Kaskus

Entertainment

semangatgarudaAvatar border
TS
semangatgaruda
Ketika Media Televisi Sudah Mulai Kehilangan Arah Dan Tujuan
Peran dan fungsi media massa sebagai sarana penyampai informasi kepada publik, dewasa ini sepertinya mengalami distorsi dalam penerapannya. Media dalam realitasnya tak selalu mengungkap realitas apa adanya. Bahkan lebih dari itu, media berupaya menggiring masyarakat penikmat berita menjadi santapan lezat bagi mereka untuk diarahkan sekehendak hatinya.

Alur konstruktivistik ini mengibaratkan konsumen media hanya sebagai benda-benda tak bergerak yang bisa diatur sedemikian rupa. Terlebih pada saat pemilu adanya beberapa pemilik media massa yang sudah mengarahkan kecenderungan keberpihakannya semakin menambah runyam persoalan, selain adanya kampanye hitam (black campaign) yang bertebaran di berbagai sosial media semakin menunjukkan bahwa saat ini media telah mengalami disfungsi dalam tatanan sosialnya.

Dalam pertarungan pemilu bertanding dengan partai partai yang memiliki media TV memang butuh strategi. Hampir setiap hari, bahkan jauh sebelum masa kampanye. Berbagai Televisi swasta sudah melakukan soft campaign. Repotnya, mereka tidak bisa dijerat karena iklan politik yang soft itu masuk ke wilayah abu-abu yang tidak bisa dikenakan sanksi sesuai aturan yang berlaku. Misalnya, sesuai Peraturan KPU, yang bisa disebut sebagai sebuah iklan politik, harusnya mengandung dan menyebutkan 3 unsur, yaitu nama, nomer urut, dan visi-misi.

Namun dalam praktek, banyak ditemukan iklan politik hanya menyebutkan nama, sehingga KPI tidak bisa menindak kasus ini lebih jauh, sementara itu bagi masyarakat awam penikmat media, mereka biasanya akan menelan mentah-mentah informasi yang disajikan oleh media, tanpa terlebih dahulu melakukan proses penyaringan terhadap informasi yang disampaikan.
Pada Pemilu 2014 ini terdapat sejumlah grup televisi yang dikuasai oleh figur politisi seperti Hari Tanoe dari Partai Hanura memiliki MNC Group (MNC, Global, RCTI), Surya Paloh dari Partai Nasdem memiliki Metro TV, Abu Rizal Bakrie dari Partai Golkar memiliki Viva (TVOne dan ANTV). Ada juga Chairul Tanjung yang memiliki kedekatan dengan Partai Demokrat berkat jabatan sebagai Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) adalah pemilik Trans Corp (Trans TV dan Trans7).

Ironisnya semua lembaga penyiaran televisi free on air nasional baik swasta maupun televisi publik ( TVRI) secara sadar melakukan pelanggaran ketentuan aturan penyiaran KPI selama Pemilihan Legislatif 2014. Kita bisa melihat terlihat, ada 34 teguran yang dilayangkan KPI Pusat pada periode 20 September 2013 hingga 9 April 2014. Separuh pelanggaran tersebut dilakukan MNC Group yang berafiliasi ke Partai Hanura. Partai ini juga yang selama masa kampanye resmi, melakukan paling banyak pelanggaran, sebanyak 38%.

Bagaimanapun serangan-serang informasi yang bias oleh media mau tidak mau menjadi semakin sulit untuk dibendung terlebih lagi kondisi masyarakat Indonesia yang masih mayoritas belum memiliki pemahaman dan pendidikan politik yang cukup untuk menyaring informasi tersebut maka masyarakat pedesaan atau pesisir lama kelamaan akan ‘ takluk ‘ juga dengan gencarnya serangan media tersebut. Ini menjelaskan bahwa media secara terstruktur melakukan pembelaan terhadap kepentingan pemilik. Membantu mengemas si pemilik dalam framing pemberitaan serta mengurangi nilai jual lawan lawan politiknya. Hal yang sangat disayangkan juga adalah KPI, seperti dikatakan Ketua Dewan Pers Bagir Manan, memiliki keterbatasan hukum dalam mendorong sanksi terhadap stasiun televisi yang melanggar aturan penyiaran kampanye.

Memasuki pilpres kemarin pun, media massa pun sepertinya sudah kehilangan independensi yang dianutnya. Banyaknya pemilik korporasi media yang turut serta dalam proses dukung mendukung kandidat membuat pemberitaan media massa yang dimilikinya terkesan tak seimbang. Sebagaimana diketahui, saat ini beberapa pemilik media sudah mengarahkan kecenderungan keberpihakannya kepada salah satu dari dua kandidat calon presiden. Bahkan hasil Quick Count beberapa lembaga survey yang ditayangkan oleh media-media swasta tersebut malah menimbulkan kekeliruan sehingga menyebabkan situasi politik yang semakin memanas khususnya bagi

Selain persoalan tercerabutnya netralitas media massa, tulisan ini juga hendak mengupas sedikit prihal budaya politik media massa di Indonesia yang berbeda dengan budaya politik media massa di Amerika. Fenomena terjun bebasnya media massa dalam aksi dukung mendukung terhadap capres juga terjadi di sana. Bedanya, di Amerika keberpihakan itu diakui oleh media secara terang-terangan sehingga pihak media sudah menakar resiko dan konsekuensi atas pilihannya. Di masa kampanye pilpres inilah sebuah lembaga polling ternama di Amerika, Gallup, memperoleh hasil bahwa kepercayaan publik kepada media di masa pilpres relatif sangat rendah. Hal ini berbanding terbalik kondisinya dengan di Indonesia.
0
1.3K
0
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan