi atau kekuasaan yang secara formal sah melakukan itu. Tetapi sekarang kita mengetahui, bahwa pada umumnya itu adalah paket yang dibuat oleh pemerintah dengan bantuan institusi yang sudah dikuasainya. Hanya sesekali ada putusan, seperti dalam kasus banding Tempo yang keluar dari kelaziman. Maka jadilah putusan itu suatu monumen putusan yang jujur dan otentik di tengah-tengah hukum yang didominasi oleh kekuasaan. Diperlukan suatu reformasi untuk membongkar sekalian "kebohongan hukum" tersebut. Masyarakat Transparansi Indonesia boleh ditunjuk sebagai contoh yang bagus mengenai kebangkitan hukum rakyat, yang menemukan banyak produk hukum yang sebetulnya dibuat hanya untuk memperlancar kepentingan ekonomi golongan yang berkuasa dan kroninya.
![[Share] Tulisan Prof. Satjipto Rahardjo: Era Hukum Rakyat](https://s.kaskus.id/images/2014/09/28/568193_20140928090112.png)
![[Share] Tulisan Prof. Satjipto Rahardjo: Era Hukum Rakyat](https://s.kaskus.id/images/2014/09/28/568193_20140928090405.png)
Diubah oleh hukumprogresif 07-12-2014 07:34
0
2.2K
Kutip
0
Balasan


Komentar yang asik ya


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan