sentiyetAvatar border
TS
sentiyet
Nyaris Mati Demi Pendidikan, Gadis ini Raih Nobel Termuda
Lonceng sekolah berdentang nyaring. Menyudahi pelajaran siang itu, Selasa 9 Oktober 2012. Para pelajar di sekolah menengah itu segera berhambur keluar kelas. Berlari di tengah terik matahari Pakistan. Melintasi halaman berdebu, beberapa bocah perempuan langsung menuju bus sekolah yang terparkir di pinggir jalan. Sebuah bus merek Toyota berwarna putih sudah siap mengantar mereka pulang.


Bus sekolah itu melaju. Bukan ke rumah. Melainkan ke pos keamanan di jalan utama Kota Mingora, Pakistan. Sebagai negara yang masih bergejolak, setiap kendaraan yang lalu lalang harus diperiksa oleh aparat keamanan.

Tak ada keganjilan. Di bus itu petugas jaga hanya mendapati para gadis belia yang mendekap kertas ujian di depan dada. Semua beres. Mereka boleh lewat. Rombongan pun melanjutkan perjalanan. Berbelok ke kanan, menuju jalan kecil, jalur yang biasa mereka lewati.

Belum jauh melaju, mobil itu mendadak berhenti. Sejumlah pemuda bersenjata tampak menghadang. Beberapa dari mereka berbicara dengan sopir. Salah satu dari mereka berjalan ke belakang. Menghampiri para gadis sambil berteriak, “Siapa yang bernama Malala? Bicaralah. Jika tidak, saya akan tembak kalian semua.”

Suasana berubah mencekam. Para murid wanita itu langsung disergap rasa takut. Badan mereka menggigil. Tak bisa menjawab. Saking takutnya, napas mereka jadi pendek-pendek. Tersengal. Namun, sorot mata mereka tak bisa bohong. Arah pandangan anak-anak seragam tertuju pada satu gadis berpenampilan berbeda. Hanya berkerudung. Tidak mengenakan cadar seperti mereka.

Tak lagi menunggu pengakuan. Sorot-sorot mata itu sudah cukup sebagai petunjuk. Bahwa gadis berkerudung itu adalah Malala. Pemuda itu mendekat ke gadis yang tetap duduk dengan tenang. Pistol Colt 45 dicabut dari pinggang. Dan, “dor... dor... dor!” Tiga peluru dimuntahkan pistol hitam ke gadis berkerudung itu.

Malala tersungkur. Badan bersimbah darah. Sebuah peluru menerjang kepala bagian kiri. Menembus ke leher hingga bahu. Dia sekarat. Dua peluru lainnya menyasar tangan kiri Shazia Ramzan dan Kainat Riaz yang duduk dekat Malala. Beruntung, luka keduanya tak parah.

Dalam kondisi koma, Malala dibawa ke rumah sakit militer di Peshawar. Dokter melakukan operasi untuk menyelamatkan jiwanya.

Malala baru sadar seminggu kemudian. Tepatnya 17 Oktober 2012. Saat membuka mata, semua terasa berbeda. Tampak asing.

Memang, saat itu dia sudah tak lagi berada di tanah air. Dua hari sebelumnya, atau 15 Oktober, Malala diterbangkan ke Inggris. Gadis malang itu dirawat di Queen Elizabeth Hospital Birmingham. Salah satu rumah sakit terbaik dalam merawat tentara korban perang.

Sadar dari koma, kondisi Malala berangsur membaik. Sejumlah operasi dia jalani. Beruntung, terjangan peluru tak merusak syaraf otak. Sehingga proses penyembuhan bisa berjalan cepat.

Pada Februari 2013, dia menjalani operasi tulang tengkorak dan pemulihan pendengaran. Bulan berikutnya, dia sudah masuk ke SMA Edgbaston di Birmingham. Bersekolah di sana hingga kini.

***

Setelah insiden itu, pejabat Pakistan mengklaim telah mengidentifikasi penembak Malala. Pelaku adalah Atta Ullah Khan. Sarjana kimia berusia 23 tahun. Namun, penembak dan kawanannya masih bebas berkeliaran.

Militer Pakistan kemudian mengumumkan penangkapan 10 anggota kelompok Taliban. Mereka inilah yang dituduh mencoba membunuh Malala. Tak hanya para tersangka. Militer juga menyatakan berhasil menyita senjata yang digunakan untuk penembakan dua tahun silam itu.

Bagi kelompok Taliban, gadis bernama lengkap Malala Yousafzai ini memang berbahaya. Bukan karena mahir memainkan bedil. Tapi karena tulisan Malala di blog. Kalimat-kalimat yang menentang kebijakan Taliban di Lembah Swat yang mereka kuasai kala itu. Bagi Taliban, tulisan Malala lebih tajam dari sebilah pedang. Bahkan sebutir peluru sekalipun.

Malala menentang keras kebijakan Taliban yang melarang kaum perempuan muslim bersekolah. Gadis kelahiran 12 Juli 1997 itu menilai pendidikan adalah hak mendasar setiap orang. Tak pandang bulu. Entah itu laki-laki atau perempuan seperti dirinya.

Anak pasangan Ziauddin dan Tor Pekai ini mulai aktif menulis di blog saat berusia 11 tahun. Dengan menggunakan nama samaran Gul Makai –nama pahlawan dari suku Pashtun-- Malala mulai menerbitkan catatan hariannya pada Januari dan Maret 2009 pada BBC berbahasa Urdu. Melalui tulisan itulah dia ceritakan kekerasan kelompok Taliban saat menguasai Lembah Swat.

Taliban melarang anak perempuan sekolah. Gedung-gedung sekolah untuk kaum perempuan dihancurkan. Akibatnya, jumlah siswa menurun drastis. Para murid, khususnya perempuan, tak lagi datang ke sekolah karena takut.

Tak hanya tulisan blog. Malala juga meluncurkan kritik lewat tulisan tangan. Surat itu kemudian diserahkan kepada wartawan BBC. Kertas itu kemudian diunggah ke internet. Semangat perempuan Pakistan pun terbakar oleh tulisan-tulisan itu. Mereka berani kembali ke sekolah. Meski akhirnya sekolah mereka ditutup paksa Taliban.

Sulung tiga bersaudara ini memang tipe bocah pemberani. Sebelum aktif menulis blog, dia sudah terang-terangan mengkritik Taliban. Saat di Peshawar pada September 2008, dia menyerang Taliban di media. “Beraninya Taliban mengambil hak asasi pendidikan saya,” kata Malala yang kala itu dikutip surat kabar dan disiarkan televisi setempat.

Karena manuver-manuver itulah Malala dan keluarganya kerap diteror. Ancaman-ancaman itu kadang disampaikan melalui surat kabar Taliban. Tak jarang pula pesan ancaman itu dikirim melalui para tetangga di Mingora.

Namun Malala tak mengangap serius ancaman itu. Dia berpikir Taliban tak akan pernah mendatangi seorang perempuan. Apalagi anak-anak. Dia menduga ancaman itu hanya ditujukan kepada sang ayah –yang juga kerap melontarkan kritik pedas kepada Taliban. Tapi dugaan itu meleset. Nyawanya nyaris melayang pada siang naas itu.

***

Sejak penembakan itu, nama Malala mendunia. Simpati datang dari berbagai kalangan. Perjuangan Malala pun tak lagi hanya sebatas negara Pakistan. Hak pendidikan untuk kaum perempuan dia kumandangkan keras-keras dari panggung internasional. Dia minta akses pendidikan dibuka seluas-luasnya untuk anak-anak perempuan muslim.

Pada April 2013, Majalah Time memasukkan Malala sebagai 100 orang paling berpengaruh di dunia. Tiga bulan berikutnya, dia berpidato di Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dia meminta dunia membuka akses pendidikan seluas-luasnya untuk kaum perempuan. Bulan yang sama dia bertemu dengan penguasa Britania Raya, Ratu Elizabeth II di Istana Buckingham. Pada September tahun yang sama dia berpidato di Universitas Harvard dan bertemu dengan Presiden AS, Barack Obama.

Pada 10 Oktober 2014, nama Malala –bersama aktivis pembela hak anak asal India, Kailash Satyarthi– diumumkan sebagai pemenang Nobel Perdamaian 2014. Pengumuman ini membuat Malala menjadi pemenang Nobel Perdamaian termuda yang pernah ada. Penghargaan bergengsi ini didapat wanita muslim ini pada usia 17 tahun. Persis dua tahun setelah sebuah peluru Taliban nyaris merengut nyawanya.

“Saya pikir ini baru awal,” kata Malala. Dia menambahkan, anak-anak di seluruh dunia “harus mempertahankan hak mereka dan tidak menunggu bantuan orang lain.”

Ya, Malala menyebut Nobel Perdamaian ini bukanlah akhir perjuangannya. Penghargaan itu justru dijadikan sebagai bahan bakar untuk menyulut semangat dia dalam memperjuangkan hak pendidikan kepada setiap anak di dunia.

“Ini artinya kita berdiri bersama untuk menjamin semua anak mendapat pendidikan yang berkualitas,” tutur Malala yang akan menerima Nobel secara resmi pada Desember mendatang itu.

Malala juga punya harapan besar pada negara-negara adikuasa. Dia berharap negara-negara adikuasa seperti Amerika Serikat, tak mengirim tentara ke Pakistan. “Saya katakan, daripada mengirim senapan, kirimlah buku. Daripada mengirim senjata, kirimlah guru,” ujar Malala.

Dengan Nobel Perdamaian di tangan, Malala adalah sebuah cerita tragedi sekaligus ironi. Karena menuntut persamaan hak bagi wanita muslim untuk menempuh pendidikan, dia nyaris mati akibat terjangan peluru kelompok garis keras Taliban. Tapi berkat peluru itu pula dia meraih penghargaan tertinggi dunia. Jarak kedua peristiwa itu hanya terpisah dua tahun. Dua tahun yang panjang…

Kisah Lainnya :
- Satu Malam Dalam Cengkeraman Boko Haram

-Kisah Sameera, Sebuah Perjuangan Panjang Wantita

-Wanita-Wanita di Tengah Gejolak Perang
0
1.6K
5
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan