- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Untuk Kamu, Seseorang dari Jauh


TS
oktarn
Untuk Kamu, Seseorang dari Jauh
UNTUK KAMU
Kulihat pagi ini dia murung lagi, tidak seperti dulu, ketika aku berdering lebih sering.
Dua tahun lalu.
Aku ikut bahagia ketika dia mendapati dirinya menerima pesan singkat pertama kali dari teman lamanya, darimu. Beberapa hari selanjutnya ia isi dengan mengikuti aktivitasmu di media sosial, entah kamu sadar atau tidak. Aku rasa pesan singkat pertamamu itu telah membuatnya lebih ringan mengerjakan tugas sekolah, juga tampak lebih dewasa menghadapi hari-harinya, seolah di masa depannya ia yakin ada kamu, dan dia akan menjadi milikmu.
Waktu itu kelas dua SMA, kamu dan dia berkomunikasi semakin sering. Kalian bercanda, bergurau, bahkan melempar kata-kata romantis, namun sepertinya kalian tidak pernah membuat janji apapun. Bertukar suara pun tidak pernah, hanya sebatas kata-kata yang tertulis dalam pesan singkat. Itu saja.
Perlahan waktu mengantarnya pada sebuah ketidakpastian. Dia mulai bertanya-tanya pada dirinya sendiri, akankah kamu benar-benar akan ada di masa depannya?
Sekali lagi entah kamu sadar atau tidak, dia mulai menjaga jarak denganmu. Bertingkah sok jual mahal lewat pesan singkat yang dia kirimkan padamu. Ketika datang pesan singkat darimu, dia menerimanya, dia senang seperti biasa, namun ditunggunya beberapa saat baru dia menuliskan kata-katanya untukmu, lalu kamu marah-marah-manja membalas balasan pesannya yang lama.
Suatu hari yang sepi, sepulang sekolah yang melelahkan, dia berbinar melihatku menyala-nyala. Ibunya berteriak, "Din, ponselmu berbunyi!"
"Iya, Bu," jawabnya.
Aku senang melihatnya tersenyum hari itu. Kamu mengirimnya sebait puisi dalam bahasa inggris.
"...because a girl like you is impossible to find, you're impossible to find." Begitulah bait terakhir dalam puisimu itu. Dia tau jelas bukan kamu yang membuatnya, karena kamu tidak sepandai itu membuat puisi. Dia tau kamu tidak sepandai itu.
Dia mengamatiku lebih jeli. Mengutak-atik google hingga dia menemukan bahwa puisimu itu adalah sepenggal lirik lagu dari Secondhand Serenade, Fall For You. Benar kan?
Paginya dia berangkat sekolah seperti biasa dengan muka berseri tanpa beban. Kurasa dia masih melayang bersama kata-katamu. Aku sempat takut kata-kata itu hanya melayang dan pudar, membawanya terbang lalu meninggalkannya begitu saja di angkasa.
Kamu mulai lagi menanyakan kabarnya, setiap hari. Kamu membuatnya berbunga-bunga, kadang kamu juga membuatnya cemas menunggu balasan darimu, dan itu membuatnya lebih emosional. Bayang-bayang tentangmu seolah nyata di pikirannya. Setiap pesan yang kamu kirimkan adalah anugerah, membahagiakan.
Cih, aku mulai muak denganmu. Kamu ini terlalu penakut atau apa? Kamu hanya bertukar pesan singkat dari jauh. Sebenarnya kalian tidak benar-benar jauh kan? Kamu bisa mengajaknya main keluar, jalan-jalan, atau apa. Kamu bisa menemuinya kapan saja, tapi kamu tidak pernah melakukan itu.
Aku lebih kecewa lagi ketika kamu mulai mengurangi intensitasmu berkirim pesan singkat. Menjelang ujian nasional, secara frontal kamu minta dia untuk tidak menghubunginya. Harusnya kamu tau itu menyakitkan.
Aku sangat kagum ketika dia menanggapi itu dengan tenang. Dia berfikir kamu mungkin perlu konsentrasi untuk mempersiapkan ujian nasional, begitupun dengannya. Aku melihatnya semakin dewasa. Dia lulus SMA hari itu. Dia dapat juara umum, asal kamu tau.
Aku sangat berterimakasih kamu tidak menghubunginya, dan aku harap begitu selanjutnya. Dia menjadi lebih rasional dan merancang masa depannya dengan baik. Dia telah diterima di perguruan tinggi luar kota. Rasakan itu, kamu semakin tidak bisa menemuinya.
Sayangnya kamu hanya memikirkan kesenanganmu sendiri. Menjelang keberangkatannya, kamu menghubunginya lagi. Beberapa hari kemudian aku mendapati sebuah file lagu di memoriku, Fall For You. Ah sial, kamu pasti meracuninya lagi. Aku sangat muak dia memutarnya berkali-kali hari itu. Tapi aku bisa apa?
Sekali lagi aku berdering karenamu. Dia senang dan mulai mengagumimu lagi karena katamu kamu diterima di perguruan tinggi paling terkenal di kota ini. Kalau aku pikir sih kamu yang mengagumi dia sekarang, karena dulu kamu pernah bilang ingin diterima di perguruan tinggi di mana dia akan kuliah nanti. Ah tapi mungkin dia sudah lupa, dia sudah mabuk dengan kata-katamu.
Ternyata kuliah di perguruan tinggi yang kamu impikan itu tidak mudah, buktinya dia bekerja keras untuk memenuhi paper dan tugas-tugas presentasinya. Dia mulai melupakanmu, ditambah bertemu orang-orang baru yang tidak kalah keren darimu, dari kata-katamu, maksudku. Lagipula mereka lebih ril, tidak seperti dirimu yang hanya tersusun dari barisan kata-kata. Kurasa dia mulai sadar bahwa kehadiranmu hanya semu. Dia mulai merasakan kebahagiaan yang lain, kebahagiaan ketika berkumpul bersama. Ya, kebersamaan, sesuatu yang tidak pernah kamu berikan.
Suatu hari di tempat umum, aku mendengar malaikat Fall For You-mu. Namun dia tampak biasa saja. Dia sedang bersama banyak teman waktu itu, dan yang pasti dengan seseorang yang pandai main gitar. Mungkin kamu tidak tahu kalau dia suka laki-laki yang bisa bermain gitar, padahal sepertinya dia pernah mengatakan itu, tapi kamu tidak peka.
Ah sudahlah kamu tidak akan bisa mendapatkannya. Kamu semakin tidak nyata. Teman-temannya lebih menarik baginya. Namun suatu hari kamu membuatku berdering lagi, aku benar-benar ingin marah padamu, tapi bagaimana? Dan ternyata dia tidak membalas pesanmu. Ada apa?
Beberapa hari kemudian aku berdering. Ini tidak mungkin darimu, karena kamu tidak pernah punya nyali untuk mendengar suaranya dan berbicara padanya. Panggilan itu dari kakaknya. Dia mengeluhkan aku, lebih tepatnya mengeluhkan fitur yang tidak ada di aku. Dia ingin ganti ponsel. Kudengar kakaknya akan mengunjunginya hari Minggu. Dia tampak sangat senang.
Semakin menjelang hari Minggu, semakin berat aku membayangkan akan berpisah dengannya. Setelah kartu nomor ini lepas dariku, aku tidak akan bisa lagi merasakannya. Aku tidak bisa lagi memantau pesan singkat darimu yang memuakkan itu.
Ini sudah hari Minggu, aku cemas, dia bahkan lebih cemas dariku. Sebentar lagi aku mungkin tidak akan ada di dekatnya lagi. Sebentar lagi kakaknya datang ke sini dan menggantiku dengan yang baru. Mau kemana aku setelah ini? Entahlah. Aku cemas dia masih mudah terlena. Bukannya aku benci denganmu, aku hanya tidak suka kamu memberinya harapan-harapan palsu.
Aku berdering lagi sebelum sesaat kemudian terdengar pintu rumah diketuk dengan sopan. Teman kosnya membukakan pintu. Kakaknya telah datang. Dicampakkannya aku dan ditinggal untuk menyambut kakaknya. Dia tampak sudah tidak sabar dengan ponsel barunya. Sesaat kemudian baru aku tau deringan itu darimu. Mau apa lagi kamu, ha?
Lalu seolah aku ingin melonjak kegirangan, karena sesaat yang lalu dia yang kamu ajak pergi jalan-jalan ketika liburan ke Jogja nanti, menolak ajakanmu.
Mungkin pesan singkatmu itu pesan yang membuatku berdering untuk terakhir kali. Setelah dia mengirimkan pesan singkat penolakan itu, aku merasa mulai gelap, dan aku terlelap. Tapi tidak begitu lama, aku telah menyala kembali, namun bukan dengan kartu nomornya. Nomor itu telah beralih ke ponsel canggih itu. Aku kini bersama nomor lain. Disakunya aku di kantong kakaknya bersama Apple. Aku sekarang benar-benar akan berpisah dengannya.
Hanya harapku, di manapun kamu, kuharap kamu tidak usah mengganggunya lagi. Biarkan dia dengan dunia barunya di kota ini, tanpa harapan palsu. Dia telah banyak teman di sini, dan tampak lebih bahagia di sini. Meski aku sudah tidak bisa merasakan hadirnya karena kartu nomor yang sudah terganti ini, namun memori-memori yang masih tersisa ini berharap dia menemukan seseorang yang pantas untuk sosok sesetia dia, kecuali kamu bisa berubah menjadi wujud yang nyata ada baginya. Namun sebelum kamu benar-benar tampil nyata ada di hadapannya, jangan pernah muncul dengan kata-kata kosong yang memuakkan itu.
Aku yakin dia semakin pintar sekarang karena perguruan tingginya mengajarkan banyak hal padanya. Aku tau itu karena dia sering bertukar pesan dengan teman-teman barunya tentang hal-hal baru berbau intelektual melaluiku. Dia akan lebih rasional menganggapi orang sepertimu. Aku percaya itu.
Dia merenung karena kakaknya tidak punya banyak waktu untuk mengobrol dengannya. Kakaknya harus buru-buru pergi lagi. Dia kutinggalkan tanpa menatapku. Dia hanya sedih kakaknya cuma menengoknya sebentar saja. Namun bagiku itu tidak masalah. Baiklah, aku pergi. Satu pesan dariku, untuk kamu, jangan pernah membuatnya merenungimu lagi.
Twitter : @katrinaokta
Kulihat pagi ini dia murung lagi, tidak seperti dulu, ketika aku berdering lebih sering.
Dua tahun lalu.
Aku ikut bahagia ketika dia mendapati dirinya menerima pesan singkat pertama kali dari teman lamanya, darimu. Beberapa hari selanjutnya ia isi dengan mengikuti aktivitasmu di media sosial, entah kamu sadar atau tidak. Aku rasa pesan singkat pertamamu itu telah membuatnya lebih ringan mengerjakan tugas sekolah, juga tampak lebih dewasa menghadapi hari-harinya, seolah di masa depannya ia yakin ada kamu, dan dia akan menjadi milikmu.
Waktu itu kelas dua SMA, kamu dan dia berkomunikasi semakin sering. Kalian bercanda, bergurau, bahkan melempar kata-kata romantis, namun sepertinya kalian tidak pernah membuat janji apapun. Bertukar suara pun tidak pernah, hanya sebatas kata-kata yang tertulis dalam pesan singkat. Itu saja.
Perlahan waktu mengantarnya pada sebuah ketidakpastian. Dia mulai bertanya-tanya pada dirinya sendiri, akankah kamu benar-benar akan ada di masa depannya?
Sekali lagi entah kamu sadar atau tidak, dia mulai menjaga jarak denganmu. Bertingkah sok jual mahal lewat pesan singkat yang dia kirimkan padamu. Ketika datang pesan singkat darimu, dia menerimanya, dia senang seperti biasa, namun ditunggunya beberapa saat baru dia menuliskan kata-katanya untukmu, lalu kamu marah-marah-manja membalas balasan pesannya yang lama.
Suatu hari yang sepi, sepulang sekolah yang melelahkan, dia berbinar melihatku menyala-nyala. Ibunya berteriak, "Din, ponselmu berbunyi!"
"Iya, Bu," jawabnya.
Aku senang melihatnya tersenyum hari itu. Kamu mengirimnya sebait puisi dalam bahasa inggris.
"...because a girl like you is impossible to find, you're impossible to find." Begitulah bait terakhir dalam puisimu itu. Dia tau jelas bukan kamu yang membuatnya, karena kamu tidak sepandai itu membuat puisi. Dia tau kamu tidak sepandai itu.
Dia mengamatiku lebih jeli. Mengutak-atik google hingga dia menemukan bahwa puisimu itu adalah sepenggal lirik lagu dari Secondhand Serenade, Fall For You. Benar kan?
Paginya dia berangkat sekolah seperti biasa dengan muka berseri tanpa beban. Kurasa dia masih melayang bersama kata-katamu. Aku sempat takut kata-kata itu hanya melayang dan pudar, membawanya terbang lalu meninggalkannya begitu saja di angkasa.
Kamu mulai lagi menanyakan kabarnya, setiap hari. Kamu membuatnya berbunga-bunga, kadang kamu juga membuatnya cemas menunggu balasan darimu, dan itu membuatnya lebih emosional. Bayang-bayang tentangmu seolah nyata di pikirannya. Setiap pesan yang kamu kirimkan adalah anugerah, membahagiakan.
Cih, aku mulai muak denganmu. Kamu ini terlalu penakut atau apa? Kamu hanya bertukar pesan singkat dari jauh. Sebenarnya kalian tidak benar-benar jauh kan? Kamu bisa mengajaknya main keluar, jalan-jalan, atau apa. Kamu bisa menemuinya kapan saja, tapi kamu tidak pernah melakukan itu.
Aku lebih kecewa lagi ketika kamu mulai mengurangi intensitasmu berkirim pesan singkat. Menjelang ujian nasional, secara frontal kamu minta dia untuk tidak menghubunginya. Harusnya kamu tau itu menyakitkan.
Aku sangat kagum ketika dia menanggapi itu dengan tenang. Dia berfikir kamu mungkin perlu konsentrasi untuk mempersiapkan ujian nasional, begitupun dengannya. Aku melihatnya semakin dewasa. Dia lulus SMA hari itu. Dia dapat juara umum, asal kamu tau.
Aku sangat berterimakasih kamu tidak menghubunginya, dan aku harap begitu selanjutnya. Dia menjadi lebih rasional dan merancang masa depannya dengan baik. Dia telah diterima di perguruan tinggi luar kota. Rasakan itu, kamu semakin tidak bisa menemuinya.
Sayangnya kamu hanya memikirkan kesenanganmu sendiri. Menjelang keberangkatannya, kamu menghubunginya lagi. Beberapa hari kemudian aku mendapati sebuah file lagu di memoriku, Fall For You. Ah sial, kamu pasti meracuninya lagi. Aku sangat muak dia memutarnya berkali-kali hari itu. Tapi aku bisa apa?
Sekali lagi aku berdering karenamu. Dia senang dan mulai mengagumimu lagi karena katamu kamu diterima di perguruan tinggi paling terkenal di kota ini. Kalau aku pikir sih kamu yang mengagumi dia sekarang, karena dulu kamu pernah bilang ingin diterima di perguruan tinggi di mana dia akan kuliah nanti. Ah tapi mungkin dia sudah lupa, dia sudah mabuk dengan kata-katamu.
Ternyata kuliah di perguruan tinggi yang kamu impikan itu tidak mudah, buktinya dia bekerja keras untuk memenuhi paper dan tugas-tugas presentasinya. Dia mulai melupakanmu, ditambah bertemu orang-orang baru yang tidak kalah keren darimu, dari kata-katamu, maksudku. Lagipula mereka lebih ril, tidak seperti dirimu yang hanya tersusun dari barisan kata-kata. Kurasa dia mulai sadar bahwa kehadiranmu hanya semu. Dia mulai merasakan kebahagiaan yang lain, kebahagiaan ketika berkumpul bersama. Ya, kebersamaan, sesuatu yang tidak pernah kamu berikan.
Suatu hari di tempat umum, aku mendengar malaikat Fall For You-mu. Namun dia tampak biasa saja. Dia sedang bersama banyak teman waktu itu, dan yang pasti dengan seseorang yang pandai main gitar. Mungkin kamu tidak tahu kalau dia suka laki-laki yang bisa bermain gitar, padahal sepertinya dia pernah mengatakan itu, tapi kamu tidak peka.
Ah sudahlah kamu tidak akan bisa mendapatkannya. Kamu semakin tidak nyata. Teman-temannya lebih menarik baginya. Namun suatu hari kamu membuatku berdering lagi, aku benar-benar ingin marah padamu, tapi bagaimana? Dan ternyata dia tidak membalas pesanmu. Ada apa?
Beberapa hari kemudian aku berdering. Ini tidak mungkin darimu, karena kamu tidak pernah punya nyali untuk mendengar suaranya dan berbicara padanya. Panggilan itu dari kakaknya. Dia mengeluhkan aku, lebih tepatnya mengeluhkan fitur yang tidak ada di aku. Dia ingin ganti ponsel. Kudengar kakaknya akan mengunjunginya hari Minggu. Dia tampak sangat senang.
Semakin menjelang hari Minggu, semakin berat aku membayangkan akan berpisah dengannya. Setelah kartu nomor ini lepas dariku, aku tidak akan bisa lagi merasakannya. Aku tidak bisa lagi memantau pesan singkat darimu yang memuakkan itu.
Ini sudah hari Minggu, aku cemas, dia bahkan lebih cemas dariku. Sebentar lagi aku mungkin tidak akan ada di dekatnya lagi. Sebentar lagi kakaknya datang ke sini dan menggantiku dengan yang baru. Mau kemana aku setelah ini? Entahlah. Aku cemas dia masih mudah terlena. Bukannya aku benci denganmu, aku hanya tidak suka kamu memberinya harapan-harapan palsu.
Aku berdering lagi sebelum sesaat kemudian terdengar pintu rumah diketuk dengan sopan. Teman kosnya membukakan pintu. Kakaknya telah datang. Dicampakkannya aku dan ditinggal untuk menyambut kakaknya. Dia tampak sudah tidak sabar dengan ponsel barunya. Sesaat kemudian baru aku tau deringan itu darimu. Mau apa lagi kamu, ha?
Lalu seolah aku ingin melonjak kegirangan, karena sesaat yang lalu dia yang kamu ajak pergi jalan-jalan ketika liburan ke Jogja nanti, menolak ajakanmu.
Mungkin pesan singkatmu itu pesan yang membuatku berdering untuk terakhir kali. Setelah dia mengirimkan pesan singkat penolakan itu, aku merasa mulai gelap, dan aku terlelap. Tapi tidak begitu lama, aku telah menyala kembali, namun bukan dengan kartu nomornya. Nomor itu telah beralih ke ponsel canggih itu. Aku kini bersama nomor lain. Disakunya aku di kantong kakaknya bersama Apple. Aku sekarang benar-benar akan berpisah dengannya.
Hanya harapku, di manapun kamu, kuharap kamu tidak usah mengganggunya lagi. Biarkan dia dengan dunia barunya di kota ini, tanpa harapan palsu. Dia telah banyak teman di sini, dan tampak lebih bahagia di sini. Meski aku sudah tidak bisa merasakan hadirnya karena kartu nomor yang sudah terganti ini, namun memori-memori yang masih tersisa ini berharap dia menemukan seseorang yang pantas untuk sosok sesetia dia, kecuali kamu bisa berubah menjadi wujud yang nyata ada baginya. Namun sebelum kamu benar-benar tampil nyata ada di hadapannya, jangan pernah muncul dengan kata-kata kosong yang memuakkan itu.
Aku yakin dia semakin pintar sekarang karena perguruan tingginya mengajarkan banyak hal padanya. Aku tau itu karena dia sering bertukar pesan dengan teman-teman barunya tentang hal-hal baru berbau intelektual melaluiku. Dia akan lebih rasional menganggapi orang sepertimu. Aku percaya itu.
Dia merenung karena kakaknya tidak punya banyak waktu untuk mengobrol dengannya. Kakaknya harus buru-buru pergi lagi. Dia kutinggalkan tanpa menatapku. Dia hanya sedih kakaknya cuma menengoknya sebentar saja. Namun bagiku itu tidak masalah. Baiklah, aku pergi. Satu pesan dariku, untuk kamu, jangan pernah membuatnya merenungimu lagi.
Twitter : @katrinaokta
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 2 suara
Bagaimana tulisan ini?
Bagus
0%
Biasa
50%
Aneh
50%


anasabila memberi reputasi
1
1.3K
0
Thread Digembok
Thread Digembok
Komunitas Pilihan