- Beranda
- Komunitas
- Pilih Capres & Caleg
Renungan: Sifat Jujur, Merakyat, Sederhana Joko Widodo dan Amirul Mukminin


TS
kyeesoer
Renungan: Sifat Jujur, Merakyat, Sederhana Joko Widodo dan Amirul Mukminin
KPU telah menetapkan hasil pemilihan presiden 2014 yang dimenangkan Joko Widodo - Jusuf Kalla. Joko Widodo mengemban tugas yang berat yaitu memimpin seluruh rakyat Indonesia. Apakah Joko Widodo mempunyai sifat-sifat Amirul Mukminin sesuai slogan yang didengung-dengungkan oleh Joko Widodo (Jujur, Merakyat, Sederhana) berikut ini? Silahkan dibaca
[1] Kesederhanaan dan Kerendahan Umar bin Khattab (Slogan pertama: Sederhana)
Beberapa kali Abdurrahman bin Auf menyaksikan Umar shalat sunah di rumahnya. Yang menarik perhatiannya, bukanlah tata cara shalatnya, melainkan sajadah yang biasa digunakan Umar. Seorang kepala kegara dengan wilayah kekuasaan yang membentang luas sampai Mesir, berhasil mengalahkan dua imperium besar, Romawi Timur dan Persia, justru shalat di atas sajadah yang usang. Timbul rasa bersalah dalam hati Abdurrahman. Ia ingin membelikan sajadah baru yang mahal dan indah untuk sang Amirul Mukminin.Tetapi, Abdurrahman ragu, apakah Umar mau menerimanya. Dia tahu persis watak Umar yang tidak mau diberi hadiah apa pun walau hanya selembar sajadah.Abdurrahman akhirnya memberikan sebuah sajadah melalui istri Umar, Ummu Abdillah. Melihat sajadah baru, Umar memanggil istrinya dan menanyakan siapa yang memberi sajadah ini. "Abdurrahman bin Auf," jawab istrinya. "Kembalikan sajadah ini kepada Abdurrahman. Saya sudah cukup puas dengan sajadah yang saya miliki." Begitulah watak Umar bin Khattab. Tidak hanya adil dan bijaksana, beliau dikenal dengan sifat zuhudnya, hidup sederhana. Tidak hanya untuk ukuran seorang kepala negara, bahkan bagi orang biasa sekalipun.Suatu hari, Umar melakukan perjalanan dinas mengunjungi satu provinsi yang berada di bawah kekuasaannya. Gubernur menjamu Umar makan malam dengan jamuan yang istimewa, sebagaimana lazimnya perjamuan untuk kepala negara. Begitu duduk di depan meja hidangan, Umar kemudian bertanya kepada sang gubernur, "Apakah hidangan ini adalah makanan yang biasa dinikmati oleh seluruh rakyatmu?"Dengan gugup, sang gubernur menjawab, "Tentu tidak, wahai Amirul Mukminin. Ini adalah hidangan istimewa untuk menghormati baginda." Umar lantas berdiri dan bersuara keras, "Demi Allah, saya ingin menjadi orang terakhir yang menikmatinya. Setelah seluruh rakyat dapat menikmati hidangan seperti ini, baru saya akan memakannya." Itulah sifat Umar bin Khattab, seorang kepala negara yang zuhud.Di lain kesempatan, sehabis shalat Zhuhur, Umar meminta selembar permadani Persia yang indah untuk dibawa pulang ke rumahnya. Tentu saja, hal ini membuat para sahabat heran. Hari itu, Umar bin Khattab membagi harta rampasan perang yang dibawa oleh pasukan Sa'ad bin Abi Waqqash yang berhasil menaklukkan Kota Madain, ibukota imperium Persia.Pakaian kebesaran Kisra lengkap dengan mahkotanya diberikan oleh Umar kepada seorang Badui yang kemudian memakainya dengan gembira. Satu demi satu barang-barang berharga dibagi-bagikan oleh Umar kepada para sahabat dan masyarakat banyak waktu itu. Yang tersisa hanya selembar permadani indah. Umar pun memintanya. "Bagaimana pendapat kalian, jika permadani ini aku bawa pulang ke rumahku?" Gembira bercampur kaget, para sahabat tergopoh-gopoh menyetujuinya. "Tentu saja wahai Amirul Mukminin, kami setuju sekali Anda membawanya pulang."Ketika tiba waktu Ashar, Umar membawa kembali permadani tersebut. Kali ini, permadani itu sudah dipotong-potong menjadi bagian kecil-kecil, dan Umar membagikan kepada beberapa sahabatnya. Dengan senyum, Umar berkata, "Hampir saja saya tergoda oleh permadani indah ini." Masya Allah, begitulah Umar, sang kepala negara. (sumber: http://www.suaramedia.com/kumpulan-a...mirul-mukminin )
[2] Pemimpin yang merakyat (Slogan kedua: Merakyat)
Umar bin Khattab tidak saja di kenal sebagai khalifah yang berwibawa dan cukup disegani tapi juga sederhana dan merakyat. Untuk mengetahui keadaan rakyatnya, Umar tak segan-segan menyamar jadi rakyat biasa. Ia sering berjalan-jalan ke pelosok desa seorang diri.Pada saat seperti itu tak seorang pun mengenalinya bahwa ia sesungguhnya kepala pemerintahan. Kalau ia menjumpai rakyatnya sedang kesusahan, ia pun segera memberi bantuan. Pada suatu ketika pada saat berjalan dimalam hari ia menemukan seorang janda tua yang lagi kehabisan gandum dirumahnya, tanpa berpikir panjang Umar pun pergi kembali kerumahnya untuk mengambilkan gandum dan memikulnya sendiri untuk diserahkan kepada janda tua tersebut, begitulah sosok sang khalifah dalam pemerintahan islam pada saat itu.Untuk itu Umar melarang keras anggota keluarganya berfoya-foya. Ia selalu berhemat dalam menggunakan keperluannya sehari-hari. Karena hematnya, untuk menggunakan lampu saja keluarga amirulmukminin ini amat berhati-hati. Lampu minyak itu baru dinyalakan bila ada pembicaraan penting. Jika tidak, lebih baik tidak pakai lampu. Dan pernah suatu ketika salah seorang anak Umar datang menghadap dan ingin mengajak ayahnya untuk berbicara beberapa kalimat saja. Umar Bin Khattab bertanya dulu” ini berbicara tentang masalah keluarga atau masalah rakyat? Ini masalah keluarga” kata sang anak. Oke kalau begitu kita matikan lampunya dulu Sebab, minyak yang digunakan untuk menyalakan lampu ini milik rakyat!" sahut khalifah ketika anaknya ingin bicara dimalam hari. Dalam hidupnya, Umar senantiasa memegang teguh amanat yang diembankan rakyat di pundaknya. Pribadi Umar yang begitu mulia terdengar dimana-mana. Rupanya, cerita tentang keagungan Khalifah Umar ini terdengar pula oleh seorang raja negara tetangga. Raja tertarik dan ingin sekali bertemu dengan Umar. Maka pada suatu hari dipersiapkanlah tentara kerajaan untuk mengawalnya berkunjung ke pemerintahan Umar. Ketika raja itu sampai di gerbang kota Madinah, dilihatnya seorang lelaki sedang sibuk menggali parit dan membersihkan got di pinggir jalan. Lalu, di panggilnya laki-laki itu. "Wahai saudaraku!" seru raja sambil duduk di atas pelana kuda kebesarannya. "Bisakah kau menunjukkan di mana letak istana dan singgasana Umar?" tanyanya kemudian. Lelaki itu segera menghentikan pekerjaannya. Lalu, ia memberi hormat. "Wahai Tuan, Umar manakah yang Tuan maksudkan?" si penggali parit balik bertanya." Umar bin Khattab kepala pemerintahan kerajaan Islam yang terkenal bijaksana dan gagah berani," kata raja.Lelaki penggali parit itu tersenyum. "Tuan salah terka. Umar bin Khattab kepala pemerintahan Islam sebenarnya tidak punya istana dan singgasana seperti yang tuan duga. Ia orang biasa seperti saya," terang si penggali parit,". "Ah benarkah? Mana mungkin kepala pemerintahan Islam yang terkenal agung seantero negeri itu tak punya istana?" raja itu mengerutkan dahinya. "Tuan tidak percaya? Baiklah, ikuti saya," sahut penggali parit itu. Lalu diajaknya rombongan raja itu menuju "istana" Umar. Setelah berjalan menelusuri lorong-lorong kampung, pasar, dan kota, akhirnya mereka tiba di depan sebuah rumah sederhana. Diajaknya tamu kerajaan itu masuk dan dipersilakannya duduk. Penggali parit itu pergi ke belakang dan ganti pakaian. Setelah itu ditemuinya tamu kerajaan itu. "Sekarang antarkanlah kami ke kerajaan Umar!"kata raja itu tak sabar. Penggali parit tersenyum. "Tuan raja, tadi sudah saya katakan bahwa Umar bin Khattab tidak mempunyai kerajaan. Bila tuan masih juga bertanya di mana letak kerajaan Umar itu, maka saat ini juga tuan-tuan sedang berada di dalam istana Umar!" Hah?!" Raja dan para pengawalnya terbelalak. Tentu saja mereka terkejut. Sebab, rumah yang di masukinya itu tidak menggambarkan sedikitpun sebagai pusat kerajaan. Meski rumah itu tampak bersih dan tersusun rapi, namun sangat sederhana. Rupanya raja tak mau percaya begitu saja. Ia pun mengeluarkan pedangnya. Lalu berdiri sambil mengacungkan pedangnya. "Jangan coba-coba menipuku! Pedang ini bisa memotong lehermu dalam sekejap!" ancamnya melotot. Penggali parit itu tetap tersenyum. Lalu dengan tenangnya, ia pun berdiri." Di sini tidak ada rakyat yang berani berbohong. Bila ada, maka belum bicara pun pedang telah menebas lehernya. Letakkanlah pedang Tuan. Tak pantas kita bertengkar di istana Umar," kata penggali parit. Dengan tenang ia memegang pedang raja dan memasukkannya kembali pada sarungnya. Raja terkesima melihat keberanian dan ketenangan si penggali parit. Antara percaya dan tidak, dipandanginya wajah penggali parit itu. Lantas, ia menebarkan kembali pandangannya menyaksikan "istana" Umar itu. Muncullah pelayan-pelayan dan pengawal-pengawal untuk menjamu mereka dengan upacara kebesaran. Namun, raja itu belum juga percaya. "Benarkah ini istana Umar?"tanyanya pada pelayan-pelayan. "Betul, Tuanku, inilah istana Umar bin Khattab," jawab salah seorang pelayan. "Baiklah," katanya. Raja memang harus mempercayai ucapan pelayan itu. "Tapi, dimanakah Umar? Tunjukkan padaku, aku ingin sekali bertemu dengannya dan bersalaman dengannya!" ujar sang raja. Dengan sopan pelayan itu pun menunjuk ke arah lelaki penggali parit yang duduk di hadapan raja." Yang duduk di hadapan Tuan adalah Khalifah Umar bin Khattab" sahut pelayan itu. "Hah?!" Raja kini benar-benar tercengang. Begitu pula para pengawalnya. "Jad...jadi, anda Khalifah Umar itu...?" tanya raja dengan tergagap. Si penggali parit mengangguk sambil tersenyum ramah. "Sejak kita pertemu pertama kali di pintu gerbang kota Madinah, sebenarnya Tuan sudah berhadapan dengan Umar bin Khattab!" ujarnya dengan tenang. Kemudian raja itu pun langsung menubruk Umar dan memeluknya erat sekali. Ia sangat terharu bahkan menangis melihat kesederhanaan Umar. Ia tak menyangka, Khalifah yang namanya disegani di seluruh negeri itu, ternyata rela menggali parit seorang diri di pinggir kota. Begitulah apabila Negara benar-benar dipegang oleh seorang yang memahami betul konsef manhaj kenabian atau manhaj yang telah melahirkan Peradaban Islam yang gemilang. Wallahu a’lam bissawaab (Sumber: http://munabarakati.blogspot.com/201...akyat.html?m=1 )
[3] Kejujuran Abu Bakar as-Siddiq (Slogan ketiga: Jujur)
Dalam sejarah, terdapat salah satu sosok manusia yang mampu menampilkan kejujuran yang benar, selain Nabi Muhammad Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) adalah Abu Bakr. Dia merupakan sahabat yang pertama yang beriman ke pada Nabi dari golongan laki-laki dewasa.Kejujurannya telah teruji semenjak awal dia masuk Islam. Hal tersebut terbukti -salah satunya- di tengah-tengah kaum Quraisy mengingkari dan bahkan menghina Nabi dengan peristiwa Isra’ dan Mi’raj, Abu Bakr justru menjadi orang pertama yang meyakini kebenaran hal tersebut.Bahkan, dia berani menantang kaum kafir, bahwa kalau saja ada berita yang lebih dahsyat dari peristiwa Isra’ dan Mi’raj, maka dia akan mempercayai hal tersebut tanpa sedikitpun meragukannya.Kejujuran Abu Bakr ini, kemudian terwujud dengan tindakan nyata. Dia tidak pernah meragukan akan apa yang telah menjadi janji Allah dan Rosul-Nya. Dan hal itu setidaknya tergambar dengan keberaniannya menyerahkan kepada Nabi seluruh harta bendanya demi memperjuangkan kejayaan Islam pada suatu peperangan.“Aku tinggalkan mereka Allah dan Rosul-Nya”. Hanya kalimat singkat ini lah yang terlontar dari lisan Abu Bakr, ketika Rosulullah bertanya tentang apa yang dia sisakan untuk keluarganya, kalau semua kekayaannya dia serahkan fii sabilillah.Karena kejujurannya ini, yang telah menjadi gaya hidupnya, beliau pun mendapat julukan sebagai As-Shiddiq (orang yang membenarkan). Tidak itu saja, jaminan ‘tiket’ masuk surga secara langsung, pun telah beliau genggam dari Rosulullah. Allahu Akbar !!!. (Sumber: http://m.hidayatullah.com/kajian/gay...l#.U9YEI6Mxfa8
Nah, Apakah Joko Widodo mempunyai ketiga sifat tersebut? Silahkan dibaca.
Joko Widodo, Jujur, Merakyat, Sederhana
1. Sifat Sederhana Jokowi:
Memang bukan hal lain dan tentunya semua orang tau bahwa Jokowi merupakan seorang yang sederhana, tanpa adanya kerumitan berpikir, dan selalu melaksanakan secara langsung atau simple. Sehingga patut dicontoh bila seorang Jokowi selalu melaksanakan tugasnya secara langsung dan tanpa adanya penghambatan mental sedikitpun. Patut dicontoh bila seorang Jokowi memberikan keterangan kepada semua rakyat Jakarta untuk memperoleh kehidupan yang lebih layak. Sebagai misal Kartu Jakarta Sehat, ini menunjukkan bahwa Jokowi adalah pemimpin sederhana yang selalu mementingkan rakyatnya.
2. Sifat Merakyat Jokowi:
Ini berarti Jokowi senang dengan kepemimpinannya dan senang dengan rakyat yang akan dipimpinnya. Jokowi merupakan panutan hebat bagi keseluruhan rakyatnya. Beliau menjabat sebagai gubernur Jakarta sendiri selalu memakan atau mencicipi makanan khas daerah DKI Jakarta untuk menghargai seluruh masakan tradisional dan masakan khas daerah demi terciptanya kerakyatan yang adil. Dengan merakyat inilah seorang Jokowi banyak yang menyukai.
3. Sifat Jujur Jokowi:
Selama karier kepemimpinannya di Pemerintahan baik di Solo atau DKI Jakarta, Jokowi tidak pernah korupsi atau memakai dana APBD untuk kepentingan sendiri dan orang terdekatnya.
[1] Kesederhanaan dan Kerendahan Umar bin Khattab (Slogan pertama: Sederhana)
Beberapa kali Abdurrahman bin Auf menyaksikan Umar shalat sunah di rumahnya. Yang menarik perhatiannya, bukanlah tata cara shalatnya, melainkan sajadah yang biasa digunakan Umar. Seorang kepala kegara dengan wilayah kekuasaan yang membentang luas sampai Mesir, berhasil mengalahkan dua imperium besar, Romawi Timur dan Persia, justru shalat di atas sajadah yang usang. Timbul rasa bersalah dalam hati Abdurrahman. Ia ingin membelikan sajadah baru yang mahal dan indah untuk sang Amirul Mukminin.Tetapi, Abdurrahman ragu, apakah Umar mau menerimanya. Dia tahu persis watak Umar yang tidak mau diberi hadiah apa pun walau hanya selembar sajadah.Abdurrahman akhirnya memberikan sebuah sajadah melalui istri Umar, Ummu Abdillah. Melihat sajadah baru, Umar memanggil istrinya dan menanyakan siapa yang memberi sajadah ini. "Abdurrahman bin Auf," jawab istrinya. "Kembalikan sajadah ini kepada Abdurrahman. Saya sudah cukup puas dengan sajadah yang saya miliki." Begitulah watak Umar bin Khattab. Tidak hanya adil dan bijaksana, beliau dikenal dengan sifat zuhudnya, hidup sederhana. Tidak hanya untuk ukuran seorang kepala negara, bahkan bagi orang biasa sekalipun.Suatu hari, Umar melakukan perjalanan dinas mengunjungi satu provinsi yang berada di bawah kekuasaannya. Gubernur menjamu Umar makan malam dengan jamuan yang istimewa, sebagaimana lazimnya perjamuan untuk kepala negara. Begitu duduk di depan meja hidangan, Umar kemudian bertanya kepada sang gubernur, "Apakah hidangan ini adalah makanan yang biasa dinikmati oleh seluruh rakyatmu?"Dengan gugup, sang gubernur menjawab, "Tentu tidak, wahai Amirul Mukminin. Ini adalah hidangan istimewa untuk menghormati baginda." Umar lantas berdiri dan bersuara keras, "Demi Allah, saya ingin menjadi orang terakhir yang menikmatinya. Setelah seluruh rakyat dapat menikmati hidangan seperti ini, baru saya akan memakannya." Itulah sifat Umar bin Khattab, seorang kepala negara yang zuhud.Di lain kesempatan, sehabis shalat Zhuhur, Umar meminta selembar permadani Persia yang indah untuk dibawa pulang ke rumahnya. Tentu saja, hal ini membuat para sahabat heran. Hari itu, Umar bin Khattab membagi harta rampasan perang yang dibawa oleh pasukan Sa'ad bin Abi Waqqash yang berhasil menaklukkan Kota Madain, ibukota imperium Persia.Pakaian kebesaran Kisra lengkap dengan mahkotanya diberikan oleh Umar kepada seorang Badui yang kemudian memakainya dengan gembira. Satu demi satu barang-barang berharga dibagi-bagikan oleh Umar kepada para sahabat dan masyarakat banyak waktu itu. Yang tersisa hanya selembar permadani indah. Umar pun memintanya. "Bagaimana pendapat kalian, jika permadani ini aku bawa pulang ke rumahku?" Gembira bercampur kaget, para sahabat tergopoh-gopoh menyetujuinya. "Tentu saja wahai Amirul Mukminin, kami setuju sekali Anda membawanya pulang."Ketika tiba waktu Ashar, Umar membawa kembali permadani tersebut. Kali ini, permadani itu sudah dipotong-potong menjadi bagian kecil-kecil, dan Umar membagikan kepada beberapa sahabatnya. Dengan senyum, Umar berkata, "Hampir saja saya tergoda oleh permadani indah ini." Masya Allah, begitulah Umar, sang kepala negara. (sumber: http://www.suaramedia.com/kumpulan-a...mirul-mukminin )
[2] Pemimpin yang merakyat (Slogan kedua: Merakyat)
Umar bin Khattab tidak saja di kenal sebagai khalifah yang berwibawa dan cukup disegani tapi juga sederhana dan merakyat. Untuk mengetahui keadaan rakyatnya, Umar tak segan-segan menyamar jadi rakyat biasa. Ia sering berjalan-jalan ke pelosok desa seorang diri.Pada saat seperti itu tak seorang pun mengenalinya bahwa ia sesungguhnya kepala pemerintahan. Kalau ia menjumpai rakyatnya sedang kesusahan, ia pun segera memberi bantuan. Pada suatu ketika pada saat berjalan dimalam hari ia menemukan seorang janda tua yang lagi kehabisan gandum dirumahnya, tanpa berpikir panjang Umar pun pergi kembali kerumahnya untuk mengambilkan gandum dan memikulnya sendiri untuk diserahkan kepada janda tua tersebut, begitulah sosok sang khalifah dalam pemerintahan islam pada saat itu.Untuk itu Umar melarang keras anggota keluarganya berfoya-foya. Ia selalu berhemat dalam menggunakan keperluannya sehari-hari. Karena hematnya, untuk menggunakan lampu saja keluarga amirulmukminin ini amat berhati-hati. Lampu minyak itu baru dinyalakan bila ada pembicaraan penting. Jika tidak, lebih baik tidak pakai lampu. Dan pernah suatu ketika salah seorang anak Umar datang menghadap dan ingin mengajak ayahnya untuk berbicara beberapa kalimat saja. Umar Bin Khattab bertanya dulu” ini berbicara tentang masalah keluarga atau masalah rakyat? Ini masalah keluarga” kata sang anak. Oke kalau begitu kita matikan lampunya dulu Sebab, minyak yang digunakan untuk menyalakan lampu ini milik rakyat!" sahut khalifah ketika anaknya ingin bicara dimalam hari. Dalam hidupnya, Umar senantiasa memegang teguh amanat yang diembankan rakyat di pundaknya. Pribadi Umar yang begitu mulia terdengar dimana-mana. Rupanya, cerita tentang keagungan Khalifah Umar ini terdengar pula oleh seorang raja negara tetangga. Raja tertarik dan ingin sekali bertemu dengan Umar. Maka pada suatu hari dipersiapkanlah tentara kerajaan untuk mengawalnya berkunjung ke pemerintahan Umar. Ketika raja itu sampai di gerbang kota Madinah, dilihatnya seorang lelaki sedang sibuk menggali parit dan membersihkan got di pinggir jalan. Lalu, di panggilnya laki-laki itu. "Wahai saudaraku!" seru raja sambil duduk di atas pelana kuda kebesarannya. "Bisakah kau menunjukkan di mana letak istana dan singgasana Umar?" tanyanya kemudian. Lelaki itu segera menghentikan pekerjaannya. Lalu, ia memberi hormat. "Wahai Tuan, Umar manakah yang Tuan maksudkan?" si penggali parit balik bertanya." Umar bin Khattab kepala pemerintahan kerajaan Islam yang terkenal bijaksana dan gagah berani," kata raja.Lelaki penggali parit itu tersenyum. "Tuan salah terka. Umar bin Khattab kepala pemerintahan Islam sebenarnya tidak punya istana dan singgasana seperti yang tuan duga. Ia orang biasa seperti saya," terang si penggali parit,". "Ah benarkah? Mana mungkin kepala pemerintahan Islam yang terkenal agung seantero negeri itu tak punya istana?" raja itu mengerutkan dahinya. "Tuan tidak percaya? Baiklah, ikuti saya," sahut penggali parit itu. Lalu diajaknya rombongan raja itu menuju "istana" Umar. Setelah berjalan menelusuri lorong-lorong kampung, pasar, dan kota, akhirnya mereka tiba di depan sebuah rumah sederhana. Diajaknya tamu kerajaan itu masuk dan dipersilakannya duduk. Penggali parit itu pergi ke belakang dan ganti pakaian. Setelah itu ditemuinya tamu kerajaan itu. "Sekarang antarkanlah kami ke kerajaan Umar!"kata raja itu tak sabar. Penggali parit tersenyum. "Tuan raja, tadi sudah saya katakan bahwa Umar bin Khattab tidak mempunyai kerajaan. Bila tuan masih juga bertanya di mana letak kerajaan Umar itu, maka saat ini juga tuan-tuan sedang berada di dalam istana Umar!" Hah?!" Raja dan para pengawalnya terbelalak. Tentu saja mereka terkejut. Sebab, rumah yang di masukinya itu tidak menggambarkan sedikitpun sebagai pusat kerajaan. Meski rumah itu tampak bersih dan tersusun rapi, namun sangat sederhana. Rupanya raja tak mau percaya begitu saja. Ia pun mengeluarkan pedangnya. Lalu berdiri sambil mengacungkan pedangnya. "Jangan coba-coba menipuku! Pedang ini bisa memotong lehermu dalam sekejap!" ancamnya melotot. Penggali parit itu tetap tersenyum. Lalu dengan tenangnya, ia pun berdiri." Di sini tidak ada rakyat yang berani berbohong. Bila ada, maka belum bicara pun pedang telah menebas lehernya. Letakkanlah pedang Tuan. Tak pantas kita bertengkar di istana Umar," kata penggali parit. Dengan tenang ia memegang pedang raja dan memasukkannya kembali pada sarungnya. Raja terkesima melihat keberanian dan ketenangan si penggali parit. Antara percaya dan tidak, dipandanginya wajah penggali parit itu. Lantas, ia menebarkan kembali pandangannya menyaksikan "istana" Umar itu. Muncullah pelayan-pelayan dan pengawal-pengawal untuk menjamu mereka dengan upacara kebesaran. Namun, raja itu belum juga percaya. "Benarkah ini istana Umar?"tanyanya pada pelayan-pelayan. "Betul, Tuanku, inilah istana Umar bin Khattab," jawab salah seorang pelayan. "Baiklah," katanya. Raja memang harus mempercayai ucapan pelayan itu. "Tapi, dimanakah Umar? Tunjukkan padaku, aku ingin sekali bertemu dengannya dan bersalaman dengannya!" ujar sang raja. Dengan sopan pelayan itu pun menunjuk ke arah lelaki penggali parit yang duduk di hadapan raja." Yang duduk di hadapan Tuan adalah Khalifah Umar bin Khattab" sahut pelayan itu. "Hah?!" Raja kini benar-benar tercengang. Begitu pula para pengawalnya. "Jad...jadi, anda Khalifah Umar itu...?" tanya raja dengan tergagap. Si penggali parit mengangguk sambil tersenyum ramah. "Sejak kita pertemu pertama kali di pintu gerbang kota Madinah, sebenarnya Tuan sudah berhadapan dengan Umar bin Khattab!" ujarnya dengan tenang. Kemudian raja itu pun langsung menubruk Umar dan memeluknya erat sekali. Ia sangat terharu bahkan menangis melihat kesederhanaan Umar. Ia tak menyangka, Khalifah yang namanya disegani di seluruh negeri itu, ternyata rela menggali parit seorang diri di pinggir kota. Begitulah apabila Negara benar-benar dipegang oleh seorang yang memahami betul konsef manhaj kenabian atau manhaj yang telah melahirkan Peradaban Islam yang gemilang. Wallahu a’lam bissawaab (Sumber: http://munabarakati.blogspot.com/201...akyat.html?m=1 )
[3] Kejujuran Abu Bakar as-Siddiq (Slogan ketiga: Jujur)
Dalam sejarah, terdapat salah satu sosok manusia yang mampu menampilkan kejujuran yang benar, selain Nabi Muhammad Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) adalah Abu Bakr. Dia merupakan sahabat yang pertama yang beriman ke pada Nabi dari golongan laki-laki dewasa.Kejujurannya telah teruji semenjak awal dia masuk Islam. Hal tersebut terbukti -salah satunya- di tengah-tengah kaum Quraisy mengingkari dan bahkan menghina Nabi dengan peristiwa Isra’ dan Mi’raj, Abu Bakr justru menjadi orang pertama yang meyakini kebenaran hal tersebut.Bahkan, dia berani menantang kaum kafir, bahwa kalau saja ada berita yang lebih dahsyat dari peristiwa Isra’ dan Mi’raj, maka dia akan mempercayai hal tersebut tanpa sedikitpun meragukannya.Kejujuran Abu Bakr ini, kemudian terwujud dengan tindakan nyata. Dia tidak pernah meragukan akan apa yang telah menjadi janji Allah dan Rosul-Nya. Dan hal itu setidaknya tergambar dengan keberaniannya menyerahkan kepada Nabi seluruh harta bendanya demi memperjuangkan kejayaan Islam pada suatu peperangan.“Aku tinggalkan mereka Allah dan Rosul-Nya”. Hanya kalimat singkat ini lah yang terlontar dari lisan Abu Bakr, ketika Rosulullah bertanya tentang apa yang dia sisakan untuk keluarganya, kalau semua kekayaannya dia serahkan fii sabilillah.Karena kejujurannya ini, yang telah menjadi gaya hidupnya, beliau pun mendapat julukan sebagai As-Shiddiq (orang yang membenarkan). Tidak itu saja, jaminan ‘tiket’ masuk surga secara langsung, pun telah beliau genggam dari Rosulullah. Allahu Akbar !!!. (Sumber: http://m.hidayatullah.com/kajian/gay...l#.U9YEI6Mxfa8
Nah, Apakah Joko Widodo mempunyai ketiga sifat tersebut? Silahkan dibaca.
Joko Widodo, Jujur, Merakyat, Sederhana
1. Sifat Sederhana Jokowi:
Memang bukan hal lain dan tentunya semua orang tau bahwa Jokowi merupakan seorang yang sederhana, tanpa adanya kerumitan berpikir, dan selalu melaksanakan secara langsung atau simple. Sehingga patut dicontoh bila seorang Jokowi selalu melaksanakan tugasnya secara langsung dan tanpa adanya penghambatan mental sedikitpun. Patut dicontoh bila seorang Jokowi memberikan keterangan kepada semua rakyat Jakarta untuk memperoleh kehidupan yang lebih layak. Sebagai misal Kartu Jakarta Sehat, ini menunjukkan bahwa Jokowi adalah pemimpin sederhana yang selalu mementingkan rakyatnya.
2. Sifat Merakyat Jokowi:
Ini berarti Jokowi senang dengan kepemimpinannya dan senang dengan rakyat yang akan dipimpinnya. Jokowi merupakan panutan hebat bagi keseluruhan rakyatnya. Beliau menjabat sebagai gubernur Jakarta sendiri selalu memakan atau mencicipi makanan khas daerah DKI Jakarta untuk menghargai seluruh masakan tradisional dan masakan khas daerah demi terciptanya kerakyatan yang adil. Dengan merakyat inilah seorang Jokowi banyak yang menyukai.
3. Sifat Jujur Jokowi:
Selama karier kepemimpinannya di Pemerintahan baik di Solo atau DKI Jakarta, Jokowi tidak pernah korupsi atau memakai dana APBD untuk kepentingan sendiri dan orang terdekatnya.
0
759
0
Thread Digembok
Thread Digembok
Komunitas Pilihan