- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Menjadi Oposisi, Pilihan Politik Mulia & Terhormat


TS
hamrunimae
Menjadi Oposisi, Pilihan Politik Mulia & Terhormat
Kamis malam, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Hamdan Zoelva mengetukkan palu vonis untuk perkara perselisihan hasil Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) 2014. MK “menolak” seluruh permohonan capres/cawapres Prabowo Subianto-Hatta Rajasa untuk membatalkan keputusan KPU yang telah memenangkan Jokowi-JK. Vonis ini sekaligu menyatkana Jokowi-JK terpilih sebagai presiden/wapres.
Hari itu juga pemberitaan ramai dengan soal putusan MK itu, sudah benar atau salah? Kalau kita menjelajahi pemberitaan pers dan media sosial, memang masih terjadi kontroversi. Namun, betapapun kontroversialnya, putusan MK itu bersifat final dan wajib dilaksanakan. Vonis MK harus diikuti dan dilaksanakan bukan karena benar dan bagus, melainkan karena ditetapkan oleh hakim untuk menyelesaikan sengketa yang ditanganinya. Di dalam ushul fiqh (metodologi hukum Islam) yang juga berlaku universal dalam hukum ada kaidah hukmul haakim yarfahukmul haakim yarfaul khilaaf, keputusan hakim mengakhiri perselisihan. Selesai!
Kini pasangan Jokowi - JK telah resmi sebagai presiden dan wakil presiden Republik Indonesia periode. Selanjutnya pemberitaan pun mengalir seputar Kabinet Jokowi dan Nasib Koalisi Merah Putih. Apakah terus berkoalisi sampai lima tahun kedepan, atau bubar jalan. Kalau memperturutkan syahwah kekuasaan, tentu pilih bubar. Apalagi iming-iming jabatan menteri sungguh menggoda.
Belum sempat menarik nafas, Koalisi Merah Putih yang baru terpukul karena palu vonis MK langsung dibidik. Partai Koalisi Merah putih ditembak satu persatu Demokrat, PPP dan Golkar. Bahkan PAN yang Ketumnya Hatta Rajasa menjadi Cawapres Prabowo tak luput dari sasaran. Ada juga dengan cara memakai orang dalam, seperti elit partai anggota Koalisi Merah Putih, mereka ingin segera mengganti Ketuanya yang mendukung Prabowo dengan Ketua baru untuk segera putar haluan.
Elite Golkar yang dimotori Agung Laksono mewacanakan musyawarah nasional (munas) pada Oktober 2014, dipercepat dari yang seharusnya pada 2015 sebagaimana kesepakatan Munas VIII di Riau. Agung Laksono, tanpa basa-basi menyatakan akan mendukung pemerintahan Jokowi-JK.
Hal yang sama juga tengah menimpa PPP. Elite partai seperti Hamzah Haz sampai turun gunung. Elite partai PPP menggalang untuk mengadakan Munas yang dipercepat. Sejauh ini Golkar dan PPP tetap solid di KMP.
Biaya demokrasi yang mahal membuat partai berusaha mencari masukan dana dan itu hanya ada jika masuk kepemerintahan. Jadinya partai berlomba-lomba untuk bancakan APBN. Ironis memang partai politik menggantungkan hidupnya pada kekuasaan. Politik semata-mata dimaknai, seperti yang dikatakan Harold D. Lasswell, sebagai siapa memperoleh apa, kapan, dan bagaimana (who gets what, when and how).
Tesis Lord Acton yang sangat terkenal, kekuasaan cenderung korup dan kekuasaan absolut cenderung korup secara mutlak (power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely), menemukan pembenaran.
Padahal dalam Trias politika harus ada tiga kekuatan politik, Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif. Kekuatan penyeimbang tidak dapat dibantah merupakan prasyarat mutlak (conditio sine qua non) bagi tegaknya demokrasi di negeri ini. Namun lagi-lagi pragmatism politk menutup mata batin elit parpol.
Padahal apa salahnya belajar dari musuh. Musashi seorang samurai Jepang pernah berkata bahwa “Musuh adalah guru yang menyamar”. KMP bisa belajar dari PDIP yang 10 tahun menjadi oposisi. Kini PDIP memetik hasilnya, menang Pemilu legislatif dan mengantar Jokowi ke puncak kekuasan. Di Amerika, kekuasan silih berganti, tahun ini berkuasa besok oposisi, besok berkuasa lagi.
Sebenarnya tak usah jauh-jauh belajar ke PDIP, dalam hal ini Prabowo dengan Gerindra bisa membagi pengalaman. Meski secara yuridis formal dinyatakan kalah, secara moril sebenarnya Prabowo mencatat kemenangan-kemenangan sendiri yang sangat mengesankan.
Pertama, Prabowo mampu mengerek angka elektabilitas secara fantastis dari 22% (saat mendaftarkan diri sebagai capres ke KPU) menjadi 47% berdasar hasil pemungutan suara. Hanya dalam waktu enam minggu saja Prabowo bisa menaikkan elektabilitasnya sampai sekitar 25%. Kedua, citra Ptrabowo sebagai tokoh menjadi lebih bersih. Stigma penjahat HAM menjadi hilang dengan bergabungnya orang-orang baik dan terhormat disekitar Prabowo, seperti Mahfud MD, akademisi, professor, penyair, Kiai Habib dan artis.
Kali ini adalah kesempatan untuk menghapus stigma bahwa oposisi hanya sekadar mengerecoki atau menghambat pemerintah. Oposisi itu aktivitas terhormat juga karena tidak membiarkan kezaliman berdiri walaupun hanya sehari. Sebuah upaya cepat untuk membabat benih-benih otoritarianisme. Kultur demokrasi justru menumbuhsuburkan oposisi.
Oposisi bukan dendam karena kalah di pemilu pilpres. Bukan juga asal mangap, asal bunyi asal-asalan. Karena oposisi itu proses menanam maka, harus dari bibit (niat) yang baik. Harus dirawat hingga pada akhirnya menjadi pohon yang meneduhkan dan buahnya masak. Terasa nikmatnya.
Jangan justru sebaliknya, oposisi justru menaburkan bibit yang jelek sehingga bukan kebun yang tumbuh tapi justru semak belukar yang menyeramkan. Hanya dihuni oleh cacing, serangga dan tikus-tikus saja. Kalau ini terjadi maka bukan investasi tapi justru menggali lubang sendiri.
Jadi jangan ragu untuk menanam di ladang oposisi. Ini sebagai kesempatan untuk memulai kebiasaan baru. Karena dimasa sebelumnya, baik Orba maupun Orla, semua kekuatan oposisi dibasmi habis seperti hama. Sedangkan dimasa reformasi ini oposisi bisa tumbuh dan dijaga keberadaannya. Mengapa peluang ini tidak dimanfaatkan.
sumber terkait: http://bandung.bisnis.com/read/20140...p-jadi-oposisi
http://www.republika.co.id/berita/pe...n-jadi-oposisi
Hari itu juga pemberitaan ramai dengan soal putusan MK itu, sudah benar atau salah? Kalau kita menjelajahi pemberitaan pers dan media sosial, memang masih terjadi kontroversi. Namun, betapapun kontroversialnya, putusan MK itu bersifat final dan wajib dilaksanakan. Vonis MK harus diikuti dan dilaksanakan bukan karena benar dan bagus, melainkan karena ditetapkan oleh hakim untuk menyelesaikan sengketa yang ditanganinya. Di dalam ushul fiqh (metodologi hukum Islam) yang juga berlaku universal dalam hukum ada kaidah hukmul haakim yarfahukmul haakim yarfaul khilaaf, keputusan hakim mengakhiri perselisihan. Selesai!
Kini pasangan Jokowi - JK telah resmi sebagai presiden dan wakil presiden Republik Indonesia periode. Selanjutnya pemberitaan pun mengalir seputar Kabinet Jokowi dan Nasib Koalisi Merah Putih. Apakah terus berkoalisi sampai lima tahun kedepan, atau bubar jalan. Kalau memperturutkan syahwah kekuasaan, tentu pilih bubar. Apalagi iming-iming jabatan menteri sungguh menggoda.
Belum sempat menarik nafas, Koalisi Merah Putih yang baru terpukul karena palu vonis MK langsung dibidik. Partai Koalisi Merah putih ditembak satu persatu Demokrat, PPP dan Golkar. Bahkan PAN yang Ketumnya Hatta Rajasa menjadi Cawapres Prabowo tak luput dari sasaran. Ada juga dengan cara memakai orang dalam, seperti elit partai anggota Koalisi Merah Putih, mereka ingin segera mengganti Ketuanya yang mendukung Prabowo dengan Ketua baru untuk segera putar haluan.
Elite Golkar yang dimotori Agung Laksono mewacanakan musyawarah nasional (munas) pada Oktober 2014, dipercepat dari yang seharusnya pada 2015 sebagaimana kesepakatan Munas VIII di Riau. Agung Laksono, tanpa basa-basi menyatakan akan mendukung pemerintahan Jokowi-JK.
Hal yang sama juga tengah menimpa PPP. Elite partai seperti Hamzah Haz sampai turun gunung. Elite partai PPP menggalang untuk mengadakan Munas yang dipercepat. Sejauh ini Golkar dan PPP tetap solid di KMP.
Biaya demokrasi yang mahal membuat partai berusaha mencari masukan dana dan itu hanya ada jika masuk kepemerintahan. Jadinya partai berlomba-lomba untuk bancakan APBN. Ironis memang partai politik menggantungkan hidupnya pada kekuasaan. Politik semata-mata dimaknai, seperti yang dikatakan Harold D. Lasswell, sebagai siapa memperoleh apa, kapan, dan bagaimana (who gets what, when and how).
Tesis Lord Acton yang sangat terkenal, kekuasaan cenderung korup dan kekuasaan absolut cenderung korup secara mutlak (power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely), menemukan pembenaran.
Padahal dalam Trias politika harus ada tiga kekuatan politik, Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif. Kekuatan penyeimbang tidak dapat dibantah merupakan prasyarat mutlak (conditio sine qua non) bagi tegaknya demokrasi di negeri ini. Namun lagi-lagi pragmatism politk menutup mata batin elit parpol.
Padahal apa salahnya belajar dari musuh. Musashi seorang samurai Jepang pernah berkata bahwa “Musuh adalah guru yang menyamar”. KMP bisa belajar dari PDIP yang 10 tahun menjadi oposisi. Kini PDIP memetik hasilnya, menang Pemilu legislatif dan mengantar Jokowi ke puncak kekuasan. Di Amerika, kekuasan silih berganti, tahun ini berkuasa besok oposisi, besok berkuasa lagi.
Sebenarnya tak usah jauh-jauh belajar ke PDIP, dalam hal ini Prabowo dengan Gerindra bisa membagi pengalaman. Meski secara yuridis formal dinyatakan kalah, secara moril sebenarnya Prabowo mencatat kemenangan-kemenangan sendiri yang sangat mengesankan.
Pertama, Prabowo mampu mengerek angka elektabilitas secara fantastis dari 22% (saat mendaftarkan diri sebagai capres ke KPU) menjadi 47% berdasar hasil pemungutan suara. Hanya dalam waktu enam minggu saja Prabowo bisa menaikkan elektabilitasnya sampai sekitar 25%. Kedua, citra Ptrabowo sebagai tokoh menjadi lebih bersih. Stigma penjahat HAM menjadi hilang dengan bergabungnya orang-orang baik dan terhormat disekitar Prabowo, seperti Mahfud MD, akademisi, professor, penyair, Kiai Habib dan artis.
Kali ini adalah kesempatan untuk menghapus stigma bahwa oposisi hanya sekadar mengerecoki atau menghambat pemerintah. Oposisi itu aktivitas terhormat juga karena tidak membiarkan kezaliman berdiri walaupun hanya sehari. Sebuah upaya cepat untuk membabat benih-benih otoritarianisme. Kultur demokrasi justru menumbuhsuburkan oposisi.
Oposisi bukan dendam karena kalah di pemilu pilpres. Bukan juga asal mangap, asal bunyi asal-asalan. Karena oposisi itu proses menanam maka, harus dari bibit (niat) yang baik. Harus dirawat hingga pada akhirnya menjadi pohon yang meneduhkan dan buahnya masak. Terasa nikmatnya.
Jangan justru sebaliknya, oposisi justru menaburkan bibit yang jelek sehingga bukan kebun yang tumbuh tapi justru semak belukar yang menyeramkan. Hanya dihuni oleh cacing, serangga dan tikus-tikus saja. Kalau ini terjadi maka bukan investasi tapi justru menggali lubang sendiri.
Jadi jangan ragu untuk menanam di ladang oposisi. Ini sebagai kesempatan untuk memulai kebiasaan baru. Karena dimasa sebelumnya, baik Orba maupun Orla, semua kekuatan oposisi dibasmi habis seperti hama. Sedangkan dimasa reformasi ini oposisi bisa tumbuh dan dijaga keberadaannya. Mengapa peluang ini tidak dimanfaatkan.
sumber terkait: http://bandung.bisnis.com/read/20140...p-jadi-oposisi
http://www.republika.co.id/berita/pe...n-jadi-oposisi
0
814
4


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan