- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
[BERFIKIR OBYEKTIF DAN PENJELASAN] Faktor Pembeda Hasil Quick Count


TS
autoband
[BERFIKIR OBYEKTIF DAN PENJELASAN] Faktor Pembeda Hasil Quick Count
13 July 2014 04:41 WIB
![[BERFIKIR OBYEKTIF DAN PENJELASAN] Faktor Pembeda Hasil Quick Count](https://dl.kaskus.id/static.republika.co.id/uploads/images/kanal_sub/suasana-diskusi-lembaga-penyelenggara-quick-count-pilpres-2014-_140713043716-705.jpg)
Suasana diskusi lembaga penyelenggara quick count Pilpres 2014 di Hotel Century, Jakarta, Kamis (10/7).
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Dirga Ardiansa
Manajer Riset Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia
Masyarakat tentu sudah akrab dengan istilah quick count atau yang sederhana diterjemahkan sebagai hitung cepat. Sesunguhnya tidak ada sinergi antara penggunaan konsep quick count atau hitung cepat dengan praktik dan cara kerjanya.
Telah terjadi ketidaktepatan penggunaan konsep quick count. Kesalahan ini bukan teknis semata karena ada konteks politik di balik kesalahan yang terus direproduksi. Survei prapemilu (elektabilitas dan popularitas), exit poll, dan quick count, ketiganya merupakan metode survei yang menggunakan teknik probability sampling (mengambil sebagian dari seluruh populasi secara acak untuk dijadikan sampel) .
Ketiganya memiliki kesamaan metode dan teknik penelitian yang pada hakikatnya disebut survei. Ketiganya hanya dibedakan dalam dua hal penting, yaitu unit sampel dan fase waktunya. Dari segi unit sampel survei prapemilu dan exit poll memiliki kesamaan yaitu unit sampelnya adalah individu.
Tapi, keduanya dibedakan dari fase waktunya, survei prapemilu dilakukan sebelum pemilu sehingga menyasar calon pemilih, sementara exit poll dilakukan setelah pemilu sehingga menyasar pemilih yang telah menggunakan hak pilihnya begitu keluar TPS.
Sementara quick count dari sisi fase waktu dilakukan setelah pemilihan dilakukan. Sedangkan unit sampel yang diteliti bukan individu/pemilih, tetapi TPS (lebih tepatnya hasil perolehan suara TPS).
Ketiganya merupakan survei dari hasil mengukur sampel (sebagian dari populasi) sehingga yang dihasilkan merupakan statistik yang bersifat dugaan. Survei identik dengan penyebutan polling, sehingga survei (polling) prapemilu dan exit poll secara konsep sudah tepat. Sementara quick countsesunguhnya lebih tepat disebut 'survei hasil pemilu'.
Mengapa quick count tidak disebut saja 'survei hasil pemilu'? Ini bukan hanya soal keren atau tidaknya kata yang digunakan, tetapi ada diskursus di dalamnya. Diskursus pembedaan penggunaan konsep tersebut bisa dijelaskan dengan melihat kepentingan politik di baliknya.
Jika survei prapemilu selama ini sering dipublikasikan untuk membentuk opini publik dan mengarahkan preferensi masyarakat. Maka, pada fase hari pemilihan atau setelah pencoblosan, seolah harus dibuat sesuatu yang berbeda dengan survei prapemilu, yang selama ini kerap memunculkan kritik.
Sesuatu yang dianggap lebih valid dan sahih, yang sesungguhnya menggunakan metode yang sama-sama disebut sebagai survei, dilakukan lembaga yang sama pula. Quick count harus didorong pada konsep dan makna sejatinya, ia harus dilakukan oleh penyelenggara pemilu bukan oleh lembaga-lembaga survei.
Lembaga survei selama ini melakukan survei hasil pemilu dan sebaiknya tidak disebutquick count. Karena quick count sebaiknya menyandarkan pada pengumpulan data populasi bukan sampel. Jadikan quick countkewenangan penyelenggara (KPU) ketika melakukan proses tabulasi data.
Tentu dengan bantuan sistem komputasi terhadap hasil akhir seluruh TPS melalui format SMS yang dikirim kepada server KPU dalam waktu kurang dari 24 jam. Tujuannya adalah untuk dengan segera mengetahui siapa pemenang pemilu dalam waktu cepat agar masyarakat dan kontestan pemilu mendapat kepastian.
Tapi, kemudian hitung manual tetap dilakukan dengan cermat dan hati-hati untuk menentukan perolehan suara tiap kandidat.Quick count oleh penyelenggara pemilu (KPU) harus valid secara metodologi karena yang dihasilkan adalah nilai parameter (nilai mutlak yang tidak terbantah dari hasil mengukur populasi).
Bukan quick count yang selama ini kita kenal dilakukan lembaga survei dengan teknik sampling, karena yang dihasilkan adalah nilai statistik (nilai dugaan yang masih punya kemungkinan salah karena hasil mengukur sampel terlebih jika terjadi selisih yang ketat). Tentu saja secara independen lembaga survei bisa melakukan survei 'hasil pemilu' sebagai pembanding quick countyang dilakukan penyelenggara pemilu.
Mengapa berbeda?
Kemungkinan perbedaan hasil bisa terjadi ketika selisih antarcalon ada pada kisaran 2-3 persen pada hitungan riil atau yang sesungguhnya secara manual. Hal ini dikarenakan margin of error dari hasil prediksi quick count yang dilakukan oleh beberapa lembaga survei dipatok berkisar 1-3 persen.
Artinya, jika terjadi rilis sebuah lembaga survei dengan kandidat A mendapat 52 persen sementara kandidat B mendapat 48 persen maka margin of error yang sebesar 2-3 persen tidak akan mampu membawa prediksi yang akurat berdasar kaidah statistik.
Karena, artinya kandidat A bisa saja memperoleh hasil riil 49-55 persen sementara kandidat B 45-51 persen. Sehingga, kalau lembaga lain merilis kandidat A mendapat 49 persen, kandidat B mendapat 51 persen sama validnya. Ilustrasi hasil tersebut berpotensi membuahkan hasil yang berbeda antarlembaga survei.
KPU selaku penyelenggara punya waktu sangat terbatas dengan kapasitas dan kemampuan menyiapkan quick count dalam arti yang benar, valid, dan menghasilkan nilai parameter bukan statistik. Hal ini sangat vital untuk mencegah kondisi yang terjadi saat ini, saat otoritas dan legitimasi menentukan awal hasil pemilu akan digantungkan pada lembaga survei.
Untuk saat ini KPU sebaiknya punya back up plan dengan back up data, berupa rekap perolehan suara dari tiap TPS. Dari mana asalnya? Dengan minta tiap petugas KPPS mengirimkan SMS hasil penghitungan TPS. Triangulasi juga dibutuhkan dengan menelepon petugas lain untuk verifikasi dan validasi SMS yang masuk.
Paling tidak ini bisa dijadikan pegangan KPU jika kisruh lembaga survei terjadi dari hasil rilis survei hasil pemilu (mereka sebut quick count) yang selisihnya sangat tipis atau bahkan berbeda hasil antarlembaga yang akan berpotensi membingungkan masyarakat.
Harapannya, KPU mengambil langkah mengumumkan pemenang secara bertahapday to day di setiap provinsi yang sudah selesai rekap. Penentuan pemenang bisa didahulukan berdasar data yang masuk. Nanti rekapitulasi perolehan detailnya dan prosedurnya bisa menyusul.
Alangkah baiknya penetapan hasil rekap dipercepat dan tidak menunggu tanggal 22 Juli. Tiap hari publik harus diberikan informasi perkembangan hasil penetapan KPU per provinsi agar tidak terjadi kekosongan informasi.
TS:
Karena quick count juga merupakan survey yg mengambil sampel, bukan jumlah real (keseluruhan hasil) maka saling klaim menang tidaklah bijak. Kecuali masing2 capres mau jd presiden rakyat sejumlah sampling tersebut
Ane mengajak seluruh kaskuser utk tidak saling bully pd lawan dukungan, yuk kita tunggu pengumuman resmi KPU tgl 22 Juli 2014
![[BERFIKIR OBYEKTIF DAN PENJELASAN] Faktor Pembeda Hasil Quick Count](https://dl.kaskus.id/static.republika.co.id/uploads/images/kanal_sub/suasana-diskusi-lembaga-penyelenggara-quick-count-pilpres-2014-_140713043716-705.jpg)
Suasana diskusi lembaga penyelenggara quick count Pilpres 2014 di Hotel Century, Jakarta, Kamis (10/7).
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Dirga Ardiansa
Manajer Riset Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia
Masyarakat tentu sudah akrab dengan istilah quick count atau yang sederhana diterjemahkan sebagai hitung cepat. Sesunguhnya tidak ada sinergi antara penggunaan konsep quick count atau hitung cepat dengan praktik dan cara kerjanya.
Telah terjadi ketidaktepatan penggunaan konsep quick count. Kesalahan ini bukan teknis semata karena ada konteks politik di balik kesalahan yang terus direproduksi. Survei prapemilu (elektabilitas dan popularitas), exit poll, dan quick count, ketiganya merupakan metode survei yang menggunakan teknik probability sampling (mengambil sebagian dari seluruh populasi secara acak untuk dijadikan sampel) .
Ketiganya memiliki kesamaan metode dan teknik penelitian yang pada hakikatnya disebut survei. Ketiganya hanya dibedakan dalam dua hal penting, yaitu unit sampel dan fase waktunya. Dari segi unit sampel survei prapemilu dan exit poll memiliki kesamaan yaitu unit sampelnya adalah individu.
Tapi, keduanya dibedakan dari fase waktunya, survei prapemilu dilakukan sebelum pemilu sehingga menyasar calon pemilih, sementara exit poll dilakukan setelah pemilu sehingga menyasar pemilih yang telah menggunakan hak pilihnya begitu keluar TPS.
Sementara quick count dari sisi fase waktu dilakukan setelah pemilihan dilakukan. Sedangkan unit sampel yang diteliti bukan individu/pemilih, tetapi TPS (lebih tepatnya hasil perolehan suara TPS).
Ketiganya merupakan survei dari hasil mengukur sampel (sebagian dari populasi) sehingga yang dihasilkan merupakan statistik yang bersifat dugaan. Survei identik dengan penyebutan polling, sehingga survei (polling) prapemilu dan exit poll secara konsep sudah tepat. Sementara quick countsesunguhnya lebih tepat disebut 'survei hasil pemilu'.
Mengapa quick count tidak disebut saja 'survei hasil pemilu'? Ini bukan hanya soal keren atau tidaknya kata yang digunakan, tetapi ada diskursus di dalamnya. Diskursus pembedaan penggunaan konsep tersebut bisa dijelaskan dengan melihat kepentingan politik di baliknya.
Jika survei prapemilu selama ini sering dipublikasikan untuk membentuk opini publik dan mengarahkan preferensi masyarakat. Maka, pada fase hari pemilihan atau setelah pencoblosan, seolah harus dibuat sesuatu yang berbeda dengan survei prapemilu, yang selama ini kerap memunculkan kritik.
Sesuatu yang dianggap lebih valid dan sahih, yang sesungguhnya menggunakan metode yang sama-sama disebut sebagai survei, dilakukan lembaga yang sama pula. Quick count harus didorong pada konsep dan makna sejatinya, ia harus dilakukan oleh penyelenggara pemilu bukan oleh lembaga-lembaga survei.
Lembaga survei selama ini melakukan survei hasil pemilu dan sebaiknya tidak disebutquick count. Karena quick count sebaiknya menyandarkan pada pengumpulan data populasi bukan sampel. Jadikan quick countkewenangan penyelenggara (KPU) ketika melakukan proses tabulasi data.
Tentu dengan bantuan sistem komputasi terhadap hasil akhir seluruh TPS melalui format SMS yang dikirim kepada server KPU dalam waktu kurang dari 24 jam. Tujuannya adalah untuk dengan segera mengetahui siapa pemenang pemilu dalam waktu cepat agar masyarakat dan kontestan pemilu mendapat kepastian.
Tapi, kemudian hitung manual tetap dilakukan dengan cermat dan hati-hati untuk menentukan perolehan suara tiap kandidat.Quick count oleh penyelenggara pemilu (KPU) harus valid secara metodologi karena yang dihasilkan adalah nilai parameter (nilai mutlak yang tidak terbantah dari hasil mengukur populasi).
Bukan quick count yang selama ini kita kenal dilakukan lembaga survei dengan teknik sampling, karena yang dihasilkan adalah nilai statistik (nilai dugaan yang masih punya kemungkinan salah karena hasil mengukur sampel terlebih jika terjadi selisih yang ketat). Tentu saja secara independen lembaga survei bisa melakukan survei 'hasil pemilu' sebagai pembanding quick countyang dilakukan penyelenggara pemilu.
Mengapa berbeda?
Kemungkinan perbedaan hasil bisa terjadi ketika selisih antarcalon ada pada kisaran 2-3 persen pada hitungan riil atau yang sesungguhnya secara manual. Hal ini dikarenakan margin of error dari hasil prediksi quick count yang dilakukan oleh beberapa lembaga survei dipatok berkisar 1-3 persen.
Artinya, jika terjadi rilis sebuah lembaga survei dengan kandidat A mendapat 52 persen sementara kandidat B mendapat 48 persen maka margin of error yang sebesar 2-3 persen tidak akan mampu membawa prediksi yang akurat berdasar kaidah statistik.
Karena, artinya kandidat A bisa saja memperoleh hasil riil 49-55 persen sementara kandidat B 45-51 persen. Sehingga, kalau lembaga lain merilis kandidat A mendapat 49 persen, kandidat B mendapat 51 persen sama validnya. Ilustrasi hasil tersebut berpotensi membuahkan hasil yang berbeda antarlembaga survei.
KPU selaku penyelenggara punya waktu sangat terbatas dengan kapasitas dan kemampuan menyiapkan quick count dalam arti yang benar, valid, dan menghasilkan nilai parameter bukan statistik. Hal ini sangat vital untuk mencegah kondisi yang terjadi saat ini, saat otoritas dan legitimasi menentukan awal hasil pemilu akan digantungkan pada lembaga survei.
Untuk saat ini KPU sebaiknya punya back up plan dengan back up data, berupa rekap perolehan suara dari tiap TPS. Dari mana asalnya? Dengan minta tiap petugas KPPS mengirimkan SMS hasil penghitungan TPS. Triangulasi juga dibutuhkan dengan menelepon petugas lain untuk verifikasi dan validasi SMS yang masuk.
Paling tidak ini bisa dijadikan pegangan KPU jika kisruh lembaga survei terjadi dari hasil rilis survei hasil pemilu (mereka sebut quick count) yang selisihnya sangat tipis atau bahkan berbeda hasil antarlembaga yang akan berpotensi membingungkan masyarakat.
Harapannya, KPU mengambil langkah mengumumkan pemenang secara bertahapday to day di setiap provinsi yang sudah selesai rekap. Penentuan pemenang bisa didahulukan berdasar data yang masuk. Nanti rekapitulasi perolehan detailnya dan prosedurnya bisa menyusul.
Alangkah baiknya penetapan hasil rekap dipercepat dan tidak menunggu tanggal 22 Juli. Tiap hari publik harus diberikan informasi perkembangan hasil penetapan KPU per provinsi agar tidak terjadi kekosongan informasi.
TS:
Karena quick count juga merupakan survey yg mengambil sampel, bukan jumlah real (keseluruhan hasil) maka saling klaim menang tidaklah bijak. Kecuali masing2 capres mau jd presiden rakyat sejumlah sampling tersebut

Ane mengajak seluruh kaskuser utk tidak saling bully pd lawan dukungan, yuk kita tunggu pengumuman resmi KPU tgl 22 Juli 2014

0
1.4K
3


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan