warsarawaAvatar border
TS
warsarawa
Menagih Janji Pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc
JAKARTA, GRESNEWS.COM - Komitmen pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla menyelesaikan kasus-kasus
pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di masa lalu
mulai ditagih. Komitmen ini harus dibuktikan dengan
pembentukan pengadilan HAM ad hoc dalam waktu
dekat ini. Desakan itu disampaikan Advokat HAM dan Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Rabu
(5/11). Mereka menyebut, dalam visi dan misi Jokowi-
JK dinyatakan: "Kami berkomitmen menyelesaikan
secara berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran
HAM di masa lalu yang sampai dengan saat ini masih menjadi beban sosial politik bagi bangsa Indonesia
seperti: Kerusuhan Mei, Trisakti-Semanggi 1 dan 2,
Penghilangan Paksa, Talang Sari-Lampung, Tanjung
Priok, Tragedi 1965". Menurut advokat HAM Muhamad Daud Bereueh Tidak
ada alasan pengadilan HAM ad hoc tidak bisa dibentuk
di 2015 ini. "Modal utama adalah keberanian secara
hukum dan politik untuk membentuk Keppres terlebih
dahulu atas berbagai kasus pelanggaran HAM yang
berat yang selama ini terus diabaikan penuntasannya," kata Muhammad kepada
Gresnews.com, Rabu (5/11). Ia mengungkapkan, sejak diundangkannya Undang
Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan
HAM, Indonesia mempunyai mekanisme untuk
melakukan penuntutan data kasus-kasus kejahatan
terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida.
Mekanisme ini membuka peluang dihadapkannya pelaku pelanggaran HAM berat yang sebelumnya
menikmati impunitas di depan pengadilan. Pengadilan
ini juga memberikan mekanisme untuk pemenuhan
hak-hak korban yakni pengaturan tentang
kompensasi, restitusi dan rehabilitasi. Kata Muhammad, sejak saat itu, upaya penyelidikan
atas peristiwa yang diduga terjadi pelanggaran HAM
berat sudah dilakukan. Penyelidikan yang dilakukan
Komnas HAM sudah mengajukan tiga kasus ke
pengadilan HAM. Dua pengadilan HAM ad hoc untuk
kasus Timor-timur dan Tanjung Priok, dan satu Pengadilan HAM di Makassar untuk kasus Abepura. Namun, hasil dari putusan-putusan pengadilan ini
membebaskan hampir semua terdakwa. "Sayangnya
pengadilan HAM terhadap tiga kasus belum
memberikan dampak positif bagi penegakan HAM,"
ujarnya. Dari ketiga kasus yang diperiksa dan diadili di
pengadilan HAM itu, lanjut Muhamad, putusan-
putusan yang dijatuhkan tidak secara keseluruhan
membuktikan adanya pelanggaran HAM yang berat
berupa kejahatan terhadap kemanusiaan. Hanya kasus
Timor-timur yang menunjukkan telah terjadi kejahatan terhadap kemanusiaan, berupa
pembunuhan dan penganiayaan. Sedangkan kasus Tanjung Priok dan kasus Abepura
dalam putusan-putusannya menyatakan dakwaan jaksa
penuntut umum tidak terbukti. Muhammad
berpendapat, kondisi pengadilan HAM seperti itu bisa
dikategorikan telah gagal. Alasannya, selain bebasnya para terdakwa, juga tidak
mampu memenuhi hak-hak korban pelanggaran HAM
yang berat. "Hak-hak korban yang meliputi hak atas
kompensasi, restitusi dan rehabilitasi sampai saat ini
tidak satupun yang diterima oleh korban," ujarnya. Padahal, lanjut Muhammad, secara jelas para korban
pelanggaran HAM yang berat berhak mendapat
kompensasi, restitusi dan rehabilitasi berdasarkan
pasal 35 UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan
HAM. Selain kasus tersebut, saat ini kata dia, masih ada
tujuh berkas perkara pelanggran HAM berat yang
prosesnya masih mandek. Mulai dari kasus
pelanggaran HAM tahun 1965-1966; peristiwa
penembakan misterus 1982-1985; Peristiwa Talang
Sari di Lampung tahun 1989; Peristiwa penghilangan orang secara paksa periode 1997-1998; Peristiwa
kerusuhan Mei 1998; Peristiwa Trisakti, Semanggi I
dan II, dan Peristiwa Wasior dan Wamena tahun 2003. Menurutnya, ada empat rantai agar pengadilan ham ad
hoc terhadap kasus tersebut berjalan efektivif.
Pertama Komnas HAM melakukan penyelidikan dan
hasilnya diserahkan ke Kejaksaan Agung. Kedua, oleh
Kejagung masuk ke penyidikan, baru kemudian oleh
Kejagung hasil penyidikannya diserahkan ke DPR. Selanjutnya DPR mempunyai kewajiban hukum, bukan
politik, berdasarkan hasil penyelidikan Komnas HAM
dan penyidikan Jaksa Agung menyerahkan
rekomendasi pembentukan pengadilan ham ad hoc
kepada Presiden. Rantai keempat juga kewajiban
hukum bagi Presiden untuk membentuk Keppres tentang pembentukan pengadilan HAM ad hoc. "Poin utamanya adalah tanggung jawab hukum
presiden sebagaimana disebutkan dalam Pasal 43 ayat
2 dan pasal penjelasan UU Pengadilan HAM," tegas
Muhammad. Karena itu, kata dia, Pemerintahan Jokowi-JK saat ini,
harusnya sudah menyiapkan draft pembentukan
Kepres untuk pengadilan ham ad hoc. Sementara menurut Komisioner Komnas HAM, Dianto
Bachriadi, urgensi pengadilan HAM ini dilanjutkan
adalah agar ada kepastian hukum, memudahkan
proses-proses rekonsiliasi. Juga penting bagi bangsa
untuk menyelesaikan masalah di masa lalu. "Namun
prospek dalam pemerintahan sekarang belum ada tanda-tanda kepastian," kata Dianto kepada
Gresnews.com, Rabu (5/11). Menurutnya, kedala utama diantaranya adalah
penjegalan politik oleh pimpinan negara dan elit-elit
politik yang diduga terlibat dalam perkara-perkara
pelanggaran HAM berat tersebut. Reporter : Karim Siregar
Redaktur : Muhammad Agung Riyadi
0
987
1
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan