- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Menanti Putusan MK soal Nyapres "Cuti atau Mundur"


TS
suromenggolo
Menanti Putusan MK soal Nyapres "Cuti atau Mundur"
http://skalanews.com/berita/detail/1...uai-Konstitusi
"Pejabat negara memiliki peranan yang besar di dalam jabatannya untuk bisa juga memberikan ketidakadilan pada saat dia menjadi seorang calon presiden," kata Martin dalam persidangan.
http://www.hukumonline.com/berita/ba...arusnya-mundur
“Tetapi, sebaiknya (etikanya) pejabat negara yang masih aktif tidak mencalonkan diri sebagai presiden/wakil presiden hingga masa jabatannya berakhir,” kata Plt Dirjen Peraturan Perundang-undangan Kemekumham Mualimin Abdi
pesan dari TS:
tetep kepala dingin ya...
Spoiler for sumber:
Skalanews - Persamaan kedudukan sangat penting bagi setiap warga negara termasuk pejabat negara terkait pencalonan diri sebagai calon presiden dan wakil presiden (capres).
Seorang capres adalah orang terbaik dari seluruh rakyat Indonesia karena dia akan menjadi panutan dan akan membawa bangsa ini ke cita-cita Proklamasi.
Demikian disampaikan anggota Komisi III Martin Hutabarat saat membacakan jawaban DPR atas pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden di Mahkamah Konstitusi (MK) Jakarta, Rabu (2/7).
"Pejabat negara memiliki peranan yang besar di dalam jabatannya untuk bisa juga memberikan ketidakadilan pada saat dia menjadi seorang calon presiden," kata Martin dalam persidangan.
Martin mencontohkan, saat kegiatan salah satu calon presiden di Jakarta yang agenda awalnya hanya jalan sehat namun berujung ke kampanye politik lengkap dengan podium yang sudah disediakan.
"Tak ada satu pun pejabat di bawah pemerintahan gubernur tersebut yang berani menegurnya, apalagi melarangnya," ungkapnya.
Merurut Martin, hal itu jelas menimbulkan ketidakadilan bagi para capres lain, padahal dalam hukum harus memberikan kesetaraan, keadilan, kesamaan hak bagi setiap warga negara termasuk pejabat negara untuk memberikan satu kedudukan yang sama dalam menjalankan perannya sebagai capres.
"Kami berharap ada putusan yang menunjukkan kesetaraan bagi satu capres yang sesuai dengan tujuan negara dan konstitusi kita," tutupnya.
Pengujian UU Pilpres ini diajukan oleh dua warga Jakarta, yakni Yonas Risakotta dan Baiq Oktaviany, yang mempersoalkan nonaktifnya Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo setelah mendapat izin presiden sebagai calon peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2014.
Yonas Risakotta dan Baiq Oktaviany ini menguji Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 7 UU Nomor 42 Tahun 2008.
Pasal 6 ayat (1) menyebutkan pejabat negara yang dicalonkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik sebagai calon Presiden atau calon Wakil Presiden harus mengundurkan diri dari jabatannya.
Sedangkan Pasal 7 ayat (1) menyebut gubernur, wakil gubernur, bupati/walikota, wakil walikota/bupati yang mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden harus meminta izin presiden sebagai syarat pencalonan.
Menurut pemohon, kepala daerah tidak mundur ketika mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden sama saja dengan memperjudikan jabatan dan tidak mau ambil risiko sehingga menimbulkan ketidakpastian akan masa jabatan kepala daerah yang dipilih untuk 5 tahun.
Kedua pemohon ini meminta MK menyatakan Pasal 6 ayat (1) dan penjelasannya bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang pejabat negara tidak dimaknai "termasuk gubernur atau wakil gubernur, bupati atau wakil bupati, atau walikota atau wakil walikota".
Sedangkan untuk Pasal 7 UU Pilpres bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki hukum mengikat. (Deddi Bayu/bus)
Seorang capres adalah orang terbaik dari seluruh rakyat Indonesia karena dia akan menjadi panutan dan akan membawa bangsa ini ke cita-cita Proklamasi.
Demikian disampaikan anggota Komisi III Martin Hutabarat saat membacakan jawaban DPR atas pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden di Mahkamah Konstitusi (MK) Jakarta, Rabu (2/7).
"Pejabat negara memiliki peranan yang besar di dalam jabatannya untuk bisa juga memberikan ketidakadilan pada saat dia menjadi seorang calon presiden," kata Martin dalam persidangan.
Martin mencontohkan, saat kegiatan salah satu calon presiden di Jakarta yang agenda awalnya hanya jalan sehat namun berujung ke kampanye politik lengkap dengan podium yang sudah disediakan.
"Tak ada satu pun pejabat di bawah pemerintahan gubernur tersebut yang berani menegurnya, apalagi melarangnya," ungkapnya.
Merurut Martin, hal itu jelas menimbulkan ketidakadilan bagi para capres lain, padahal dalam hukum harus memberikan kesetaraan, keadilan, kesamaan hak bagi setiap warga negara termasuk pejabat negara untuk memberikan satu kedudukan yang sama dalam menjalankan perannya sebagai capres.
"Kami berharap ada putusan yang menunjukkan kesetaraan bagi satu capres yang sesuai dengan tujuan negara dan konstitusi kita," tutupnya.
Pengujian UU Pilpres ini diajukan oleh dua warga Jakarta, yakni Yonas Risakotta dan Baiq Oktaviany, yang mempersoalkan nonaktifnya Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo setelah mendapat izin presiden sebagai calon peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2014.
Yonas Risakotta dan Baiq Oktaviany ini menguji Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 7 UU Nomor 42 Tahun 2008.
Pasal 6 ayat (1) menyebutkan pejabat negara yang dicalonkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik sebagai calon Presiden atau calon Wakil Presiden harus mengundurkan diri dari jabatannya.
Sedangkan Pasal 7 ayat (1) menyebut gubernur, wakil gubernur, bupati/walikota, wakil walikota/bupati yang mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden harus meminta izin presiden sebagai syarat pencalonan.
Menurut pemohon, kepala daerah tidak mundur ketika mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden sama saja dengan memperjudikan jabatan dan tidak mau ambil risiko sehingga menimbulkan ketidakpastian akan masa jabatan kepala daerah yang dipilih untuk 5 tahun.
Kedua pemohon ini meminta MK menyatakan Pasal 6 ayat (1) dan penjelasannya bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang pejabat negara tidak dimaknai "termasuk gubernur atau wakil gubernur, bupati atau wakil bupati, atau walikota atau wakil walikota".
Sedangkan untuk Pasal 7 UU Pilpres bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki hukum mengikat. (Deddi Bayu/bus)
"Pejabat negara memiliki peranan yang besar di dalam jabatannya untuk bisa juga memberikan ketidakadilan pada saat dia menjadi seorang calon presiden," kata Martin dalam persidangan.
http://www.hukumonline.com/berita/ba...arusnya-mundur
Spoiler for sumber:
Pemerintah menyatakan pejabat negara termasuk kepala daerah (gubernur/walikota/bupati) berhak mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden sepanjang memenuhi persyaratan yang telah ditentukan seyogyanya mengundurkan diri dari jabatannya.Hal ini demi menjunjung etika tata pemerintahan dalam negara demokrasi.
“Tetapi, sebaiknya (etikanya) pejabat negara yang masih aktif tidak mencalonkan diri sebagai presiden/wakil presiden hingga masa jabatannya berakhir,” kata Plt Dirjen Peraturan Perundang-undangan Kemekumham Mualimin Abdi saat memberi keterangan pemerintah dalam sidang lanjutan pengujian UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) di ruang sidang MK, Rabu (2/7).
Pemerintah menyadari dalam negara demokrasi terdapat hak untuk memilih dan dipilih, termasuk hak untuk dapat memilih dan dipilih sebagai calon presiden. Namun, pejabat negara yang mundur setelah mengakhiri masa jabatannya ini akan sangat menjaga wibawa pejabat negara di mata masyarakat dan menjaga stabilitas ketatanegaraan di segala aspek bidang kehidupan.
Mualimin mengingatkan kualifikasi pejabat negara meliputi seluruh unsure penyelenggara negara, termasuk di dalamnya kepala daerah (gubernur, bupati, dan walikota). Ini merujuk pada Pasal 122 huruf i UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). “Ini berlaku asas lex posteriori derogat legi priori, materi UU yang mengatur berbeda, berlaku UU yang terbaru,” tuturnya.
Persamaan kedudukan
DPR, dalam keterangannya, lebih menekankan pentingnya persamaan kedudukan setiap warga negara termasuk pejabat negara terkait pencalonan diri sebagai calon presiden dan wakil presiden (capres).Sebab, pejabat negara memiliki peranan yang besar dalam jabatannya untuk bisa memberikan ketidakadilan saat dia menjadi seorang calon presiden.
Misalnya, ketika salah satu calon presiden melaksanakan agenda awal jalan sehat, tetapi berujung kekampanye politik lengkap dengan podium yang sudah disediakan.“Tak ada satu pun pejabat di bawah pemerintahan gubernur yang berani menegurnya, apalagi melarangnya,” ujar anggota Komisi III DPR, Martin Hutabarat di hadapan sidang pleno yang diketuai Hamdan Zoelva.
Kondisi seperti itu, kata dia, jelas menimbulkan ketidakadilan bagi para capres lain. Padahal, dalam hukum harus memberikan kesetaraan, keadilan, kesamaan hak bagi setiap warga negara termasuk pejabat negara untuk memberikan satu kedudukan yang sama dalam menjalankan perannya sebagai capres.
Bagi politisi dari Fraksi Partai Gerindra itu, seorang capres adalah orang terbaik dari seluruh rakyat Indonesia karena dia akan menjadi panutan dan membawa bangsa ini ke cita-cita Proklamasi."Kami berharap ada putusan yang menunjukkan kesetaraan bagi satu capres yang sesuai dengan tujuan negara dan konstitusi kita," harapnya.
Harus mundur
Seorang ahli yang sengaja dihadirkan pemohon, Irmanputra Sidin berpendapat kepala daerah mencalonkan diri sebagai calon presiden atau wakil presiden harus mengundurkan diri dari jabatannya.“Kepala daerah, seperti gubernur, wali kota, bupati beserta wakilnya merupakan pejabat negara yang menjalankan fungsi dan memiliki kewenangan,” kata Irman.
Menurut dia, secara teoritis dan merujuk putusan MK, hingga saat ini belum ada yang menyangkal seorang kepala daerah bukan pejabat negara. Irman melanjutkan pejabat negara harus mundur ketika menjadi calon presiden karena jabatan tersebut merupakan paling utama dalam sebuah negara yang bertanggung jawab terhadap sekitar 250 juta warga negara Indonesia.
“Menjadi calon presiden bukan sekadar berbicara dimensi hak politik warga. Namun panggilan konstitusional, sehingga warga negara yang menjadi calon presiden harus fokus dan totalitas mengurusnya,” kata Irman.
Sebelumnya, warga DKI Jakarta Yonas Risakota dan Baiq Oktavianty mempersoalkan Pasal 6 ayat (1) berikut penjelasannya, dan Pasal 7 ayat (1) dan (2) UU Pilpres lantaran Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) mencalonkan diri sebagai calon presiden. Kedua pasal itu dinilai diskriminatif yang mengakibatkan kerugian konstitusional yang dialami para pemohon sebagai warga DKI.
Misalnya, Pasal 7 ayat (1) mensyaratkan gubernur yang mencalonkan sebagai presiden atau wakil presiden hanya harus meminta izin presiden, tidak harus mengundurkan diri. Namun, Pasal 6 ayat (1) UU Pilpres mensyaratkan pejabat negara (menteri, pimpinan lembaga negara) yang dicalonkan oleh parpol atau gabungan parpol sebagai calon presiden atau calon wakil presiden harus mengundurkan diri dari jabatannya.
Karena itu, para pemohon meminta MK menyatakan inkonstitusional bersyarat Pasal 6 ayat (1) sepanjang pejabat negara tidak dimaknai ‘termasuk gubernur atau wakil gubernur, bupati atau wakil bupati, atau walikota atau wakil walikota’ dan membatalkan Pasal 7 UU Pilpres.
Pencalonan Jokowi dinilai mengkhianati pemohon yang telah memberi kepercayaan memimpin DKI Jakarta. Kalau pemegang jabatan politik (kepala daerah) tidak mundur ketika mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden sama saja dengan memperjudikan jabatan dan tidak mau ambil resiko. Hal ini menimbulkan ketidakpastian masa jabatan kepala daerah yang dipilih untuk lima tahun.
“Tetapi, sebaiknya (etikanya) pejabat negara yang masih aktif tidak mencalonkan diri sebagai presiden/wakil presiden hingga masa jabatannya berakhir,” kata Plt Dirjen Peraturan Perundang-undangan Kemekumham Mualimin Abdi saat memberi keterangan pemerintah dalam sidang lanjutan pengujian UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) di ruang sidang MK, Rabu (2/7).
Pemerintah menyadari dalam negara demokrasi terdapat hak untuk memilih dan dipilih, termasuk hak untuk dapat memilih dan dipilih sebagai calon presiden. Namun, pejabat negara yang mundur setelah mengakhiri masa jabatannya ini akan sangat menjaga wibawa pejabat negara di mata masyarakat dan menjaga stabilitas ketatanegaraan di segala aspek bidang kehidupan.
Mualimin mengingatkan kualifikasi pejabat negara meliputi seluruh unsure penyelenggara negara, termasuk di dalamnya kepala daerah (gubernur, bupati, dan walikota). Ini merujuk pada Pasal 122 huruf i UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). “Ini berlaku asas lex posteriori derogat legi priori, materi UU yang mengatur berbeda, berlaku UU yang terbaru,” tuturnya.
Persamaan kedudukan
DPR, dalam keterangannya, lebih menekankan pentingnya persamaan kedudukan setiap warga negara termasuk pejabat negara terkait pencalonan diri sebagai calon presiden dan wakil presiden (capres).Sebab, pejabat negara memiliki peranan yang besar dalam jabatannya untuk bisa memberikan ketidakadilan saat dia menjadi seorang calon presiden.
Misalnya, ketika salah satu calon presiden melaksanakan agenda awal jalan sehat, tetapi berujung kekampanye politik lengkap dengan podium yang sudah disediakan.“Tak ada satu pun pejabat di bawah pemerintahan gubernur yang berani menegurnya, apalagi melarangnya,” ujar anggota Komisi III DPR, Martin Hutabarat di hadapan sidang pleno yang diketuai Hamdan Zoelva.
Kondisi seperti itu, kata dia, jelas menimbulkan ketidakadilan bagi para capres lain. Padahal, dalam hukum harus memberikan kesetaraan, keadilan, kesamaan hak bagi setiap warga negara termasuk pejabat negara untuk memberikan satu kedudukan yang sama dalam menjalankan perannya sebagai capres.
Bagi politisi dari Fraksi Partai Gerindra itu, seorang capres adalah orang terbaik dari seluruh rakyat Indonesia karena dia akan menjadi panutan dan membawa bangsa ini ke cita-cita Proklamasi."Kami berharap ada putusan yang menunjukkan kesetaraan bagi satu capres yang sesuai dengan tujuan negara dan konstitusi kita," harapnya.
Harus mundur
Seorang ahli yang sengaja dihadirkan pemohon, Irmanputra Sidin berpendapat kepala daerah mencalonkan diri sebagai calon presiden atau wakil presiden harus mengundurkan diri dari jabatannya.“Kepala daerah, seperti gubernur, wali kota, bupati beserta wakilnya merupakan pejabat negara yang menjalankan fungsi dan memiliki kewenangan,” kata Irman.
Menurut dia, secara teoritis dan merujuk putusan MK, hingga saat ini belum ada yang menyangkal seorang kepala daerah bukan pejabat negara. Irman melanjutkan pejabat negara harus mundur ketika menjadi calon presiden karena jabatan tersebut merupakan paling utama dalam sebuah negara yang bertanggung jawab terhadap sekitar 250 juta warga negara Indonesia.
“Menjadi calon presiden bukan sekadar berbicara dimensi hak politik warga. Namun panggilan konstitusional, sehingga warga negara yang menjadi calon presiden harus fokus dan totalitas mengurusnya,” kata Irman.
Sebelumnya, warga DKI Jakarta Yonas Risakota dan Baiq Oktavianty mempersoalkan Pasal 6 ayat (1) berikut penjelasannya, dan Pasal 7 ayat (1) dan (2) UU Pilpres lantaran Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) mencalonkan diri sebagai calon presiden. Kedua pasal itu dinilai diskriminatif yang mengakibatkan kerugian konstitusional yang dialami para pemohon sebagai warga DKI.
Misalnya, Pasal 7 ayat (1) mensyaratkan gubernur yang mencalonkan sebagai presiden atau wakil presiden hanya harus meminta izin presiden, tidak harus mengundurkan diri. Namun, Pasal 6 ayat (1) UU Pilpres mensyaratkan pejabat negara (menteri, pimpinan lembaga negara) yang dicalonkan oleh parpol atau gabungan parpol sebagai calon presiden atau calon wakil presiden harus mengundurkan diri dari jabatannya.
Karena itu, para pemohon meminta MK menyatakan inkonstitusional bersyarat Pasal 6 ayat (1) sepanjang pejabat negara tidak dimaknai ‘termasuk gubernur atau wakil gubernur, bupati atau wakil bupati, atau walikota atau wakil walikota’ dan membatalkan Pasal 7 UU Pilpres.
Pencalonan Jokowi dinilai mengkhianati pemohon yang telah memberi kepercayaan memimpin DKI Jakarta. Kalau pemegang jabatan politik (kepala daerah) tidak mundur ketika mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden sama saja dengan memperjudikan jabatan dan tidak mau ambil resiko. Hal ini menimbulkan ketidakpastian masa jabatan kepala daerah yang dipilih untuk lima tahun.
“Tetapi, sebaiknya (etikanya) pejabat negara yang masih aktif tidak mencalonkan diri sebagai presiden/wakil presiden hingga masa jabatannya berakhir,” kata Plt Dirjen Peraturan Perundang-undangan Kemekumham Mualimin Abdi
pesan dari TS:
tetep kepala dingin ya...
Diubah oleh suromenggolo 03-07-2014 21:21
0
4.6K
Kutip
64
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan