- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
[PENDAPAT ANE DAN AGAN] REVOLUSI MENTAL DAN REVOLUSI PENDIDIKAN


TS
iamadi
[PENDAPAT ANE DAN AGAN] REVOLUSI MENTAL DAN REVOLUSI PENDIDIKAN
Spoiler for REVOLUSI MENTAL:
Untuk itu, pertama-tama perlu saya sampaikan bahwa istilah ‘Revolusi Mental’ banyak dipakai dalam sejarah pemikiran, manajemen, sejarah politik dan bahkan sejarah musik. Penggunaan itu terjadi baik di dunia Barat maupun Timur, baik oleh pemikir Islam, Kristiani, Hinduisme maupun (Zen) Buddhisme. Bung Karno pun pernah menggunakan istilah ini dalam pidato 17 Agustus 1956.
Istilah ‘mental’ adalah nama bagi genangan segala sesuatu menyangkut cara hidup – misalnya: ‘mentalitas zaman’. Di dalam cara hidup ada cara berpikir, cara memandang masalah, cara merasa, mempercayai/meyakini, cara berperilaku dan bertindak. Namun kerap muncul anggapan bahwa ‘mental’ hanyalah urusan batin yang tidak terkait dengan sifat ragawi tindakan dan ciri fisik benda-benda dunia.
Daya-daya mental seperti bernalar, berpikir, membuat pertimbangan dan mengambil keputusan memang tidak ragawi (tidak kasat mata), tetapi dunia mental tidak mungkin terbangun tanpa pengalaman ragawi. Pada gilirannya, daya-daya mental pun dibentuk dan menghasilkan perilaku serta tindakan ragawi. Kelenturan mental, yaitu kemampuan untuk mengubah cara berpikir, cara memandang, cara berperilaku/bertindak juga dipengaruhi oleh hasrat (campuran antara emosi dan motivasi).
Karena itulah kita memakai istilah ‘mentalitas’ untuk menggambarkan dan juga mengkritik “mentalitas zaman”. Ada mentalitas petani, mentalitas industrial, mentalitas priyayi, mentalitas gawai (gadget), dsb. Mentalitas priyayi tentu bukan sekadar perkara batin para priyayi, melainkan cara mereka memahami diri dan dunia, bagaimana mereka menampilkan diri dan kepercayaan yang mereka yakini, cara berpakaian, bertutur, berperilaku, bertindak, bagaimana mereka memandang benda-benda, ritual keagamaan, seni, dsb.
Kekeliruan memahami pengertian mental (dan bahkan ada yang menyempitkannya ke kesadaran moral) membuat seolah-olah perubahan mental hanyalah soal perubahan moral yang tidak ada hubungannya dengan hal-hal ragawi seperti soal-soal struktural ekonomi, politik, dsb. Padahal kesadaran moral, atau hati nurani yang mengarahkan orang ke putusan moral yang tepat, hanyalah salah satu buah daya-daya mental yang terdidik dengan baik.
Kekeliruan ini muncul dari perdebatan menyangkut kaitan kebudayaan, struktur sosial dan pelaku. Kekeliruan itu terungkap dalam omongan kita sehari-hari: “Wah, itu masalah mental pelakunya!”, atau: “Tidak, itu masalah struktur!” Akibatnya, interaksi keduanya terasa putus. Pokok ini tidak perlu diurai panjang lebar di sini. Cukuplah disebut bahwa kesesatan itu melahirkan pandangan seakan-akan ‘kebudayaan’ berurusan hanya dengan ranah subyektif pelaku, sedangkan ‘struktur sosial’ berurusan dengan ranah obyektif tindakan. Dan keduanya tidak berhubungan. Itu pandangan primitif dan sesat.
Bagaimana kesesatan itu dikoreksi? Jawabnya: hubungan integral antara “mental pelaku” dan “struktur sosial” terjembatani dengan memahami ‘kebudayaan’ (culture) sebagai pola caraberpikir, cara-merasa, dan cara-bertindak yang terungkap dalam praktik kebiasaan sehari-hari (practices, habits). Di dunia nyata tidak ada pemisahan antara ‘struktur’ sebagai kondisi material/ fisik/ sosial dan ‘kebudayaan’ sebagai proses mental. Keduanya saling terkait secara integral.
Corak praktik serta sistem ekonomi dan politik yang berlangsung tiap hari merupakan ungkapan kebudayaan, sedangkan cara kita berpikir, merasa dan bertindak (budaya) dibentuk secara mendalam oleh sistem dan praktik habitual ekonomi serta politik. Tak ada ekonomi dan politik tanpa kebudayaan, dan sebaliknya tak ada kebudayaan tanpa ekonomi dan politik. Pemisahan itu hanya ada pada aras analitik. Pada yang politik dan ekonomi selalu terlibat budaya dan pada yang budaya selalu terlibat ekonomi dan politik.
Selain sebagai corak/pola kebiasaan, tentu kebudayaan juga punya lapis makna yang berisi cara masyarakat menafsirkan diri, nilai dan tujuan-tujuan serta cara mengevaluasinya. Kebudayaan juga punya lapis fisik/material karya cipta manusia termasuk sistem pengetahuan yang melandasinya. Namun dalam praktek sehari-hari ketiganya tidak terpisah secara tajam.
Contohnya adalah bagaimana selera dan hasrat terbentuk dari kebiasaan-kebiasaan yang kita peroleh melalui struktur lingkungan. Konsumerisme sebagai gejala budaya lahir dari perubahan struktur lingkungan yang memaksakan hasrat tertentu agar menjadi kebiasaan sosial. Misalnya, kebiasaan berbelanja sebagai gaya hidup dan bukan karena perlu, atau menilai prestise melalui kepemilikan benda bermerek luar negeri.
Implikasi dari kekeliruan memahami gejala yang disebut pada butir 5 dan 6 di atas sangat besar. Pernyataan-pernyataan publik seperti pendekatan ekonomi dan politik sudah gagal sehingga diperlukan jalan kebudayaan adalah contoh kekeliruan memahami hubungan integral struktur, kebudayaan, dan pelaku. Kekeliruan itu juga melahirkan anggapan seakan-akan urusan perubahan mental akan menciutkan masalah-masalah kemiskinan dan korupsi sebagai perkara moral bangsa – “kalau moral berubah, selesailah masalah!”. Sungguh keliru anggapan itu.
Dengan paparan di atas, bagaimanakah kita mengartikan ‘Revolusi Mental’? Revolusi Mental melibatkan semacam strategi kebudayaan. Strategi kebudayaan berisi haluan umum yang berperan memberi arah bagaimana kebudayaan akan ditangani, supaya tercapai kemaslahatan hidup berbangsa. Strategi berisi visi dan haluan dasar yang dilaksanakan berdasarkan tahapan, target setiap tahap, langkah pencapaian dan metode evaluasinya.
Tetapi karena‘kebudayaan’ juga menyangkut cara kita berpikir, merasa dan bertindak, ‘revolusi mental’ tidak bisa tidak mengarah ke transformasi besar yang menyangkut corak cara-berpikir, cara-merasa dan cara-bertindak kita itu. Kebudayaan hanya dapat “di-strategi-kan”(3) jika kita sungguh memberi perhatian pada lapis kebudayaan tersebut. Karena itu, kunci bagi ‘Revolusi Mental’ sebagai strategi kebudayaan adalah menempatkan arti dan pengertian kebudayaan ke tataran praktek hidup sehari-hari.
Jadi, untuk agenda ‘Revolusi Mental’, kebudayaan mesti dipahami bukan sekadar sebagai seni pertunjukan, pameran, kesenian, tarian, lukisan, atau celoteh tentang moral dan kesadaran, melainkan sebagai corak/pola cara-berpikir, cara-merasa, dan cara-bertindak yang terungkap dalam tindakan, praktik dan kebiasaan kita sehari-hari. Hanya dengan itu ‘Revolusi Mental’ memang akan menjadi wahana melahirkan Indonesia baru.
Apa yang mau dibidik oleh ‘Revolusi Mental’ adalah transformasi etos, yaitu perubahan mendasar dalam mentalitas, cara berpikir, cara merasa dan cara mempercayai, yang semuanya menjelma dalam perilaku dan tindakan sehari-hari. Etos ini menyangkut semua bidang kehidupan mulai dari ekonomi, politik, sains-teknologi, seni, agama, dsb. Begitu rupa, sehingga mentalitas bangsa (yang terungkap dalam praktik/kebiasaan seharihari) lambat-laun berubah. Pengorganisasian, rumusan kebijakan dan pengambilan keputusan diarahkan untuk proses transformasi itu.
Di satu pihak, pendidikan lewat sekolah merupakan lokus untuk memulai revolusi mental. Di lain pihak, kita tentu tidak mungkin membongkar seluruh sistem pendidikan yang ada. Meski demikian, revolusi mental dapat dimasukkan ke dalam strategi pendidikan di sekolah. Langkah operasionalnya ditempuh melalui siasat kebudayaan membentuk etos warga negara (citizenship).
Maka, sejak dini anak-anak sekolah perlu mengalami proses pedagogis yang membuat etos warga negara ini ‘menubuh’. Mengapa? Karena landasan kebangsaan Indonesia adalah kewarganegaraan. Indonesia tidak berdiri dan didirikan di atas prinsip kesukuan, keagamaan atau budaya tertentu.
Karena itu, pendidikan kewarganegaraan perlu diperkenalkan kepada siswa mulai dari usia dini. Dalam menjalankan Revolusi Mental, pendidikan kewarganegaraan merupakan tuntutan yang tidak dapat diganti misalnya dengan pelajaran agama. Sebaliknya, pelajaran agama membantu pendidikan kewarganegaraan.
Untuk keperluan pendidikan kewarganegaraan kita dapat menyusun pertanyaan: (a) Keutamaan/karakter baik (virtue) apa yang harus dipelajari oleh siswa agar menjadi warga negara yang baik? (b) Sebagai infrastuktur kultural, keutamaan/karakter baik (virtue) apa yang perlu dipelajari siswa untuk “menemukan kembali” Indonesia yang dicita-citakan bersama?
Sebagai contoh, jika gagasan tentang Indonesia yang mau dikembangkan adalah Indonesia yang bebas korupsi, maka keutamaan yang dididik adalah kejujuran; jika sasarannya adalah kebinekaan, maka yang dididik adalah pengakuan dan hormat pada keragaman budaya, agama, suku/etnisitas, dll; jika kepemimpinan, maka yang dikembangkan adalah tanggungjawab; dst.
Tampaknya memang tidak ada yang baru dari hal-hal yang disebut di atas. Dengan memusatkan perhatian pada perubahan kebiasaan sehari-hari yang punyai dampak kebaikan publik, kebaruan terletak pada cara mendidik. Proses pendidikan mesti bermuara ke corak kebiasaan bertindak. Artinya, pendidikan diarahkan ke transformasi dari pengetahuan diskursif (discursive knowledge) ke pengetahuan praktis (practical knowledge).
Pengetahuan diskursif tentu sangat dibutuhkan dalam mengawal secara kritis kehidupan berbangsa-bernegara, namun biarlah sementara ini itu jadi urusan para intelektual/cendekia. Bagi agenda ‘Revolusi Mental’, yang paling dibutuhkan adalah pengetahuan praktis – transformasi pada tataran kebiasaan bertindak sehari-hari para warga negara dalam lingkup dan skala seluas bangsa.
eutamaan (virtue) adalah pengetahuan praktis. Ini berarti bahwa dalam proses pendidikan, Revolusi Mental adalah membuat bagaimana kejujuran dan keutamaan lain-lainnya itu menjadi suatu disposisi batin ketika siswa berhadapan dengan situasi konkret.
Ketika berhadapan dengan kesulitan saat ulangan, misalnya, siswa tidak lagi melihat kejujuran sebagai hal terpisah dari dirinya. Dia tidak lagi berpikir apakah akan mencontek atau tidak, karena kejujuran sudah menjadi kebiasaan, sudah menjadi habit. Kejujuran mengalir dari dirinya. Ibarat seseorang yang mahir berenang, dia tidak lagi perlu memikirkan ritme gerakan tangan dan kakinya. Gerakan itu menjadi bagian dirinya ketika dia berada di air.
Contoh lain bisa kita ambil dari Skandinavia dimana kesetaraan (equality) diajarkan sejak anakanak. Itulah mengapa sistem welfare state menjadi mungkin di Negara-negara Skandinavia. Kendati dikenai pajak progresif, warga memahami arti dan keutamaannya karena kesetaraan sudah menjadi sikap dasar (dan tentu saja juga karena penyelenggara negara yang akuntabel dan tidak korup). Di Jepang, sikap stoic (Jepang: gaman) sudah diajarkan sejak usia 3 – 6 tahun sampai menjadi kebiasaan dan sikap hidup sehari-hari. Kita tentu masih ingat reaksi tenang, rasional, terkendali dan hening masyarakat Jepang yang banyak dibahas media internasional ketika terjadi tragedi nuklir 2011.
Pendidikan di sekolah hanyalah bagian saja dari proses pendidikan warga negara. Padahal kalau sungguh mau dilaksanakan, Revolusi Mental harus menjadi gerakan kolosal berskala nasional. Gerakan itu mencakup masyarakat seluas bangsa agar perilaku sosial setiap individu menjadikan keutamaan warga negara sebagai kebiasaan.
Untuk itu, kita tidak perlu menunggu adanya kebijakan. Silakan memulai dengan membangun kantung-kantung perubahan dan menyusun siasat yang berfokus pada transformasi cara hidup sehari-hari kelompok-kelompok warga negara. Siasat itu melibatkan gerakan rutin dalam bentuk langkah-langkah konkret untuk mengubah kebiasaan-kebiasaan yang punya dampak terhadap terwujudnya kebaikan hidup berbangsa dan bernegara.
Jadi, ‘Revolusi Mental’ bukanlah urusan membikin panggung di mana para selebriti mencari sorak dan puja-puji. Transformasi sejati terjadi dalam kesetiaan bergerak dan menggerakkan perubahan dalam hal-hal yang rutin. Hanya melalui kesetiaan inilah ‘Revolusi Mental’ akan terjadi. ‘Revolusi Mental’ juga tidak akan terjadi hanya dengan khotbah tentang kesadaran moral, serta tidak terjadi dengan pelbagai seminar dan pertunjukan. Semua itu cenderung jadi panggung slogan.
Agar ‘Revolusi Mental’ menjadi siasat integral tranformasi kebudayaan, yang dibutuhkan adalah menaruh arti dan praksis kebudayaan ke dalam proses perubahan ragawi menyangkut praktik dan kebiasaan hidup sehari-hari pada lingkup dan skala sebesar bangsa. Arah itu juga merupakan resep bagi masyarakat warga untuk ikut terlibat secara ragawi dalam memulai dan merawat revolusi mental.
Jika pada awal Reformasi kita banyak membicarakan civil society, maka inilah arti civil society yang sebenarnya: civil society adalah gerakan para warga negara (citizens) untuk melaksanakan transformasi secara berkelanjutan bagi pemberadaban hidup bersama yang bernama Indonesia. Itulah ‘Revolusi Mental’.
Spoiler for REVOLUSI PENDIDIKAN:
Kualitas SDM ini jauh lebih penting dari sumber daya alam yang kita miliki. Kalau kita lihat Jepang dan Korea, sumber daya alam mereka tidak banyak. Tetapi dengan kualitas SDM yang mereka miliki, bisa membangun peradaban yang maju. Jadi, jangan sampai terlalu bangga dengan sumber daya alam yang kita miliki jika kualitas sumber daya manusia kita masih buruk.
Dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia, ada tujuh poin besar yang harus dijadikan fokus:
Pertama, jangan terjebak bahwa pendidikan itu sama dengan sekolah. Pendidikan jauh berbeda dengan sekolah. Sekolah merupakan hal baru dalam dunia pendidikan. Sekolah lahir beriringan dengan era revolusi industri dengan tujuan untuk mempersiapkan sumber daya manusia masuk ke industri. Bahkan kampus ada lebih dulu daripada sekolah. Belajar tidak harus di sekolah.
Kedua, pendidikan merupakan hal yang kompleks. Tidak serta merta kita anggap bahwa jika sekolah bisa melahirkan orang yang terdidik. Sekarang banyak anggota DPR yang sarjana sampai doktor. Apa kita yakin bahwa para anggota DPR sekarang lebih baik dari pada anggota DPR yang dulu-dulu yang bahkan tidak mempunyai gelar sama sekali. Pendidikan dalam arti yang sebenarnya bisa didapat dari pengalaman, lingkungan, suri tauladan, membaca, praktek, mendengarkan ceramah, diskusi, dsb. Pendidikan terbaik bahkan bisa dari rumah.
Ketiga, jangan jadikan UN sebagai standar kelulusan. UN hanya mengukur sedikit kemampuan siswa, apalagi kalau sampai mengukur kadar terdidiknya seorang siswa. Hal ini membuat UN sangat tidak relevan untuk dijadikan standar kelulusan. Biarlah para guru yang menilai, apakah siswa tersebut layak lulus atau tidak. Bukan hanya rokok yang bisa dipasang slogan mengenai bahayanya. Kita harus mempertimbangkan pemasangan slogan bahaya pada UN, "UN dapat menyebabkan depresi, frustasi, perilaku curang, ketidakadilan dan merendahkan martabat guru".
Keempat, fokus pada kualitas guru. Faktor terbesar terhadap sukses tidaknya pendidikan adalah guru. Karena dari guru, siswa bisa mendapatkan ilmu pengetahuan, pendidikan akhlaq dan suri tauladan. Percuma bila membuat kurikulum sebagus apapun jika guru tidak bisa menyampaikannya dengan baik kepada siswa. Kita perlu mempersiapkan guru-guru yang berkualitas.
Sekarang, kecenderungan siswa yang pintar lebih memilih ITS misalkan dari pada masuk ke IKIP. Sehingga input IKIP kekurangan input yang bagus. Dulu, rekrutmen guru adalah siswa terpintar. Adapun, untuk guru-guru yang sudah mengajar harus diberikan pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan kualitas mereka. Jangan sampai malah menyibukkan guru dengan birokrasi yang rumit.
Kelima, pentingnya pendidikan karakter. Sekolah sekarang banyak menjadi bibit munculnya karakter-karakter jelek. Misalkan, karena takut mendapat nilai jelek atau tidak mendapat ranking bagus, siswa akhirnya mencontek. Dalam istilah jawa, jujur iku mujur. Tetapi, siswa yang mengerjakan dengan jujur dan mendapat nilai jelek malah diejek temannya.
Siswa pintar disuruh untuk memberikan contekan saat ujian oleh gurunya. Bahkan pemerintah pun sudah tidak percaya lagi pada guru. Lihat, polisi sampai mengawasi guru dalam pelaksanaan ujian. Masih banyak karakter-karakter baik lain yang dibantai di sekolah selain kejujuran. Kasus lain membuktikan bahwa sekolah sekarang bukan tempat pendidikan karakter. Ada siswa yang dikeluarkan karena mencuri helm. Siswi hamil tidak boleh ikut ujian. Hal tersebut menyalahi makna pendidikan. Pendidikan adalah bagaimana siswa yang tidak baik itu menjadi baik. Semua orang berhak mendapat pendidikan, semua orang berhak untuk menjadi lebih baik.
Keenam, membebaskan belenggu-belenggu pendidikan dengan menggunakan teknologi informasi. Dengan email, kita bisa menanggulangi distribusi soal UN yang terlambat dengan mudah. Dengan internet, koordinasi pemerintah pusat dengan para guru di daerah akan lebih mudah, sumber-sumber ilmu pengetahuan mudah diakses. Penggunaan kertas bisa dikurangi dengan adanya buku-buku digital.
Ketujuh, stop politisasi dan komersialisasi pendidikan.Berbagai kalangan harus satu visi dalam pengembangan pendidikan di Indonesia. Pendidikan tidak boleh dijadikan mainan politik bagi para penjabat. Namun, permasalahan pendidikan ini harus diserahkan pada ahli dibidangnya. Dengan adanya kurikulum baru 2013 tentunya akan banyak sosialisasi, pelatihan dan buku-buku baru yang diterbitkan. Hal tersebut sangat rawan sekali dengan tindak KKN. Selain itu, setiap orang di Indonesia harus bisa mengeyam dunia pendidikan baik yang punya biaya maupun tidak. Sekolah-sekolah yang menolak calon siswa tidak mampu harus diberi sanksi tegas oleh pemerintah.
Perlu kita sadari bahwa kualitas pendidikan di Indonesia saat ini masih buruk. Setelah kita sadar, mari kita satukan tujuan untuk pendidikan Indonesia yang lebih baik. Revolusi pendidikan di Indonesia harus dilakukan demi kejayaan Indonesia di masa mendatang.
Dari tulisan diatas TS mengambil sedikit kesimpulan bahwa Revolusi Mental perlu juga untuk MeRevolusi Pendidikan, dalam arti Pendidikan di indonesia ini masih belum baik..mungkin jika diperkenakan mana yang lebih dulu TS mengambil kesimpulan bahwa revolusi pendidikan lah yang lebih dulu dilakukan..percuma bila kita merevolusi mental tetapi kualitas pendidikan kita buruk, mental kita terbentuk dari pendidikan yang kita dapat..
MOHON MASUKAN DARI AGAN AGAN SEKALIAN
Sumber :
Memahami arti revolusi mental
Revolusi Pendidikan
Revolusi Mental mulai darimana?
Diubah oleh iamadi 25-06-2014 06:01
0
2.5K
Kutip
2
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan