- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
SEDIKIT TENTANG "Orang Rimbo"SUKU ANAK DALAM


TS
tankyek
SEDIKIT TENTANG "Orang Rimbo"SUKU ANAK DALAM

Bagi warga jambi tentu tidak ada yang tidak kenal dengan istilah " suku anak dalam" ataupun "orang rimba". Mereka adalah kelompok masyarakat terasing yang kehidupannya berada di sekitar bukit duabelas Jambi. Ada beberapa macam sebutan yang diperuntukkan bagi mereka, tetapi sebutan atau panggilan yang paling mereka senangi adalah orang rimba dan suku anak dalam, warga setempat juga biasa memanggil mereka dengan sebutan sanak.
Spoiler for A. Sejarah ”Orang Rimbo”:
Sejarah ”Orang Rimbo” masih penuh misteri, bahkan hingga kini tak ada yang bisa memastikan asal usulnya hanya beberapa teori, dan cerita dari mulut ke mulut para keturunan yang bisa menguak sedikit sejarah komunitas ini.
Penyebutan Orang Rimba pertama kali dipublikasikan oleh Muntholib Soetomo tahun 1995 dalam desertasinya yang berjudul 'Orang Rimbo: Kajian Struktural-Fungsional Masyarakat terasing di Makekal, Propinsi Jambi'. Penyebutan Orang Rimba dengan berakhiran huruf 'o' pada disertasi tersebut dipertentangkan oleh beberapa antropolog meski tidak ada perbedaan makna, tetapi akhiran 'o' pada sebutan Orang Rimbo merupakan dialek Melayu Jambi dan Minang. Sementara fakta yang sebenarnya adalah Orang Rimba tanpa akhiran 'o' (Aritonang).
Tentang asal usul Suku Anak Dalam (Muchlas, 1975) menyebutkan adanya berbagai hikayat dari penuturan lisan yang dapat ditelusuri seperti Cerita Buah Gelumpang, Tambo Anak Dalam (Minangkabau), Cerita Orang Kayu Hitam, Cerita Seri Sumatra Tengah, Cerita Perang Bagindo Ali, Cerita Perang Jambi dengan Belanda, Cerita Tambo Sriwijaya, Cerita Turunan Ulu Besar dan Bayat, Cerita tentang Orang Kubu. Dari hakikat tersebut Muchlas menarik kesimpulan bahwa Anak Dalam berasal dari tiga turunan yaitu:
>Keturunan dari Sumatera Selatan, umumnya tinggal di wilayah Kabupaten Batanghari.
>Keturunan dari Minangkabau, umumnya di Kabupaten Bungo Tebo sebagian Mersam (Batanghari).
>Keturunan dari Jambi Asli yaitu Kubu Air Hitam Kabupaten Sarolangun Bangko (Muchlas, 1975).
Versi Departemen sosial dalam data dan informasi Depsos RI (1990) menyebutkan asal usul Suku Anak Dalam dimulai sejak tahun 1624 ketika Kesultanan Palembang dan Kerajaan Jambi, yang sebenarnya masih satu rumpun, terus menerus bersitegang sampai pecahnya pertempuran di Air Hitam pada tahun 1929. Versi ini menunjukkan mengapa saat ini ada 2 kelompok masyarakat anak dalam dengan bahasa, bentuk fisik, tempat tinggal dan adat istiadat yang berbeda. Mereka yang menempati belantara Musi Rawas (Sumatera Selatan) Berbahasa Melayu, berkulit kuning dengan berpostur tubuh ras Mongoloid seperti orang palembang sekarang. Mereka ini keturunan pasukan Palembang. Kelompok lainnya tinggal dikawasan hutan Jambi berkulit sawo matang, rambut ikal, mata menjorok ke dalam. Mereka tergolong ras wedoid (campuran wedda dan negrito). Konon mereka tentara bayaran Kerajaan Jambi dari Negara lain.
Versi lain adalah cerita tentang Perang Jambi dengan Belanda yang berakhir pada tahun 1904, Pihak pasukan Jambi yang dibela oleh Anak Dalam yang di pimpin oleh Raden Perang. Raden Perang adalah seorang cucu dari Raden Nagasari. Dalam perang gerilya Anak Dalam terkenal dengan sebutan orang Kubu artinya orang yang tak mau menyerah pada penjajahan Belanda. Orang belanda disebutnya orang Kayo Putih sebagai lawan Raja Jambi (Orang Kayo Hitam).
Lebih lanjut tentang asal usul Suku Anak Dalam ini juga dimuat pada seri Profil masyarakat Terasing (BMT, Depsos, 1988 ) dengan kisah sebagai berikut: Pada zaman dahulu kala terjadi peperangan antara kerajaan Jambi yang di pimpin oleh Puti Selara Pinang Masak dan Kerajaan Tanjung Jabung yang dipimpim oleh Rangkayo Hitam. Peperangan ini semakin berkobar, hingga akhirnya di dengar oleh Raja Pagar Ruyung, yaitu ayah dari Puti Selara Pinang Masak.
Untuk menyelesaikan peperangan tersebut Raja Pagar Ruyung mengirimkan prajurit prajurit yang gagah berani untuk membantu kerajaan Jambi yang dipimpin oleh Putri Selaras Pinang Masak. Raja Pagar Ruyung memerintah agar dapat menaklukkan Kerajaan Rangkayo Hitam, mereka menyanggupi dan bersumpah tidak akan kembali sebelum menang.
Jarak antara kerajaan Pagar Ruyung dengan kerajaan Jambi sangat jauh, harus melalui hutan rimba belantara dengan berjalan kaki. Perjalanan mereka sudah berhari hari lamanya, kondisi mereka sudah mulai menurun sedangkan persediaan bahan makanan sudah habis, mereka sudah kebingungan. Perjalanan yang ditempuh masih jauh, untuk kembali ke kerajaan Pagar Ruyung mereka merasa malu. Sehingga mereka bermusyawarah untuk mempertahankan diri hidup di dalam hutan. Untuk menghindarkan rasa malu, mereka mencari tempat tempat sepi dan jauh ke dalam rimba raya. Keadaan kehidupan mereka makin lama makin terpencil, keturunan mereka menamakan dirinya Suku Anak Dalam.
Dari uraian di atas sejalan dengan apa yang dikemukakan (Koentjaraningrat, 1993) bahwa asal mula adanya masyarakat terasing dapat di bagi dua yaitu pertama, dengan menganggap bahwa masyarakat terasing itu merupakan sisa sisa dari suatu produk lama yang tertinggal di daerah daerah yang tidak dilewati penduduk sekarang, kedua bahwa mereka merupakan bagian dari penduduk sekarang yang karena peristiwa peristiwa tertentu diusir atau melarikan diri ke daerah daerah terpencil sehingga mereka tidak mengikut perkembangan dan kemajuan penduduk sekarang.
Tentang Suku Anak Dalam ini, Ruliyanto, Wartawan Tempo (Tempo, April 2002) menulis bahwa sejumlah artikel terakhir menyebutkan orang rimba merupakan kelompok melayu tua lainnya di Indonesia seperti orang Dayak, Sakai, Mentawai, Nias, Toraja, Sasak, Papua, dan Batak pedalaman. Kelompok Melayu Tua merupakan eksodus gelombang pertama yunani (Dekat Lembah Sungai Yang Tze di Cina Selatan) yang masuk ke Indonesia selatan tahun 2000 sebelum masehi. Mereka kemudian tersingkir dan lari ke hutan ketika kelompok melayu muda datang dengan mengusung peradaban yang lebih tinggi antara tahun 2000 dan 3000 sebelum masehi.
Menurut Van Dongen (1906) dalam Tempo (2002), menyebutkan bahwa orang rimba sebagai orang primitive yang taraf kemampuannya masih sangat rendah dan tak beragama. Dalam hubungannya dengan dunia luar orang rimba mempraktekkan Silent trade, mereka melakukan transaksi dengan bersembunyi di dalam hutan dan melakukan barter, mereka meletakkannya di pinggir hutan, kemudian orang melayu akan mengambil dan menukarnya. Gonggongan anjing merupakan tanda barang telah ditukar
Sejarah lisan “Orang Rimbo” selalu diturunkan para leluhur. Menurut Tengganai Ngembar (80) salah seorang tetua adat orang rimbo yang bermukim di sungai Makekal di perbatasan Air Itam dan sungai Makekal yang juga merupakan pemangku adat sekaligus warga tertua yang tinggal diwilayah Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) sekarang, terdapat dua versi cerita mengenai sejarah ”Orang Rimbo” dari para terdahulunya, yang satu sama lainnya saling berkaitan.
Versi pertama, menceritakan bahwa leluhur ”Orang Rimbo” adalah Maalau Sesat, yang meninggalkan keluarganya dan lari ke hutan rimba di sekitar Air Hitam, yang saat ini dinamakan Puyang Segayo. Menurut cerita beliau lari disebabkan adanya pertengkaran dalam keluarganya.
Sedangkan versi kedua, ”Orang Rimbo” adalah keturunan dari masyarakat Pagaruyung, Sumatera Barat, yang bermigrasi mencari sumber-sumber penghidupan yang lebih baik. Diperkirakan kondisi keamanan yang tidak kondusif dan pasokan pangan yang tidak memadai di Pagaruyung, menjadi penyebab migrasi ini.
Versi kedua ini lebih banyak dikuatkan dari segi bahasa, karena terdapat sejumlah kesamaan antara bahasa rimbo dan Minang. ”Orang Rimbo” juga menganut sistem matrilineal, sama dengan budaya Minang. Dan yang lebih mengejutkan, “Orang Rimbo”
mengenal Pucuk Undang Nang Delapan, terdiri atas hukum empat ke atas :
1. mencara telur/ tidak boleh kimpoi dengan anak,
2. menikam bumi/ tidak boleh kimpoi dengan induk dewek atau ibu sendiri,
3. melebung dalam/ tidak boleh kimpoi dengan dulur/saudara kandung sendiri,
4. mandi pancuran gading/ tidak boleh kimpoi dengan bini/istri orang)
Pelanggaran atas empat hukum diatas: bak emas mati dak be emas mati (dibayar tidak dibayar harus mati atau hukum tidak boleh dibayar tetap harus dijatuhi hukuman mati)
Sedangkan hukum empat ke bawah terdiri dari:
1. amogram/ tidak boleh mengancam orang lain dengan perkataan tanpa sebab. Hukum atas pelanggarannya adalah 120 keping (lembar) kain minimalnya dibayar 20 keping kain tergantung ancamannya.
2. tantang pahamun/ tidak boleh menantang orang lain dalam sidang adat. Hukuman atas pelanggarannya adalah denda berupa 160 keping kain, yang minimal dibayar 60 keping kain.
3. sio bakar/ tidak boleh tanpa sebab musabab membakar rumah orang. Hukumannya berupa 180 keping kain minimal dibayar 80 keping kain,
4. tabung racun/ tidak boleh menganiayai/membuat orang lain sakit dengan cara mistik racun/ adum. Hukumannya adalah denda sebesar 500 keping kain. Kalau yang sakity berobat dan sembuh maka dendanya dibayar minimal 250 keping kain atau separuh bangun. Sedangkan kalau orang yang sakit tersebut berobat tetapi mati maka dendanya sebesar 500 keping kain, yang disebut sebangun).
Hukum Pucuk Undang Nang Delapan diatas juga dikenal di ranah Minang. Di Kabupaten Tanah Datar sebagai pusat Kerajaan Pagaruyung sendiri, terdapat sebuah daerah, yaitu Kubu Kandang. Merekalah yang diperkirakan bermigrasi ke beberapa wilayah di Jambi bagian Barat.
Sedangkan perilaku “Orang Rimbo” yang kubu, menurut Ngembar, disebabkan beratus tahun moyang mereka hidup di tengah hutan, tidak mengenal peradaban yang lain kecuali peradaban mereka sendiri. Kehidupan mereka sangat dekat dan bergantung pada alam.
“Kami beranak pinak dalam rimbo, makan sirih, berburu, dan meramu obat alam, sehingga kami tidak tahu dan tidak pula mengenal peradaban orang dusun. “Orang Rimbo” hidup seminomaden, karena kebiasaannya berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya mencari penghidupan. Bisa juga disebabkan karena salah satu anggota keluarganya meninggal (melangun). Selain itu perpindahan ”Orang Rimbo” juga bisa disebabkan karena menghindari musuh atau membuka ladang baru. “Orang Rimbo”
tinggal di pondok-pondok, yang disebut sesudungon, yaitu bangunan yang terbuat dari kayu hutan, berdinding kulit kayu, dan beratap daun serdang benal.
Jumlah keseluruhan “Orang Rimbo” saat ini diperkirakan sebanyak 2.650 jiwa. Kami menempati hutan yang kemudian oleh pemerintah ditetapkan sebagai kawasan TNBD, terletak di perbatasan empat kabupaten, yaitu Batanghari, Tebo, Merangin, dan Sarolangun. Hingga akhir tahun 2010, paling sedikit terdapat 50 kelompok kecil “Orang Rimbo” yang menyebar di kawasan TNBD, bahkan kami terpaksa tinggal di desa-desa sekitar TNBD untuk memulai hidup dan menyatukan diri dengan kehidupan desa.
Hal ini disebabkan karena kami semakin terpinggirkan oleh karena semakin sedikit luasan hutan tempat kami tinggal dan mencari kehidupan. Bagi “Orang Rimbo” hutan adalah rumah dan sumber kehidupan. Sebagian besar”Orang Rimbo” tinggal di hutan dan menerapkan kearifan lokal dan hukum adat sebagaimana nenek moyang dahulu. Dalam kehidupan sehari-hari kami terbiasa hidup tanpa baju, kecuali cawat penutup kemaluan.
Kami “Orang Rimbo” memiliki hukum sendiri yang kami sebut seloko adat. Salah satu seloko adat yang bisa menjelaskan tentang ciri kami sebagai ”Orang Rimbo” adalah :
Quote:
bertubuh onggok (bermukim)
berpisang cangko (bercocok tanam)
beratap tikai (beratap daun kayu)
berdinding baner (berdinding kulit kayu)
melemak buah betatal (buah-buahan yang bisa dimakan)
minum air dari bonggol kayu (air minum yang keluar dari pohon/juga bisa jadi obat).
berpisang cangko (bercocok tanam)
beratap tikai (beratap daun kayu)
berdinding baner (berdinding kulit kayu)
melemak buah betatal (buah-buahan yang bisa dimakan)
minum air dari bonggol kayu (air minum yang keluar dari pohon/juga bisa jadi obat).
Namun hal ini sudah terjadi pergeseran yang diakibatkan dengan semakin berkurangnya hutan tempat mereka dimana bertempat tinggal dan hidup.
Quote:
Ada lagi seperti :
berkambing kijang
berkerbau tenu
bersapi ruso
Yang dalam pengertiannya adalah sasaran buruan/ berburu
berkambing kijang
berkerbau tenu
bersapi ruso
Yang dalam pengertiannya adalah sasaran buruan/ berburu
Cara hidup dengan makan buah-buahan di hutan, berburu, dan mengonsumsi air dari sungai yang diambil dengan bonggol kayu. Makanan kami bukan hewan ternak, tetapi kijang, ayam hutan, dan rusa.
Identitas kami “Orang Rimbo” yang tertuang lewat seloko, membedakan kami dengan orang terang/orang kampung/desa – sebutan untuk masyarakat di desa.
Quote:
Kami membuat seloko tentang orang terang/kampung/desa sebagai berikut :
berpinang gayur (bertanam pinan/tanaman tuo)
berumah tanggo(mempunyai rumah tetap)
berdusun beralaman (punya pekarangan dan kampung yang tetap)
beternak angso (punya ternak)
berpinang gayur (bertanam pinan/tanaman tuo)
berumah tanggo(mempunyai rumah tetap)
berdusun beralaman (punya pekarangan dan kampung yang tetap)
beternak angso (punya ternak)
Spoiler for SEBUTAN ATAU PANGGILAN MEREKA:
Penyebutan terhadap Orang Rimba perlu diketahui terlebih dahulu, karena ada tiga sebutan yang mengandung makna yang berbeda, yaitu:
KUBU merupakan sebutan yang paling populer digunakan terutama oleh orang Melayu dan masyarakat Internasional. Kubu dalam bahasa Melayu memiliki makna peyorasi seperti primitif, bodoh, kafir, kotor dan menjijikan. Sebutan Kubu telah terlanjur populer terutama oleh berbagai tulisan pegawai kolonial dan etnografer pada awal abad ini.
SUKU ANAK DALAM Sebutan ini digunakan oleh pemerintah melalui Departemen Sosial. Anak Dalam memiliki makna orang terbelakang yang tinggal di pedalaman. Karena itulah dalam perspektif pemerintah mereka harus dimodernisasikan dengan mengeluarkan mereka dari hutan dan dimukimkan melalui program pemberdayaan KAT.
ORANG RIMBA Adalah sebutan yang digunakan oleh etnik ini untuk menyebut dirinya. Makna sebutan ini adalah menunjukkan jati diri mereka sebagai etnis yang mengembangkan kebudayaannya yang tidak bisa lepas dari hutan. Sebutan ini adalah yang paling proposional dan obyektif karena didasarkan kepada konsep Orang Rimba itu sendiri dalam menyebut dirinya
Diubah oleh tankyek 30-11-2014 00:13
0
3.5K
Kutip
12
Balasan
Thread Digembok
Urutan
Terbaru
Terlama
Thread Digembok
Komunitas Pilihan