Pilkada Oleh DPRD Menurunkan Risiko Korupsi Kepala Daerah?
TS
hukumonline.com
Pilkada Oleh DPRD Menurunkan Risiko Korupsi Kepala Daerah?
Kabar ini yang sempat heboh akhir-akhir ini gan.. Perdebatan tentang Pilkada langsung dengan tidak nampak semakin memanas. Yang menarik, sesuatu yang mungkin dimulai dari sikap pragmatis Koalisi Merah Putih dalam ‘menyambut hangat’ Presiden terpilih Jokowi, menjadi sedikit lebih meluas karena ada pula pihak-pihak diluar Koalisi Merah Putih yang juga mendukung Pilkada oleh DPRD.
Menurut sumber di artikel ini, dasar argumentasi dari kubu pro Pilkada DPRD adalah data dari Kementerian Dalam Negeri bahwa sebagian besar kepala daerah terkena kasus korupsi. Data tersebut menyebutkan bahwa 327 kepala daerah dari 524 orang terkena proses hukum, 86 persen di antaranya kasus korupsi.
Karena seluruh kepala daerah adalah hasil pemilihan langsung, maka kubu pro Pilkada DPRD mengambil kesimpulan bahwa pilkada langsung memberikan hasil yang buruk.
Berdasarkan kesimpulan tersebut, banyak pihak yang Pro Pilkada DPRD berteori bahwa sebab utama yang menimbulkan sifat koruptif dari kepala daerah hasil pilkada langsung tersebut adalah biaya besar yang harus dikeluarkan oleh kepala daerah. Sehingga ketika jabatan diperoleh, kepala daerah terpilih mesti korupsi untuk mengembalikan modal ataupun pinjamannya.
Beberapa Fakta Penting
Spoiler for Beberapa Fakta Penting:
Sebelum kita membahas apakah sebab utama korupsi kepala daerah tersebut diatas, ada beberapa fakta penting yang harus saya ungkapkan. Dengan harapan ini bisa kita sepakati sebagai fakta.
Spoiler for Faktanya : :
Pertama, data tersebut diambil dari data Kementrian Dalam Negeri dari tahun 2004 hingga Februari 2013.
Kedua, pilkada langsung baru dilakukan setelah diundangkannya UU No.32/2004 pada tanggal 15 Oktober 2004.
Ketiga, upaya pemberatasan korupsi baru kembali mendapatkan momentumnya setelah dibentuknya KPK dengan UU No. 20/2002. Pimpinan KPK periode pertama dilantik pada Bulan Desember 2003. Pada tahun 2004, Pimpinan KPK lebih fokus pada pembangunan institusi. Dan karenanya, selama tahun 2004, KPK hanya melakukan penyidikan atas 3 buah kasus, 2 (dua) diantaranya adalah yang terkait dengan kepala daerah Nanggro Aceh Darusalam, yaitu kasus pengadaan helikopter milik Pemerintah Daerah Nanggroe Aceh Darusalam atas nama tersangka Gubenrnur Aceh (pilihan DPRD) pada saat itu, Abdullah Puteh, MS dan atas nama tersangka Bram H.D. Manoppo.
Apabila kita menyepakati ketiga fakta di atas, maka pengambilan kesimpulan bahwa pilkada langsung adalah penyebab dari perilaku koruptif seorang kepala daerah, adalah pengambilan kesimpulan yang tidak tepat. Salah satu alasannya adalah kita tidak memiliki data mengenai penindakan tindak pidana korupsi kepala dareah hasil pilihan DPRD selain kasus Gubernur Aceh yang merupakan salah satu kasus pertama KPK. Sehingga kita tidak bisa membandingkan keduanya secara apple to apple.
Namun demikian, kita tetap dapat mencoba melakukan perbandingan, yang bersifat prediktif, dengan menilai apakah teori biaya untuk menjadi kepala daerah benar menjadikan pilkada lewat DPRD lebih unggul.
Pilkada oleh DPRD menurunkan biaya calon?
Spoiler for Pilkada oleh DPRD menurunkan biaya calon?:
Sebagaimana disebutkan diatas, argumen utama pihak pro Pilkada oleh DPRD adalah kepala daerah akan lebih baik apabila dipilih DPRD karena “biaya” untuk menjadi kepala daerah menjadi berkurang.
Terlalu banyak tafsir atas apa yang diistilahkan dengan kata “biaya”. Atas dasar apa biaya dianggap dapat berkurang? Ada yang menyebut bahwa dengan pilkada lewat DPRD maka calon tidak perlu beriklan. Apakah benar dalam konteks pemilihan oleh DPRD iklan pada media tidak akan menjadi bagian dari strategi pemenangan? Coba kita lihat pengalaman pemilihan ketua partai beberapa tahun belakangan ini. Walaupun pemilihnya adalah pengurus partai, tetap saja persaingan citra melalui iklan dalam berbagai media nasional tetap dilakukan. Kecuali ada larangan tegas oleh undang-undang untuk beriklan dalam bentuk apapun, alasan menyangkut biaya iklan harus dianggap tidak relevan.
Biaya lain yang dianggap dapat “dihemat” melalui pemilihan tidak langsung adalah biaya ‘serangan fajar’. Seringkali argumentasi ini dibuat dengan membandingkan biaya ilegal guna ‘menyogok’ ratusan ribu atau jutaan pemilih lebih mahal dibandingkan dengan biaya illegal lainya yaitu dengan ‘menyogok’ anggota DPRD.
Ini juga bukan alasan yang baik. Secara logika, dalam ‘bertransaksi’ dengan masyarakat pemilih, calon lebih memiliki kontrol terhadap jumlah yang akan dia habiskan. Disamping itu, uang serangan fajar dikeluarkan tanpa kepastian untuk menang, secara manusiawi akan ada upaya untuk lebih mengontrol jumlah yang harus dihabiskan.
Bandingkan transaksi uang serangan fajar dengan transaksi dengan partai dan anggota DPRD. Dalam transaksi ini kontrol terhadap jumlah “biaya” ada di anggota DPRD dan partai. Karena keputusan terpilih atau tidaknya ada ditangan anggota DPRD yang jumlahnya segelintir itu. Apalagi dalam beberapa kasus korupsi melibatkan anggota parlemen, dapat dilihat adanya modus gerakan antar fraksi untuk dapat menggolkan sesuatu melalui parlemen.
Dalam konteks ini bukan tidak mungkin terjadi lelang untuk kandidat kepala daerah penawar tertinggi. Seberapa kemungkinan tersebut? Berdasarkan statistik KPK, kasus korupsi oleh anggota parlemen, termasuk DPRD, menduduki peringkat ketiga (75 kasus) setelah swasta (102 kasus) dan eselon I/II dan III (115 kasus). Dari data tersebut dapat disimpulkan terdapat risiko perilaku korupsi anggota parlemen sangat besar. Sebagai tambahan, kalau kita pinjam teori pro pilkada DPRD bahwa biaya tinggi kampanye adalah salah satu sebab utama korupsi, maka anggota DPRD bisa dianggap punya potensi besar korupsi untuk mengembalikan “modalnya” ketika mengikuti pemilihan langsung. Dan tentu saja kekuasaan untuk memilih kepala daerah dapat menjadi “komoditas unggulan” untuk mencapai tujuan tersebut.
Atas dasar itu sumber mengambil kesimpulan bahwa teori biaya tersebut sama sekali tidak berdasar dan tidak menjadikan pemilihan melalui DPRD menjadi lebih menarik. Bahkan dengan fakta korupsi anggota parlemen menduduki peringkat ketiga dalam statistik KPK, risiko permainan dalam pemilihan sangat besar.
Dengan risiko permainan dalam pemilihan yang sedemikian besar, kemungkinan bahwa proses pemilihan ini melahirkan kepala daerah yang baik dan tidak ikut dalam permainan curang itu sangat lah kecil. Sebaliknya dengan pemilihan secara langsung. Sudah menjadi fakta bahwa banyak kandidat kepala daerah tidak mengeluarkan biaya besar dan terpilih. Dan saat ini mereka menjadi harapan banyak anggota masyarakat untuk menjadi pimpinan Indonesia masa depan.
Dengan semakin banyaknya kepala daerah yang demikian, masyarakat umum akan sampai kepada kesimpulan bahwa manfaat jangka pendek dapat uang ‘serangan fajar’ tidak sebanding dengan manfaat jangka panjang mendapatkan pimpinan yang jujur serta amanah. Dengan harapan tersebut, kita saat ini boleh membayangkan bahwa suatu saat nanti, “serangan fajar” tidak akan memiliki pengaruh besar dalam proses pemilihan secara langsung di Indonesia.
Spoiler for Disclaimer::
Seluruh informasi yang disediakan oleh tim hukumonline.com dan diposting di Forum Melek Hukum pada website KASKUS adalah bersifat umum dan disediakan untuk tujuan pengetahuan saja dan tidak dianggap sebagai suatu nasihat hukum. Pada dasarnya tim hukumonline.com tidak menyediakan informasi yang bersifat rahasia, sehingga hubungan klien-advokat tidak terjadi. Untuk suatu nasihat hukum yang dapat diterapkan pada kasus yang sedang Anda hadapi, Anda dapat menghubungi seorang advokat yang berpotensi.