- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Cerita Bersambung | Indigo


TS
ikansiluman
Cerita Bersambung | Indigo
Part I - Cerita Cornelius dan Nikita
bersambung ....
Part II - Cerita Barnabas (I)
bersambung ....
Part II - Cerita Barnabas (II)
bersambung ...
Quote:
Sungguh menggelikan, suatu hari engkau, aku, kita semuanya yang bernyawa pasti akan mati, entah kapan dan dengan cara yang seperti apa. Kematian, sungguh sebuah misteri. Lalu, untuk apa kita hidup dan dilahirkan ke dunia ini jika akhirnya hanya untuk mati? untuk apa kita menghamba kepada dunia yang akhirnya akan menelan jasad kita? Sendirian, gelap dan tanpa teman.
Pertanyaan demi pertanyaan seperti menari-nari di kepalaku, meremas dan memukul akal yang sungguh sangat terbatas. Dari mana kita? kenapa kita harus lahir ke dunia? dan ke manakah jiwa akan pulang ketika rumah yang dia tempati hanya tinggal jasad?
Pertanyaan semacam itu yang kerap kali muncul di pikiranku setiap kali mata ini terbuka selepas tidur, dan setiap kali sebuah nyawa terbang dari tubuh seseorang yang kulihat dengan sangat jelas melesat tinggi, jauh ke langit langsung menuju awan, atau kadang menembus atap-atap gedung bertingkat, sebelum akhirnya lesat ke angkasa.
Namaku Cornelius. Aku memang bisa melihat kematian dalam bentuk yang sebenarnya, ketika nyawa lepas dari raga, ketika jiwa terbang dan kemudian hilang.
8 Mei 2012
salah satu berita di surat kabar
"Sebuah truk bermuatan semen, menabrak kedai kopi di yang sedang ramai pengunjung. Pengemudi mabuk berat, korban meninggal 7 orang, semua adalah pengunjung kedai kopi yang terletak di Jalan Ara No. 17 Jakarta, satu kilometer dari pintu keluar tol. (Surat Kabar. Jakarta, 7 Mei 2012)"
7 Mei 2012 - tengah malam
Aku hanya seorang pemuda bisa, tidak ada yang istimewa dariku. Umurku 24 tahun dan berkerja sebagai wartawan di salah satu koran lokal di Jakarta. Tapi kehidupanku berubah semenjak pagi dini hari yang celaka itu.
Kuhabiskan kopi yang sudah agak dingin itu dengan sekali teguk. Wajahku pucat setelah kuterima kabar dari Pak Robin atasanku, bahwa telah terjadi kecelakaan pesawat dan dia memintaku untuk segera meliput ke lokasi. Kabarnya pesawat naas itu tergelincir saat akan melakukan pendaratan di bandara. Segera kupacu sepeda motorku, bersama dingin dan angin aku melaju secepat-cepatnya, semampuku dan semampu sepeda motor tuaku ini.
Hampir tiba di lokasi kejadian, sudah kuliahat kobaran api menyala hebat dari kejauhan. nyala merah membakar yang agak kekuningan itu seperti lidah api yang bermain - main dengan gelap malam, seolah memamerkan sebuah kuasa atas ketidakberdayaan manusia.
Lima ratus meter dari lokasi tergelincirnya pesawat naas itu, tiba tiba langit bergemuruh sangat gaduh, padahal tidak kurasakan angin kencang yang biasanya hadir mendahului sesaat ketika akan terjadi hujan lebat. Hanya suara gemuruh dari angkasa itu yang bisa mengalihkan perhatianku dari kobaran lidah api yang menjilat-jilat badan pesawat yang tergelincir di depanku.
Tiba-tiba sekilat cahaya meluncur ke arahku, tepat mengenai tubuhku. Aku jatuh tersungkur ke tanah yang agak basah, ada rasa panas yang menjalari seluruh tubuhku dari ujung kepalaku hingga ke kaki dan tanganku. Waktu itu aku berfikir, "apa ini yang namanya dijemput ajal?" Dalam ketidakberdayaan, dengan nafas yang tersengal-sengal dan tubuh yang jatuh kaku ke tanah, aku memejamkan mata, menyerahkan semuanya kepada keihlasaan. "Aku pergi dari dunia ini, aku mati, aku memang tidak abadi."
Kesadaraan yang kupunya sudah lenyap ditelan rasa panas yang seperti membakar seluruh tubuhku, tiba - tiba tubuhku melayang ke udara, sangat ringan, mengambang seperti kapas, melayang seperti daun yang gugur. Tapi kali ini, tanpa intervensi dari daya gravitasi.
Kusadari bukan tubuhku yang melayang, setelah kulihat dengan sangat jelas tubuhku yang terbujur kaku itu berada jauh di bawah sana, dipeluk oleh tanah, dikerumuni rintik hujan yang tiba-tiba turun. Kusadari aku sudah mati, kusadari ini nyawaku atau mungkin jiwaku yang melayang. ingin rasanya aku menangis, tapi dalam bentuk jiwa, aku sudah tak punya air mata, hanya rasa yang kupunya, tanpa raga.
Lalu pandanganku menuju ke satu titik, di mana pesawat yang tadi tergelincir dan terbakar itu berada. Di atas lidah api yang menyala-nyala, kulihat jiwa - jiwa seperti aku yang melayang di udara. Rupa-rupanya, kecelakaan itu menelan banyak sekali nyawa. Kulihat satu dan dua jiwa terangkat ke udara, menyusul di bawahnya berpuluh-puluh dan ketika dengan dahsyatnya badan pesawat itu meledak, ratusan jiwa semacam berpesta di udara, bersama malam, bersama rintik hujan.
"Lalu sampai kemana aku akan melayang? Kemana aku dan jiwa-jiwa malang itu akan berpulang?"
Kulihat dari atas sini, ada orang-orang yang mengerumuni tubuhku, dengan cekatan kulihat ada seseorang yang dengan tangkasnya bermain-main dengan tubuh kakuku. Sudah tak kupedulikan lagi tubuh itu, "Bukanya aku ini sudah mati?" Aku membatin sambil tetap melihat ke arah jasadku.
Tiba-tiba kurasakan panas dan sesak yang luar biasa merambat dan menekan dadaku, mataku tiba-tiba gelap, perlahan tapi pasti kubuka mata dengan sisa tenaga yang masih ada. Rintik hujan menampar-nampar wajahku dan sedikit membantuku mebuka mata. Kulihat dari pandanganku yang belum terlalu sempurna adalah langit yang gelap dan hujan. Kudengar beberapa orang di sekelilingku berucap syukur, mungkin mereka merasa lega ketika tubuh yang terbujur kaku ini bisa bernafas kembali.
Kucoba menenangkan diriku dan berusaha mengingat-ingat kejadian tadi. Ada kilatan cahaya, ledakan pesawat dan ratusan jiwa yang melayang ke udara.
Kupalingkan pandanganku ke angkasa, dan masih kulihat ratusan jiwa-jiwa itu melesat jauh ke atas. "Bagaimana bisa aku masih melihat jiwa-jiwa itu sedangkan jiwaku sudah kembali ke jasad yang sempat menjadi mayat ini? Apa ini yang disebut mukjizat? Apa iya aku diselamatkan dari kematian? Lalu oleh siapa? Cahaya apa yang menabrak tubuhku tadi? Kenapa hanya aku? Kenapa bukan mereka, penumpang pesawat itu?" Semua pertanyaan itu sampai sekarang belum bisa kutemukan jawabannya.
7 mei 2013 - siang hari
"Kau percaya surga?" Nikita, teman kerja sekaligus juga kekasihku itu yang sesama wartawan tiba-tiba melontarkan pertanyaan yang membuatku tersedak. "Tidak, aku tidak percaya." jawabku sambil masih mengunyah hamburger yang kami pesan di sebuah restoran cepat saji. - "Kautahu kan kejadian yang menimpaku setahun lalu itu, kecelakaan pesawat itu? Sudah kuceritakan kepadamu tentang apa yang bisa kulihat. Aku bisa melihat kematian, tapi aku tidak bisa melihat surga atau neraka, jadi aku tidak percaya." Tapi sebenarnya, ada beberapa hal yang belum kuceritakan kepadamu Nikita, kali ini aku hanya bisa membatin.
Tiba-tiba bahu Nikita berguncang, Ia mendekat ke arahku dan memeluk erat tubuhku sambil menangis. Aku tidak tahu apa yang terjadi kepada Nikita. "Salahkah jawaban yang kuberi padanya?" batinku, sambil masih bertanya dalam diam.
Dengan isak yang masih bergemuruh namun sudah agak pelan, bibir Nikita mulai sedikit bergerak berusaha berbicara kepadaku, namun masih dengan terisak.
"Kau tahu Lius, malam itu, kenapa harus kau yang pergi meliput kecelakaan pesawat itu? karena aku yang memberi tahu Pak Robin tentang kecelakaan pesawat itu, supaya ia bisa menugaskanmu untuk meliputnya, supaya kau cepat pergi dari kedai kopi, tempat kau biasa menghabiskan malam-malammu. Kau tahu lius, jika semenjak kejadian kecelakaan pesawat itu kau bisa melihat bagaimana nyawa atau jiwa keluar dari tubuh seseorang yang meninggal dunia, maka aku, semenjak usiaku entah 12 atau 13 tahun, aku bisa melihat masa depan. Masa depan yang kulihat selalu datang lewat mimpiku, beberapa hari sebelum sebuah kejadian besar menimpa orang-orang yang dekat denganku."
"Aku tidak tahu kenapa tiba-tiba mimpi bisa muncul seperti itu, mimpi yang kualami sungguh nyata, seperti aku masuk kedalamnya dan merasakan dengan segenap panca indra yang kumiliki. Suara decit ban mobil, suara retakan tulang-tulang, bau amis darah tubuhmu, juga teriakan orang-orang ketika pesawat itu meledak." - "Lius, aku tidak mau kehilanganmu, sama seperti ketika aku kehilangan kedua orang tuaku yang meninggal dalam sebuah ekspedisi di hutan kalimantan tujuh tahun silam karena aku tidak bisa memperingatkan mereka tentang kematian yang akan menjemput ketika boat yang mereka tumpangi terbalik di sungai kapuas karena saboase seorang yang menginginkan kematian mereka."
Cornelius hanya diam, seluruh tubuhnya gemetar, pikirannya kacau, tapi dalam hati kecilnya, ia mengucap syukur masih dengan diam - diam.
Pertanyaan demi pertanyaan seperti menari-nari di kepalaku, meremas dan memukul akal yang sungguh sangat terbatas. Dari mana kita? kenapa kita harus lahir ke dunia? dan ke manakah jiwa akan pulang ketika rumah yang dia tempati hanya tinggal jasad?
Pertanyaan semacam itu yang kerap kali muncul di pikiranku setiap kali mata ini terbuka selepas tidur, dan setiap kali sebuah nyawa terbang dari tubuh seseorang yang kulihat dengan sangat jelas melesat tinggi, jauh ke langit langsung menuju awan, atau kadang menembus atap-atap gedung bertingkat, sebelum akhirnya lesat ke angkasa.
Namaku Cornelius. Aku memang bisa melihat kematian dalam bentuk yang sebenarnya, ketika nyawa lepas dari raga, ketika jiwa terbang dan kemudian hilang.
8 Mei 2012
salah satu berita di surat kabar
"Sebuah truk bermuatan semen, menabrak kedai kopi di yang sedang ramai pengunjung. Pengemudi mabuk berat, korban meninggal 7 orang, semua adalah pengunjung kedai kopi yang terletak di Jalan Ara No. 17 Jakarta, satu kilometer dari pintu keluar tol. (Surat Kabar. Jakarta, 7 Mei 2012)"
7 Mei 2012 - tengah malam
Aku hanya seorang pemuda bisa, tidak ada yang istimewa dariku. Umurku 24 tahun dan berkerja sebagai wartawan di salah satu koran lokal di Jakarta. Tapi kehidupanku berubah semenjak pagi dini hari yang celaka itu.
Kuhabiskan kopi yang sudah agak dingin itu dengan sekali teguk. Wajahku pucat setelah kuterima kabar dari Pak Robin atasanku, bahwa telah terjadi kecelakaan pesawat dan dia memintaku untuk segera meliput ke lokasi. Kabarnya pesawat naas itu tergelincir saat akan melakukan pendaratan di bandara. Segera kupacu sepeda motorku, bersama dingin dan angin aku melaju secepat-cepatnya, semampuku dan semampu sepeda motor tuaku ini.
Hampir tiba di lokasi kejadian, sudah kuliahat kobaran api menyala hebat dari kejauhan. nyala merah membakar yang agak kekuningan itu seperti lidah api yang bermain - main dengan gelap malam, seolah memamerkan sebuah kuasa atas ketidakberdayaan manusia.
Lima ratus meter dari lokasi tergelincirnya pesawat naas itu, tiba tiba langit bergemuruh sangat gaduh, padahal tidak kurasakan angin kencang yang biasanya hadir mendahului sesaat ketika akan terjadi hujan lebat. Hanya suara gemuruh dari angkasa itu yang bisa mengalihkan perhatianku dari kobaran lidah api yang menjilat-jilat badan pesawat yang tergelincir di depanku.
Tiba-tiba sekilat cahaya meluncur ke arahku, tepat mengenai tubuhku. Aku jatuh tersungkur ke tanah yang agak basah, ada rasa panas yang menjalari seluruh tubuhku dari ujung kepalaku hingga ke kaki dan tanganku. Waktu itu aku berfikir, "apa ini yang namanya dijemput ajal?" Dalam ketidakberdayaan, dengan nafas yang tersengal-sengal dan tubuh yang jatuh kaku ke tanah, aku memejamkan mata, menyerahkan semuanya kepada keihlasaan. "Aku pergi dari dunia ini, aku mati, aku memang tidak abadi."
Kesadaraan yang kupunya sudah lenyap ditelan rasa panas yang seperti membakar seluruh tubuhku, tiba - tiba tubuhku melayang ke udara, sangat ringan, mengambang seperti kapas, melayang seperti daun yang gugur. Tapi kali ini, tanpa intervensi dari daya gravitasi.
Kusadari bukan tubuhku yang melayang, setelah kulihat dengan sangat jelas tubuhku yang terbujur kaku itu berada jauh di bawah sana, dipeluk oleh tanah, dikerumuni rintik hujan yang tiba-tiba turun. Kusadari aku sudah mati, kusadari ini nyawaku atau mungkin jiwaku yang melayang. ingin rasanya aku menangis, tapi dalam bentuk jiwa, aku sudah tak punya air mata, hanya rasa yang kupunya, tanpa raga.
Lalu pandanganku menuju ke satu titik, di mana pesawat yang tadi tergelincir dan terbakar itu berada. Di atas lidah api yang menyala-nyala, kulihat jiwa - jiwa seperti aku yang melayang di udara. Rupa-rupanya, kecelakaan itu menelan banyak sekali nyawa. Kulihat satu dan dua jiwa terangkat ke udara, menyusul di bawahnya berpuluh-puluh dan ketika dengan dahsyatnya badan pesawat itu meledak, ratusan jiwa semacam berpesta di udara, bersama malam, bersama rintik hujan.
"Lalu sampai kemana aku akan melayang? Kemana aku dan jiwa-jiwa malang itu akan berpulang?"
Kulihat dari atas sini, ada orang-orang yang mengerumuni tubuhku, dengan cekatan kulihat ada seseorang yang dengan tangkasnya bermain-main dengan tubuh kakuku. Sudah tak kupedulikan lagi tubuh itu, "Bukanya aku ini sudah mati?" Aku membatin sambil tetap melihat ke arah jasadku.
Tiba-tiba kurasakan panas dan sesak yang luar biasa merambat dan menekan dadaku, mataku tiba-tiba gelap, perlahan tapi pasti kubuka mata dengan sisa tenaga yang masih ada. Rintik hujan menampar-nampar wajahku dan sedikit membantuku mebuka mata. Kulihat dari pandanganku yang belum terlalu sempurna adalah langit yang gelap dan hujan. Kudengar beberapa orang di sekelilingku berucap syukur, mungkin mereka merasa lega ketika tubuh yang terbujur kaku ini bisa bernafas kembali.
Kucoba menenangkan diriku dan berusaha mengingat-ingat kejadian tadi. Ada kilatan cahaya, ledakan pesawat dan ratusan jiwa yang melayang ke udara.
Kupalingkan pandanganku ke angkasa, dan masih kulihat ratusan jiwa-jiwa itu melesat jauh ke atas. "Bagaimana bisa aku masih melihat jiwa-jiwa itu sedangkan jiwaku sudah kembali ke jasad yang sempat menjadi mayat ini? Apa ini yang disebut mukjizat? Apa iya aku diselamatkan dari kematian? Lalu oleh siapa? Cahaya apa yang menabrak tubuhku tadi? Kenapa hanya aku? Kenapa bukan mereka, penumpang pesawat itu?" Semua pertanyaan itu sampai sekarang belum bisa kutemukan jawabannya.
7 mei 2013 - siang hari
"Kau percaya surga?" Nikita, teman kerja sekaligus juga kekasihku itu yang sesama wartawan tiba-tiba melontarkan pertanyaan yang membuatku tersedak. "Tidak, aku tidak percaya." jawabku sambil masih mengunyah hamburger yang kami pesan di sebuah restoran cepat saji. - "Kautahu kan kejadian yang menimpaku setahun lalu itu, kecelakaan pesawat itu? Sudah kuceritakan kepadamu tentang apa yang bisa kulihat. Aku bisa melihat kematian, tapi aku tidak bisa melihat surga atau neraka, jadi aku tidak percaya." Tapi sebenarnya, ada beberapa hal yang belum kuceritakan kepadamu Nikita, kali ini aku hanya bisa membatin.
Tiba-tiba bahu Nikita berguncang, Ia mendekat ke arahku dan memeluk erat tubuhku sambil menangis. Aku tidak tahu apa yang terjadi kepada Nikita. "Salahkah jawaban yang kuberi padanya?" batinku, sambil masih bertanya dalam diam.
Dengan isak yang masih bergemuruh namun sudah agak pelan, bibir Nikita mulai sedikit bergerak berusaha berbicara kepadaku, namun masih dengan terisak.
"Kau tahu Lius, malam itu, kenapa harus kau yang pergi meliput kecelakaan pesawat itu? karena aku yang memberi tahu Pak Robin tentang kecelakaan pesawat itu, supaya ia bisa menugaskanmu untuk meliputnya, supaya kau cepat pergi dari kedai kopi, tempat kau biasa menghabiskan malam-malammu. Kau tahu lius, jika semenjak kejadian kecelakaan pesawat itu kau bisa melihat bagaimana nyawa atau jiwa keluar dari tubuh seseorang yang meninggal dunia, maka aku, semenjak usiaku entah 12 atau 13 tahun, aku bisa melihat masa depan. Masa depan yang kulihat selalu datang lewat mimpiku, beberapa hari sebelum sebuah kejadian besar menimpa orang-orang yang dekat denganku."
"Aku tidak tahu kenapa tiba-tiba mimpi bisa muncul seperti itu, mimpi yang kualami sungguh nyata, seperti aku masuk kedalamnya dan merasakan dengan segenap panca indra yang kumiliki. Suara decit ban mobil, suara retakan tulang-tulang, bau amis darah tubuhmu, juga teriakan orang-orang ketika pesawat itu meledak." - "Lius, aku tidak mau kehilanganmu, sama seperti ketika aku kehilangan kedua orang tuaku yang meninggal dalam sebuah ekspedisi di hutan kalimantan tujuh tahun silam karena aku tidak bisa memperingatkan mereka tentang kematian yang akan menjemput ketika boat yang mereka tumpangi terbalik di sungai kapuas karena saboase seorang yang menginginkan kematian mereka."
Cornelius hanya diam, seluruh tubuhnya gemetar, pikirannya kacau, tapi dalam hati kecilnya, ia mengucap syukur masih dengan diam - diam.
bersambung ....
Part II - Cerita Barnabas (I)
Quote:
Namaku Barnabas, dan aku bisa melihat masa depan.
Mungkin sejak lahir aku sudah memiliki kemampuan itu, tapi aku baru menyadarinya ketika aku menginjak usia tujuh tahun. Pada suatu malam, aku bermimpi, dan di dalam mimpi itu aku melihat kematian. Aku seakan masuk ke dalam mimpi itu, seluruh panca indraku bisa merasakan. Mataku melihat dengan jelas ketika bangunan-bangunan itu perlahan jatuh dan akhirnya rata dengan tahan, telingaku mendengar apa teriakan dan pekik kesakitan orang-orang yang tertindih atap-atap rumah dan gedung-gedung, hidungku juga bisa mencium bau amis darah mereka. Orang-orang yang meninggal itu seperti orang asing bagiku, dari bahasa yang mereka ucapkan aku tidak mengerti sama sekali. Yang kutahu tanah berguncang sangat hebat dan mayat-mayat bergelimpangan. Mimpi itu membangukanku, dengan keringat yang menderasi seluruh tubuhku.
Aku hanya menganggap itu sebuah mimpi biasa, dan akhirnya menjadi tidak biasa ketika dua hari kemudian secara tidak sengaja aku membaca sebuah berita di surat kabar tentang bencana gempa bumi yang terjadi di Peru. menurut surat kabar yang kubaca, pada tanggal 31 Mei 1970, Peru dilanda gempa bumi yang sangat dahsyat, korban meninggal diperkirakan lebih dari 70.000 orang. Baru kusadari ketika itu, jika mimpiku dua malam yang lalu adalah mengenai peristiwa gempa bumi dahsyat ini.
Sempat aku menyangkal, tapi kerap kali mimpi-mimpi yang nyata itu selalu berkunjung ke tiduruku seolah menyampaikan sebuah pesan keapdaku, memperingatkanku akan sesuatu hal. Terlebih, mengenai kematian.
Tahun demi tahun berlalu, aku bukan anak kecil lagi yang takut akan mimpinya sendiri. Mimpi-mimpi banyak sekali memberitahukan kepadaku tentang masa depan, hidupku menjadi lebih mudah sejak kusadari akan kemampuanku itu. Bisa kau bayangkan, bagaimana mudahnya hidup seseorang jika seseorang itu bisa mellihat masa depan bukan? kau tahu peristiwa apa yang akan terjadi jauh sebelum peristiwa itu terjadi. Dengan kemampuan seperti itu, sangat mudah bagiku menjalani kehidupan. Soal uang? aku biasa bertaruh dalam banyak pertandingan olah raga kelas dunia seperti sepak bola, basket, balap mobil, dan masih banyak lagi. Memenangkan sebuah taruhan adalah sumber pendapatan yang paling mudah bagiku.
Tapi aku tidak pernah bisa memilih mimpi seperti apa, walaupun aku yakin jika setiap kali aku bermimpi pasti mimpi itu adalah sebuah ramalan, adalah masa depan yang belum terjadi dan akan segera terjadi. Itu yang aku tahu.
Dari sekian banyak mimpi, ada satu mimpi yang sering sekali menghantui tidurku. mimpi itu selalu sama. Dan mimpi itu tentang kematianku sendiri.
Mungkin sejak lahir aku sudah memiliki kemampuan itu, tapi aku baru menyadarinya ketika aku menginjak usia tujuh tahun. Pada suatu malam, aku bermimpi, dan di dalam mimpi itu aku melihat kematian. Aku seakan masuk ke dalam mimpi itu, seluruh panca indraku bisa merasakan. Mataku melihat dengan jelas ketika bangunan-bangunan itu perlahan jatuh dan akhirnya rata dengan tahan, telingaku mendengar apa teriakan dan pekik kesakitan orang-orang yang tertindih atap-atap rumah dan gedung-gedung, hidungku juga bisa mencium bau amis darah mereka. Orang-orang yang meninggal itu seperti orang asing bagiku, dari bahasa yang mereka ucapkan aku tidak mengerti sama sekali. Yang kutahu tanah berguncang sangat hebat dan mayat-mayat bergelimpangan. Mimpi itu membangukanku, dengan keringat yang menderasi seluruh tubuhku.
Aku hanya menganggap itu sebuah mimpi biasa, dan akhirnya menjadi tidak biasa ketika dua hari kemudian secara tidak sengaja aku membaca sebuah berita di surat kabar tentang bencana gempa bumi yang terjadi di Peru. menurut surat kabar yang kubaca, pada tanggal 31 Mei 1970, Peru dilanda gempa bumi yang sangat dahsyat, korban meninggal diperkirakan lebih dari 70.000 orang. Baru kusadari ketika itu, jika mimpiku dua malam yang lalu adalah mengenai peristiwa gempa bumi dahsyat ini.
Sempat aku menyangkal, tapi kerap kali mimpi-mimpi yang nyata itu selalu berkunjung ke tiduruku seolah menyampaikan sebuah pesan keapdaku, memperingatkanku akan sesuatu hal. Terlebih, mengenai kematian.
Tahun demi tahun berlalu, aku bukan anak kecil lagi yang takut akan mimpinya sendiri. Mimpi-mimpi banyak sekali memberitahukan kepadaku tentang masa depan, hidupku menjadi lebih mudah sejak kusadari akan kemampuanku itu. Bisa kau bayangkan, bagaimana mudahnya hidup seseorang jika seseorang itu bisa mellihat masa depan bukan? kau tahu peristiwa apa yang akan terjadi jauh sebelum peristiwa itu terjadi. Dengan kemampuan seperti itu, sangat mudah bagiku menjalani kehidupan. Soal uang? aku biasa bertaruh dalam banyak pertandingan olah raga kelas dunia seperti sepak bola, basket, balap mobil, dan masih banyak lagi. Memenangkan sebuah taruhan adalah sumber pendapatan yang paling mudah bagiku.
Tapi aku tidak pernah bisa memilih mimpi seperti apa, walaupun aku yakin jika setiap kali aku bermimpi pasti mimpi itu adalah sebuah ramalan, adalah masa depan yang belum terjadi dan akan segera terjadi. Itu yang aku tahu.
Dari sekian banyak mimpi, ada satu mimpi yang sering sekali menghantui tidurku. mimpi itu selalu sama. Dan mimpi itu tentang kematianku sendiri.
bersambung ....
Part II - Cerita Barnabas (II)
Quote:
7 Mei 2011 - Paris
Usiaku kini 51 tahun, tidak muda lagi memang, tidak seperti dua puluh tahun lalu, ketika aku masih sanggup berpindah dari satu negera ke negara lain, untuk mencari jawaban mimpi buruk itu. Mimpi buruk dimana aku mati di tangan seorang perempuan muda. Sungguh menyedihkan, aku tahu aku akan mati dibunuh oleh seorang perempuan ingusan kemarin sore. Sambil menghisap rokoknya, Barnabas kembali ke dalam kamarnya, setelah beberapa saat tadi ia termenung di balkon sambil memandang bulan yang pucat.
Setiap malam, Barnabas selalu memandangi bulan itu, iya takut jika tiba-tiba bulan itu berubah warnanya menjadi warna merah darah. Karena di dalam mimipi yang sudah bertahun dialaminya itu, ia melihat dirinya mati pada saat bulan berubah warna menjadi semerah darah.
***
- Indonesia
Sementara itu, pada waktu yang hampir bersamaan, di belahan bumi yang lain seorang penulis perempuan bernama Dias telah menyelesaikan puisinya tepat ketika barnabas masuk kembali ke dalam kamarnya.
- narasi bulan merah -
saat maut menjemput, mulut hanya bisa tertutup
ada bayang yang terbang, ada bayang yang hilang
saat kabut datang, sebuah rindu akan pulang
di matamu aku hilang, di mataku kamu terbang
bulan merah menyaksikan semuanya
manusia mendustakan sesamanya
dan kunang - kunang bermain di kurun peristiwa
saat kita menuju senja yang berbeda
pintu langit terbuka, dua dunia saling menyapa
ketika dua anak manusia bermain dengan nyawa
selalu ada yang binasa, entah kamu entah aku
dan waktu akan menjawab semua tanyamu
sungguh kehidupan begitu fana
sungguh manusia begitu menderita
sungguh ternyata ini bukan cinta
hanya air mata di bawah bulan merah yang seperti darah
- Rahma Diastanti / Solo, 7 Mei 2011 -
***
Semenjak usia 30 tahun Barnabas memutuskan untuk pergi dari Indonesia, ia ingin mencari jawab tentang bagaimana bisa ia mendapatkan mimpi - mimpi itu. Tapi di balik itu, ia sebenarnya lari dari kematian yang menghantuinya.
Dari kota ke kota barnabas berkelana, dari satu negara ke negara lain Barnabas berusaha menemukan jawaban. Sampai akhirnya pada tahun 1998 ia menepat di kota Paris, Perancis.
Barnabas berusaha melacak dan menemukan keturunan - keturunan Nostradamus, serseorang peramal yang sangat terkenal di abad ke-16, bahkan namanya masih tersohor hingga kini, ratusan tahun setelah kematiannya. Mengapa nostradamus? karena yang Barnabas tahu, hanya Nostradamus, seorang peramal yang bisa dengan depat meramalkan kematiannya sendiri, yaitu pada tanggal 2 Juli 1566.
Sama seperti nostradamus yang bisa meramalkan kematiannya, hanya saja Barnabas tidak tahu pasti kapan itu akan terjadi. Bagaimana seseorang bisa hidup dengan tenang ketika ia mengetahui perihal dirinya yang akan mati di bunuh, namun tidak tahu oleh siapa dan kapan hal itu akan terjadi.
Berharap akan menemukan keturunan nostradamus yang kemungkinan juga memiliki kemampuan clairvoyance seperti leluhurnya, Barnabas memutuskan menetap di Paris, di kota kelahiran Nostradamus.
Usiaku kini 51 tahun, tidak muda lagi memang, tidak seperti dua puluh tahun lalu, ketika aku masih sanggup berpindah dari satu negera ke negara lain, untuk mencari jawaban mimpi buruk itu. Mimpi buruk dimana aku mati di tangan seorang perempuan muda. Sungguh menyedihkan, aku tahu aku akan mati dibunuh oleh seorang perempuan ingusan kemarin sore. Sambil menghisap rokoknya, Barnabas kembali ke dalam kamarnya, setelah beberapa saat tadi ia termenung di balkon sambil memandang bulan yang pucat.
Setiap malam, Barnabas selalu memandangi bulan itu, iya takut jika tiba-tiba bulan itu berubah warnanya menjadi warna merah darah. Karena di dalam mimipi yang sudah bertahun dialaminya itu, ia melihat dirinya mati pada saat bulan berubah warna menjadi semerah darah.
***
- Indonesia
Sementara itu, pada waktu yang hampir bersamaan, di belahan bumi yang lain seorang penulis perempuan bernama Dias telah menyelesaikan puisinya tepat ketika barnabas masuk kembali ke dalam kamarnya.
- narasi bulan merah -
saat maut menjemput, mulut hanya bisa tertutup
ada bayang yang terbang, ada bayang yang hilang
saat kabut datang, sebuah rindu akan pulang
di matamu aku hilang, di mataku kamu terbang
bulan merah menyaksikan semuanya
manusia mendustakan sesamanya
dan kunang - kunang bermain di kurun peristiwa
saat kita menuju senja yang berbeda
pintu langit terbuka, dua dunia saling menyapa
ketika dua anak manusia bermain dengan nyawa
selalu ada yang binasa, entah kamu entah aku
dan waktu akan menjawab semua tanyamu
sungguh kehidupan begitu fana
sungguh manusia begitu menderita
sungguh ternyata ini bukan cinta
hanya air mata di bawah bulan merah yang seperti darah
- Rahma Diastanti / Solo, 7 Mei 2011 -
***
Semenjak usia 30 tahun Barnabas memutuskan untuk pergi dari Indonesia, ia ingin mencari jawab tentang bagaimana bisa ia mendapatkan mimpi - mimpi itu. Tapi di balik itu, ia sebenarnya lari dari kematian yang menghantuinya.
Dari kota ke kota barnabas berkelana, dari satu negara ke negara lain Barnabas berusaha menemukan jawaban. Sampai akhirnya pada tahun 1998 ia menepat di kota Paris, Perancis.
Barnabas berusaha melacak dan menemukan keturunan - keturunan Nostradamus, serseorang peramal yang sangat terkenal di abad ke-16, bahkan namanya masih tersohor hingga kini, ratusan tahun setelah kematiannya. Mengapa nostradamus? karena yang Barnabas tahu, hanya Nostradamus, seorang peramal yang bisa dengan depat meramalkan kematiannya sendiri, yaitu pada tanggal 2 Juli 1566.
Sama seperti nostradamus yang bisa meramalkan kematiannya, hanya saja Barnabas tidak tahu pasti kapan itu akan terjadi. Bagaimana seseorang bisa hidup dengan tenang ketika ia mengetahui perihal dirinya yang akan mati di bunuh, namun tidak tahu oleh siapa dan kapan hal itu akan terjadi.
Berharap akan menemukan keturunan nostradamus yang kemungkinan juga memiliki kemampuan clairvoyance seperti leluhurnya, Barnabas memutuskan menetap di Paris, di kota kelahiran Nostradamus.
bersambung ...
Diubah oleh ikansiluman 01-08-2014 02:31


anasabila memberi reputasi
1
5.7K
Kutip
21
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan