- Beranda
- Komunitas
- Pilih Capres & Caleg
Wawancara Anonim Prabowo yg Terkuak...!!!


TS
kupingsemut
Wawancara Anonim Prabowo yg Terkuak...!!!
Buat Para Panasbung yg Masih Buta Hatinya...mohon disimak ini gan...
"Apa saya cukup punya nyali," tanya Prabowo, "apa saya siap jika disebut diktator fasis'?"
22 Juni 2014, Oleh Allan Nairn
Tangal 9 Juli, Indonesia, negeri dengan
kepadatan penduduk berperingkat keempat
sedunia, akan mengadakan pemilu. Pemilu kali
ini berpotensi menaikkan Jenderal (purn)
Prabowo Subianto ke kursi kepresidenan.
Jenderal Prabowo, kakak kandung seorang
milyarder, adalah bekas menantu dari diktator
Suharto. Orang yang dilatih oleh dan mendapat
sokongan dari Amerika ini terlibat dalam
kasus-kasus penyiksaan, penculikan, dan
pembantaian massal.
Pada bulan Juni dan Juli 2001, saya
berbincang-bincang dengan Prabowo.
Kami berjumpa di kantor perusahaannya di
Mega Kuningan, Jakarta.
Saya menawarkan kepadanya wawancara
anonim (tanpa nama).
Waktu itu saya tengah menyelidiki sejumlah
kasus pembunuhan yang terjadi baru-baru itu.
Ia rupa-rupanya melibatkan tentara Indonesia.
Saya berharap pembicaraan off-the-record
antara saya dan Jendral Prabowo bisa
mengungkap detail dari kasus-kasus tersebut.
Awalnya saya kecewa. Prabowo hampir tidak
memberikan keterangan yang membantu
mengenai pembunuhan-pembunuhan itu .
Namun akhirnya kami malah mengobrol
selama nyaris empat jam.
Kesan yang saya tangkap waktu itu, Prabowo
mengeluarkan komentar-komentar yang tidak
bersangkutan.
Prabowo berbicara tentang fasisme, demokrasi,
kebijakan membunuh dalam tubuh TNI/ABRI,
serta hubungan antara dirinya dengan
Pentagon dan Intelijen Amerika yang sudah
berlangsung lama dan tertutup.
Di masa itu, ia sama sekali tidak berkuasa dan
terisolir secara politis. Jenderal-jenderal lain
adalah ancamannya.
Namun karena saat ini Prabowo nyaris
merebut kekuasaan, saya kembali memeriksa
catatan-catatan wawancara saya. Saya jadi
sadar bahwa apa yang ia katakan pada waktu
itu menjadi relevan di saat ini.
-----
Saya telah mencoba menghubungi Jenderal
Prabowo. Saya ingin meminta izin untuk
membahas komentar-komentarnya di muka
publik. Saya tidak mendapat balasan dan saya
pun memutuskan untuk meneruskan rencana
tersebut.
Saya pikir kerugian yang saya hadapi ketika
melanggar anonimitas yang saya janjikan ke
Prabowo, tidak sebanding dengan kerugian
yang lebih besar jika rakyat Indonesia pergi ke
tempat pemungutan suara tanpa mengetahui
fakta-fakta penting yang selama ini tidak bisa
mereka akses.
-----
Saat itu saya dan Prabowo berdiskusi panjang
tentang pembantaian Santa Cruz.
Dalam pembantaian tersebut, militer Indonesia
membunuh setidaknya 271 penduduk sipil.
Kejadiannya berlangsung pada 12 November
1991 di Dili, di sebelah luar area pemakaman
yang dipadati laki-laki, perempuan dan anak-
anak. Di tahun itu, Timor-Timur masih
merupakan wilayah yang diduduki oleh militer
Indonesia.
Kebetulan saya ada di sana ketika
pembantaian itu terjadi. Saya selamat.
Prabowo mengatakan kepada saya bahwa
perintah membunuh itu "bodoh" [“imbecilic”].
(Dia katakan bahwa ia sempat mengira
perintah tersebut datang dari Jenderal Benny
Murdani, tapi ia sendiri tidak yakin.)
Keberatan Prabowo bukan pada kenyataan
bahwa militer Indonesia telah membunuh
warga sipil, tapi pada fakta bahwa
pembunuhan tersebut dilakukan di hadapan
saya dan saksi-saksi lainnya yang bisa
melaporkan kasus tersebut dan menggerakan
suara dunia internasional.
“Santa Cruz mematikan kami secara politis!”
suara Prabowo meninggi. “Di situlah kekalahan
kami” [“Santa Cruz killed us politically!,”
Prabowo exclained. “It was the defeat!”].
“Anda tidak semestinya membunuh warga sipil
di depan pers internasional,” ujar Jenderal
Prabowo. “Komandan-komandan itu bisa saja
membantai di desa-desa terpencil sehingga tak
diketahui siapapun, tapi bukan di ibukota
provinsi!” [“You don’t massacre civilians in
front of the world press,” General Prabowo
said. “Maybe commanders do it in villages
where no one will ever know, but not in the
provincial capital!”].
Pernyataan tersebut jadi semacam pengakuan
bahwa militer terbiasa melakukan
pembantaian. Pernyataan itu juga
membuktikan bahwa Prabowo tidak
berkeberatan jika pembantaian dilakukan di
tempat-tempat yang “tak diketahui
siapapun” [“where no one will ever know”].
Pada bulan September 1983, serangkaian
pembantaian serupa terjadi di desa terpencil
Kraras yang terletak di gunung Bibileu, Timor
Leste.
Di kemudian hari, Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi di Timor Timur yang disokong PBB
(CAVR) melaporkan pembantaian Kraras:
"421. Komisi menerima bukti bahwa Prabowo
ditempatkan di sektor bagian timur Timor-
Leste saat itu. Beberapa sumber menyatakan
kepada Komisi bahwa Prabowo terlibat dalam
operasi untuk membawa penduduk sipil turun
dari Gunung Bibeleu, dimana tidak lama
kemudian beberapa ratus orang dibunuh ABRI.
Komisi juga menerima bukti keterlibatan
Kopassus dalam pembunuhan-pembunuhan ini
(lihat Bab 7.2.: Pembunuhan Tidak Sah dan
Penghilangan Paksa).”
Seiring Suharto terus menaikkan pangkat
Prabowo, komando-komando sang jenderal
kian nyata jejaknya dalam sejumlah
pembantaian massal lainnya. Salah satunya
adalah pembantaian massal di Papua Barat.
Dalam kasus tersebut, para anak buah
Prabowo menyamar sebagai anggota Palang
Merah Internasional (ICRC). Operasi rahasia ini
juga terdengar sampai Jakarta, kota dimana
mereka menghilangkan aktivis-aktivis pro-
demokrasi.
-----
Fakta bahwa saya dan Prabowo sepakat untuk
duduk bersama pun agak ganjil.
Saya sendiri sebelumnya telah menyerukan
agar Prabowo diadili dan dipenjarakan
bersama-sama para sponsor Amerika-nya. Saya
juga ikut serta menggalang kampanye di akar
rumput guna menuntut pemerintah AS
memutus bantuannya kepada militer
Indonesia. Kampanye ini berhasil. Saya
dilarang masuk ke Indonesia, karena
dinyatakan sebagai "ancaman bagi keamanan
nasional", sementara para anak buah Jenderal
Prabowo telah menyiksa teman-teman saya.
Tapi bagi saya pribadi, saya telah berhitung
dengan cermat bahwa pembicaraan bersama
Prabowo tidak akan sia-sia, jika kasus-kasus
pembunuhan yang masih segar kala itu
terbantu pemecahannya.
Saya tak tahu persis apa gunanya
perbincangan tersebut untuk Prabowo. Namun,
saya mendapat kesan bahwa ia menikmati
kesempatan untuk membicarakan profesinya,
serta bertukar pikiran dengan seorang musuh.
-----
Saat itu, dua tahun setelah Soeharto jatuh,
Indonesia memiliki presiden sipil.
Abdurrachman Wahid, dikenal sebagai Gus
Dur, adalah seorang ulama yang secara hukum
dinyatakan buta.
Militer Indonesia merongrong otoritas presiden
Gus Dur. Salah satu cara yang mereka tempuh
adalah memfasilitasi serangan-serangan teror
antar-etnis/agama di Maluku. Tiga minggu
setelah pertemuan kedua saya dengan
Prabowo, Gus Dur diberhentikan dan
digulingkan dari kursi presiden.
Kini Gus Dur seringkali dikenang dengan
sukacita. Bahkan kampanye Prabowo pun
memanfaatkan rekaman video pembicaraan
Gus Dur.
Namun dalam perbincangan tersebut, di
hadapan saya Prabowo tak henti-hentinya
mengecam Gus Dur dan demokrasi.
“Indonesia belum siap untuk demokrasi,” kata
Prabowo. "Di negara kami ini masih ada
kanibal, masih ada kerumunan yang bikin
rusuh" [“Indonesia is not ready for
democracy,” Prabowo said. “We still have
cannibals, there are violent mobs.”].
Indonesia perlu, lanjut Prabowo, "rezim
otoriter yang jinak" [“a benign authoritarian
regime”]. Ia katakan bahwa keragaman etnis
dan agama adalah penghalang demokrasi.
Mengenai Gus Dur, Prabowo mengatakan:
"Militer pun bahkan tunduk pada presiden
buta! Bayangkan! Coba lihat dia, bikin malu
saja!" [“The military even obeys a blind
president! Imagine! Look at him, he’s
embarrasing!”].
"Lihat Tony Blair, Bush, Putin. Mereka muda,
ganteng—dan sekarang presiden kita
buta!" [“Look at Tony Blair, Bush, Putin.
Young, ganteng (handsome) -- and we have a
blind man!”].
Prabowo menginginkan sosok yang berbeda.
Dia menyebut Jenderal Pervez Musharraf dari
Pakistan.
Musharraf telah menangkap perdana
menterinya yang sipil dan mendirikan
kediktatoran. Prabowo menyatakan
kekagumannya pada Musharraf.
Prabowo kelihatan berpikir keras apakah
dirinya sesuai dengan sosok yang ia
bayangkan. Apakah ia mampu menjadi
Musharraf-nya Indonesia.
"Apa saya cukup punya nyali," tanya Prabowo,
"apa saya siap jika disebut 'diktator
fasis'?" [“Do I have the guts,” Prabowo asked,
“am I ready to be called a fascist dictator?”].
"Musharraf punya nyali," kata Prabowo.
[“Musharraf had the guts,” Prabowo said.]
Terkait dirinya sendiri, Prabowo membiarkan
pertanyaan tersebut tak terjawab.
Sumber :
http://www.allannairn.org/2014/06/ap...tanya.html?m=1
"Apa saya cukup punya nyali," tanya Prabowo, "apa saya siap jika disebut diktator fasis'?"
22 Juni 2014, Oleh Allan Nairn
Tangal 9 Juli, Indonesia, negeri dengan
kepadatan penduduk berperingkat keempat
sedunia, akan mengadakan pemilu. Pemilu kali
ini berpotensi menaikkan Jenderal (purn)
Prabowo Subianto ke kursi kepresidenan.
Jenderal Prabowo, kakak kandung seorang
milyarder, adalah bekas menantu dari diktator
Suharto. Orang yang dilatih oleh dan mendapat
sokongan dari Amerika ini terlibat dalam
kasus-kasus penyiksaan, penculikan, dan
pembantaian massal.
Pada bulan Juni dan Juli 2001, saya
berbincang-bincang dengan Prabowo.
Kami berjumpa di kantor perusahaannya di
Mega Kuningan, Jakarta.
Saya menawarkan kepadanya wawancara
anonim (tanpa nama).
Waktu itu saya tengah menyelidiki sejumlah
kasus pembunuhan yang terjadi baru-baru itu.
Ia rupa-rupanya melibatkan tentara Indonesia.
Saya berharap pembicaraan off-the-record
antara saya dan Jendral Prabowo bisa
mengungkap detail dari kasus-kasus tersebut.
Awalnya saya kecewa. Prabowo hampir tidak
memberikan keterangan yang membantu
mengenai pembunuhan-pembunuhan itu .
Namun akhirnya kami malah mengobrol
selama nyaris empat jam.
Kesan yang saya tangkap waktu itu, Prabowo
mengeluarkan komentar-komentar yang tidak
bersangkutan.
Prabowo berbicara tentang fasisme, demokrasi,
kebijakan membunuh dalam tubuh TNI/ABRI,
serta hubungan antara dirinya dengan
Pentagon dan Intelijen Amerika yang sudah
berlangsung lama dan tertutup.
Di masa itu, ia sama sekali tidak berkuasa dan
terisolir secara politis. Jenderal-jenderal lain
adalah ancamannya.
Namun karena saat ini Prabowo nyaris
merebut kekuasaan, saya kembali memeriksa
catatan-catatan wawancara saya. Saya jadi
sadar bahwa apa yang ia katakan pada waktu
itu menjadi relevan di saat ini.
-----
Saya telah mencoba menghubungi Jenderal
Prabowo. Saya ingin meminta izin untuk
membahas komentar-komentarnya di muka
publik. Saya tidak mendapat balasan dan saya
pun memutuskan untuk meneruskan rencana
tersebut.
Saya pikir kerugian yang saya hadapi ketika
melanggar anonimitas yang saya janjikan ke
Prabowo, tidak sebanding dengan kerugian
yang lebih besar jika rakyat Indonesia pergi ke
tempat pemungutan suara tanpa mengetahui
fakta-fakta penting yang selama ini tidak bisa
mereka akses.
-----
Saat itu saya dan Prabowo berdiskusi panjang
tentang pembantaian Santa Cruz.
Dalam pembantaian tersebut, militer Indonesia
membunuh setidaknya 271 penduduk sipil.
Kejadiannya berlangsung pada 12 November
1991 di Dili, di sebelah luar area pemakaman
yang dipadati laki-laki, perempuan dan anak-
anak. Di tahun itu, Timor-Timur masih
merupakan wilayah yang diduduki oleh militer
Indonesia.
Kebetulan saya ada di sana ketika
pembantaian itu terjadi. Saya selamat.
Prabowo mengatakan kepada saya bahwa
perintah membunuh itu "bodoh" [“imbecilic”].
(Dia katakan bahwa ia sempat mengira
perintah tersebut datang dari Jenderal Benny
Murdani, tapi ia sendiri tidak yakin.)
Keberatan Prabowo bukan pada kenyataan
bahwa militer Indonesia telah membunuh
warga sipil, tapi pada fakta bahwa
pembunuhan tersebut dilakukan di hadapan
saya dan saksi-saksi lainnya yang bisa
melaporkan kasus tersebut dan menggerakan
suara dunia internasional.
“Santa Cruz mematikan kami secara politis!”
suara Prabowo meninggi. “Di situlah kekalahan
kami” [“Santa Cruz killed us politically!,”
Prabowo exclained. “It was the defeat!”].
“Anda tidak semestinya membunuh warga sipil
di depan pers internasional,” ujar Jenderal
Prabowo. “Komandan-komandan itu bisa saja
membantai di desa-desa terpencil sehingga tak
diketahui siapapun, tapi bukan di ibukota
provinsi!” [“You don’t massacre civilians in
front of the world press,” General Prabowo
said. “Maybe commanders do it in villages
where no one will ever know, but not in the
provincial capital!”].
Pernyataan tersebut jadi semacam pengakuan
bahwa militer terbiasa melakukan
pembantaian. Pernyataan itu juga
membuktikan bahwa Prabowo tidak
berkeberatan jika pembantaian dilakukan di
tempat-tempat yang “tak diketahui
siapapun” [“where no one will ever know”].
Pada bulan September 1983, serangkaian
pembantaian serupa terjadi di desa terpencil
Kraras yang terletak di gunung Bibileu, Timor
Leste.
Di kemudian hari, Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi di Timor Timur yang disokong PBB
(CAVR) melaporkan pembantaian Kraras:
"421. Komisi menerima bukti bahwa Prabowo
ditempatkan di sektor bagian timur Timor-
Leste saat itu. Beberapa sumber menyatakan
kepada Komisi bahwa Prabowo terlibat dalam
operasi untuk membawa penduduk sipil turun
dari Gunung Bibeleu, dimana tidak lama
kemudian beberapa ratus orang dibunuh ABRI.
Komisi juga menerima bukti keterlibatan
Kopassus dalam pembunuhan-pembunuhan ini
(lihat Bab 7.2.: Pembunuhan Tidak Sah dan
Penghilangan Paksa).”
Seiring Suharto terus menaikkan pangkat
Prabowo, komando-komando sang jenderal
kian nyata jejaknya dalam sejumlah
pembantaian massal lainnya. Salah satunya
adalah pembantaian massal di Papua Barat.
Dalam kasus tersebut, para anak buah
Prabowo menyamar sebagai anggota Palang
Merah Internasional (ICRC). Operasi rahasia ini
juga terdengar sampai Jakarta, kota dimana
mereka menghilangkan aktivis-aktivis pro-
demokrasi.
-----
Fakta bahwa saya dan Prabowo sepakat untuk
duduk bersama pun agak ganjil.
Saya sendiri sebelumnya telah menyerukan
agar Prabowo diadili dan dipenjarakan
bersama-sama para sponsor Amerika-nya. Saya
juga ikut serta menggalang kampanye di akar
rumput guna menuntut pemerintah AS
memutus bantuannya kepada militer
Indonesia. Kampanye ini berhasil. Saya
dilarang masuk ke Indonesia, karena
dinyatakan sebagai "ancaman bagi keamanan
nasional", sementara para anak buah Jenderal
Prabowo telah menyiksa teman-teman saya.
Tapi bagi saya pribadi, saya telah berhitung
dengan cermat bahwa pembicaraan bersama
Prabowo tidak akan sia-sia, jika kasus-kasus
pembunuhan yang masih segar kala itu
terbantu pemecahannya.
Saya tak tahu persis apa gunanya
perbincangan tersebut untuk Prabowo. Namun,
saya mendapat kesan bahwa ia menikmati
kesempatan untuk membicarakan profesinya,
serta bertukar pikiran dengan seorang musuh.
-----
Saat itu, dua tahun setelah Soeharto jatuh,
Indonesia memiliki presiden sipil.
Abdurrachman Wahid, dikenal sebagai Gus
Dur, adalah seorang ulama yang secara hukum
dinyatakan buta.
Militer Indonesia merongrong otoritas presiden
Gus Dur. Salah satu cara yang mereka tempuh
adalah memfasilitasi serangan-serangan teror
antar-etnis/agama di Maluku. Tiga minggu
setelah pertemuan kedua saya dengan
Prabowo, Gus Dur diberhentikan dan
digulingkan dari kursi presiden.
Kini Gus Dur seringkali dikenang dengan
sukacita. Bahkan kampanye Prabowo pun
memanfaatkan rekaman video pembicaraan
Gus Dur.
Namun dalam perbincangan tersebut, di
hadapan saya Prabowo tak henti-hentinya
mengecam Gus Dur dan demokrasi.
“Indonesia belum siap untuk demokrasi,” kata
Prabowo. "Di negara kami ini masih ada
kanibal, masih ada kerumunan yang bikin
rusuh" [“Indonesia is not ready for
democracy,” Prabowo said. “We still have
cannibals, there are violent mobs.”].
Indonesia perlu, lanjut Prabowo, "rezim
otoriter yang jinak" [“a benign authoritarian
regime”]. Ia katakan bahwa keragaman etnis
dan agama adalah penghalang demokrasi.
Mengenai Gus Dur, Prabowo mengatakan:
"Militer pun bahkan tunduk pada presiden
buta! Bayangkan! Coba lihat dia, bikin malu
saja!" [“The military even obeys a blind
president! Imagine! Look at him, he’s
embarrasing!”].
"Lihat Tony Blair, Bush, Putin. Mereka muda,
ganteng—dan sekarang presiden kita
buta!" [“Look at Tony Blair, Bush, Putin.
Young, ganteng (handsome) -- and we have a
blind man!”].
Prabowo menginginkan sosok yang berbeda.
Dia menyebut Jenderal Pervez Musharraf dari
Pakistan.
Musharraf telah menangkap perdana
menterinya yang sipil dan mendirikan
kediktatoran. Prabowo menyatakan
kekagumannya pada Musharraf.
Prabowo kelihatan berpikir keras apakah
dirinya sesuai dengan sosok yang ia
bayangkan. Apakah ia mampu menjadi
Musharraf-nya Indonesia.
"Apa saya cukup punya nyali," tanya Prabowo,
"apa saya siap jika disebut 'diktator
fasis'?" [“Do I have the guts,” Prabowo asked,
“am I ready to be called a fascist dictator?”].
"Musharraf punya nyali," kata Prabowo.
[“Musharraf had the guts,” Prabowo said.]
Terkait dirinya sendiri, Prabowo membiarkan
pertanyaan tersebut tak terjawab.
Sumber :
http://www.allannairn.org/2014/06/ap...tanya.html?m=1
Diubah oleh kupingsemut 25-06-2014 11:32
0
1.6K
3
Thread Digembok
Urutan
Terbaru
Terlama
Thread Digembok
Komunitas Pilihan