- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
KETIKA KECURANGAN MULAI MENGINTAI


TS
semangatgaruda
KETIKA KECURANGAN MULAI MENGINTAI
Proses rekapitulasi suara Pemilu Presiden (Pilpres) 2014 dinilai rawan manipulasi dan masalah. Karena keterbatasan tenaga, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) meminta masyarakat ikut mendeteksi masalah dalam rekapitulasi suara dari tempat pemungutan suara (TPS) hingga rekapitulasi suara tingkat nasional, serta yang paling parah adalah besarnya kemungkinan kongkalikong antara petugas pemilu dengan tim pemenangan capres-cawapres tertentu. Ditambah lagi melihat perkembangan perbedaan hasil quick count maka penentuan sekarang ada di KPU dalam proses rekapitulasi, dan Bawaslu dalam menjalankan fungsi pengawasan agar tidak terjadi kekurangan dan manipulasi.
Oleh sebab itu KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara Pilpres harus netral dan transparan. KPU dan Bawaslu harus bisa meyakinkan seluruh kandidat dan masyarakat bahwa pelaksanan Pilpres 2014 berjalan jujur, adil dan transparan sebagaimana diamanahkan Pasal 22 E ayat (1) UUD 1945. Selain itu diharapkan partisipasi masyarakat untuk mengawasi KPU dan Bawaslu setelah pencoblosan terlebih setelah masing-masing kandidat mengklaim kemenangannya merujuk pada hasil hitung cepat. Perlu diingat, kecurangan yang paling potensial banyak terjadi di tingkatan TPS, PPS dan PPK.
Berdasarkan hasil riset FAIT terhadap hasil Pileg 9 April 2014, ditemukan kecurangan berupa pemindahan suara baik antar caleg dalam satu partai maupun antar caleg antar partai. Selain itu, ditemukan pula C1 yang direkayasa dan inilah yang digunakan sebagai acuan rekapitulasi penghitungan suara di PPS.
Tidak hanya mengawasi TPS saja yang penting, tetapi mengawasi apa yg tidak kelihatan adalah hal yang jauh lebih penting, sebab di sanalah peluang terbesar kecurangan dilakukan. Aksi tidak kelihatan yang dimaksudkan adalah bagian dari proses Pilpres dimana peranan para saksi dibatasi atau tidak ada, setidaknya ada dua bagian yang tidak kelihatan itu berpotensi untuk direkayasa yaitu yang pertama adalah proses transmisi (pemindahan) hasil perhitungan dari TPS ke PPS.
Sertifikat C1 sangat potensial direkayasa dengan modus rekayasa adalah memanfaatkan suara golput dan memindahkan suara antar kandidat capres. Potensi kecurangan kedua adalah perangkat bantu rekapitulasi penghitungan suara berupa formula excel. Formula ini dapat direkayasa dengan tujuan mengatur distribusi suara. Meskipun demikian, masyarakat juga harus memiliki pemahaman untuk bisa mendeteksi adanya masalah, baik manipulasi maupun keteledoran, dari petugas panitia pemungutan suara (PPS) hingga KPU.
Caranya, sebenarnya cukup mudah, masyarakat cukup memiliki data suara dari tingkat TPS. Jadi, dalam tingkat TPS tersebut, suara dari kedua pasangan calon itu diumumkan dengan memasang formulir hasil. Lalu, pada rekapitulasi suara tahap kelurahan atau desa yang dijadwalkan dari 10 Juli hingga 12 Juli, masyarakat diharapkan untuk datang. Dengan membawa bekal catatan hasil suara TPS tersebut, ikuti proses rekapitulasi suara dengarkan dengan saksama apakah angka yang disebut itu tepat sesuai catatan. Jika terjadi perbedaan angka, masyarakat bisa meminta kesalahan itu dikoreksi, tidak dengan langsung menghentikan proses rekapitulasi tapi memberitahukannya ke saksi-saksi dari kedua pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) atau ke Panwaslu.
Selain itu, masyarakat juga harus mengetahui sifat rekapitulasi suara. Seharusnya, rekapitulasi suara itu bersifat terbuka. Artinya, jika memang ada rekapitulasi suara yang tertutup untuk umum atau malah digelar di sebuah hotel, masyarakat perlu mencurigainya dan langsung lapor ke panwascam atau Bawaslu. Karena dalam proses rekapitulasi, yang paling rawan bermasalah dan dimanipulasi adalah pada tingkat desa atau kelurahan serta tingkat kecamatan untuk tingkat kota atau kabupaten memang rawan, tapi tidak seberat di desa atau kelurahan serta kecamatan. Rekap di kota masih cenderung lebih aman.
Biasanya, itu disebabkan adanya godaan atau intimidasi dari kekuatan tertentu yang ingin memenangkan salah satu pasangan calon. Proses ini yang harus dipantau ketat. Selain iu dalam proses rekapitulasi juga, terkadang angka yang disebutkan dan angka yang ditulis bisa berbeda. Karena itu, masyarakat bisa mengawasi kecocokannya tersebut, jangan sampai apa yang disebut berbeda dengan yang ditulis, ini yang kerap terjadi.
Selain komisioner kedua lembaga penyelenggara pemilu KPU dan Bawaslu harus turun memantau rekapitulasi, juga harus menginstruksikan setiap KPU kota atau kabupaten untuk menyelesaikan masalah rekapitulasi suara pada setiap tahap. Misalnya, ada masalah rekapitulasi suara pada tahap desa atau kelurahan. Masalah itu jangan dibawa ke tingkat kecamatan, tapi selesaikan dulu di desa dan kelurahan. Jangan sampai menjadi PR untuk tingkat selanjutnya, ini agar mengefisiensikan proses rekapitulasi yang hanya 12 hari saja agar meminimalisir keteledoran dan manipulasi data.
Besarnya potensi aksi curang di tahap krusial itu juga mendapat perhatian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Lembaga tersebut me-warning KPU dan Bawaslu agar tidak kongkalikong dengan peserta pemilu. KPK akan menempatkan orang untuk mengawasi proses rekap di lokasi-lokasi yang dinilai rawan menipulasi. KPK juga siap menindaklanjuti jika ada informasi dari masyarakat tentang kecurangan yang berindikasi korupsi. Penyelenggara pilpres jangan main-main dengan nasib jutaan rakyat Indonesia, karena ini menentukan nasib negara. Apabila terdapat data dan informasi adanya unsur tindak pidana korupsi dalam penyelenggaraan pilpres yang dilakukan KPU ataupun Bawaslu, KPK dalam hal ini akan bergerak seperti pada penangkapan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar yang menerima suap dari penyelesaian sengketa pilkada.
Selain itu aparat Kepolisian dan TNI juga diharapkan untuk dapat mengamankan hasil pilpres di ruang-ruang yang dianggap zona abu-abu, seperti kelurahan, kecamatan, dan lain-lainnya tersebut. Khususnya, menjaga petugas-petugas yang rawan diintimidasi pihak tertentu untuk mengubah hasil pemilu. Karena bukan lah hal yang jarang lagi laporan bahwa sejumlah kepala daerah mengintimidasi petugas-petugas pilpres di level lokal.
Untuk mengatasi kecurangan ini seleuruh elemen yang telah diuraikan tadi harus saling bekerjasama dan bekerja keras agar Presiden yang benar-benar murni pilihan rakyat harus terwujud, bukan presiden hasil manipulasi atau rekayasa suara.
Oleh sebab itu KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara Pilpres harus netral dan transparan. KPU dan Bawaslu harus bisa meyakinkan seluruh kandidat dan masyarakat bahwa pelaksanan Pilpres 2014 berjalan jujur, adil dan transparan sebagaimana diamanahkan Pasal 22 E ayat (1) UUD 1945. Selain itu diharapkan partisipasi masyarakat untuk mengawasi KPU dan Bawaslu setelah pencoblosan terlebih setelah masing-masing kandidat mengklaim kemenangannya merujuk pada hasil hitung cepat. Perlu diingat, kecurangan yang paling potensial banyak terjadi di tingkatan TPS, PPS dan PPK.
Berdasarkan hasil riset FAIT terhadap hasil Pileg 9 April 2014, ditemukan kecurangan berupa pemindahan suara baik antar caleg dalam satu partai maupun antar caleg antar partai. Selain itu, ditemukan pula C1 yang direkayasa dan inilah yang digunakan sebagai acuan rekapitulasi penghitungan suara di PPS.
Tidak hanya mengawasi TPS saja yang penting, tetapi mengawasi apa yg tidak kelihatan adalah hal yang jauh lebih penting, sebab di sanalah peluang terbesar kecurangan dilakukan. Aksi tidak kelihatan yang dimaksudkan adalah bagian dari proses Pilpres dimana peranan para saksi dibatasi atau tidak ada, setidaknya ada dua bagian yang tidak kelihatan itu berpotensi untuk direkayasa yaitu yang pertama adalah proses transmisi (pemindahan) hasil perhitungan dari TPS ke PPS.
Sertifikat C1 sangat potensial direkayasa dengan modus rekayasa adalah memanfaatkan suara golput dan memindahkan suara antar kandidat capres. Potensi kecurangan kedua adalah perangkat bantu rekapitulasi penghitungan suara berupa formula excel. Formula ini dapat direkayasa dengan tujuan mengatur distribusi suara. Meskipun demikian, masyarakat juga harus memiliki pemahaman untuk bisa mendeteksi adanya masalah, baik manipulasi maupun keteledoran, dari petugas panitia pemungutan suara (PPS) hingga KPU.
Caranya, sebenarnya cukup mudah, masyarakat cukup memiliki data suara dari tingkat TPS. Jadi, dalam tingkat TPS tersebut, suara dari kedua pasangan calon itu diumumkan dengan memasang formulir hasil. Lalu, pada rekapitulasi suara tahap kelurahan atau desa yang dijadwalkan dari 10 Juli hingga 12 Juli, masyarakat diharapkan untuk datang. Dengan membawa bekal catatan hasil suara TPS tersebut, ikuti proses rekapitulasi suara dengarkan dengan saksama apakah angka yang disebut itu tepat sesuai catatan. Jika terjadi perbedaan angka, masyarakat bisa meminta kesalahan itu dikoreksi, tidak dengan langsung menghentikan proses rekapitulasi tapi memberitahukannya ke saksi-saksi dari kedua pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) atau ke Panwaslu.
Selain itu, masyarakat juga harus mengetahui sifat rekapitulasi suara. Seharusnya, rekapitulasi suara itu bersifat terbuka. Artinya, jika memang ada rekapitulasi suara yang tertutup untuk umum atau malah digelar di sebuah hotel, masyarakat perlu mencurigainya dan langsung lapor ke panwascam atau Bawaslu. Karena dalam proses rekapitulasi, yang paling rawan bermasalah dan dimanipulasi adalah pada tingkat desa atau kelurahan serta tingkat kecamatan untuk tingkat kota atau kabupaten memang rawan, tapi tidak seberat di desa atau kelurahan serta kecamatan. Rekap di kota masih cenderung lebih aman.
Biasanya, itu disebabkan adanya godaan atau intimidasi dari kekuatan tertentu yang ingin memenangkan salah satu pasangan calon. Proses ini yang harus dipantau ketat. Selain iu dalam proses rekapitulasi juga, terkadang angka yang disebutkan dan angka yang ditulis bisa berbeda. Karena itu, masyarakat bisa mengawasi kecocokannya tersebut, jangan sampai apa yang disebut berbeda dengan yang ditulis, ini yang kerap terjadi.
Selain komisioner kedua lembaga penyelenggara pemilu KPU dan Bawaslu harus turun memantau rekapitulasi, juga harus menginstruksikan setiap KPU kota atau kabupaten untuk menyelesaikan masalah rekapitulasi suara pada setiap tahap. Misalnya, ada masalah rekapitulasi suara pada tahap desa atau kelurahan. Masalah itu jangan dibawa ke tingkat kecamatan, tapi selesaikan dulu di desa dan kelurahan. Jangan sampai menjadi PR untuk tingkat selanjutnya, ini agar mengefisiensikan proses rekapitulasi yang hanya 12 hari saja agar meminimalisir keteledoran dan manipulasi data.
Besarnya potensi aksi curang di tahap krusial itu juga mendapat perhatian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Lembaga tersebut me-warning KPU dan Bawaslu agar tidak kongkalikong dengan peserta pemilu. KPK akan menempatkan orang untuk mengawasi proses rekap di lokasi-lokasi yang dinilai rawan menipulasi. KPK juga siap menindaklanjuti jika ada informasi dari masyarakat tentang kecurangan yang berindikasi korupsi. Penyelenggara pilpres jangan main-main dengan nasib jutaan rakyat Indonesia, karena ini menentukan nasib negara. Apabila terdapat data dan informasi adanya unsur tindak pidana korupsi dalam penyelenggaraan pilpres yang dilakukan KPU ataupun Bawaslu, KPK dalam hal ini akan bergerak seperti pada penangkapan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar yang menerima suap dari penyelesaian sengketa pilkada.
Selain itu aparat Kepolisian dan TNI juga diharapkan untuk dapat mengamankan hasil pilpres di ruang-ruang yang dianggap zona abu-abu, seperti kelurahan, kecamatan, dan lain-lainnya tersebut. Khususnya, menjaga petugas-petugas yang rawan diintimidasi pihak tertentu untuk mengubah hasil pemilu. Karena bukan lah hal yang jarang lagi laporan bahwa sejumlah kepala daerah mengintimidasi petugas-petugas pilpres di level lokal.
Untuk mengatasi kecurangan ini seleuruh elemen yang telah diuraikan tadi harus saling bekerjasama dan bekerja keras agar Presiden yang benar-benar murni pilihan rakyat harus terwujud, bukan presiden hasil manipulasi atau rekayasa suara.
0
1.1K
2


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan