- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Adilkah Tuhan?


TS
dianhaque
Adilkah Tuhan?
Adilkah Tuhan?
Ditulis oleh: Dian Aurelia Haque
“Terkadang, dunia tak adil. Buktinya saja, banyak orang pintar yang terkalahkan oleh orang yang beruntung. Padahal, semestinya orang-orang beruntung itu tidak ada. Mengapa? Ya, mengapa? Karena tanpa usaha, orang beruntung akan tetap menang melawan siapapun.”
Suatu kejadian pahit di masa lalu yang membuat aku berpikir seperti itu. Namaku Aurelia. Aku anak pertama dari dua bersaudara dari keluarga kecil nan bahagia. Aku senang menjadi bagian dari keluarga ini. Ayahku seorang kepala sekolah di suatu sekolah di kawasan Jakarta Selatan. Ibuku seorang ibu rumah tangga yang amat sabar. Lengkap! Ya, itulah yang aku rasakan.
Namun, kejadian pahit itu dimulai ketika ayahku meninggal dunia saat aku berada di kelas XII SMA. Itu sangat memukulku. Sedih! Sangat sedih! Tuhan tak adil! Begitulah batinku berkata setiap aku melihat teman-temanku hidup dengan keluarga yang masih lengkap. Bayangkan saja, bagaimana aku tak iri jika kehidupanku saja serba kekurangan. Aku sedang berada di kelas XII yang akan menempuh ujian nasional, aku juga harus menanggung beban hidup keluargaku. Tidak hanya itu, aku juga harus merelakan sebuah mimpi besarku yang hilang bersama keberadaan papa. Sebuah mimpi seorang ayah kepada anaknya. Ya, mimpi ayahku adalah mimpiku juga. Ayahku sangat ingin melihatku menjadi seorang dokter. Namun, kenyataan ini membuat aku lemah. Lemah karena tak ada lagi pencari nafkah di kehidupan keluarga kecilku ini. Untuk makan saja sepertinya akan sulit. Jiwaku terpanggil, sebagai anak pertama, aku memiliki peranan utama, bahkan pengganti ayahku. Saat ini, hanya satu fokusku, lulus sekolah!
Kutekatkan bahwa aku akan memberikan yang terbaik untuk Ayahku yang telah tenang di alam sana. Kubuat target nilai UAN ku. Kutempelkan di dinding kamar agar aku bisa melihatnya dengan leluasa. Desir darahku pun memuncak setiap kali melihat tulisan “TARGET UAN”, kubuka lembaran demi lembaran buku Fisika itu dan kepelajari baris demi baris. Dan waktu itu pun tiba, waktu UAN yang sangat membuatku grogi. Untungnya, aku memiliki sebuah tujuan “akan kubahagiakan ayahku dengan hasilnya nanti, liat saja!”. Kulewati hari-hari menegangkan itu dengan tawa puas. Semoga hasilnya pun memuaskan.
Waktu pengumuman telah tiba. Aku berdiri di depan rumahku dengan cemas. Pak pos, tolonglah datang dengan kabar baikmu, begitulah batinku berdoa. Tiba-tiba terdengar suara deruan motor yang mulai memasuki gang rumahku. Dan benar saja, itu pak pos yang mengantar pengumuman kelulusan. “Ini adik Aurelia?” tanyanya. “Benar Pak, saya Aurelia Utami.” jawabku cepat. “Ini hasil UAN punyamu. Semoga hasilnya memuaskan ya.” Ujarnya seraya mendoakanku. Amin, batinku. “Terima kasih, Pak.” ucapku mengiringi kepergian Pak Pos nan baik hati itu. Kubuka amplop ini perlahan-lahan. Kutarik kertas kecil tersebut. Deg-deg-deg-deg, jantungku berdegup sangat kencang. Kulihat tertera bahwa “Aurelia Utami dinyatakan lulus.” Alhamdulillah, kutunaikan sujud syukurku atas kelulusan ini. Eitss.. aku teringat dengan target nilai UANku. Lulus saja belum cukup, Aurel! Kukenakan baju seragamku. Kuraih tasku. Kucium tangan ibuku, “Ibu, Aurel berangkat ke sekolah dulu ya, mau lihat hasil ujian nasional. Doakan Aurel ya, Bu.” pamitku pada Ibu. “pasti, Nak. Baik-baik dijalan ya.” jawab Ibuku lembut. “Pasti, Bu. Assalamu’alaikum.”
Tak seperti kuduga, ternyata teman-teman sudah banyak yang ke sekolah untuk meminta nilai UAN mereka. Bak pendemo yang sedang menggebu-gebu meminta presiden keluar dari ruangannya, begitulah yang dilakukan aku dan teman-temanku. Hampir habis dayaku akibat terlalu lama berdiri. Kuputuskan untuk pulang ke rumah saja karena sepertinya hasil ujian tidak akan diumukan hari ini. Buktinya saja hingga pukul 3 sore belum terdapat tanda-tanda itu akan dilakukan. Ya sudahlah. Dengan langkah setengah hati kulewati kantor guru. Setiba dirumah, kududuk dan kutenggelamkan mukaku di pangkuan tanganku. Pikiranku pun melayang. Jika nilaiku bagus, adakah untung yang kuraih? Sepertinya aku memang harus menenggelamkan mimpimu, Ayah, menjadi seorang dokter. Biaya kedokteran yang sangat tinggi membuat aku harus berpikir berkali-kali.
Tak lama teleponku berdering, guruku menelepon dan memintaku ke sekolah karena ada berita yang ingin ia sampaikan. Pikiranku kalut. Ada apa ini? Mengapa aku harus ke sekolah lagi? Kulangkahkan kakiku menuju ruangan guru. Kuketuk pintunya. Seorang guru melambaikan tangannya, tak lain dan tak bukan, wali kelasku yang menelepon. “Aurel, selamat ya atas prestasimu. Kamu membanggakan sekolah ini. Besok pagi datang ya, akan ada kenang-kenangan untukmu.” Aku berdiri mematung, tidak mengerti. “Aurel, kok diam toh nduk? Kamu ini lulusan terbaik se-Cakung lho. Dengan nilai rata-rata 9,5.” Aku tetap mematung. Dalam hati aku berterima kasih pada Tuhan karena telah memberikanku waktu untuk memberikan persembahan pada Ayah dan Ibuku. Meskipun hanya se-Cakung, tapi aku lega karenanya.
Namun, kegalauan menderaku. Aku telah mendapatkan nilai terbaik se-Cakung, tapi bisakah aku mendapatkan nikmat lain dari hasil kerja kerasku ini? Dengan setengah hati, kuraih koran di depanku. Aku harus mencari pekerjaan, ya pekerjaan untuk menghidupi keluarga kecilku. Dengan penuh haru, kubulatkan tekatku untuk menepis impian itu dan kukorbankan masa depanku demi adik dan ibuku. Aku pilu. Sedih. Bahkan sangat sedih. Dadaku sesak. Tangisku pun pecah. “Maafkan aku, Ayah. Aku tak bisa mewujudkan mimpimu.” Hening. Hanya tangisku yang terdengar dari kamar kecil ini.
Entah kapan aku mulai tertidur, yang pasti aku terbangun dengan mata sembab. Tak lama setelah aku menunaikan kewajibanku, sholat shubuh dan tadarus, ku teringat dengan nasib koran semalam yang belum sempat kubuka akibat haru. Kutatap lekat-lekat setiap setiap kotak-kotak kecil yang berada pada halaman dengan judul “Lowongan Pekerjaan”. Mataku terhenti pada satu kotak lowongan pekerjaan yang berbunyi “dbthkan pr (usia 18-23 th) utk posisi staf sertifikasi. PT. Wangga Oil.” Entah apa yang membuat aku tertarik dengan kotak tersebut. Kucatat alamat perusahaan tersebut dan berniat untuk mencobanya.
Masih sangat kuingat perjalananku untuk mendapatkan pekerjaan ini. Sulit! Tapi Tuhan membantuku. Dan alhasil, disinilah aku berada, PT. Wangga Oil. Tak banyak yang kuharapkan dari perusahaan ini, cukup, hanya uang. Ya, uang yang akan kuberikan pada Ibuku untuk menghidupi keluarga kecilku. Perjalanan jauh antara Cakung (Jakarta Timur) – Kebayoran Baru (Jakarta Selatan) tak begitu memberatkanku. Setiap malam kucoba patrikan di dalam hati untuk tidak egois dan ikhlas berkorban. Bagaimana tidak? Keinginanku untuk kuliah begitu tinggi. Kuraih diariku. Kutulis dengan judul “Adilkah Tuhan?”.
Adilkah Tuhan?
Tuhan, apakah Kau terlalu sibuk mengurusi orang-orang diluar sana, hingga Kau lupa menjawab doaku. Mengapa Kau menutup mataMu terhadap permohonanku? Aku hanya ingin seperti teman-temanku. Menuntut ilmu. Ya, hanya menuntut ilmu. Tidakkah itu sangat mudah untukMu? Tuhan, dari pagi hingga malam, tak pernah kulupa untuk menunaikan kewajibanku, yaitu menyembahmu. Tuhan, bagaimana bisa Kau lupakan aku, hamba yang selalu mengingatMu dan bersimpuh hanya untukMu. Mengapa Kau berikan hartaMu pada orang-orang yang tidak amanah. Sedangkan aku? Bekerja pagi hingga malam untuk mencari uang demi sesuap nasi. Tidakkah Kau iba padaku? Kau ambil ayahku pada saat aku membutuhkannya. Saat adikku juga mamaku masih amat menyayanginya. Aku selalu ingat janjiMu, bahwa Kau akan selalu mengabulkan permintaan hamba-hamba yang bersabar. Tidakkah cukup kesabaranku selama ini? Tuhan, kumohon, bukalah mataMu. Jawablah permohonan sederhanaku. Aku ingin kuliah. Tuhan, aku tak tau harus seperti apa. Menangis pun enggan. Air mataku sudah kering. Ingin aku mengadu, tapi.... pada siapa? Ibu? Ibu sudah cukup bersedih karena ditinggal Ayah. Aku tak ingin membuat beliau memikirkan keinginan konyolku ini. Tuhan, kumohon dengan sangat, jika memang takdirmu lebih indah. Bantulah aku melupakan keinginanku. Ku mohon.
Setelah hari itu, aku tutup rapat-rapat buku diariku, kusimpan dengan apik pada sebuah kotak kenangan. Tak terasa waktu berlalu begitu cepat. Kulupakan mimpiku dan di sinilah aku berada, duduk berhadapan dengan laptop dan sibuk merangkai kata dan menginjak-injak keyboard di hadapanku. “Deadline jam 5 ya, Aurel.” ucap salah seorang yang melewatiku, bosku, Bu Nisa. “Baik, Bu. Bentar juga selesai. Tinggal Budi yang nambahin gambar kilang minyaknya.” jawabku tanpa menoleh sedikitpun. “Yo wiiss.. tapi jangan sampai lupa makan, ya dear.” ucap Bu Nisa sambil berlalu. Ahh.. lagi mepet deadline gini gimana mau makan Bu, ga nafsu juga sih.
Ketika sedang asik mengetik, tiba-tiba “Hello Aurel, sibuk amat sih?” sapa mbak Tiara. “Ishhh, kaget tau mbak. Iya nih aku kan bagian akhir, jadi sedikit repot kalau pengumpulan ke akunya mepet deadline. Jadi aku deh yang pontang panting.” jawabku sekenanya. “Hahahaa, kasian. Ini pecel ayam pak Danu, sengaja gue beli buat loe. Pasti laper kan? Makan dulu. Nanti magh loe kambuh, kita semua yang lebih repot. Potang-panting. Hahaha.” ucapnya sambil tertawa meledekku. Belum lama ini aku memang sempat izin beberapa hari dikarenakan maghku kambuh akibat telat makan. “Ihh.. mbak Tiara mah jail. Ngeledek mulu. Makasih lho mbak. Nanti kumakan kalau pekerjaanku udah selesai.” kataku sambil menatapnya lekat-lekat. “Iyoo darl, jangan sampe ga dimakan!” ujarnya sambil mengingatkan aku. “Iyoo mbakku.” Ya begitulah kurang lebih aktivitasku di kantor. Bos dan staff, semua berteman baik. Aku senang menjadi bagian dari kantor ini. Tak terasa waktuku berada di sini sudah mencapai 9 bulan. Waktu yang cukup untuk membuatku cinta pada pekerjaanku.
Suatu hari, dibawah underpressure dengan 2 pengilangan minyak, Gelam dan Toti Poli, terjadi sesuatu yang membuatku haru. Pada hari itu, aku pun memilih untuk lembur demi menyelesaikan kedua sertifikasi pengilangan minyak tersebut. Di tengah hujan dan petir yang bergemuruh, tinggallah aku bersama laptop dan secangkir tehku. Kuraih berkas-berkas yang berserakan. Kubaca perlahan dan teliti. Samar-samar kudengar suara gaduh di luar sana. Entah kucing atau tikus, tapi cukup membuatku beranjak dari tempat dudukku dan kuputar pandanganku menyapu seluruh ruangan, tak ada seorang pun. Teman seruanganku memang sudah pulang sejak mendung merajalela. Ya, benar saja sekarang hujan, kalau tahu seperti ini lebih baik bawa pulang aja deh, kerjain di rumah, batinku mengomeli diriku sendiri. Tiba tiba saja, “Happy birthday to you, happy birthday to you, happy birthday, happy birthday Aurel. Tiup lilinnya tiup lilinnya tiup lilinnya sekarang juga sekarang juga, sekatang juga. Hiyeeee.” “Make a wish dulu dong, dear.” Kupejamkan mata dan kutiup lilin itu di hadapanku. Kulihat semua orang yang menipuku sore tadi berada dalam rombongan huru hara ini. Huru hara yang membuatku begitu berarti. “Terima kasih semuanya.” Ucapku sambil terisak. Terharu. Astaga, akibat berkutat dengan pekerjaan, aku lupa bahwa hari ini aku sedang berulang tahun. Pantas saja Ibuku sedih ketika mengetahui aku pulang malam akibat lembur.
“Aurel, liat dong kadonya. Dibuka.” ucap salah seorang rekan kerjaku. “Iya dong.” ucap seorang yang lain. “Iya, iya, aku buka.” ucapku. Ada boneka babi lucu. Lalu, ada juga yang memberiku hadiah baju dan jilbab berwarna ungu serasi. Namun, ada satu kado yang membuat aku sangat kaget. “Aurel, tempatmu bukan di sini. Kamu pantas untuk mendapatkan hal yang lebih baik. Pergilah. Ga usah pikirin kita. Kita di sini sayang kamu. Kamu mau kuliah kan? Itu semua isinya formulir-formulir universitas ternama. Kamu tinggal isi terus dikirim. Cuma satu pinta kami, lakukan yang terbaik ya untuk kami, ayahmu dan juga keluarga kecilmu.” ucap bosku, Bu Nisa. Tanpa terasa, mengalir sebuah air hangat di pipiku, air mata. Aku menangis. Menangis bahagia karena Tuhan telah menyuratkan perjalanan indah untukku. “Aku tak tau harus membalas apa. Aku sayang kalian.” ucapku sambil menghambur ke rombongan huru hara ini. Memeluk mereka yang telah menguatkan aku dalam dukaku. Terima kasih rekan kerjaku, tanpa kalian aku tak akan bisa berada di sini. Kuliah. Mengikuti keinginan ayahku.
Kubuka diariku yang semula sudah kuungsikan ke dalam kotak kenangan. Halaman demi halaman kubaca dengan seksama. Tibalah pada halaman berjudul “Adilkah Tuhan?”. Sebuah tulisan yang kutulis ketika aku lelah berdoa dan menanti jawaban dari doa-doaku. Kucermati kata demi kata. Dan kubuka halaman kosong dari diari ini. Kugoyangkan penaku. Dan muncullah sebuah tulisan penjawab keresahanku yang pernah kurasakan.
Tuhan itu dekat. Bahkan sangat dekat.
Tuhan, maafkan aku karena aku telah mempertanyakanMu. Maafkan aku atas semua pikiran kotorku tentangMu. Terima kasih atas nikmat yang Kau berikan. Walau aku harus merasakan sakit terlebih dahulu, itu tak apa Tuhan. Sungguh. Karena rencanaMu lebih indah. Saat ini, hanya satu pintaku. Jagalah ayahku sebaik-baiknya Tuhan. Berikan tempat yang layak di sampingMu. Sungguh Tuhan, kau dekat, bahkan sangat dekat dibandingkan dengan urat nadiku sekalipun. Tanpa kusadar, Kau dekap aku dikala kesedihan datang. Kau beri aku kekuatan melalui orang-orang di sekelilingku. God, thanks for giving Your the best people around me and thanks for the blessed day that You give to me.
Tuhan, maafkan aku karena aku telah mempertanyakanMu. Maafkan aku atas semua pikiran kotorku tentangMu. Terima kasih atas nikmat yang Kau berikan. Walau aku harus merasakan sakit terlebih dahulu, itu tak apa Tuhan. Sungguh. Karena rencanaMu lebih indah. Saat ini, hanya satu pintaku. Jagalah ayahku sebaik-baiknya Tuhan. Berikan tempat yang layak di sampingMu. Sungguh Tuhan, kau dekat, bahkan sangat dekat dibandingkan dengan urat nadiku sekalipun. Tanpa kusadar, Kau dekap aku dikala kesedihan datang. Kau beri aku kekuatan melalui orang-orang di sekelilingku. God, thanks for giving Your the best people around me and thanks for the blessed day that You give to me.
Diubah oleh dianhaque 13-07-2014 15:32


anasabila memberi reputasi
1
2K
5
Thread Digembok
Urutan
Terbaru
Terlama
Thread Digembok
Komunitas Pilihan