TS
gigimudua
A Little Case with Docter Molks Moore
Spoiler for :
Degup jantung Opsir Flitz berdebar keras ketika ia mendongakkan leher untuk melihat aspal berjarak seratus meter di bawahnya.
Ia berada di gedung tingkat sepuluh. Dinding bata dan jendela vertikal tampak bagaikan tepi jurang yang sangat menakutkan.
Pandangan matanya serasa melimbung berputar hingga ia harus memegang kuat pinggir gedung agar tak jatuh. Seakan-akan ada seseorang yang akan mendorong pantatnya untuk jatuh ke bawah jika ia tidak berpegangan.
Tampak ratusan manusia di bawahnya berkumpul di sisi gedung, mendongak melihat atas sambil berceloteh bersama temannya.
Bola matanya bergetar melihat samping. Tak jauh darinya, ia melihat jatuhnya air mata dari pinggir pipi seorang anak muda, lelaki berumur delapan belas tahun. Anak muda itu berada di ujung kehidupan, meringkih di pinggir gedung siap meloncat merangkuh kematian.
“Paling tidak beritahu namamu. Tidak bisakah kita berbicara sedikit?” Suara opsir Flitz bergetar seraya meratap. Ia berharap dapat mencegah anak muda itu mengakhiri hidupnya.
“Hei.. jangan!” Opsir tua menahan pundak opsir Flitz agar tidak semakin mendekat.
“Maju selangkah lagi dan ia akan loncat.” Opsir Tua memperingatinya.
Kaki anak muda itu hanya berjarak beberapa mili lagi dari pinggir gedung. Jelas sudah anak muda itu tidak takut mati.
Untuk saat ini, tak ada yang dapat Flitz lakukan. Jarak anak muda itu terlalu jauh. Kalaupun Flitz berlari dan meloncat, ia tak akan sanggup menangkap dan menyelamatkan anak itu.
“Apa yang kau inginkan?” kata Flitz.
“Sebutkan apapun.. dan kami akan mencoba untuk mengabulkannya. Kau masih muda, banyak hal indah yang belum kau rasakan di hidup ini.. jangan kau sia-si-”
“Diam kau! Aku ingin mati!” Anak muda itu berteriak seakan-akan tidak peduli Lagi dengan pita suaranya. Melengking dan suaranya menggema sepanjang blok.
Ini kali pertama anak muda itu menjawab pertanyaannya setelah sejam lamanya opsir Flitz berusaha membuat anak muda itu turun dari pinggir atap gedung. Tapi sayangnya, isi jawabannya malah putus asa meminta untuk mati.
“Tidak ada cara lain.. panggil dokter Mor!” ujar opsir tua di sebelah opsir Flitz.
Spoiler for :
“Doctor Mor, Where are you?”
Seorang opsir tua memasuki kamar apartemen dokter Molks Moore.
Apartemen itu adalah apartemen tua, terletak di jalan st clarise tempat banyak bangunan bersejarah. Nuansa apartemen itu pun terasa nyaman, dengan dinding dari kayu dan lantai mebel khas italia.
“Aku tidak mengerti. Mengapa kita membutuhkan dokter Mor? Dia dokter.. apa hubungannya dengan kasus ini?” tanya rekannya, opsir Flitz.
“Dia dokter jiwa hebat! Kita memanggilnya untuk menyelesaikan kasus yang tidak bisa kita tangani. Oh sudahlah.” Opsir tua hampir saja lupa kalau rekannya yang baru ini adalah pindahan dari Finix dan belum mengerti dengan benar budaya kota Edinsburgh.
“Kau belum mengenalnya. Watch, and learn..anak baru.”
Mereka berdua menyusuri isi kamar apartemen dan tidak menemukan siapapun.
“Dan sekarang ia tidak ada di tempat.. hebat!” Kata Flitz.
Mendadak, terdengar suara lembut dari arah kamar mandi, “Ada apa opsir Heim? Apa yang bisa kubantu..”
Kedua opsir perlahan berjalan mendekat ke pintu kamar mandi yang beberapa saat kemudian terbuka memperlihatkan seseorang di dalamnya.
Dokter Mor keluar dari dalam kamar mandi sambil membawa handuk di tangannya. Ia baru saja mencuci wajah dan tangannya. Tidak ada bekas darah yang menakutkan seperti yang diharapkan ketika melihat tangan seorang dokter. Flitz lalu melihat riak wajar dokter Mor. Ia tampak seperti pria tua biasa.
Dokter mor berkacamata, berjanggut dan berkumis tipis, wajahnya tampak ramah. Memangnya apa hebatnya dia? Hingga opsir Heim harus mencarinya jauh-jauh ke apartemen yang berjarak tiga blok? Tentu saja Flitz tidak bisa menjawab pertanyaan itu saat ini.
“Kami membutuhkanmu, dokter. Ada kasus suicidal tiga blok dari sini. Anak muda yang ingin mengakhirinya hidupnya karena masalah sepele.”
“Tidak ada masalah yang sepele opsir Heim. Tidak ada..” gumam Dokter Mor sambil menggelengkan kepalanya. “Bagi anak muda itu, pastilah masalah besar.”
Walau berkata seperti itu, Dokter Mor tampak santai. Ia mengambil topi dan jaket dari gantungan di sebelah pintu, dan berjalan perlahan bersama kedua opsir keluar ruang apartemennya.
“Tidak bisakah kita lebih cepat, dokter,” opsir Flitz sudah geregetan dengan gerakan dokter mor yang sangat lamban. Padahal anak muda tiga blok dari sini sudah hampir di ujung tanduk ingin loncat dari atap gedung.
“Hm.. opsir Flitz. Saya memiliki cedera. Kau mau arthritisku kambuh?” gumam dokter Mor sambill tersenyum.
Flitz tertegun. Ia tidak mengerti bagaimana dokter Mor tahu namanya.
Spoiler for :
“OH God.. thank you, you are here docter Mor.” Dua opsir di tangga tampak lega melihat wajah ramah dokter Mor muncul di tangga bawah mereka.
“Selamat sore opsir Gregory, selamat sore opsir Grim, sore yang tenang dan indah tampaknya.. melihat kalian berdua sore ini bisa akur.”
“Tidak bagi anak muda itu dokter. Dia bisa loncat kapan saja.”
“Ayo dokter..” Flitz menggiring dokter Mor menaiki tangga untuk ke atap bangunan secepatnya. Tentu saat ini bukan saat yang tepat untuk membicarakan sore yang indah, atau sinar mentari yang nyaman.
Sesampai di pintu atap, dokter Mor melihat ada seorang anak muda. Lelaki, tipikal umur delapan belas tahun sedang berdiri di pinggir pagar bangunan sebelah cerobong asap sudah siap meloncat bebas.
“Its all yours. Be careful docter. He is smarter than me,” kata opsir Flitz di belakangnya.
“Okay” dokter Mor tersenyum pada Flitz dengan senyuman yang sangat nyaman hingga tampaknya Flitz sedang santai di bawah pohon di pinggir pantai.
Flitz tidak menyukainya, tidak di saat-saat genting seperti ini dimana seorang anak muda akan loncat setiap saat dan mencoreng hari pertamanya masuk kepolisian kota Edinsburg dengan kematian.
“Aku serius dokter. Anak muda ini bahkan mengancam akan meloncat jika kami berani mendekatinya. Tidak hanya itu.. ia tidak bisa diajak bicara, bisu dan introvert sekali. Aku sudah berjam-jam menghabiskan waktu hanya agar ia mau menatapku.”
Dokter Mor mengangguk, “Kalau begitu, saya mohon diri untuk mendekati anak muda itu.”
Flitz terdiam. Rasa takut di dadanya semakin menjadi-jadi ketika melihat Dokter Mor berjalan semakin dekat ke anak itu.
“Aku tidak yakin Dokter Mor mampu menanganinya. Ayo kita cepat siapkan Trampolin di lantai bawah.. anak itu bisa loncat kapan saja, Mr. Heim.”
“Hei Flitz, santai.. just put a little faith. Dokter Mor tahu apa yang mesti dilakukan olehnya.”
“You better right, Mr. Heim.”
Tapi ternyata, Dokter Mor tidak berjalan mendekati anak muda itu. Ia Hanya berjalan ke pinggir gedung dan menonton mentari yang terbenam di ufuk barat dengan wajah tenang.
Mata anak muda itu melotot melihat Dokter Mor berdiri tidak jauh darinya. Pokoknya, ia akan meloncat jika dokter itu berani mendekatinya. Tapi dokter itu tidak melakukan apapun. Melihatnya sedikit saja tidak. Ia hanya menatap mentari di ufuk barat dan tidak mengindahkan anak muda itu sama sekali.
“Hey you.. what are u doing here!” bentak anak muda itu geregetan melihat dokter Mor tidak bersuara dan bahkan tidak bergerak sama sekali dari tempatnya berdiri.
“Aku sedang melihat mentari,” kata Dokter Mor. Ia menjawabnya dengan nada suara begitu tulus dan wajah tersenyum hingga hati anak muda itu serasa meleleh dengan keramahannya.
Setelah jawaban itu, dokter Mor kembali tak bicara. Ia terdiam dalam sunyi. Anak muda itu akhirnya tahu kalau dokter itu hanya orang bodoh yang datang ke pinggir gedung hanya untuk melihat mentari terbenam.
Sesekali anak muda itu kembali melihat bawah, bersiap-siap untuk meloncat, tapi dirinya masih takut. Kalau saja dokter Mor berjalan mendekat, tentu ia dapat lebih berani untuk loncat dari tempatnya berdiri.
Beberapa saat kemudian, tangan dokter Mor kembali bergerak. Anak muda itu kembali takut dan melotot melihatnya. Apa yang akan di lakukannya? Dokter itu akan meloncat dan menangkapnya?
Tapi dokter Mor hanya mengambil kotak rokok dari sakunya, dan menyalakannya dengan santai. Ia kemudian mengisapnya dengan pelan, lalu menghembuskannya membentuk asap berbentuk nol sempurna.
Melihat hal tersebut, tatapan mata anak muda yang melotot itu perlahan-lahan melembut.
“Kau merokok?” Dokter Mor memajukan tangan dan menunjukkan kotak rokok padanya.
“...” anak muda itu hanya terdiam. Jarak mereka berdua masih terlalu jauh sehingga ia tidak ada keinginan untuk mengambilnya.
“.. rokok Mm.. Gil?” kata Dokter Mor melihat tulisan yang ada di jaket anak muda. Ia kemudian memperhatikan semua karakteristik anak itu. Pundak anak itu kecil, dengan wajah yang cantik untuk seorang lelaki. Di lehernya ada kalung salib menandakan ia beragama christ dengan baik.
“Tidak.. kau gila..? aku mau meloncat dan kau menawarkanku rokok?”
“Aku memang gila, tidakkah kau tahu akan hal itu?”
“Ah.. ya.. kau dokter Mor, si dokter gila yang kerjaannya diam di rumah sakit jiwa. Kau terkenal, karena tidak ada orang waras yang mau bekerja begitu menyedihkan bersamamu. Jadi jangan kau ganggu aku, dan merokoklah sendirian di ujung sana.”
“Ya.. benar sekali..” kata Dokter Mor tersenyum.
Ia kemudian sekali lagi memasukkan tangannya ke dalam jaket dan mengeluarkan sebungkus permen karet.
“Ini,” kata Dokter mor, ia melempar permen karet itu ke bawah kakinya Gil.
Gil melihatnya dan mengangkat permen itu. Memangnya apa gerangan yang dipikirkan dokter itu hingga ia ingin memakan permen di ujung hidupnya? Dokter ini memang benar-benar gila.
“Yah, kau tahu. Menggigit permen karet dengan keras itu.. sangat enak untuk menghilangkan stres. Tidak ada salahnya kan kau coba.. sebelum kau..” kata dokter Mor, dan ia memeragakan tangannya seakan-akan ia juga akan ikut meloncat.
Gil memperhatikan permen karet itu, dan benar saja.. besar rasanya ingin melahap seluruh pemen karet itu untuk digigit keras-keras. Tanpa diminta, ia membuka bungkus permen karet satu persatu dan melahapnya.
“Pelan-pelan Gil. Dan jangan kau telan.. kalau masuk kerongkongan, dan nyangkut.. rasa sakitnya bukan main.”
“What..?” Gil melihat dokter Mor dengan kaget.
“Ya.. tentu.. tapi memang lebih sakit kalau loncat dari gedung tingkat delapan. Terutama saat tulang belakang menghantam aspal, kau tahu? Yah.. semua pusat saraf ada disana.. dan rasa sakitnya pasti bukan main. Apalagi.. kalau sampai kepala nyampai duluan.. pasti..” Dokter Mor terdiam. Mukanya tampak tersadar kalau ia sudah terlalu banyak bicara.
“Maaf aku lebih baik.. tidak..” kata Dokter Mor.
“Kau gila!”
“Yah.. sekarang sudah dua kali aku mendengarnya..” dokter Mor naik ke pinggir bangunan dan duduk disana sambil menghela nafas.
“Begitulah, kalau terlalu lama kerja di rumah sakit,” gumam dokter dengan mata sayu kembali melihat mentari yang terbenam di ufuk barat.
Dokter Mor melihat mentari itu dengan sungguh-sungguh. Hingga satu menit kemudian, ia tidak berkata apapun lagi.
“Kenapa kau melihat mentari itu?” tanya Gil penasaran. Gil kemudian ikut duduk mengikuti pose Dokter Mor di pinggir gedung. Dia sudah capek berdiri dan memutuskan untuk menunda tindakannya.
Dokter Mor melihat Gil, wajahnya tampak marah seakan-akan Gil telah menanyakan hal yang bersifat sangat pribadi padanya. Ia kemudian balas bertanya, “Kenapa kau ingin meloncat?”
Mendengar hal tersebut, Gil serasa akan tersedak.
“Mind your bussines young man.” Dokter Mor kembali memalingkan mukanya melihat mentari.
Dokter Mor kembali terdiam. Beberapa saat kemudian ia kembali menghela nafas dan kemudian menjawab dengan nada berat “Aku sering bersama istriku kesini, melihat mentari di tempat ini.. dan saat-saat itu terasa sangat indah.”
“Tapi aku tidak pernah menyadarinya kalau saat-saat itu akan berakhir.”
Dokter Mor mengusap wajahnya, menyampirkan rambutnya yang hitam,
“Yang selalu kuingat hanyalah kecupannya saat itu di sini. Bersamanya, di bawah sinar mentari.”
“Jadi.. istrimu..?”
“Yeah.. she is gone.”
“...” Gil ikut terdiam, ikut merasakan peluh hati dokter Mor.
“Yang ingin kulakukan sekarang, hanya melihat mentari sore dengan tenang. Karena tidak setiap hari mentari dapat dilihat dari atas gedung ini. Hanya saat posisi musim semi.”
“....” mereka berdua terdiam.
“Jadi bukan polisi itu yang membuatmu datang kemari?”
“Haha, mereka tidak sengaja bertepatan menginginkanku untuk berada di sini.” “Dasar..”
Dokter Mor kembali meremang melihat mentari yang sekarang hampir hilang di ufuk barat. Itu artinya kebersamaan mereka untuk beberapa saat lagi akan berakhir.
“Aku punya pacar.”
“Maaf?” tanya Dokter Mor.
“Namanya Gil.. seperti yang kau lihat di jaket ini. Itu bukan namaku.”
“Kau mencintainya?”
“Ya..” gumam Gil, ia memegang jaketnya. Matanya terasa ingin berlinang.
“Tidak hanya mencintainya, kami berdua telah membuat janji. Untuk selalu hidup bersama, apapun hal yang terjadi.”
“... Dia sekolah di St ceres, mengejar gelar doktornya. Dan berkata akan menikah denganku di sini, setelah ia selesai nanti..”
“Rencananya, kami berdua akan membeli rumah di pinggiran pantai sana,” kata Gil, sambil menunjuk pantai white coarse di ujung cakrawala yang tampak begitu indah dengan kerlap kerlip air laut yang bersinar.
“Sounds good,” ujar Dokter Mor.
“Ya.. Dia ingin menamakan anak kami James. Tapi aku tidak mau, aku ingin namanya Beety”
“Sepertinya bagusan Beety” gumam Dokter Mor ikut tersenyum bersama Gil.
“Menurutmu.. seperti itu?”
Dokter Mor mengangguk. “Lalu kenapa, saat ini kau tidak bersamanya?”
“Kemarin, ketika aku semestinya menerima surat mingguan darinya, keluarganya datang kepadaku.”
“Dan dia.. sudah tiada?” terka Dokter Mor.
Gil mengangguk, air matanya perlahan kembali jatuh menetes di tangannya. Ia pun mengusapnya kembali.
“Dia sakit hemofilia. Selama ini dia berada di rumah sakit negara. Ku kira ia sekolah tapi..”
Mereka berdua terdiam. Gil tampak sibuk menyeka air matanya sendiri.
“Tak kusangka ia harus direnggut seperti itu.”
“Dan sekarang kau ingin menepati janji?” tanya Dokter Mor.
“Ya.. kita berjanji selalu hidup bersama. Kalau tidak bisa di dunia ini, ya di sana.. selamanya”
“...” Mata dokter Mor menatap Gil dengan pandangan mata mendalam. Tenang dan nyaman. Sedangkan Gil sebaliknya, ia menatap Dokter Mor dengan pandangan mata gemetar.
“Kalau begitu tepati janjimu.” Ujar dokter Mor dengan nada rendah dan matanya yang ramah kembali meremang melihat mentari di ufuk barat.
“Eh-?” tanya Gil.
“Jangan seperti aku, sampai saat ini masih hidup dalam bayang-bayang masa lalu yang tidak pasti. Kau pasti menyesal.”
Sewajarnya, jika dokter Mor memang waras, ia akan berusaha mencegah Gil untuk tidak meloncat.
“Pfft.. Kau benar-benar Gila..” kata Gil, ia kembali bisa tersenyum sambil menahan tawa.
“Dan kau pintar, aku serius.” Dokter Mor melihat Gil kembali.
“Kalau istriku tidak galak, aku sudah loncat dari dulu dari pinggir gedung ini..” gumam Dokter Mor dengan sombongnya.
“Maksudnya?” tanya Gil bingung. Tapi perlahan-lahan ia mengerti dengan maksud dokter Mor.
Orang di alam sana, tentu tidak akan suka ia menyia-nyiakan hidupnya.
Mulut Gil menciut, “Dasar, sudah kutahu. Kau pasti dikirim oleh para polisi itu..”
“..untuk menghiburku, agar aku tidak jadi meloncat. Kau kira Aku bodoh, Dokter Mor?”
“Ini strategimu kan? Mendekatiku dengan perkataan halusmu.
Kau pasti sudah memakai cara yang sama ini ke pasien-pasienmu agar tidak bunuh diri. Pakai cara kalau istrimu galak. Kau kira aku tidak tahu?”
Wajah dokter Mor langsung tampak marah mendengar hal tersebut. Ia ngamuk mendengar Gil memanggil Istrinya dengan pernyataan seperti itu.
“Aku menyuruhmu untuk loncat!” kata Dokter Mor tajam.
Gil langsung tersentak kaget mendengar perkataan dokter Mor.
“Kenapa sampai sekarang kau belum loncat? Kau takut? Jatuh dari ketinggian segini, ketika kepalamu sampai bawah, otakmu akan jadi bubur pengisi jalanan? Atau seluruh tulangmu patah hingga yang bisa kau rasakan hanyalah rasa sakit?"
Gil langsung bergetar ketakutan mendengar perkataan Mor. Kali ini tatapan mata dokter mor yang nyaman telah hilang. Dokter Mor menatap matanya dengan pandangan mata sangat licik. Sudut bibir dokter Mor tajam mengejeknya.
“Memangnya hanya kau yang memiliki masalah di dunia ini. Beribu-ribu orang kehilangan orang yang mereka cintai setiap harinya dan kau merasa dirimu sangat penting hingga aku harus menghiburmu? Dasar anak belagu. Kau menghabiskan waktuku saja.”
Dokter Mor membalikkan badannya, ingin kembali masuk ke pintu tangga dan turun dari gedung.
“Loncat saja sana.. dasar anak bodoh. Loncat dan kau masuk neraka. Biar pacarmu menyesal terpisah selamanya darimu di surga,” ujar dokter Mor tanpa melihatnya.
"Memangnya apa yang kau tahu tentang aku, Dokter MOR!" teriak Gil. Matanya penuh dengan air mata.
"Aku tak sanggup hidup tanpa dirinya!"
"Aku tahu kau. Kau hanya seorang pengecut. kau tidak berani loncat karena takut sakit, dan kau tidak berani hidup karena takut sakit hati lebih lama lagi. ini semua tidak ada hubungannya dengan pacarmu. Kau hanya egois memutuskan sepihak. Dasar pecundang."
"Kau bilang aku pecundang??"
"Kalau kau pemberani, buktikan! Loncat sekarang, atau hadapi hidupmu dan temui pacarmu di surga. Pilih salah satu!" bentak Dokter Mor.
Bibir gil gemetar keras mendengar perkataan Dokter Mor. Sedangkan dokter Mor, ia tidak urus. Ia hanya memalingkan wajahnya,
Dokter Mor menghilang masuk ke dalam pintu tangga menuju bawah. Ia tidak lagi melihat belakang karena mentari memang sudah masuk ke dalam cakrawala.
Sedangkan Gil, ia hanya menangis sekeras-kerasnya. Di pinggir gedung. Ia tidak tahu lagi apa yang diinginkannya.
Ia seakan-akan terbius dengan suara dokter Mor.
Spoiler for :
Dokter Mor menuruni tangga, ia melihat opsir-opsir sudah menunggunya.
"Bagaimana cara kau mendekatinya dokter Mor. Aku sudah mencoba dengan rokok, sama seperti itu. Tapi ia tetap tidak bergeming." Opsir Heim penasaran melihat anak itu tidak hanya bisa di dekati dokter Mor, tapi juga mau berbincang-bincang dengannya.
"Kau tidak mendekati wanita dengan sepuntung rokok."
"She is a girl? Not A boy?" gumam opsir Heim kaget.
“Tapi benarkah ia sudah mau turun,” tanya opsir Flitz gelagapan tidak begitu yakin dengan metode Dokter Mor.
“Sudah. Tapi saat ini, ia masih menangis.”
"Oh.. bagus."
"Kalau tidak ada apa-apa lagi.. saya mohon diri dulu, opsir."
"Satu pertanyaan lagi. Maaf Dokter Mor. Kau tidak punya istri kan?"
“Tidak.. Opsir. Tentu tidak.” Dokter Mor tersenyum dengan ramah. Ia kemudian menunduk, meminta undur diri, sambil memakai topinya dengan sopan dan turun menuruni tangga.
“Dokter Mor tidak pernah punya istri.” Opsir Heim menepuk pundak opsir Flitz.
Diubah oleh gigimudua 29-10-2014 17:49
0
1.5K
Kutip
1
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan