redz777Avatar border
TS
redz777
prabowo jadi presiden Indonesia jadi otoriter atau jaman Orde baru?
Pembubaran DPR secara Konstitusional?

Ketegangan yang berkepanjangan antara
DPR dan presiden belakangan ini semakin
memuncak dan menimbulkan berbagai
spekulasi politik di masayarakat. Salah satu
spekulasi yang terdengar adalah bahwa
presiden akan membubarkan DPR melalui
suatu dekrit.
Rival G. Ahmad dan Bivitri Susanti
Begitu seringnya pernyataan-pernyataan
kontroversial dikeluarkan oleh elite politik,
hingga berita ini sudah tidak lagi
mengejutkan. Namun demikian, fenomena
ini perlu untuk ditelaah dari segi hukum
untuk dapat menelusuri peluang hukum
yang ada dalam spekulasi tersebut.
Wewenang pembubaran parlemen
Secara teoritis, dalam sistem presidensil,
presiden tidak memiliki kewenangan untuk
membubarkan parlemen, begitu pula
sebaliknya. Kekuatan utama dalam konsep
sistem presidensil memang terletak pada
prinsip pokok tersebut, terciptanya
keseimbangan kekuasaan antara eksekutif
dan legislatif.
Berbeda dengan yang terjadi dalam sistem
parlementer dan sistem semi-parlementer
di negara-negara non-monarki, presiden
sebagai kepala negara ( head of state )
biasanya memiliki kewenangan untuk
membubarkan parlemen dengan beberapa
variasi prasyarat kondisi dan mekanisme
prosedural. Pengaturan tersebut ditujukan
untuk mengimbangi kekuasaan parlemen
yang memiliki kewenangan untuk
menjatuhkan kabinet, baik terhadap tiap
anggota kabinet ataupun keseluruhan
kabinet.
Prasyarat kondisi yang biasanya ditentukan
dalam konsitusi adalah terjadinya
kemacetan/kebuntuan politik antara
eksekutif (kabinet) dan legislatif
(parlemen). Gambaran sederhana di
beberapa negara bila hal tersebut terjadi
adalah, Perdana Menteri sebagai pimpinan
kabinet, mengajukan permohonan kepada
Presiden untuk membubarkan parlemen
dan mengadakan pemilihan umum ulang
bagi anggota parlemen.
Bila permohonan itu disetujui dan disahkan
oleh Presiden, maka secara resmi anggota
parlemen akan melepaskan jabatannya. Dan
dalam waktu yang ditentukan, akan ada
pemilihan ulang untuk memilih anggota
parlemen yang baru. Administrasi
pemerintahan rutin dan penyelenggaraan
pemilu biasanya akan dipegang oleh kabinet
demisioner sampai dengan parlemen baru
terbentuk dan berhasil memilih perdana
menteri dan kabinet yang baru. Prinsip
yang dijunjung adalah keputusan akhir
tetap ada di tangan rakyat.
Tiga model sistem pemerintahan yang
utama, yakni presidensil, parlementer, dan
semi-parlementer, dengan segala variannya
merupakan konstruksi pengalaman sejarah
politik yang panjang dari masing-masing
negara demokrasi modern yang
menganutnya. Walapun sebagian besar
negara modern tetap mengacu pada model-
model utama yang ada di negara
penemunya, hampir bisa dipastikan tiap
negara memiliki karakterisitk khas sesuai
dengan sejarah dan dinamika sosial-
ekonomi-politik dan budayanya masing-
masing.
Namun demikian, masing-masing sistem
memiliki latar belakang pemikiran dan
orientasi politiknya yang secara prinsipil
berlainan. Perbedaan ini pada gilirannya
akan melahirkan kerangka sistem
pemerintahan tertentu, yang diharapkan
dapat menjamin seoptimal mungkin
orientasi politik yang sudah ditetapkan.
Jadi, sebuah model sistem pemerintahan
tidak serta merta dapat dimodifikasi sesuai
kepentingan politik jangka pendek, karena
ia dibangun dalam satu kerangka yang
utuh dan konsisten.
Dekrit Presiden di Indonesia
Secara tidak langsung spekulasi mengenai
pembubaran DPR munujuk pada sejarah
Dekrit Presiden Soekarno yang
membubarkan konstituante. Apa referensi
tersebut tepat?
Pada 5 Juli 1959 Presiden Soekarno, sebagai
kepala negara, mengeluarkan Dekrit
Presiden yang bertujuan menyelesaikan
kebuntuan dalam merumuskan undang-
undang dasar. Pernyataan utama dari
Dekrit adalah dibubarkanya Badan
Konstituante hasil Pemilihan Umum
Desember 1955, kembalinya konstitusi
kepada UUD 1945, penarikan UUD 1950,
dan dalam waktu yang sesingkat-
singkatnya, mendirikan lembaga-lembaga
kenegaraan sesuai dengan UUD 1945. Saat
itu pula, berakhirlah masa kerja Badan
Konstituante dan sekaligus pula sistem
pemerintahan parlementer.
Selama masa Orde Baru, sejarah lebih
sering mengedepankan catatan mengenai
apa yang disebut dengan kegagalan
konstituante daripada dinamika politik di
belakangnya. Terhadap hal ini, Yusril Ihza
Mahendra menyatakan (terlepas hal itu
otoriter atau demokratis-Pen.) bahwa
tindakan Soekarno tersebut merupakan
revolusi hukum yang secara politik berhasil
dipertahankan olehnya ( Kompas : 31
Januari 01).
Yang perlu dicermati dalam kasus ini
adalah sistem pemerintahan pada saat itu
yang memang berbeda dengan sistem
pemerintahan yang dianut sekarang.
Walaupun tidak secara langsung
memberikan wewenang tertentu kepada
presiden, UUDS 1950 mengatur suatu sistem
pemerintahan parlementer yang
menyebabkan presiden memiliki tempat
yang sangat berbeda dalam struktur politik
dan ketatanegaraan dengan yang berlaku
saat ini.
Bila ditilik secara rinci dalam dinamika
politik yang berkembang pada masa itu, ada
beberapa pertanyaan yang menarik untuk
diangkat, yakni aktor/lembaga mana yang
berinsiatif, dan prosedur hukum apa yang
dilakukan?
Inisiatif utama dari Dekrit ini sepertinya
tidak hanya berasal dari Presiden Soekarno
(yang dalam masa genting ini sebenarnya
sedang berada di Jepang), walaupun sangat
mungkin diinspirasikan oleh beberapa
pidato Soekarno untuk membubarkan
parlemen pada tahun 1956. Dalam catatan
sejarah, yang paling menonjol mengambil
inisiatif ini ada tiga kelompok, yakni
Angkatan Darat (dengan tokohnya
Nasution), partai yang disokong oleh
militer (IPKI), dan partai-partai (berhaluan
non-islam) yang ada dalam parlemen dan
badan konstituante. Selain itu ada juga
peran pembantu yang dilakonkan oleh PM
Djuanda.
Hampir bisa dikatakan Presiden Soekarno
terkesan pasif. Karena selama terjadi dead-
lock di konstituante. Dan selama ia masih
di luar negeri, Kasad Jendral Nasution
sebagai pemegang kekuasaan pusat hukum
darurat, telah mengeluarkan maklumat
yang melarang semua kegiatan politik dan
menangguhkan semua rapat-rapat
konstituante, sampai Soekarno pulang dari
luar negeri, maklumat darurat ini
disetujui oleh PM Djuanda tanpa rapat
kabinet (Nasution: 1995).
Usaha yang paling penting dari
pengkondisian bubarnya konstituante ini
adalah mosi pembubaran konstituante yang
diajukan oleh IPKI dalam sidang
konstituante yang terakhir, serta usulan
dekrit presiden yang diajukan oleh BKSPM
(Badan Kerja Sama Pemuda dan Militer)
dan kawat Jenderal Sungkono (Anggota
terkemuka dari Persatuan Veteran 45)
kepada Presiden Soekarno (ibid ).
IPKI dengan 18 partai radikal kecil juga
kemudian menyatakan bahwa mereka tidak
akan datang ke dalam sidang konsitituante
lagi. Begitu juga PNI dan PKI yang
menyatakan hanya akan datang ke sidang
konstituante di Bandung dalam rangka
pembubaran konstiutante.
Peluang pembubaran DPR
Pembubaran parlemen secara teoritis
maupun dalam praktek di Indonesia
ternyata hanya terjadi dalam sistem
pemerintahan parlementer. Dan sepertinya
tidak masuk akal dilakukan secara
konstitusional dalam sistem presidensil.
Penting untuk dicermati bahwa kondisi
politik maupun sistem ketatanegaraan
Indonesia sangat berbeda dengan tahun
1959. Sehingga apabila Presiden
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tetap
berkeras untuk mengeluarkan Dekrit
dengan mengacu pada Dekrit 1959,
tindakan itu tidak akan dapat dibenarkan
secara legal maupun secara politis.
Secara legal, tidak ada wewenang apapun
yang dimiliki oleh presiden untuk
melakukan hal tersebut. Berbeda dengan
UUDS 1950, UUD 1945 menyatakan bahwa
hubungan DPR dan presiden adalah sejajar.
Sementara undang-undang keadaan bahaya
yang sempat diduga akan menjadi dasar
hukum bagi tindakan ini juga ternyata
tidak memberikan kewenangan kepada
presiden untuk membubarkan DPR.
Sedangkan secara politis, harus terlebih
dahulu diciptakan kondisi politik yang
kemudian dapat melegitimasi tindakan
tersebut. Tanpa adanya kondisi yang dapat
melegitimasinya, maka sejarah akan
mencatat tindakan itu sebagai tindakan
inkonstitusional dari seorang diktator
daripada suatu revolusi. Kondisi politik
yang dapat melegitimasi tindakan itu
adalah adanya keadaan darurat yang
memaksa presiden untuk membubarkan
DPR. Untuk itu, jelas dibutuhkan dukungan
dari militer.
Reaksi langsung yang dapat dimunculkan
oleh DPR adalah dengan melakukan
pembangkangan, yang kemudian dapat
berujung pada pengiriman memorandum
kepada MPR untuk melaksanakan Sidang
Istimewa (SI) guna menjatuhkan presiden
dengan alasan melanggar konstitusi.
Walaupun untuk sampai pada SI
dibutuhkan waktu setidaknya empat bulan
sejak dikirimkannya memorandum
pertama, implikasi politik yang
ditimbulkannya akan cukup kuat untuk
membalikkan kedudukan antara MPR dan
Presiden.
Namun terhadap tindakan pembangkangan
MPR ini, ada cara yang umum (berlaku di
dunia ketiga) untuk mencegahnya, yaitu
dengan penghentian secara militeristik
segala aktivitas resmi parlemen dan
mungkin juga aktivitas politik pada
umumnya. Menurut para ahli tata negara,
ini berarti suatu tindakan coup d'etat .
Hal yang paling mungkin dilakukan secara
konstitusional adalah pembubaran DPR
oleh para anggota DPR. Namun untuk
sampai pada hal ini, perlu ada
penggembosan di kalangan DPR sendiri
untuk selanjutnya menyatakan mosi
pembubaran DPR. Cara yang tidak umum
terjadi dalam sistem presidensil, tapi juga
tidak ada larangan yang menghambatnya
secara konstitusional.
Selama masih ada kalangan anggota DPR
yang tidak menyetujui pembubaran ini,
maka DPR tidak dapat bubar secara
institusional. Namun setelah ini, fungsi DPR
tidak akan berjalan sebagaimana
seharusnya, yang akhirnya akan
menyebabkan DPR akan kehilangan
legitimasi. Kemacetan politik yang
dihasilkan akan mengarah pula pada
kondisi yang memungkinkan presiden
membubarkan DPR. Akibat sampingannya,
konflik antara presiden dan DPR telah
berhasil dipindahkan menjadi konflik
internal DPR.
Apabila hal ini yang terjadi, maka akan
terjadi konflik politik yang berkepanjangan.
Dan karenanya, akan berujung pula pada
nasib seluruh bangsa ini. Oleh karena itu,
meski langkah ini memang tidak mudah
karena membutuhkan kekuatan politik
yang besar, segala upaya politik yang
menuju ke arah itu perlu dicermati.
Akhir dari seluruh uraian di atas, mungkin
prinsip dasar demokrasi yang klasik perlu
kembali diingat dalam hal ini. Keputusan
akhir (harus) ada di tangan rakyat. Bukan
hanya pemimpin dan wakil rakyat, bukan
cuma rakyat yang terdidik dan terorganisir,
melainkan rakyat Indonesia secara
keseluruhan.

Rival G. Ahmad dan Bivitri Susanti adalah
peneliti pada Pusat Studi Hukum & Kebijakan
Indonesia (PSHK).

sumber:
http://m.hukumonline.com/berita/baca/hol1816/pembubaran-dpr-secara-konstitusional
Diubah oleh redz777 01-07-2014 15:41
0
1.6K
17
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan