- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
[Komedi] Hati Karamel Boy (Kocak Gila, Gan!!!)


TS
siswakonyol
[Komedi] Hati Karamel Boy (Kocak Gila, Gan!!!)
Hari ini ane baru saja daftar Kaskus. Ane masih newbie yang paling newbie tapi udah mau nulis cerita aja di SFTH. Ya, kalo jelek gak usah dibaca aja. Tapi tolong berikan komen ya entah jelek atau bagus boleh, asal komen, biar ane tahu siapa aja yang baca gitu.
Masalah update ane bakal sering update tentunya kalau ada komen pembangkit semangat ane. Masalah judulnya kenapa "Hati Karamel Boy" itu akan menjadi salah satu judul cerita ini, pokoknya bakalan tahu deh artinya apaan nanti
Waktu SMP, gue pengin banget punya motor.
Banyak alasan yang menyertai keinginan gue itu. Pertama : gue ingin lebih cepat sampai di sekolah. Kedua : Gue gak akan sampai kesulitan napas saat sampai di sekolah. Ketiga : Gue bisa boncengan seorang cewek.
Memang nggak bisa diragukan lagi, di jaman modern ini, tampang dan kepintaran hanya akan berarti sedikit bila kita tak punya materi. Salah satu contoh materi yang paling bisa menarikhati seorang cewek adalah motor. Semakin besar motor yang kita bawa, semakin besar cewek yang akan kita bonceng. Eh, salah, semakin besar motor yang kita bawa, semakin cantik cewek yang kita bonceng.
Kebanyakan dari cowok populer di sekolah gue, waktu itu, bawa motor besar. Entah dari pabrik Jujuki, Condha, Yamahal, sampai ada pula yang motornya ber-merk sama dengan yang dipakai oleh pebalap Moto GP. Itu semua tak dapat dipisahkan dari kenyataan bahwa orang tua mereka kaya raya.
Ketenaran dari si pembawa motor besar, biasanya akan merembet sampai jam pelajaran sekolah. Mereka tetap menjadi bahan pembicaraan nomor satu. Dimana guru yang sedang menjelaskan di depan seolah menjadi sebuah pajangan yang tak lebih berarti dari vas bunga.
“Eh, lo tahu Rudi nggak?” tanya seorang cewek pada temannya.
“Rudi? Siapa?”
“Itu loh yang motornya Yamahal keluaran terbaru,” Biasanya gaya
mengobrol si cewek, akan dikolaborasikan dengan bibir yang sedikit maju, mata melotot, sampai tangan yang sengaja dinaik-naikin agar menambah kesan seolah-olah Rudi adalah orang terkenal yang baru saja menang lotre 2 milyar, “aduh! Masa lo gak tahu, sih? Itu yang motornya gede, warna biru, platnya XXXX dan parkirnya selalu di blablablabla…,”
“Oh, Rudi yang itu.”
“Iya, dia cakep, ya.”
Padahal muka si Rudi pas dilihat malah lebih mirip Nobita yang kebelet boker.
***
Dikejar-kejar cewek seperti cowok bermotor, hanyalah menjadi impian gue yang kayaknya gak pernah bisa terwujud. Gue yang waktu itu pulang-pergi jalan kaki. Sampai telunjuk membesar mirip jempol, hanya bisa mangap ketika melihat cowok bermotor membonceng seorang cewek cantik. Lebih parah lagi bila, cewek yang dibonceng adalah incaran gue.
Tapi gue bukanlah satu-satunya cowok bernasib malang. Deno dan Yohan adalah salah duanya. Mereka selalu berbarengan berjalan pulang. Terlihat dari muka, mereka kayaknya gak sesedih gue. Mereka seolah tak punya ketertarikan pada cewek-cewek yang bersliweran di bonceng, di depan mata mereka. Pernah gue berasumsi kalau mereka berdua homo sebelum akhirnya gue bergabung dengan mereka.
“No, Han, lo gak ngiri gitu lihat cowok-cowok di depan kita?” tanya gue, heran.
“Hah, ngapain,” Deno merangkul pundak Yohan. Gue menelan ludah, sembari berdoa semoga mereka bukan homo, “masa-masa belajar ya belajar. Nanti ketika gede kita bisa ngasilin duit sendiri dengan ilmu kita itu. Masalah motor, segede apapun ukurannya kita bisa beli nanti asal tekun dan cerdas bekerja. Setelah itu cewek mah dateng sendiri. Betul gak, Han?”
“Betul, No!”
Gue manggut-manggut.
***
Perbincangan gue dengan Deno dan Yohan gak sepenuhnya membuat ketertarikan gue dengan motor menghilang. Tepatnya ketika jam pelajaran kosong, seorang cewek yang gue taksir, dan semalamnya telah gue sms, menghampiri gue.
“Eh, lo yang sms gue semalem, kan?” tanya cewek itu, raut mukanya kelihatan marah.
“Iya, emang kenapa?” gue balik nanya. Sebenernya gue sudah gugup banget, hampir saja keluar kata-kata seperti ini, “Gue bukan mama minta pulsa, gue bukan mama minta pulsa!”
“Jadi, lo yang nembak gue semalem?”
“Iya.”
“Hem… muka lo lumayan,” Wah? Mungkinkah gue jadi pacarnya? “tapi…, sayang lo gak punya motor. Bisa-bisa kaki mulus gue ini lecet. Jadi, gue—“
“Gue mau kok ngegendong lo sampai rumah,” jawab gue asal yang penting dia nerima gue.
“Beneran? Jarak rumah gue dari sekolah 6 kilo, lho?”
“Err… nggak jadi, deh.”
Dengan alasan itu, gue ngotot mau beli motor. Gue ngancem kedua orang tua kalau gue mau potong…rambut kalau mereka gak beliin. Mereka gak menggubris (yaiyalah). Ancemannya gue tambah, yaitu, gantung diri, mereka tetep gak menggubris. Sampai akhirnya gue ngancem minum cairan pembersih lantai, baru mereka mau, dengan alasan harga cairan pembersih lantai mahal.
Kurang lebih seminggu motor pun dateng. Meskipun bukan motor gede tapi gue tetep seneng dan bangga. Gak sampai sehari belajar gue sudah bawa tuh motor ke sekolah. Saat pulang sekolah, cewek yang nolak gue kemarin ngemis-ngemis minta bonceng. Jelas! Gue izinin.
Di perjalanan, gue ajak ngobrol-ngobrol dia. Gue tanyain juga apakah dia suka dengan motor baru gue…, dan dia menjawab suka. Lalu, gue tanyain juga apakah dia suka dengan yang bawa motornya…, dan dia suka juga! Wow! Akhirnya gue akan dapet pacar juga.
Deno dan Yohan, tampak di seberang jalan. Tentunya sebagai teman yang baik gue gak boleh ngejek mereka. Berhubung gue pernah satu penderitaan dengan mereka, gue pun hanya say hai dan pamer berlebihan. Mereka menatap gue dengan tatapan yang seolah berkata,
“Sialan! Gue juga mau!”
Tak dinyana, saat mata lebih focus ke Deno dan Yohan gue gak merhatiin ada lubang di jalan. Ditambah kemampuan bawa motor yang amatir, gue gak bisa menghindari lubang itu. Gue sukses jatuh.
Gue dan cewek itu memang hanya luka-luka. Tapi, motornya, bisa dibilang hancur.
Sejak kejadian itu, kedua orang tua melarang gue membawa motor lagi dengan alasan keselamatan. Alhasil, gue harus kembali bergabung dengan Deno dan Yohan.
Masalah update ane bakal sering update tentunya kalau ada komen pembangkit semangat ane. Masalah judulnya kenapa "Hati Karamel Boy" itu akan menjadi salah satu judul cerita ini, pokoknya bakalan tahu deh artinya apaan nanti

Quote:
Tragedi Motor Baru
Waktu SMP, gue pengin banget punya motor.
Banyak alasan yang menyertai keinginan gue itu. Pertama : gue ingin lebih cepat sampai di sekolah. Kedua : Gue gak akan sampai kesulitan napas saat sampai di sekolah. Ketiga : Gue bisa boncengan seorang cewek.
Memang nggak bisa diragukan lagi, di jaman modern ini, tampang dan kepintaran hanya akan berarti sedikit bila kita tak punya materi. Salah satu contoh materi yang paling bisa menarikhati seorang cewek adalah motor. Semakin besar motor yang kita bawa, semakin besar cewek yang akan kita bonceng. Eh, salah, semakin besar motor yang kita bawa, semakin cantik cewek yang kita bonceng.
Kebanyakan dari cowok populer di sekolah gue, waktu itu, bawa motor besar. Entah dari pabrik Jujuki, Condha, Yamahal, sampai ada pula yang motornya ber-merk sama dengan yang dipakai oleh pebalap Moto GP. Itu semua tak dapat dipisahkan dari kenyataan bahwa orang tua mereka kaya raya.
Ketenaran dari si pembawa motor besar, biasanya akan merembet sampai jam pelajaran sekolah. Mereka tetap menjadi bahan pembicaraan nomor satu. Dimana guru yang sedang menjelaskan di depan seolah menjadi sebuah pajangan yang tak lebih berarti dari vas bunga.
“Eh, lo tahu Rudi nggak?” tanya seorang cewek pada temannya.
“Rudi? Siapa?”
“Itu loh yang motornya Yamahal keluaran terbaru,” Biasanya gaya
mengobrol si cewek, akan dikolaborasikan dengan bibir yang sedikit maju, mata melotot, sampai tangan yang sengaja dinaik-naikin agar menambah kesan seolah-olah Rudi adalah orang terkenal yang baru saja menang lotre 2 milyar, “aduh! Masa lo gak tahu, sih? Itu yang motornya gede, warna biru, platnya XXXX dan parkirnya selalu di blablablabla…,”
“Oh, Rudi yang itu.”
“Iya, dia cakep, ya.”
Padahal muka si Rudi pas dilihat malah lebih mirip Nobita yang kebelet boker.
***
Dikejar-kejar cewek seperti cowok bermotor, hanyalah menjadi impian gue yang kayaknya gak pernah bisa terwujud. Gue yang waktu itu pulang-pergi jalan kaki. Sampai telunjuk membesar mirip jempol, hanya bisa mangap ketika melihat cowok bermotor membonceng seorang cewek cantik. Lebih parah lagi bila, cewek yang dibonceng adalah incaran gue.
Tapi gue bukanlah satu-satunya cowok bernasib malang. Deno dan Yohan adalah salah duanya. Mereka selalu berbarengan berjalan pulang. Terlihat dari muka, mereka kayaknya gak sesedih gue. Mereka seolah tak punya ketertarikan pada cewek-cewek yang bersliweran di bonceng, di depan mata mereka. Pernah gue berasumsi kalau mereka berdua homo sebelum akhirnya gue bergabung dengan mereka.
“No, Han, lo gak ngiri gitu lihat cowok-cowok di depan kita?” tanya gue, heran.
“Hah, ngapain,” Deno merangkul pundak Yohan. Gue menelan ludah, sembari berdoa semoga mereka bukan homo, “masa-masa belajar ya belajar. Nanti ketika gede kita bisa ngasilin duit sendiri dengan ilmu kita itu. Masalah motor, segede apapun ukurannya kita bisa beli nanti asal tekun dan cerdas bekerja. Setelah itu cewek mah dateng sendiri. Betul gak, Han?”
“Betul, No!”
Gue manggut-manggut.
***
Perbincangan gue dengan Deno dan Yohan gak sepenuhnya membuat ketertarikan gue dengan motor menghilang. Tepatnya ketika jam pelajaran kosong, seorang cewek yang gue taksir, dan semalamnya telah gue sms, menghampiri gue.
“Eh, lo yang sms gue semalem, kan?” tanya cewek itu, raut mukanya kelihatan marah.
“Iya, emang kenapa?” gue balik nanya. Sebenernya gue sudah gugup banget, hampir saja keluar kata-kata seperti ini, “Gue bukan mama minta pulsa, gue bukan mama minta pulsa!”
“Jadi, lo yang nembak gue semalem?”
“Iya.”
“Hem… muka lo lumayan,” Wah? Mungkinkah gue jadi pacarnya? “tapi…, sayang lo gak punya motor. Bisa-bisa kaki mulus gue ini lecet. Jadi, gue—“
“Gue mau kok ngegendong lo sampai rumah,” jawab gue asal yang penting dia nerima gue.
“Beneran? Jarak rumah gue dari sekolah 6 kilo, lho?”
“Err… nggak jadi, deh.”
Dengan alasan itu, gue ngotot mau beli motor. Gue ngancem kedua orang tua kalau gue mau potong…rambut kalau mereka gak beliin. Mereka gak menggubris (yaiyalah). Ancemannya gue tambah, yaitu, gantung diri, mereka tetep gak menggubris. Sampai akhirnya gue ngancem minum cairan pembersih lantai, baru mereka mau, dengan alasan harga cairan pembersih lantai mahal.
Kurang lebih seminggu motor pun dateng. Meskipun bukan motor gede tapi gue tetep seneng dan bangga. Gak sampai sehari belajar gue sudah bawa tuh motor ke sekolah. Saat pulang sekolah, cewek yang nolak gue kemarin ngemis-ngemis minta bonceng. Jelas! Gue izinin.
Di perjalanan, gue ajak ngobrol-ngobrol dia. Gue tanyain juga apakah dia suka dengan motor baru gue…, dan dia menjawab suka. Lalu, gue tanyain juga apakah dia suka dengan yang bawa motornya…, dan dia suka juga! Wow! Akhirnya gue akan dapet pacar juga.
Deno dan Yohan, tampak di seberang jalan. Tentunya sebagai teman yang baik gue gak boleh ngejek mereka. Berhubung gue pernah satu penderitaan dengan mereka, gue pun hanya say hai dan pamer berlebihan. Mereka menatap gue dengan tatapan yang seolah berkata,
“Sialan! Gue juga mau!”
Tak dinyana, saat mata lebih focus ke Deno dan Yohan gue gak merhatiin ada lubang di jalan. Ditambah kemampuan bawa motor yang amatir, gue gak bisa menghindari lubang itu. Gue sukses jatuh.
Gue dan cewek itu memang hanya luka-luka. Tapi, motornya, bisa dibilang hancur.
Sejak kejadian itu, kedua orang tua melarang gue membawa motor lagi dengan alasan keselamatan. Alhasil, gue harus kembali bergabung dengan Deno dan Yohan.


anasabila memberi reputasi
1
1.9K
Kutip
5
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan