- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
GHIBAH alias RASAN-RASAN


TS
hardy2000
GHIBAH alias RASAN-RASAN
Spoiler for Ghibah:
Seorang bertanya tentang ghibah. Saya pernah mendengar seorang ustadz berkata Ghibah itu membicarakan orang lain yang sedang tidak ada di situ, padahal jika orang yang dibicarakan itu mendengarnya, dia merasa tidak suka.
Jadi jelas, ghibah tidak memandang apa yang dibicarakan itu benar apa salah. Walaupun yang dibicarakan itu benar, jika ybs nggak suka, maka sudah termasuk ghibah. Apalagi jika yang dibicarakan nggak bener...... lebih parah lagi.
Aku ini bicara "saknyatane". Aku bicara apa adanya. Apa yang saya omongkan tentang dia adalah fakta, saya berani bersumpah! Seringkali kita mendengar orang berkata seperti itu. Padahal...... ghibah ya ghibah. Gak peduli itu benar!
Sebatas mana kita boleh membicarakan orang lain? Bagaimana jika kita dicurhati seseorang, kemudian mrembet kemana mana? Jika diterima, kita masuk ghibah, jika ditolak, entar orang tersebut tersinggung? Seorang wanita bertanya kepadaku.
Susah juga menjelaskan. Benar.... itu sudah merupakan ghibah. Tapi bagaimana untuk menghindar di jaman superghibah ini?
Sementara acara infotainment (di luar bahwa itu settingan) maka jika benar benar membicarakan orang lain, jelas masuk dalam kategori ghibah.
Kalau begitu semua psikolog termasuk ghibah? Wanita itu masih mengejar lagi.
Wah, kalau itu saya tidak tahu. Tapi yang jelas, sebagai expert, seorang psikolog harus profesional. Dan tahu kode etik batasan yang boleh dan tidak boleh.
Memang ada beberapa ghibah yang diperbolehkan :
Imam Nawawi menilai ada enam hal gibah yang diperbolehkan dengan tujuan dibenarkan syariat.
Pertama, pengaduan kezaliman
Kedua, untuk meminta pertolongan guna mengubah kemungkaran
Ketiga, untuk meminta fatwa
Keempat, untuk mengingatkan orang Islam agar mewaspadai kejahatan dan menasihati mereka
Kelima, penyebutan tindakan kejahatan yang dilakukan secara terang-terangan
Keenam, diperbolehkannya gibah untuk tujuan identifikasi
Pendapat Imam Nawawi ini disanggah Asy-Syaukani dalam risalahnya Ra’fur Raybah ‘Ammaa Yajuuzu wa Maa Laa Yajuuzu minal Ghibah. Menurut Asy-Syaukani ketentuan haramnya gibah sudah terkukuhkan melalui Alquran, sunah, dan ijma para ulama. Bentuk pengharaman gibah dalam nash-nash di Alquran dan sunah juga bersifat umum yang ditujukan kepada setiap individu Muslim. Menurutnya, tidak boleh mengubah ketentuan haram tersebut menjadi halal pada kondisi dan individu tertentu. *)
Kayaknya sangat susah untuk menghindar dari ghibah di masa seperti sekarang ini
Ya Allah ampunilah kami!
Jadi jelas, ghibah tidak memandang apa yang dibicarakan itu benar apa salah. Walaupun yang dibicarakan itu benar, jika ybs nggak suka, maka sudah termasuk ghibah. Apalagi jika yang dibicarakan nggak bener...... lebih parah lagi.
Aku ini bicara "saknyatane". Aku bicara apa adanya. Apa yang saya omongkan tentang dia adalah fakta, saya berani bersumpah! Seringkali kita mendengar orang berkata seperti itu. Padahal...... ghibah ya ghibah. Gak peduli itu benar!
Sebatas mana kita boleh membicarakan orang lain? Bagaimana jika kita dicurhati seseorang, kemudian mrembet kemana mana? Jika diterima, kita masuk ghibah, jika ditolak, entar orang tersebut tersinggung? Seorang wanita bertanya kepadaku.
Susah juga menjelaskan. Benar.... itu sudah merupakan ghibah. Tapi bagaimana untuk menghindar di jaman superghibah ini?
Sementara acara infotainment (di luar bahwa itu settingan) maka jika benar benar membicarakan orang lain, jelas masuk dalam kategori ghibah.
Kalau begitu semua psikolog termasuk ghibah? Wanita itu masih mengejar lagi.
Wah, kalau itu saya tidak tahu. Tapi yang jelas, sebagai expert, seorang psikolog harus profesional. Dan tahu kode etik batasan yang boleh dan tidak boleh.
Memang ada beberapa ghibah yang diperbolehkan :
Imam Nawawi menilai ada enam hal gibah yang diperbolehkan dengan tujuan dibenarkan syariat.
Pertama, pengaduan kezaliman
Kedua, untuk meminta pertolongan guna mengubah kemungkaran
Ketiga, untuk meminta fatwa
Keempat, untuk mengingatkan orang Islam agar mewaspadai kejahatan dan menasihati mereka
Kelima, penyebutan tindakan kejahatan yang dilakukan secara terang-terangan
Keenam, diperbolehkannya gibah untuk tujuan identifikasi
Pendapat Imam Nawawi ini disanggah Asy-Syaukani dalam risalahnya Ra’fur Raybah ‘Ammaa Yajuuzu wa Maa Laa Yajuuzu minal Ghibah. Menurut Asy-Syaukani ketentuan haramnya gibah sudah terkukuhkan melalui Alquran, sunah, dan ijma para ulama. Bentuk pengharaman gibah dalam nash-nash di Alquran dan sunah juga bersifat umum yang ditujukan kepada setiap individu Muslim. Menurutnya, tidak boleh mengubah ketentuan haram tersebut menjadi halal pada kondisi dan individu tertentu. *)
Kayaknya sangat susah untuk menghindar dari ghibah di masa seperti sekarang ini
Ya Allah ampunilah kami!
Spoiler for Sumber dari Republika:
Gibah yang Diperbolehkan
Jumat, 23 Mei 2014, 13:36 WIB
oleh:Hafidz Muftisani--Jelang pemilihan umum April lalu, bertebaran aneka informasi yang menilai, membahas, bahkan membongkar sepak terjang calon wakil rakyat. Beberapa memiliki sumber yang jelas, namun tak kalah banyak sumber anonim yang ujungnya pada gibah atau fitnah.
Kampanye hitam dan negatif bertebaran di media sosial. Kini situasi serupa juga terjadi. Menjelang pemilihan umum presiden, tiap-tiap calon pemimpin negeri dikuliti luar dalam. Bolehkah melakukan gibah untuk mengenal sosok pemimpin lebih dalam?
Gibah bisa diartikan membicarakan sesuatu yang benar tanpa sepengetahuan orang yang dibicarakan. Dan, biasanya yang dibicarakan tersebut dibenci oleh orang yang digibah. Dalam sebuah hadis riwayat Muslim, Nabi menjelaskan, jika yang dibicarakan betul,jatuhnya ke gibah, jika yang dibicarakan dusta, jatuhnya pada fitnah.
Imam Nawawi secara lugas dalam al-adzkar mengatakan yang termasuk gibah adalah membicarakan sesuatu yang dibenci baik tentang agama, fisik, perilaku, harta, orang tuanya, anak istrinya, raut muka baik dengan ucapan, tanda, atau sekadar isyarat.
Ancaman bagi orang yang melakukan gibah, seperti tertera dalam Alquran surah al-Hujurat ayat 12, seperti memakan daging saudaranya yang sudah mati. Dalam kaidah tersebut, jelas baik gibah maupun fitnah hukumnya terlarang.
Namun ternyata, menurut Imam Nawawi dalam Riyadhush Shalihin memaparkan bahwa ada jenis-jenis gibah yang diperbolehkan. Namun, sebelum masuk dalam bab diperbolehkannya gibah, Imam Nawawi terlebih dahulu menguraikan panjang lebar tentang haramnya gibah dan perintah menjaga lisan. Bab selanjutnya juga diterangkan larangan orang untuk mendengarkan gibah. Bahkan, seseorang dianjurkan untuk memberi peringatan kepada yang mengibah atau meninggalkan majelis tersebut. Artinya, sebisa mungkin setiap mukmin menghindari gibah untuk kepentingan sendiri atau kelompok. Meskipun di bab selanjutnya Imam Nawawi merinci beberapa gibah yang diperbolehkan.
Imam Nawawi menilai ada enam hal gibah yang diperbolehkan dengan tujuan dibenarkan syariat. Pertama, pengaduan kezaliman. Seseorang yang dizalimi boleh mengadukan perkaranya kepada penguasa, hakim, atau pihak lain yang berkuasa. Harapannya, ia dapat menyadarkan orang yang menzaliminya.
Kedua, untuk meminta pertolongan guna mengubah kemungkaran. Misalnya, seseorang berkata kepada orang yang memiliki kuasa untuk menghalau kemungkaran, “Si fulan telah melakukan ini maka cegahlah dia.” Kaidah ini sangat dikhususkan untuk maksud menghilangkan kemungkaran. Jika tidak masuk tujuan itu maka hukumnya haram.
Ketiga, untuk meminta fatwa. Dalam hal ini kepada mufti atau ulama. Misalnya, seseorang mengatakan, “Ayahku melakukan ini dan itu, bagaimana hukumnya?” Namun alangkah lebih baik jika meminta fatwa menggunakan kata kiasan sehingga tidak langsung menjurus kepada orang per orang. Misalnya, “Seorang lelaki melakukan ini dan itu.”
Keempat, untuk mengingatkan orang Islam agar mewaspadai kejahatan dan menasihati mereka. Dalam kaidah keempat ini ada empat kejadian yang masuk kategori diperbolehkan gibah. Yakni, menyebutkan kekurangan para perawi hadis. Ijma ulama membolehkan, bahkan bisa menjadi wajib sesuai kebutuhan. Selanjutnya, musyawarah dalam perjodohan, penitipan, muamalah, dan bertetangga. Dalam hal ini orang yang diajak musyawarah tidak boleh menyembunyikan kondisi dirinya. Kemudian, menasihati seseorang yang terus mendatangi ahli bid’ah untuk belajar ilmu. Penyampian keadaan tentang bahaya ahli bid’ah tersebut diperbolehkan dengan niat untuk menasihati.
Lalu, diperbolehkan menasihati penguasa yang tidak menjalankan kewajibannya dengan aturan. Entah karena pejabat tersebut berbuat zalim, lalai, atau tidak berkapasitas memegang amanah. Tujuan menyampaikan keburukan pejabat tersebut agar diganti oleh atasan yang bersangkutan.
Kelima, penyebutan tindakan kejahatan yang dilakukan secara terang-terangan. Jika perbuatan maksiat tersebut tidak dilakukan secara terang-terangan, haram hukumnya untuk diungkapkan.
Terakhir, diperbolehkannya gibah untuk tujuan identifikasi. Apabila seseorang dikenal dengan julukan tertentu, menurut Imam Nawawi, ia diperbolehkan diidentifikasi dengan julukan tersebut. Misalnya si tuli, si buta, dan lainnya. Namun, jika tujuan memanggilnya untuk tujuan menghina maka hukumnya menjadi haram.
Pendapat Imam Nawawi ini disanggah Asy-Syaukani dalam risalahnya Ra’fur Raybah ‘Ammaa Yajuuzu wa Maa Laa Yajuuzu minal Ghibah. Menurut Asy-Syaukani ketentuan haramnya gibah sudah terkukuhkan melalui Alquran, sunah, dan ijma para ulama. Bentuk pengharaman gibah dalam nash-nash di Alquran dan sunah juga bersifat umum yang ditujukan kepada setiap individu Muslim. Menurutnya, tidak boleh mengubah ketentuan haram tersebut menjadi halal pada kondisi dan individu tertentu.
Asy-Syaukani mengharuskan ada dalil khusus untuk mengubah ketentuan hukum gibah tersebut. Jika tidak maka perbuatan gibah yang diperbolehkan termasuk mengada-ada terhadap Allah.
Asy-Syaukani mengharuskan ada dalil khusus untuk mengubah ketentuan hukum gibah tersebut. Jika tidak maka perbuatan gibah yang diperbolehkan termasuk mengada-ada terhadap Allah.
Jumat, 23 Mei 2014, 13:36 WIB
oleh:Hafidz Muftisani--Jelang pemilihan umum April lalu, bertebaran aneka informasi yang menilai, membahas, bahkan membongkar sepak terjang calon wakil rakyat. Beberapa memiliki sumber yang jelas, namun tak kalah banyak sumber anonim yang ujungnya pada gibah atau fitnah.
Kampanye hitam dan negatif bertebaran di media sosial. Kini situasi serupa juga terjadi. Menjelang pemilihan umum presiden, tiap-tiap calon pemimpin negeri dikuliti luar dalam. Bolehkah melakukan gibah untuk mengenal sosok pemimpin lebih dalam?
Gibah bisa diartikan membicarakan sesuatu yang benar tanpa sepengetahuan orang yang dibicarakan. Dan, biasanya yang dibicarakan tersebut dibenci oleh orang yang digibah. Dalam sebuah hadis riwayat Muslim, Nabi menjelaskan, jika yang dibicarakan betul,jatuhnya ke gibah, jika yang dibicarakan dusta, jatuhnya pada fitnah.
Imam Nawawi secara lugas dalam al-adzkar mengatakan yang termasuk gibah adalah membicarakan sesuatu yang dibenci baik tentang agama, fisik, perilaku, harta, orang tuanya, anak istrinya, raut muka baik dengan ucapan, tanda, atau sekadar isyarat.
Ancaman bagi orang yang melakukan gibah, seperti tertera dalam Alquran surah al-Hujurat ayat 12, seperti memakan daging saudaranya yang sudah mati. Dalam kaidah tersebut, jelas baik gibah maupun fitnah hukumnya terlarang.
Namun ternyata, menurut Imam Nawawi dalam Riyadhush Shalihin memaparkan bahwa ada jenis-jenis gibah yang diperbolehkan. Namun, sebelum masuk dalam bab diperbolehkannya gibah, Imam Nawawi terlebih dahulu menguraikan panjang lebar tentang haramnya gibah dan perintah menjaga lisan. Bab selanjutnya juga diterangkan larangan orang untuk mendengarkan gibah. Bahkan, seseorang dianjurkan untuk memberi peringatan kepada yang mengibah atau meninggalkan majelis tersebut. Artinya, sebisa mungkin setiap mukmin menghindari gibah untuk kepentingan sendiri atau kelompok. Meskipun di bab selanjutnya Imam Nawawi merinci beberapa gibah yang diperbolehkan.
Imam Nawawi menilai ada enam hal gibah yang diperbolehkan dengan tujuan dibenarkan syariat. Pertama, pengaduan kezaliman. Seseorang yang dizalimi boleh mengadukan perkaranya kepada penguasa, hakim, atau pihak lain yang berkuasa. Harapannya, ia dapat menyadarkan orang yang menzaliminya.
Kedua, untuk meminta pertolongan guna mengubah kemungkaran. Misalnya, seseorang berkata kepada orang yang memiliki kuasa untuk menghalau kemungkaran, “Si fulan telah melakukan ini maka cegahlah dia.” Kaidah ini sangat dikhususkan untuk maksud menghilangkan kemungkaran. Jika tidak masuk tujuan itu maka hukumnya haram.
Ketiga, untuk meminta fatwa. Dalam hal ini kepada mufti atau ulama. Misalnya, seseorang mengatakan, “Ayahku melakukan ini dan itu, bagaimana hukumnya?” Namun alangkah lebih baik jika meminta fatwa menggunakan kata kiasan sehingga tidak langsung menjurus kepada orang per orang. Misalnya, “Seorang lelaki melakukan ini dan itu.”
Keempat, untuk mengingatkan orang Islam agar mewaspadai kejahatan dan menasihati mereka. Dalam kaidah keempat ini ada empat kejadian yang masuk kategori diperbolehkan gibah. Yakni, menyebutkan kekurangan para perawi hadis. Ijma ulama membolehkan, bahkan bisa menjadi wajib sesuai kebutuhan. Selanjutnya, musyawarah dalam perjodohan, penitipan, muamalah, dan bertetangga. Dalam hal ini orang yang diajak musyawarah tidak boleh menyembunyikan kondisi dirinya. Kemudian, menasihati seseorang yang terus mendatangi ahli bid’ah untuk belajar ilmu. Penyampian keadaan tentang bahaya ahli bid’ah tersebut diperbolehkan dengan niat untuk menasihati.
Lalu, diperbolehkan menasihati penguasa yang tidak menjalankan kewajibannya dengan aturan. Entah karena pejabat tersebut berbuat zalim, lalai, atau tidak berkapasitas memegang amanah. Tujuan menyampaikan keburukan pejabat tersebut agar diganti oleh atasan yang bersangkutan.
Kelima, penyebutan tindakan kejahatan yang dilakukan secara terang-terangan. Jika perbuatan maksiat tersebut tidak dilakukan secara terang-terangan, haram hukumnya untuk diungkapkan.
Terakhir, diperbolehkannya gibah untuk tujuan identifikasi. Apabila seseorang dikenal dengan julukan tertentu, menurut Imam Nawawi, ia diperbolehkan diidentifikasi dengan julukan tersebut. Misalnya si tuli, si buta, dan lainnya. Namun, jika tujuan memanggilnya untuk tujuan menghina maka hukumnya menjadi haram.
Pendapat Imam Nawawi ini disanggah Asy-Syaukani dalam risalahnya Ra’fur Raybah ‘Ammaa Yajuuzu wa Maa Laa Yajuuzu minal Ghibah. Menurut Asy-Syaukani ketentuan haramnya gibah sudah terkukuhkan melalui Alquran, sunah, dan ijma para ulama. Bentuk pengharaman gibah dalam nash-nash di Alquran dan sunah juga bersifat umum yang ditujukan kepada setiap individu Muslim. Menurutnya, tidak boleh mengubah ketentuan haram tersebut menjadi halal pada kondisi dan individu tertentu.
Asy-Syaukani mengharuskan ada dalil khusus untuk mengubah ketentuan hukum gibah tersebut. Jika tidak maka perbuatan gibah yang diperbolehkan termasuk mengada-ada terhadap Allah.
Asy-Syaukani mengharuskan ada dalil khusus untuk mengubah ketentuan hukum gibah tersebut. Jika tidak maka perbuatan gibah yang diperbolehkan termasuk mengada-ada terhadap Allah.
Spoiler for Link:
http://www.republika.co.id/berita/koran/dialog-jumat/14/05/23/n60jc411-gibah-yang-diperbolehkan


madjoeki memberi reputasi
1
3.6K
Kutip
10
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan