- Beranda
- Komunitas
- Pilih Capres & Caleg
Dua untuk yang Raya


TS
comANDRE
Dua untuk yang Raya
Saya golput nyaris seumur hidup. Satu-satunya saat saya mencoblos adalah belasan tahun silam, itu pun atas desakan almarhumah Ibu yang tak ingin anaknya golput di pemilu pertamanya. Esoknya, hasil pemungutan suara diumumkan. Saya tak peduli dan tak mau tahu. Satu-satunya yang saya tahu, tinta ungu itu baru hilang setelah seminggu.
Coblosan itu adalah yang pertama dan terakhir. Pun ketika banyak orang mulai tergugah dan berbondong-bondong mendatangi TPS untuk pemilihan legislatif beberapa bulan lalu, saya memilih untuk tinggal di rumah menonton serial kesayangan. Foto-foto jari tercelup tinta ungu tidak menggugah niat saya. Saya golput sejati, kalau perlu sampai mati.
Hingga beberapa minggu lalu. Saat saya mulai menyimak, membaca, mempelajari, membaca lagi, dan akhirnya membuat kesimpulan. Jika dulu golput adalah usaha saya melawan, sebagai bagian dari kelompok minoritas yang kerap tertindas, kini golput terasa seperti ketidakpedulian. Akan masa depan bangsa. Akan tanah air dan dua ratus empat puluh juta rakyat Indonesia, di dalamnya termasuk saya, keluarga, dan teman-teman yang saya cintai. Akan Ibu Pertiwi yang sudah memberi begitu banyak tanpa pernah saya meminta.
Kulit saya kuning terang. Mereka bilang, mata saya hilang saat tertawa. Saya tumbuh di lingkungan yang tak mengapresiasi perbedaan, meski sesuai julukannya, Indonesia Raya seharusnya megah justru oleh keberagaman. Merayakan tahun baru hanya bisa dilakukan sembunyi-sembunyi. Olok-olok dan ejekan rutin menjadi santapan, hanya karena kulit saya kuning dan mata saya segaris. Mengucapkan pendapat dengan terbuka diancam hukuman yang bisa menghilangkan nyawa. Rasa takut dan cemas tak henti-henti menjajah. Dan kini, ia yang pernah bersanding dengan para ‘penjajah’ hendak duduk memerintah. Saya tak lagi bisa tinggal diam, meski suara saya cuma satu. Mendadak, setiap suara jadi berharga, setiap pilihan jadi bermakna.
Belum lama berselang, saya menerima sebuah pertanyaan. Apa harapanmu bagi Indonesia? Saya ingin menjawab, tetapi tidak sepatah kata pun keluar. Pertanyaan tersebut menghantui saya hingga pagi. Sorenya, lewat layar tigabelas inci, saya menyaksikan konser yang dihadiri ratusan ribu kepala. Mereka hadir tanpa diupah. Mengacungkan dua jari tinggi-tinggi dari berbagai penjuru, kendati tak ada lembaran rupiah menunggu. Berpanas-panas dan berdesakan tanpa menghiraukan lapar dan dahaga. Mereka datang bukan untuk mengarak seorang calon presiden. Mereka datang untuk merayakan bangkitnya harapan yang sudah lama mati.
Saya pun tersadar. Saya tak bisa menjawab pertanyaan itu bukan karena tak punya harapan, melainkan karena telah lama kehilangan iman. Kini, harapan telah tersemai. Saya memutuskan untuk tak lagi abai.
Mereka memanggil saya Cina, namun hati saya milik Indonesia. Kali ini saya memilih dua, karena saya ingin Indonesia tetap raya.
http://jennyjusuf.com/dua-untuk-yang-raya/
Coblosan itu adalah yang pertama dan terakhir. Pun ketika banyak orang mulai tergugah dan berbondong-bondong mendatangi TPS untuk pemilihan legislatif beberapa bulan lalu, saya memilih untuk tinggal di rumah menonton serial kesayangan. Foto-foto jari tercelup tinta ungu tidak menggugah niat saya. Saya golput sejati, kalau perlu sampai mati.
Hingga beberapa minggu lalu. Saat saya mulai menyimak, membaca, mempelajari, membaca lagi, dan akhirnya membuat kesimpulan. Jika dulu golput adalah usaha saya melawan, sebagai bagian dari kelompok minoritas yang kerap tertindas, kini golput terasa seperti ketidakpedulian. Akan masa depan bangsa. Akan tanah air dan dua ratus empat puluh juta rakyat Indonesia, di dalamnya termasuk saya, keluarga, dan teman-teman yang saya cintai. Akan Ibu Pertiwi yang sudah memberi begitu banyak tanpa pernah saya meminta.
Kulit saya kuning terang. Mereka bilang, mata saya hilang saat tertawa. Saya tumbuh di lingkungan yang tak mengapresiasi perbedaan, meski sesuai julukannya, Indonesia Raya seharusnya megah justru oleh keberagaman. Merayakan tahun baru hanya bisa dilakukan sembunyi-sembunyi. Olok-olok dan ejekan rutin menjadi santapan, hanya karena kulit saya kuning dan mata saya segaris. Mengucapkan pendapat dengan terbuka diancam hukuman yang bisa menghilangkan nyawa. Rasa takut dan cemas tak henti-henti menjajah. Dan kini, ia yang pernah bersanding dengan para ‘penjajah’ hendak duduk memerintah. Saya tak lagi bisa tinggal diam, meski suara saya cuma satu. Mendadak, setiap suara jadi berharga, setiap pilihan jadi bermakna.
Belum lama berselang, saya menerima sebuah pertanyaan. Apa harapanmu bagi Indonesia? Saya ingin menjawab, tetapi tidak sepatah kata pun keluar. Pertanyaan tersebut menghantui saya hingga pagi. Sorenya, lewat layar tigabelas inci, saya menyaksikan konser yang dihadiri ratusan ribu kepala. Mereka hadir tanpa diupah. Mengacungkan dua jari tinggi-tinggi dari berbagai penjuru, kendati tak ada lembaran rupiah menunggu. Berpanas-panas dan berdesakan tanpa menghiraukan lapar dan dahaga. Mereka datang bukan untuk mengarak seorang calon presiden. Mereka datang untuk merayakan bangkitnya harapan yang sudah lama mati.
Saya pun tersadar. Saya tak bisa menjawab pertanyaan itu bukan karena tak punya harapan, melainkan karena telah lama kehilangan iman. Kini, harapan telah tersemai. Saya memutuskan untuk tak lagi abai.
Mereka memanggil saya Cina, namun hati saya milik Indonesia. Kali ini saya memilih dua, karena saya ingin Indonesia tetap raya.
http://jennyjusuf.com/dua-untuk-yang-raya/
0
587
7
Thread Digembok
Urutan
Terbaru
Terlama
Thread Digembok
Komunitas Pilihan