eriexxx234Avatar border
TS
eriexxx234
ketua dpd gerindra VS ketua kpu. cuma di adu domba sama METROTV,DETIK.COM DAN TEMPO.
m taufik dalam orasinya hanya bilang menangkap bukan menculik !!!!

media memberitakan ketua dpd gerindra m taufik akan menculik ketua KPU

ini sebuah kebohongan besar
saya punya bukti video yg blum bisa di share ke publik karna dipakai alat bukti fi mabes polri !!!

DEFINISI KATA

MENANGKAP / TANGKAP

tangkap /tang·kap/ v bertangkap /ber·tang·kap/ v berperang seorang lawan seorang; bergelutmenangkap /me·nang·kap/ v 1 memegang (sesuatu yg bergerak cepat, lepas, dsb); memegang (binatang, pencuri, penjahat, dsb) dng tangan atau alat: nelayan itu ~ ikan dng jala; polisi telah berhasil ~ para penjahat; 2 menerkam: harimau liar itu ~ kambing penduduk; 3 menadah (menyambut, menampung) barang yg dilemparkan: penjaga gawang ~ bola dng menjatuhkan diri; 4 mendapati (orang berbuat jahat, kesalahan, rahasia, dsb): guru itu ~ beberapa pelajar yg merokok di dl kelas; 5 menerima (suara, siaran radio, dsb): pesawat radio ini dapat ~ siaran dr luar negeri; 6 dapat memahami (mengetahui dsb): aku tidak dapat ~ isi pembicaraan mereka krn mereka menggunakan kata-kata sandi; 7 mencerap; menerima (dng pancaindra): pemimpin rakyat harus dapat ~ aspirasi rakyatnya; 8 makan atau mengena (tt pancing dsb): sudah sejam lebih pancingnya belum juga ~;~ angin ki sudah bekerja keras, tetapi tidak ada hasilnya; ~ basah ki memergoki dan menangkap (orang yg sedang melakukan kejahatan atau perbuatan terlarang): polisi ~ seorang morfinis yg sedang mengisap ganja; ~ bayang-bayang ki pekerjaan yg sia-sia; ~ maksud memahami perkataanya; ~ tangan menangkap basah;

menangkapkan /me·nang·kap·kan/ v menangkap untuk orang lain: ia ~ kupu-kupu untuk adiknya;

tertangkap /ter·tang·kap/ v (sudah) ditangkap (terpegang dsb);~ basah terpergoki dan tertangkap (tt orang yg sedang melakukan kejahatan atau perbuatan terlarang): pencopet itu ~ basah ketika sedang merogoh tas seorang ibu; ~ muka bertemu dng tiba-tiba; ~ tangan kedapatan waktu melakukan kejahatan atau perbuatan yg tidak boleh dilakukan; tertangkap basah: wanita itu ~ tangan dng sejumlah barang bukti;

tangkapan /tang·kap·an/ n 1 sesuatu yg ditangkap; hasil menangkap; mangsa (yg ditangkap untuk dimakan); 2 orang yg dl keadaan tertangkap; tahanan (yg ditangkap oleh polisi dsb);

penangkap /pe·nang·kap/ n 1 orang yg menangkap; 2 alat untuk menangkap;~ ikan nelayan; ~ suara alat untuk menerima suara;

penangkapan /pe·nang·kap·an/ n proses, cara, perbuatan menangkap;

ketangkapan /ke·tang·kap·an/ v terserang penyakit yg datangnya secara mendadak (kepala pusing sekali kemudian pingsan, dan kadang-kadang disusul kematian); apoplexia;

sepenangkap /se·pe·nang·kap/ n sehasta (dr siku sampai ke kuku jari)
MENCULIK / CULIK

culik 2 /cu·lik / v, menculik /men·cu·lik/ v mencuri atau melarikan orang lain dng maksud tertentu (dibunuh, dijadikan sandera);

penculik /pen·cu·lik/ n orang yg menculik;

penculikan /pen·cu·lik·an/ n proses, cara, perbuatan menculik

kesimpulan :

kata menangkap (tangkap ) dan kata menculik (culik ) memiliki arti atau definisi berbeda secara lisan ,bahasa umun (baku) maupun perluasan kata (tidak baku) karena tidak berkaitan suku kata dan persamaan arti (sinonim ) antara dua kata tersebut.

sehingga kata menangkap tidak bisa diartikan/disamakan dengan kata menculik

sumber : www.kbbi.web.id


Kode Etik Jurnalistik

Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers menghormati hak asasi setiap orang, karena itu pers dituntut profesional dan terbuka untuk dikontrol oleh masyarakat.

Untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk memperoleh informasi yang benar, wartawan Indonesia memerlukan landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas, serta profesionalisme. Atas dasar itu, wartawan Indonesia menetapkan dan menaati Kode Etik Jurnalistik:

Pasal 1
Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.

Pasal 2
Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik

Pasal 3
Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.

Pasal 4
Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.

Pasal 5
Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.

Pasal 6
Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.

Pasal 7
Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan off the record sesuai dengan kesepakatan.

Pasal 8
Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa, serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.

Pasal 9
Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik.

Pasal 10
Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa.

Pasal 11
Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.











Penafsiran Pasal Demi Pasal

Pasal 1

Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.

Penafsiran

a. Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers.

b. Akurat berarti dipercaya benar sesuai keadaan objektif ketika peristiwa terjadi.

c. Berimbang berarti semua pihak mendapat kesempatan setara.

d. Tidak beritikad buruk berarti tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata untuk menimbulkan kerugian pihak lain.

Pasal 2
Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.

Penafsiran

Cara-cara yang profesional adalah:

a. menunjukkan identitas diri kepada narasumber;

b. menghormati hak privasi;

c. tidak menyuap;

d. menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya;

e. rekayasa pengambilan dan pemuatan atau penyiaran gambar, foto, suara dilengkapi dengan keterangan tentang sumber dan ditampilkan secara berimbang;

f. menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, suara;

g. tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan wartawan lain sebagai karya sendiri;

h. penggunaan cara-cara tertentu dapat dipertimbangkan untuk peliputan berita investigasi bagi kepentingan publik.

Pasal 3
Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.

Penafsiran

a. Menguji informasi berarti melakukan check and recheck tentang kebenaran informasi itu.

b. Berimbang adalah memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada masing-masing pihak secara proporsional.

c. Opini yang menghakimi adalah pendapat pribadi wartawan. Hal ini berbeda dengan opini interpretatif, yaitu pendapat yang berupa interpretasi wartawan atas fakta.

d. Asas praduga tak bersalah adalah prinsip tidak menghakimi seseorang.

Pasal 4
Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.

Penafsiran

a. Bohong berarti sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya oleh wartawan sebagai hal yang tidak sesuai dengan fakta yang terjadi.

b. Fitnah berarti tuduhan tanpa dasar yang dilakukan secara sengaja dengan niat buruk.

c. Sadis berarti kejam dan tidak mengenal belas kasihan.

d. Cabul berarti penggambaran tingkah laku secara erotis dengan foto, gambar, suara, grafis atau tulisan yang semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi.

e. Dalam penyiaran gambar dan suara dari arsip, wartawan mencantumkan waktu pengambilan gambar dan suara.

Pasal 5
Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.

Penafsiran

a. Identitas adalah semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang yang memudahkan orang lain untuk melacak.

b. Anak adalah seorang yang berusia kurang dari 16 tahun dan belum menikah.

Pasal 6
Wartawan Indonesia tidak menyalah-gunakan profesi dan tidak menerima suap.

Penafsiran

a. Menyalah-gunakan profesi adalah segala tindakan yang mengambil keuntungan pribadi atas informasi yang diperoleh saat bertugas sebelum informasi tersebut menjadi pengetahuan umum.

b. Suap adalah segala pemberian dalam bentuk uang, benda atau fasilitas dari pihak lain yang mempengaruhi independensi.

Pasal 7
Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan “off the record” sesuai dengan kesepakatan.

Penafsiran

a. Hak tolak adalak hak untuk tidak mengungkapkan identitas dan keberadaan narasumber demi keamanan narasumber dan keluarganya.

b. Embargo adalah penundaan pemuatan atau penyiaran berita sesuai dengan permintaan narasumber.

c. Informasi latar belakang adalah segala informasi atau data dari narasumber yang disiarkan atau diberitakan tanpa menyebutkan narasumbernya.

d. “Off the record” adalah segala informasi atau data dari narasumber yang tidak boleh disiarkan atau diberitakan.

Pasal 8
Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa, serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.

Penafsiran

a. Prasangka adalah anggapan yang kurang baik mengenai sesuatu sebelum mengetahui secara jelas.

b. Diskriminasi adalah pembedaan perlakuan.

Pasal 9
Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik.

Penafsiran

a. Menghormati hak narasumber adalah sikap menahan diri dan berhati-hati.

b. Kehidupan pribadi adalah segala segi kehidupan seseorang dan keluarganya selain yang terkait dengan kepentingan publik.

Pasal 10
Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa.

Penafsiran

a. Segera berarti tindakan dalam waktu secepat mungkin, baik karena ada maupun tidak ada teguran dari pihak luar.

b. Permintaan maaf disampaikan apabila kesalahan terkait dengan substansi pokok.

Pasal 11
Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.

Penafsiran

a. Hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.

b. Hak koreksi adalah hak setiap orang untuk membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.

c. Proporsional berarti setara dengan bagian berita yang perlu diperbaiki.
Pasal pidana :

pasal 28 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) menyatakan, “Setiap orang dengan sengaja, dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.” Perbuatan yang diatur dalam Pasal 28 ayat (1) UU ITE merupakan salah satu perbuatan yang dilarang dalam UU ITE. UU ITE tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan “berita bohong dan menyesatkan”.


Pasal 28

(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik

Pasal 45

(2) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

TETAPI HARUS DIPERHATIKAN PASAL YANG BERKAITAN :

Dengan berlakunya UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pokok Pokok Pers, persoalan pertanggungjawaban Pers diatas memiliki keterkaitan antara (penjelasan) pasal 12 dengan Pasal 18.Penjelasan pasal 12 menyatakan :“yang dimaksud penanggungjawab adalah penanggungjawab perusahaan pers yang meliputi bidang usaha dan bidang redaksi”.“Sepanjang menyangkut pertanggungjawaban pidana menganut ketentuan perundang-undangan yang berlaku”.Mengenai sanksi pidana pada Pasal 18 ayat (1) meliputi pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda terhadap setiap orang yang melakukan perbuatan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan keiatan jurnalistik, larangan sensor, breidel atau larangan penyiaran, sedangkan pada
ayat (2) menentukan bahwa dalam hal pelanggaran pidana yang dilakukan oleh perusahaan pers, maka perusahaan pers tersebut diwakili oleh Penanggungjawab sebagaimana dimaksud dalam penjelasan pasal 12 (Penanggungjawab dibidang usaha dan bidang redaksi).Penjelasanan ayat (2) pasal 18 menyatakan : “Dalam hal pelanggaran pidana yang dilakukan oleh Perusahaan Pers maka perusahaan tersebut diwakili oleh Penaggungjawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12”.Dengan adanya ketentuan di atas, maka pakar hukum Indrianto Seno Aji menyimpulkan bahwa UU Pokok Pers yang baru ini meliputi pertanggungjawaban yang dapat dianggap pertanggungjawaban fiktif, karenamasih menempatkan penanggungjawab perusahaan pers yang meliputi bidang usaha dan bidang redaksi.Namun dengan memperhatikan penjelasan pasal 12 yang menyangkut pertanggungjawaban pidana menganut ketentuan perundang-undangan yang berlaku, maka makna yang berlaku adalah azas umum dari pertanggungjawaban pidana berupa “individual responsibility”.

UU Penyiaran 32/2002

Sistem pertanggungjawaban yang terdapat pada UU Penyiaran sama dengan yang berlaku dalam KUHP yakni menganut sistem penyertaan. Artinya, jika dalam sebuah siaran televisi ataupun radio terdapat siaran yang termasuk dalam delik pidana, maka yang dimintai pertanggungjawaban adalah penanggungjawab siaran itu, secara berantai. Bisa jadi banyak orang yang tekena pidana. Katakanlah pelanggaran siaran iklan rokok yang memperagakan wujud rokok di TV. Menurut UU Penyiaran, pelanggaran tersebut dipidana 2 tahun penjara atau denda 5 milyar rupiah. Siapa yang dapat dipidana? Haruslah dicari yang bertanggungjawab, mungkin produser, pembuat iklannya, atau
penanggungjawab siaran yang lalai tidak melakukan kontrol, bahkan dapat pula banyak orang yang terkena pidana sesuai sistem “penyertaan”.Lihatlah pasal 54 UU Penyairan:
“Pimpinan badan hukum lembaga penyiaran bertanggungjawab secara umum atas penyelenggaraan penyiaran dan wajib menunjuk penangungjawab atas tiap-tiap program yang disiarkan”

dalam UU Penyiaran masih menganut sistem pertanggungjawaban pidana seperti KUHP sebagaimana dinyatakan dalam pasal 55 dan 66 KUHP. Maka dalam dakwaan jaksa, biasanya selain mencantumkan pasal yang dilanggar dalam UU Penyairan, juga akan mencantumkan pasal 55 atau 56 KUHP sebagai rujukan tindak pidana “penyertaan”. Yang lebih celaka adalah adanya aturan yang mestinya masuk wilayah kode etik, tetapi dikriminalisasi. Misalnya pasal 36 ayat 5 UU Penyiaran yang mengatur bahwa isi siaran dilarangbersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan/atau bohong. Juga dilarang menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang; atau mempertentangkan suku, agama, ras dan antar golongan. Pelanggaran pasal ini dapat dikenai pidana 5 tahun dan/atau denda paling banyak satu milyar rupiah (untuk penyiaran radio) dan pidana penjara lima tahun dan/atau denda paling banyak 10 miliar rupiah (untuk penyiaran televisi)
tien212700Avatar border
tien212700 memberi reputasi
1
4.5K
57
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan