Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

C|ouDAvatar border
TS
C|ouD
Sejarah Guling
Siapa tidak kenal guling? mayoritas dari kita semua pasti mengenal guling, bahkan mungkin punya kenang-kenangan tersendiri dengan benda lonjong ini. entah kenangan berantem sama adik/kakak waktu kecil karena rebutan guling, atau membanting-banting guling lantaran terobsesi sehabis nonton film smack down (bukan curhat kok…emoticon-Big Grin) atau juga kisah yang lainnya. Nah, tahukah teman-teman kalau guling itu produk asli Indonesia? Teman-teman yang suka bepergian (travelling) tentu sering keluar masuk hotel dari bintang tiga hingga bintang lima atau bahkan bintang tujuh (alias pusing gak dapet tempat tinggal…hehe), pernah tidak memperhatikan adanya guling di hotel? Dari beberapa kali saya menginap di hotel saya tidak menemukan guling hanya ada bantal tok.Ternyata, selidik punya selidik, hal ini wajar mengingat hotel adalah produk dari barat, sudah pasti segala hal yang berhubungan dengannya juga berbau barat termasuk tidak adanya guling ini yang memang tidak dikenal dalam budaya barat. Nah, pada tulisan ini saya ingin bercerita dikit berkaitan dengan sejarah guling ini.

Secara konsep, guling sudah dikenal oleh masyarakat asia timur dan asia tenggara semenjak beberapa abad yang lalu. Di China misalnya, guling terbuat dari bambu sebagai batasan tempat tidur bangsawan-bangsawan china kuno agar mereka tidak terjatuh dari tempat tidur karena terguling-guling pada saat tidur dan selain sebagai teman tidur tentunya. Mereka menamakan guling ini dengan istilah “bamboo wife” atau Zhufuren. Di Korea selatan guling disebut dengan Jukbuin (죽부인, 竹夫人) atau juga Chikufujin. Di Indonesia sendiri, konsep guling juga sama halnya seperti yang ada di China dan Korea itu. Tapi kok guling yang kita kenal sekarang bukan bambu lagi tapi berisi kapuk? Nah, jawabannya bisa kita dapatkan dengan menghubungkan masuknya penjajah belanda ke Indonesia. Sudah jamak dalam pengetahuan sejarah kolonial bahwa orang-orang yang dikirim ke sebuah wilayah koloni adalah orang-orang yang kalah di negaranya sendiri (seperti orang Inggris yang ke Amerika), tak terkecuali bagi orang belanda. Mereka yang tidak mendapatkan kehidupan yang layak di dalam negeri memutuskan untuk pergi “merantau” ke nusantara terutama jawa. Kepergian mereka ini tidak disertai oleh keluarga mereka, lah boro-boro mau bawa keluarga, untuk bisa mengongkosi diri mereka sendiri saja sudah syukur. Jadi, mayoritas mereka yang berangkat adalah jombloers murni dan pria beristeri namun tidak membawa isterinya.
Sesampainya di nusantara, perjuangan (cek ile, pendzoliman kali…hehe) mereka mulai menuai hasil, kebanyakan mereka menjadi orang-orang sukses (di atas penderitaan rakyat nusantara tentunya). Sebagai seorang manusia, ditengah bergelimangnya harta, timbul rasa kesepian di jiwa mereka, mereka mulai membutuhkan “teman” dalam rumah mereka. Akhirnya mereka mulai memutuskan untuk beristeri. hanya saja jumlah perempuan belanda (jufrow, nefrouw atau noni) sangat sedikit jumlahnya, satu-satunya alternatif adalah perempuan pribumi. Namun, tidak semua bisa menikmati hal ini karena terbentur peraturan di Hindia. Hanya mereka yang mempunyai jabatan tinggi dan kekuasaan ekonomi-politik yang besar saja yang bisa menikahi wanita pribumi (sekedar info saja, wanita pribumi yang dinikahi ini dikenal dengan sebutan “nyai”, secara hukum adat dan terkadang juga agama mereka sah menjadi isteri orang belanda, tapi secara hukum mereka tidak diakui sebagai isteri karena mereka berdarah pribumi—semacam pernikahan bawah tangan pada masa sekarang—seperti yang kita ketahui pada saat itu penduduk di jawa terbagi atas kelas-kelas, eropa, indo, timur jauh dan arab, dan pribumi (baru pada tahun 1900’an orang jepang mulai disejajarkan dengan eropa)).
Bagi mereka yang tidak punya jabatan dan kekuasaan yang besar, akhirnya memutuskan untuk membuat sendiri teman tidur mereka, guling kuno yang terbuat dari bambu mereka modif dengan segala cara yang akhirnya terbentuk seperti guling yang kita kenal sekarang. Orang pribumi kemudian menyebut guling itu dengan penuh kekaguman dengan sebutan “Dutch wife” alias isteri wong londo. Sedangkan orang Inggris dan Prancis menyebutnya juga dengan “dutch wife” hanya saja dengan nada mengejek, orang Inggris dan Prancis meledek orang belanda karena tidak mampu membawa keluarga mereka di eropa sana dan malah membuat guling. Semenjak itu maka guling yang berisi kapuk berbalut kain menjadi sesuatu yang melekat pada orang Indonesia bahkan sampai saat ini saat belanda tidak lagi menjajah negara kita.

Itulah kira-kira sejarah guling, tentu saja ke ilmiahannya masih perlu dipertanyakan dan ditelit lebih dalam oleh para sejarawan. Namun untuk orang awam non sejarawan seperti kita penjelasan cukup untuk sekedar pengetahuan saja. Oh ya, dosen saya pernah bercerita bahwa ia pernah mengalami kegalauan tingkat tinggi saat sedang studi di Inggris, lantaran di Inggris gak ada guling bahkan jualannya pun gak ada. Oleh karena itu, marilah mulai sekarang kita sayangi guling kita sebelum guling kita diakui oleh negara lain..hehe

Sumber:
Pramoedya Ananta Toer. 2009 (cet. Ke-7). Tetra logi Pulau Buru. Jakarta: Lentera Dipantara
http://en.wikipedia.org/wiki/Zhufuren
0
2K
10
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan