TEMPO.CO , Malang: Dewan Pers menilai penyidik polisi salah dalam menerapkan hukum kepada pengelola tabloid obor rakyat. Penyidik menjerat tersangka Setyardi dan Darmawan, melanggar pasal 9 ayat 2 Undang-undang Pers mengenai perusahaan pers harus berbadan hukum. Keduanya terancam hukuman dua tahun penjara dan denda maksimal Rp 100 juta.

"Tidak tepat jika dijerat Undang-undang Pers. Karena obor rakyat bukan karya jurnalistik," kata Ketua Komisi Hukum Dewan Pers, Yoseph Adi Prasetyo, Sabtu, 5 Juli 2014. Ia menyampaikan penilaian itu dalam diskusi publik "Media dalam pusaran Pilpres" yang diselenggarakan AJI Malang di Universitas Merdeka Malang, Jawa Timur. Menurutnya, Dewan Pers telah mengirimkan surat rekomendasi ke Kepolisian jika tabloid Obor Rakyat bukan produk jurnalistik. (Baca:Kasus Obor Rakyat, Jokowi Sebut Polisi Salah )

"Jika dipaksakan, kasus akan mengambang atau bahkan terhenti," katanya. Kasus tersebut, Yoseph Adi Prasetyo menjelaskan, seharusnya dijerat dengan pasal 156 dan 157 KUHP mengenai penebar kebencian di depan umum serta pasal 310 dan 311 mengenai fitnah yang ancaman hukum lebih berat yakni sanksi 3-4 tahun penjara. Untuk itu, ia meminta penyidik untuk mengubah sangkaan hukum kepada kedua tersangka. (Baca:Jokowi Minta Penyandang Dana Obor Rakyat Diungkap)

"Saya kecewa, kesannya polisi masuk angin," katanya. Yoseph yang akrab disapa Stanley ini menyatakan penyidik telah meminta saran Dewan Pers. Namun, saran tersebut tak diterapkan dalam konstruksi hukum. Sehingga Dewan Pers menilai penyidik tak profesional dalam memeriksa kasus tersebut.

Pakar media dari FISIP Universitas Merdeka Malang, Rochmat Effendi membedah tabloid Obor Rakyat. Hasilnya, ia memastikan Obor Rakyat bukan produk jurnalistik. Lantaran tak memenuhi standar jurnalistik dasar. Seperti identitas narasumber, waktu dan tempat berita tak jelas. "Ini selebaran gelap berbentuk tabloid," kata Rochmat. Dalam setiap artikel yang disajikan, katanya, cenderung subyektif, berpihak, menghakimi dan beropini. DEWAN PERS