suheri.kwAvatar border
TS
suheri.kw
Tradisi perang tanding dan baku bunuh di Adonara NTT
Perang antardesa di Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur, NTT, bikin kita mengelus dada. Orang Lewobunga dan Lewonara bukan hanya berkelahi, tawuran, tapi baku bunuh. Gara-gara konflik tanah ulayat, orang Adonara yang masih bersaudara, sesama orang Lamaholot, melakukan perang terbuka pakai parang, kelewang, tombak, dan senjata tajam lain.

Belum ada tanda-tanda kapan konflik tradisional Lamaholot, yang lazim terjadi di era Hindia Belanda, ini akan selesai. Kalaupun berhenti perang, karena capek, siapa yang jamin di masa depan tak berulang? Ingat, dendam itu selalu diwarisi dari generasi ke generasi.

Saya, sebagai putra asli etnis Lamaholot, miris, sekaligus malu, melihat berita perang tanding Lewonara vs Lewobunga di televisi. Kok hari gini, era internet, globalisasi, masih ada baku bunuh antarsaudara di Adonara? Beginikah peradaban orang Lamaholot?

Ingat, Adonara, khususnya Adonara Timur, adalah pusat tradisi dan adat Lamaholot yang meliputi Kabupaten Flores Timur, Kabupaten Lembata, dan Kabupaten Alor. Apa jadinya kalau tradisi baku parang yang sudah tak relevan ini menular ke Lembata, Flotim daratan, Solor, Alor, Lembata, Pantar?

Saya mencoba mengirim SMS ke Pak Paulus, guru SMA di Surabaya, asal Adonara Barat. Kok bisa perang tanding antarkampung masih ada di Lewotanah? Saya jad miris, kata saya.

Pak Paulus membalas:

"MEMANG SESUAI DENGAN ETIMOLOGI, ADONARA ITU ADOK (ADU) DARA. TITE DOA SEMOGA BERA MELA. PADAHAL CAMAT ADONARA TIMUR NE TEMAN GOE, HAMA-HAMA KULIAH DI JOGJA NOLO, AMA."

Memang begitulah pendapat hampir semua orang Adonara kalau diajak bicara tentang perang tanding alias baku parang. Kata ADONARA dalam bahasa Lamaholot dicarikan etimologi sebagai justifikasi atau pembenaran. Bahwa saling bunuh gara-gara masalah tanah, yang sebetulnya bisa dibawa ke meja hukum atau pengadilan, dibicarakan bersama, menjadi hal yang biasa.

Tahun 1980-an ketika perang antardesa Redontena dan Adobala (kalau tidak salah), banyak tokoh di Flores Timur masih bisa menerima argumentasi tentang kebiasaan perang antarsuku itu. Tapi hari ini, tahun 2012? Ketika makin banyak orang Adonara jadi tokoh di NTT seperti Frans Lebu Raya, gubernur NTT sekarang, dan banyak tokoh lain di luar NTT asal Adonara... apakah baku bunuh itu masih relevan?

Teman-teman kita di Jawa tak habis pikir dengan tradisi yang masih primitif ini. Main gila dengan nyawa manusia jelas tak bisa dibenarkan dengan alasan apa pun. Apalagi hanya alasan etimologis. Belum kita bicara ajaran Katolik, yang melarang pembunuhan dan menekankan CINTA KASIH sesama manusia, yang terlalu sering disuarakan pastor-pastor di Flores. Pembunuhan dengan alasan apa pun tentu melawan hukum cinta kasih!

Dulu saya pernah diskusi dengan Pastor Lambertus Padji Seran SVD (sekarang almarhum) , pastor asli Adonara Timur, yang pensiun di Biara Soverdi Surabaya. Saya singgung masalah perang tanding ini. Pater Lambert waktu itu tak bisa bicara banyak. Sebab, pastor-pastor senior asli Adonara sekaliber beliau atau Monsinyur Pain Ratu SVD (Uskup Atambua emeritus) pun tak bisa berbuat banyak untuk menghentikannya.

"Sekarang sudah sangat jarang terjadi perang tanding. Mudah-mudahan di masa depan tidak ada lagi," kata Pater Lambert yang sangat dihormati di bumi Lamaholot itu.

Pater Lambert Padji sudah meninggalkan kita semua. Sayang, harapan beliau agar kampung halamannya tak ada lagi pertumpahan darah sia-sia belum menjadi kenyataan. Kasus perang tanding Lewonara vs Lewobunga membelalakkan mata kita semua. Bahwa mengikis tradisi dan adat lama di Lamaholot memang tidak mudah. Sama tak mudahnya dengan menyederhanakan adat belis yang sering mencekik leher keluarga para pemuda Lamaholot yang hendak menikah.

Saya tertegun membaca tulisan Laurensius Molan, orang Adonara, di internet. Dia mengutip buku ATA KIWAN karya Pastor Ernst Vatter SVD, misionaris Belanda, yang terbit tahun 1932 . Misionaris ini melukiskan Adonara sebagai Pulau Pembunuh alias The Killer Island. Sangat menyeramkan.

Pater Vatter menulis:

"Di Hindia Belanda bagian timur tidak ada satu tempat lain di mana terjadi begitu banyak pembunuhan seperti di Adonara. Hampir semua pembunuhan dan kekerasan, penyerangan dan kejahatan-kejahatan kasar lain, yang disampaikan ke Larantuka untuk diadili, dilakukan oleh orang-orang Adonara".

Pater Vatter melihat langsung apa yang terjadi pada tahun 1930-an di Pulau Adonara. Ironisnya, sampai sekarang masih terjadi. Sebuah kisah nyata yang kian melegitimasi Adonara sebagai Pulau Pembunuh.

Pastor Paul Ardnt SVD juga menceriterakan soal keganasan di Pulau Adonara. Sejak era 1900-an, kata misionaris ini, nama Adonara sudah dikenal oleh para misionaris dan bangsa Eropa yang singgah ke Flores.

Pater Ardnt menulis:

"Misionaris dari Eropa mengenal Adonara bukan karena keindahan alam atau kecerdasan masyarakatnya, tetapi karena kekejaman dan berbagai tindak kekerasan yang terjadi di sana."

Syukurlah, Gubernur NTT Frans Lebu Raya, yang asli Adonara, melontarkan pernyataan yang patut disimak. Politikus PDI Perjuangan ini mengatakan:

"Apa yang kita banggakan dengan sebutan Adonara sebagai Pulau Pembunuh? Kita sudah berada pada zaman berbeda. Semua persoalan tidak harus diselesaikan dengan pertumpahan darah. Perang tanding antara suku Lewonara dan Lewobunga harus segera diakhiri!"

Tak hanya Lewonara vs Lewobunga, Pak Gubernur, jangan ada lagi pertumpahan darah di bumi Lamaholot dan NTT!!
0
5.4K
2
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan