Kaskus

News

LonsumAvatar border
TS
Lonsum
Ideologi Zionisme Fasisme ISRAEL dalam pemberontak OPM papua
http://hankam.kompasiana.com/2012/07...pm-469095.html

Beberapa hari lalu, saya terheran-heran karena akun Facebook saya telah tergabung dalam grup yang pro Papua Merdeka (Grup : Papua Hidup Damai Sejahtera Jika Sudah Merdeka!!!). Ntah siapa yang “menculik” saya ke grup itu, dan ketika saya amati isinya pun penuh kampanye dan slogan-slogan kemerdekaan, hujatan untuk Indonesia, kebencian pada TNI-Polri dan sebagainya.

Tidak lama pun saya terlibat diskusi dengan beberapa orang Papua yang pro kemerdekaan, banyak diantara mereka yang hanya berdiskusi dengan sumpah serapah, caci-maki dan kalimat-kalimat emosional lainnya. Tapi dari sekian banyak komentar, ada beberapa hal yang saya bisa simpulkan.

Ini beberapa hipotesa awal saya :

1.

Papua bukanlah ras melayu, karena secara DNA pun ras Papua dengan ras-ras suku lain di Indonesia jelas berbeda. Maka rakyat Papua ingin mendirikan pemerintahan atau negaranya sendiri yang berakar dari prinsip rasial Papua.
2.

Papua memiliki agama adat atau agama budaya tersendiri yang mengakar, yaitu Kyoidaba dalam agama budaya Papua. Agama adat Papua ini telah dirusak oleh penyebaran-penyebaran agama-agama luar (Islam dan Kristen), karenya penyebaran agama-agama tersebut harus dihentikan.
3.

Bumi Papua dirusak oleh orang-orang luar (Eropa dan Indonesia) yang mendatangi bumi Papua dengan mengeruk SDA dan lainnya. Karena itu seluruh orang-orang Papua akan mengusir mereka yang merusak, termasuk ras melayu.
Itulah tiga poin awal yang bisa saya tarik, maka wajar kemudian saya memperkirakan bentuk atau system Negara Papua Barat yang nanti akan lahir, yaitu FASISME.

Mengapa saya berani mengatakan demikian ? Karena, sebuah lembaga politik yang berdasarkan pada ideologi kemurnian ras hanya akan melahirkan rejim yang menolak kehadiran total unsur-unsur di luar ras mereka.

Di abad modern ini, dunia telah menyaksikan kelahiran negara fasis Israel pada 1948 di Timur Tengah. Zionisme sebagai basis ideologi kelahiran Israel, sejatinya merupakan ajaran tentang keyakinan kemurnian rasial kaum Yahudi yang harus dipelihara sehingga kaum Yahudi tidak boleh berasimilasi dengan ras lain karena akan mengurangi kemurnian rasial tersebut. Bahkan, diperlukan sebuah rumah nasional (rasial) yahudi yang mampu melindungi asal-muasal dan kemurnian rasial itu.

Ditilik dari perspektif tersebut, maka zionisme pada dasarnya sangat bersenyawa dengan Nazisme yang sama-sama mengusung kemurnian rasial. Nazisme yang menggemakan keunggulan dan kemurnian ras Aria pada satu sisi, dan Zionisme yang mencegah bercampurnya Yahudi dengan ras-ras lain, pada akhirnya bekerja sama untuk mencapai idealisme politik mereka.

Payung hukum dari kolaborasi Jerman-Zionis selama kekuasaan Hitler adalah “Transfer Agreement,” sebuah pakta kesepakatan yang memungkinkan tibuan yahudi Jerman bermigrasi ke Palestina membawa hartanya. Pakta yang juga dikenal dengan “Haavara” (dalam bahasa Hebrew berarti transfer), dilaksanakan pada bulan Agustus 1933 menindaklanjuti pembicaraan antara petinggi-petinggi Jerman dengan Chaim Arlosoroff - menteri urusan politik Palestine Center of The World Zionist Organization.

Antara tahun 1933-1941, sekitar 60.000 Yahudi Jerman telah bermigrasi ke Palestina sebagai implementasi dari Haavara dan pengaturan peralihan Jerman-Zionis lainnya. Jumlah tersebut hamput mencapai 10% populasi Yahudi Jerman tahun 1933. Sebaliknya, angka itu berhasil meningkatkan populasi Yahudi di Palestina tahun 1939 menjadi 15%. Beberapa imigran hasil Haavara memindahkan kekayaan pribadinya dari Jerman ke Palestina. Seperti yang disebutkan sejarawan Yahudi, Edwin Black : “Banyak dari imigran-imigran kaya, khususnya di akhir 1930-an, dizinkan mengalihkan replika aktual dari rumah-rumah maupun pabrik-pabrik mereka.”

Di awal tahun 1935, sebuah kapal penuh penumpang menuju Haifa di Palestina meninggalkan pelabuhan Bremerhaven Jerman. Buritan kapal itu terdapat tulisan huruf Ibrani yang berarti “Tel Aviv,” sementara bendera swastika berkibar di atas tiang kapal. Meskipun kapal itu milik seorang Zionis, kapten kapalnya adalah seorang anggota Partai Sosialis Nasional (NAZI). Bertahun-tahun kemudian seorang penumpang di kapal itu mengingat kejadian ini sebagai kombinasi simbolis dari “absurditas metafisik.” Absurd ataupun tidak, pengiriman “pengungsi” Yahudi oleh NAZI hanyalah salah satu sketsa dari satu bab sejarah yang sedikit diketahui : Adanya kolaborasi luas antara Zionisme dan Hitler.


Rasisme di Indotim

Fakta berbedanya warna kulit saudara-saudara kita di Papua dengan suku bangsa lainnya di Indonesia rupanya turut menjadi pembakar keinginan adanya “Rumah Nasional” khusus bagi rakyat Papua.

Sentimen rasial ini pun yang merebak dan jadi basis ideologis (selain klaim-klaim sejarah) gerakan separatis RMS (Republik Maluku Sarani). Pada kerusuhan Ambon 1999, merebak kampanye pengusiran ras-ras non Maluku dari Ambon yang dikenal dengan istilah BBM (Buton-Bugis-Makassar), tiga ras pendatang yang “kebetulan” cukup sukses di tanah Maluku.

Saya pernah bertugas di NTT dan menjelajahi setiap pulau-pulaunya, selama disana saya mempelajari pola-pola sosial yang berlaku dan beberapa hal yang saya dapati di NTT adalah :

1.Pola kekerabatan ataupun kebanggaan atas nama klan/suku/marga sangat kuat.

2.Keterikatan pada tradisi dan adat.

3.Keyakinan reliji yang kental (Katolik).

4. Kecemburuan pada pendatang (Jawa, Padang, Batak). Dan kebetulan, yang memiliki posisi-posisi ekonomi maupun kedudukan di lembaga-lembaga resmi adalah ketiga ras tersebut.

5. Budaya minum-minum khas lokal (moke). Sampai ada istilah “Banci jika orang NTT tidak minum moke.”

Di NTT sering terjadi konflik lahan yang hampir selalu berujung kekerasan berdarah, di sana tuan tanah cukup disegani dan dihormati, karena posisi dia secara sosial maupun adat cukup kuat.

Dari sini sebenarnya potensi konflik di NTT sangat terbuka, mulai dari konflik antar marga, konflik lahan, hingga konflik agama. Pola kekerabatan dan hirarki sosial yang berlaku sepertinya turut “mempermudah” merebaknya konflik-konflik komunal, ditambah lagi dengan pola pikir yang masih tradisional.

Saya meyakini, pola-pola sosial dan kekerabatan di NTT cukup sama dengan yang berlaku di Maluku maupun Papua, tentu dengan kekhasannya masing-masing. Tetapi pada dasarnya tradisi dan adat sangat kuat.

Dapat dimaklumi jika kemudian pola-pola konflik hingga separatisme yang muncul di kawasan Indonesia Timur (Indotim) selalu bersumbu pada hal yang sama : rasial dan kecemburuan.

0
2.3K
2
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan