- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Usai ditutup, Gang Dolly berubah jadi tempat jasa antar PSK


TS
19.09.1999
Usai ditutup, Gang Dolly berubah jadi tempat jasa antar PSK
Langsung aja gan.....



Quote:
Meskipun sudah ditutup oleh Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini, lokalisasi yang konon terbesar se-Asia Tenggara ini ternyata masih melakukan bisnis lendirnya yang melegenda. Gang Dolly hingga saat ini masih melakukan bisnis syahwatnya untuk memuaskan para pria hidung belang.
"Ayo mas, anak-anaknya ada," sapa pria makelar cinta di Gang Dolly, Kelurahan Putat Jaya, Kecamata Sawahan, Surabaya, Jawa Timur, acap kali melihat lelaki yang melintas di depannya.
Sapaan logat Suroboyoan ini, juga diucapkan puluhan pria yang ada di sekitar eks-lokalisasi tersebut. Mereka ada di sepanjang lorong, ada yang bergerombol, ada juga yang sendirian maupun hanya berdua.
Tak hanya di Gang Dolly, di Jalan Jarak-pun masih banyak makelar-makelar syahwat. Hanya saja, di tempat ini tidak terlalu mencolok. Mereka (mucikari) membaur dengan orang-orang yang tengah menikmati kopi pahit di warung kopi yang ada di sekitar bekas lokalisasi yang sejak 18 Juni 2014 lalu ditutup oleh Pemkot Surabaya itu.
Ada juga yang duduk-duduk di atas becak, dan ada pula yang duduk di depan rumah di sisi gelap. Namun, mata mereka tetap mengawasi siapa saja yang melintas, lalu menyapa dengan menawarkan jasa antar cewek siap pakai.
"Sekarang pakai sistem booking. Ceweknya sudah tidak ada di lokasi. Kalau mau pilih cewe yang sesuai selera, mucikarinya ngasih tahu lewat foto-foto di BlakBerry yang mereka bawa," terang Muklis, pemilik warung kopi di sekitar Jalan Jarak kepada merdeka.com, Rabu malam (29/10).
Untuk sekali booking, kata Muklis, tarifnya bervariasi, tergantung cewek yang dipilih. "Ada yang Rp 300 ribuan, ada juga yang Rp 450 ribuan. Tergantung kelas cewek yang dipilih," kata Muklis lagi dengan Bahasa Jawa Kromo Ngoko itu.
"Kalau mau saya temukan dengan orangnya. Nanti terserah Anda transaksi dengan mucikarinya. Tadi yang nongkrong di sini itu kan salah satu orangnya (mucikari)," sambungnya.
Pria berkumis tipis pemilik warung kopi ini juga mengatakan, sejak Dolly dan Jarak ditutup oleh Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini beberapa bulan lalu, lokalisasi beralih fungsi menjadi area transaksi jasa antar cewek pelayan cinta semalam.
"Mainnya tidak di sini, tapi di hotel, biasanya di hotel sekitar Jalan Pandegiling, tapi juga ya maunya pelanggan di hotel mana, itu terserah pelanggan," ucapnya.
Usai mendapat sedikit informasi dari si pemilik warung kopi itu, penelusuran merdeka.com berlanjut ke Gang Dolly.
Puluhan lelaki terlihat berada di depan bekas 'akuarium-akuarium raksasa' yang dulu mewarnai napas jagat prostitusi di Kota Pahlawan. Mereka sebagian ada yang duduk bergerombolan, ada yang seorang diri, ada juga hanya berdua.
Mereka menyapa siapa-saja yang lewat dan menawarkan cewek-cewek yang mereka milik. Meski hanya memperlihatkan foto-foto perempuan-perempuan pada mesin smartphone yang mereka bawa, mereka yakin pelanggan tidak akan kecewa dengan service-nya.
Ada lebih dari 10 foto, yang rata-rata ceweknya berusia antara 20 hingga 30-an. Harganya-pun cukup bervariasi. Ada cewek seharga standar, Rp 300 ribu. Ada yang dibandrol Rp 400 ribu, ada pula yang bertarif Rp 500 sampai 700 ribu rupiah. Tentu harga spesial ini, khusus untuk cewek-cewek berkelas, yang siap membuat si lelaki berkeringat dan berteriak puas.
Tarif yang dipasang itu, kata mereka, sudah termasuk sewa hotel. "Tenang saja, semuanya OK. Kalau mau, kita akan akan antar ceweknya ke hotel. Sudah ada jasa antarnya," kata mucikari yang saat itu mengenakan topi tersebut.
Untuk jasa antar jemput cewek, mereka menyebutnya Anjelo alias antar jemput pramuria. Sebutan Anjelo ini, sekarang sudah populer di Gang Dolly dan Jarak. Untuk jasa layanannya, Anjelo mendapat bagian Rp 50-100 ribu rupiah dari harga cewek yang dibandrol.
Jadi, inilah sedikit gambaran kesuksesan Tri Rismaharini menutup lokalisasi Dolly dan Jarak. Sukses mengalihfungsikan wisma esek-esek menjadi tempat transaksi cewek bookingan. Merubah tempat lokasi buang syahwat di tempat menjadi area layanan jasa antar syahwat.
"Ayo mas, anak-anaknya ada," sapa pria makelar cinta di Gang Dolly, Kelurahan Putat Jaya, Kecamata Sawahan, Surabaya, Jawa Timur, acap kali melihat lelaki yang melintas di depannya.
Sapaan logat Suroboyoan ini, juga diucapkan puluhan pria yang ada di sekitar eks-lokalisasi tersebut. Mereka ada di sepanjang lorong, ada yang bergerombol, ada juga yang sendirian maupun hanya berdua.
Tak hanya di Gang Dolly, di Jalan Jarak-pun masih banyak makelar-makelar syahwat. Hanya saja, di tempat ini tidak terlalu mencolok. Mereka (mucikari) membaur dengan orang-orang yang tengah menikmati kopi pahit di warung kopi yang ada di sekitar bekas lokalisasi yang sejak 18 Juni 2014 lalu ditutup oleh Pemkot Surabaya itu.
Ada juga yang duduk-duduk di atas becak, dan ada pula yang duduk di depan rumah di sisi gelap. Namun, mata mereka tetap mengawasi siapa saja yang melintas, lalu menyapa dengan menawarkan jasa antar cewek siap pakai.
"Sekarang pakai sistem booking. Ceweknya sudah tidak ada di lokasi. Kalau mau pilih cewe yang sesuai selera, mucikarinya ngasih tahu lewat foto-foto di BlakBerry yang mereka bawa," terang Muklis, pemilik warung kopi di sekitar Jalan Jarak kepada merdeka.com, Rabu malam (29/10).
Untuk sekali booking, kata Muklis, tarifnya bervariasi, tergantung cewek yang dipilih. "Ada yang Rp 300 ribuan, ada juga yang Rp 450 ribuan. Tergantung kelas cewek yang dipilih," kata Muklis lagi dengan Bahasa Jawa Kromo Ngoko itu.
"Kalau mau saya temukan dengan orangnya. Nanti terserah Anda transaksi dengan mucikarinya. Tadi yang nongkrong di sini itu kan salah satu orangnya (mucikari)," sambungnya.
Pria berkumis tipis pemilik warung kopi ini juga mengatakan, sejak Dolly dan Jarak ditutup oleh Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini beberapa bulan lalu, lokalisasi beralih fungsi menjadi area transaksi jasa antar cewek pelayan cinta semalam.
"Mainnya tidak di sini, tapi di hotel, biasanya di hotel sekitar Jalan Pandegiling, tapi juga ya maunya pelanggan di hotel mana, itu terserah pelanggan," ucapnya.
Usai mendapat sedikit informasi dari si pemilik warung kopi itu, penelusuran merdeka.com berlanjut ke Gang Dolly.
Puluhan lelaki terlihat berada di depan bekas 'akuarium-akuarium raksasa' yang dulu mewarnai napas jagat prostitusi di Kota Pahlawan. Mereka sebagian ada yang duduk bergerombolan, ada yang seorang diri, ada juga hanya berdua.
Mereka menyapa siapa-saja yang lewat dan menawarkan cewek-cewek yang mereka milik. Meski hanya memperlihatkan foto-foto perempuan-perempuan pada mesin smartphone yang mereka bawa, mereka yakin pelanggan tidak akan kecewa dengan service-nya.
Ada lebih dari 10 foto, yang rata-rata ceweknya berusia antara 20 hingga 30-an. Harganya-pun cukup bervariasi. Ada cewek seharga standar, Rp 300 ribu. Ada yang dibandrol Rp 400 ribu, ada pula yang bertarif Rp 500 sampai 700 ribu rupiah. Tentu harga spesial ini, khusus untuk cewek-cewek berkelas, yang siap membuat si lelaki berkeringat dan berteriak puas.
Tarif yang dipasang itu, kata mereka, sudah termasuk sewa hotel. "Tenang saja, semuanya OK. Kalau mau, kita akan akan antar ceweknya ke hotel. Sudah ada jasa antarnya," kata mucikari yang saat itu mengenakan topi tersebut.
Untuk jasa antar jemput cewek, mereka menyebutnya Anjelo alias antar jemput pramuria. Sebutan Anjelo ini, sekarang sudah populer di Gang Dolly dan Jarak. Untuk jasa layanannya, Anjelo mendapat bagian Rp 50-100 ribu rupiah dari harga cewek yang dibandrol.
Jadi, inilah sedikit gambaran kesuksesan Tri Rismaharini menutup lokalisasi Dolly dan Jarak. Sukses mengalihfungsikan wisma esek-esek menjadi tempat transaksi cewek bookingan. Merubah tempat lokasi buang syahwat di tempat menjadi area layanan jasa antar syahwat.

Quote:
Setelah deklarasi penutupan yang dilakukan Pemkot Surabaya pada 18 Juni lalu, siapa bilang sudah tak ada aktivitas di Gang Dolly dan Jarak? Lokalisasi terbesar di Asia Tenggara yang terletak di Kelurahan Putat Jaya, Kecamatan Sawahan ini, masih memperlihatkan 'denyut nadinya', bahkan makin liar.
Dari penelusuran merdeka.com, Rabu malam (29/10), secara fisik, seluruh rumah bordil yang dulu pernah ada memang sudah beralih fungsi. Situasi lokalisasi yang didirikan Noni Belanda, Dolly Van Der Mart itu, sudah benar-benar steril.
Hanya saja, khusus di eks Wisma Barbara, masih terdengar keras suara musik disko. Namun tidak terlihat menyediakan pelayan-pelayan 'cinta semalam'. Maklum, di wisma yang terakhir dikelola oleh Sakak ini, adalah warisan sang Maestro Dolly, yaitu Tante Dolly alias Dolly Van Der Mart.
Di lokalisasi ini, sudah tak ada lagi 'akuarium raksasa,' yang menjadi ciri khas Dolly dan Jarak. Wanita-wanita berpakaian 'penggoda syahwat' yang biasa duduk di atas sofa dan menjadi pajangan di etalase kaca sudah tidak terlihat.
Wisma-wisma yang dulu riuh menawarkan paha dan dada wanita-wanita aduhai, beberapa dibiarkan tanpa penerangan seolah menunjukkan rumah syahwat itu memang sudah tutup. Beberapa lagi tetap diberi penerangan, untuk menunjukkan identitas rumah tersebut berpenghuni tapi tidak lagi sebagai wisma, melainkan sebagai bangunan untuk rumah tangga. Semua kembali seperti pemukiman penduduk biasa.
Siapapun yang melintasi lorong-lorong eks lokalisasi di Kelurahan Putat Jaya ini, tidak akan lagi melihat tulisan Wisma Barbara, New Barbara, Madona, Srikandi, Nusa Dua maupun nama-nama wisma-wisma yang lain, baik itu di Dolly maupun di Jarak. Semuanya sudah dihapus.
Gambar sponsor minuman keras juga sudah tidak terlihat lagi menempel pada bangunan-bangunan yang dulu menjadi rumah esek-esek tersebut. Semuanya juga sudah dicopot.
Namun, di balik visualisasi itu, geliat para mucikari atau makelar cinta masih sangat terlihat nyata. Di Jalan Jarak, lelaki duduk di atas becak, siap menyapa dan menawarkan perempuan-perempuan pemuas nafsu bagi siapa saja yang lewat di depannya.
Pun begitu dengan para lelaki yang duduk di depan teras rumah bekas wisma. Di warung-warung kopi, beberapa lelaki tak segan menawarkan wanita-wanitanya terang-terangan, seperti saat Dolly dan Jarak belum ditutup.
Kemudian saat masuk ke Gang Dolly, terlihat jelas puluhan lelaki, ada yang bergerombolan, ada juga hanya duduk-duduk di depan rumah, juga tanpa sungkan menawarkan gacoannya.
"Ayo mas, anak-anaknya ada," begitu ucap mereka menawarkan perempuan-perempuannya dengan logat Suroboyoan.
Ternyata, denyut prostitusi di eks lokalisasi tersohor se-antero Nusantara ini sudah benar-benar beralih fungsi. Dari fungsi bermain di tempat, menjadi di luar tempat.
Dari memilih wanita langsung di 'akuarium raksasa' berganti di mesin smartphone alias BlackBerry, ada juga yang menggunakan tablet.
"Sekarang (Dolly dan Jarak) sudah ditutup. Sekarang pakai sistem booking. Harganya antara Rp 300 sampai Rp 450 ribuan. Mainnya tidak di sini, tapi di hotel," terang seorang pemilik warung kopi di sekitar Dolly.
Inilah gambaran kesuksesan si Singa Betina, Tri Rismaharini menutup seluruh bisnis esek-esek di Kota Pahlawan ini. Saat penutupan, wali kota perempuan pertama di Surabaya yang terkenal garang itu, cukup yakin bisa menutup Dolly dan Jarak.
Bahkan, Risma-pun sukses mempolisikan Sahputra alias Pokemon (30/10), sang pemimpin gerakan perlawanan di Dolly, yang saat ini sudah menjalani persidangan. Hari ini, juga dijadwalkan menjalani sidang lanjutannya di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya.
Inilah sukses Tri Rismaharini 'menggusur' Gang Dolly dan Jarak. Berhasil mengalihfungsikan wisma esek-esek, menjadi area transaksi cewek bookingan via mesin smartphone. Alih fungsi dari melihat cewek secara manual ke elektronik. Dari 'makan' di tempat ke model pelayanan jasa antar.
Dari penelusuran merdeka.com, Rabu malam (29/10), secara fisik, seluruh rumah bordil yang dulu pernah ada memang sudah beralih fungsi. Situasi lokalisasi yang didirikan Noni Belanda, Dolly Van Der Mart itu, sudah benar-benar steril.
Hanya saja, khusus di eks Wisma Barbara, masih terdengar keras suara musik disko. Namun tidak terlihat menyediakan pelayan-pelayan 'cinta semalam'. Maklum, di wisma yang terakhir dikelola oleh Sakak ini, adalah warisan sang Maestro Dolly, yaitu Tante Dolly alias Dolly Van Der Mart.
Di lokalisasi ini, sudah tak ada lagi 'akuarium raksasa,' yang menjadi ciri khas Dolly dan Jarak. Wanita-wanita berpakaian 'penggoda syahwat' yang biasa duduk di atas sofa dan menjadi pajangan di etalase kaca sudah tidak terlihat.
Wisma-wisma yang dulu riuh menawarkan paha dan dada wanita-wanita aduhai, beberapa dibiarkan tanpa penerangan seolah menunjukkan rumah syahwat itu memang sudah tutup. Beberapa lagi tetap diberi penerangan, untuk menunjukkan identitas rumah tersebut berpenghuni tapi tidak lagi sebagai wisma, melainkan sebagai bangunan untuk rumah tangga. Semua kembali seperti pemukiman penduduk biasa.
Siapapun yang melintasi lorong-lorong eks lokalisasi di Kelurahan Putat Jaya ini, tidak akan lagi melihat tulisan Wisma Barbara, New Barbara, Madona, Srikandi, Nusa Dua maupun nama-nama wisma-wisma yang lain, baik itu di Dolly maupun di Jarak. Semuanya sudah dihapus.
Gambar sponsor minuman keras juga sudah tidak terlihat lagi menempel pada bangunan-bangunan yang dulu menjadi rumah esek-esek tersebut. Semuanya juga sudah dicopot.
Namun, di balik visualisasi itu, geliat para mucikari atau makelar cinta masih sangat terlihat nyata. Di Jalan Jarak, lelaki duduk di atas becak, siap menyapa dan menawarkan perempuan-perempuan pemuas nafsu bagi siapa saja yang lewat di depannya.
Pun begitu dengan para lelaki yang duduk di depan teras rumah bekas wisma. Di warung-warung kopi, beberapa lelaki tak segan menawarkan wanita-wanitanya terang-terangan, seperti saat Dolly dan Jarak belum ditutup.
Kemudian saat masuk ke Gang Dolly, terlihat jelas puluhan lelaki, ada yang bergerombolan, ada juga hanya duduk-duduk di depan rumah, juga tanpa sungkan menawarkan gacoannya.
"Ayo mas, anak-anaknya ada," begitu ucap mereka menawarkan perempuan-perempuannya dengan logat Suroboyoan.
Ternyata, denyut prostitusi di eks lokalisasi tersohor se-antero Nusantara ini sudah benar-benar beralih fungsi. Dari fungsi bermain di tempat, menjadi di luar tempat.
Dari memilih wanita langsung di 'akuarium raksasa' berganti di mesin smartphone alias BlackBerry, ada juga yang menggunakan tablet.
"Sekarang (Dolly dan Jarak) sudah ditutup. Sekarang pakai sistem booking. Harganya antara Rp 300 sampai Rp 450 ribuan. Mainnya tidak di sini, tapi di hotel," terang seorang pemilik warung kopi di sekitar Dolly.
Inilah gambaran kesuksesan si Singa Betina, Tri Rismaharini menutup seluruh bisnis esek-esek di Kota Pahlawan ini. Saat penutupan, wali kota perempuan pertama di Surabaya yang terkenal garang itu, cukup yakin bisa menutup Dolly dan Jarak.
Bahkan, Risma-pun sukses mempolisikan Sahputra alias Pokemon (30/10), sang pemimpin gerakan perlawanan di Dolly, yang saat ini sudah menjalani persidangan. Hari ini, juga dijadwalkan menjalani sidang lanjutannya di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya.
Inilah sukses Tri Rismaharini 'menggusur' Gang Dolly dan Jarak. Berhasil mengalihfungsikan wisma esek-esek, menjadi area transaksi cewek bookingan via mesin smartphone. Alih fungsi dari melihat cewek secara manual ke elektronik. Dari 'makan' di tempat ke model pelayanan jasa antar.
0
9.5K
Kutip
50
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan