1. Poros Maritim, adalah produk khas 'media'?
Mengenai ini, saya harus katakan kalau ini mungkin adalah tulisan saya yang paling gila. Ya! Produk 'beauty contest' satu ini, ketika saya corat-coret, merujuk kepada produk khas 'media', bukan 'teknokrat'. Lho Kok Bisa? TS mabok?

Produk khas teknokrat, atau khas kaum cendekiawan teknologi atau sistem, adalah produk yang tersistematic. Setidaknya, sebelum wacana itu dilontarkan ke publik, seorang teknokrat umumnya akan mendefinisikan (paling tidak) hal-hal berikut:
- Ruang lingkup
- Sumber
- Input
- Proses
- Kontrol
- Output / hasil
- User / Pengguna
- Mitigasi dan evaluasi
- Development
Dengan kata lainnya, proses penyusunannya a la teknokrat biasanya, lumrahnya, umumnya, selalu 'dari bawah ke atas', dari printilan ke kesimpulan.



Sedangkan dari media, terbalik, mereka selalu memulai dari 'atas ke bawah', dari suatu kejadian, kemudian diproporsikan printilannya. Bisa dilihat dari pola pemberitaan media, yang meliput dari suatu kejadian, kemudia dibreakdown ke kejadian pendukung. (pengecualian: sebuah liputan khusus yang mengangkat satu fenomena anomali tertentu, ini adalah produk yang disusun secara teknokratik dan melibatkan seorang teknokrat dalam penyusunannya).



Buktinya ide 'poros maritim' sebagai sebuah produk media, adalah timing kapan waktu wacana itu dilontarkan. Sesuai fakta, wacana poros maritim tersebut, dilempar ke publik dahulu, namun hingga kini, penjabarannya baru dalam tahap didefinisikan, sehingga baru diketahui sekarang kalau realisasinya tidak bisa dalam 1 periode jabatan (5 tahun), dan dianggap 'omong kosong'. Melihat pola di atas, mudah dipastikan, memang poros maritim itu, adalah wacana kerja, bukan program kerja, dan merupakan sebuah produk media.

Sekali lagi saya tegaskan, kalau wacana tersebut baik adanya dan mungkin adalah sebuah wacana yang lebih baik daripada tanpa wacana tanpa inovasi. Hanya saja, sebagai 'pengguna informasi', ada baiknya kita tidak terlalu overhype, melebihi realita, dan menolak fakta khususnya.



Tambahan: Wacana kerja bisa diartikan sebagai wacana kampanye, sedangkan program kerja, adalah apa yang dikerjakan bila terpilih (mohon masukannya jika ada penataan kata dan bahasa yang keliru y)

2. Media, tidak 100% memberikan semua pemaparan dan identitas definisi yang ada, tidak netral?

Menyoroti hal ini, ini adalah pemikiran gila lainnya, yang jika bisa, saya ingin munculnya diwacanakan orang lain saja, hahahaha. Kok Bisa? Terlepas dari survei bayaran yang turut menjadi fenomena, sesungguhnya kita lupa kalau media itu juga diisi oleh 'manusia'. Yang tidak luput dari kecondongan pada suatu ideologi, pada suatu kebenaran, pada suatu sosok yang disukainya.



Fenomena ini muncul dan menyadarkan saya, ktika salah seorang calon menyambangi sebuah daerah wisata kelas internasional di Indonesia. Kunjungan beliau tentu saja untuk mengunjungi pendukung yang disebut media berkisar berapa ratus ribu lah, di salah satu stadium olahraga, yang saya tahu sebagai salah satu stadium kelas...(mohon maaf) 'antar kampung' alias tidak mungkin bisa menampung massa sebanyak itu. Dan saya yakin, terjadi 'lies before your eyes' oleh media pendukung yang meliput beliau.



Disisi calon lain, sebuah jargon 'tanpa syarat' dikumandangkan dan menyebabkan 'kegilaan'. Suka tidak suka, sebuah kecelakaan telah melahirkan sebuah 'pelintiran' yang berujung menjadi penggiringan opini. Kok bisa? ya, pelintiran tersebut adalah, 'tanpa syarat', sebenarnya berarti 'Kami yang atur semuanya secara sepihak, anda ga boleh nuntut ini itu kalau mau gabung/ikutan', dipelintir menjadi 'bebas transaksi, full objektif dan sesuai apa yang dibutuhkan secara teknis dan profesi'. Saya tidak tahu apakah otag saya yang kurang ajar ini, ngikut orang lain jadi 'pura-pura gila', ataukah otag kurang ajar ini ud harus diganti spare-partnya hahahaha.



Kesimpulannya, 2 fenomena di atas, setidaknya sudah cukup membuat saya tahu, kalau, yaaa, media juga diisi orang, jadi kalau mereka milih siapa, ya kita lihat saja. Janganlah kita terlalu terpaku pada satu media, memegang teguh prinsip 'harusnya menjaga netralitas'.

Kita adalah pengguna informasi, hendaknya juga memilih informasi yang kita akan gunakan.

Benarkah media dibayar untuk menyorot seseorang?

Mungkin, bagi sebagian media yang secara terang-terangan cenderung berat sebelah dan digunakan sebagai sebuah corong, ya. Mereka menerima bayaran untuk melakukan publikasi.



Namun, terkait pemberitaan yang masif akhir2 ini mengenai beberapa nama, kejadian, dan fenomena, saya rasa tidak. Kenapa? Seperti yang saya paparkan diatas, mata 'market' sedang menuju kesana, ke arah beliau-beliau tersebut, sedang melihat fenomena yang sedang terjadi tersebut. Seiring dengan itu, media merespon dengan berusaha keras menyediakan semua yang bisa disediakan kepada 'market'. Secara logika, akan sangat gila sekali kalau ketika publik sedang menginginkan 'A', malah yang disediakan itu 'X'.Hal ini menyebabkan lahirnya opini 'jangan-jangan dibayar untuk memberitakan' dari kubu seberang.