dhadihadiAvatar border
TS
dhadihadi
Ada yang Bilang Palestina, masuk sini loh,,,
Semalam (22/6/2014) tetangga sebut soal "Palestina",

Nah biar berimbang--saya share ulang status saya soal Prabowo & Palestina yang pertama kali ditulis di Kompasian tanggal 3 Februari 2014 dan saya unggah pertama di FB tanggal 28/3/2014.

Selamat malam, tetap MERDEKA...!
MASJID AL AQSA--JANJI PADANG PASIR RAJA YORDANIA & PRABOWO SUBIANTO

“Coba bapak ibu pertanyakan kembali ke hati masing-masing. Apakah niat sampai di Tanah Suci ini untuk beribadah umroh atau untuk sekedar jalan-jalan atau berbelanja?” kata Uztad Hafidz yang menjadi pemandu utama kami saat kami di dalam bus setibanya sampai di Madinah dari Jedah.

Rasanya ada sedikit tonjokan tepat ke dalam isi dada dengan pertanyaan ini. Sesekali terbayang jalan-jalan ke gang dan aneka tempat seperti perjalanan traveling sebelumnya ke luar negeri.

“Ya, memang dalam rundown jadwal kita—ada beberapa tempat yang akan kita kunjungi seperti kebun kurma, masjid Qiblatain (dua kiblat), masjid Apung dan lain sebagainya. Namun, tahukah bapak-ibu jika sebenarnya ada tiga tempat yang utama untuk di ziarahi untuk I’tikaf sebelum kita meninggal?”

Kami dalam rombongan itu pun terdiam.

“Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan Masjidil Aqsa” jelas uztad kelahiran Bandar Lampung yang namanya sesuai prestasinya.

Ya, ustadz tersebut hapal 30 juz Al Quran. Hal yang membuat terbersit rasa kagum. Ditambah usia yang masih muda—sekitar 31 tahun. Sudah begitu, istrinya pun sama-sama hapal Al Qur’an. Dasyat!

Tidak mengherankan jika akhirnya beliau ini mendapat visa tinggal bebas dari kerajaan Arab Saudi. Hal yang menjadi sebuah keistimewaan dimana kebayakan ustadz yang menjadi pengantar umroh ini biasanya sekedar “guide” dengan ijin tinggal (iqomah) yang kadang tidak jelas.

Entah mengapa, ada satu kata yang terus menerus terngiang masuk ke telinga dan memantul-mantul di dalam kepala. Kata itu adalah “Masjidil Aqsa”.

Masjid yang bernama asli Al-Masjid Al-Aqsha yang mempunyai arti harfiah: “masjid terjauh”. Tempat dimana sebelum oleh Umar bin Khatab dibangun sebuah masjid kecil, titik tempat komplek tanah ini adalah adalah lokasi Nabi Muhammad melakukan awal perjalanan isra mi’raj ke sidratul muntaha untuk menerima perintah sholat 5 waktu.

Jujur saja, sempat dahulu aku kebingungan kenapa begitu banyak orang berdemo soal Masjidil Aqsa ini. Kufikir, hanya sekedar balas jasa atas pengakuan kemerdekaan Indonesia oleh Mufti Palestina pada awal kemerdekaan. Dimana menurut google maps memang Al Aqsa ini kini masuk ke wilayah peta Jarusalem, Israel.

Namun setelah beberapa hadist terkait derajat pahala ibadah disana yang mencapai 500 kali lipat dibanding sholat di masjid biasa, melengkapi pahala 1000 kali di Masjid Nabawi, Madinah dan 100.000 kali di masjidil Haram, Mekah hal ini merubah cara pandangku. Ada memang ada keistimewaan sholat di masjid ini yang setidaknya sekali seumur hidup tak boleh di lewatkan.

Namun, bagaimana caranya?

Sedangkan gejolak di Palestina – Israel membuat agen-agen travel Umrah mengalihkan paket perjalanan ibadahnya dari paket Mekah, Madinah dan Palestina menjadi berpindah ke Turki atau Mesir. Kalau pun ada paket ke Aqsa, jumlahnya sangat sedikit dan pasti dengan keribetan dalam perijinan untuk ziarah ke Aqsa tersebut. Berbeda dengan dua tempat utama sebelumnya.

Makin menyedihkan, saat usai sholat di Masjidil Haram—mendadak aku di colek oleh seseorang disebelahku. Aku sempat kebingungan saat bapak dan anak berwajah arab itu tersenyum sambil bertanya: “Indonesia?”

Aku pun mengangguk sambil berbalik tanya, darimana asal mereka berdua.

“Palestine” jawabnya dengan senyum dan raut muka campur aduk.

“Apa? Palestine? Masjidil Aqsa?” tanyaku sambil melongo.

Bapak dan anak itu kembali tersenyum mengangguk. Dengan bahasa inggris campur aduk, bapak dan anak yang bermarga “Khodroj” itu menjelaskan betapa sulitnya umrah dari Palestina. Serta kisah bagaimana “pengawalan” ketat masjidil Aqsa untuk digunakan sebagai tempat ibadah, khususnya dalam jemaah besar. Situasi atmosfir ibadah yang sangat berbeda dengan beribadah di masjidil Haram atau masjid Nabawi.

Entah mengapa, air mata ini menjadi tak bisa terbendung. Terisak menangis membayangkan satu tempat utama lagi yang kini kehilangan keleluasaannya untuk dipakai untuk beribadah. Khususnya untuk warga negara diluar Palestina seperti Indonesia. Kami pun akhirnya saling memeluk sebelum kami berpisah. Apalagi, usai sholat tersebut—mereka akan segera kembali ke tanah airnya melalui Yordania.

Sempat lama termenung, bagaimana bisa menuntaskan keutamaan ziarah ke akhir tiga tempat tersebut—Al Aqsa. Lalu, entah mengapa mendadak teringat sosok Prabowo Subianto yang sering kutulis sediri ini. Aku baru ingat, ada kedekatan pribadi antara Prabowo dengan Raja kerajaan Yordania–pintu keluar masuk utama Palestina ke negeri tetangga.

Kedekatan yang bermula dengan persamaan sesama komandan pasukan khusus negara masing-masing, persamaan hobi terjun payung, hingga persamaan pengetahuan soal senjata dan latar belakang pendidikan luar negeri berbasis sistem pendidikan di Inggris.

Persamaan yang berlanjut menjadi kunjungan pusat pelatihan pasukan Kopassus di Batu Jajar. Kunjungan yang kemudian berlanjut dengan hibah 11 tank dari Yordania kepada Kopassus dan lain sebagainya.

Puncaknya, saat Prabowo meminta pensiun dini karena dipindahkan dari Danjen Kopassus menjadi Kepala Sesko (Sekolah Staff dan Komando) dan melakukan kunjungan ke Yordania—Raja Abdullah II menyambut dengan upacara kemiliteran besar-besaran serta meminta Prabowo menginspeksi pasukan tentara Yordania yang sedang berbaris rapi.

Upacara yang membuat Prabowo bertanya “Kenapa saya mesti disambut dengan upacara militer? Sedangkan saya bukan lagi seorang jenderal?”

Sahabatnya, Raja Abdullah II dengan tersenyum menjawab: “Akan kutunjukan apa itu prinsip padang pasir…”

“Apa itu, sahabatku?”

“Bahwa sahabat adalah saudara. Selamanya…”

Jawaban penjelasan prinsip yang juga merupakan sebuah janji itu semakin membuat Prabowo terharu serta menjadi kikuk saat ditawari untuk menjadi warga negara kehormatan di kerajaan tersebut. Dengan halus tawaran tersebut ditolaknya karena tidak ada sistem kewarganegaraan ganda di Indonesia.

Kemudian berapa belas tahun kemudian, saat bertemu dengan Bashaer Othman—seorang mantan walikota Allar, Palestina termuda yang berusia 16 tahun. Prabowo menunjukan ketakjuban serta doa harapan Palestina.

“Kami berdoa kepada rakyat Palestina agar lepas dari penderitaan menuju kedamaian,” jelasnya kepada mantan walikota muda yang berwajah jelita ini.

Ya, sambil menarik nafas dalam-dalam. Aku pun ikut meng-amin-kan doa Prabowo agar Palestina segera damai. Sambil juga berharap kelak ketika ia menjadi Presiden, dengan modal persabahatan yang kuat dengan negara pintu akses ke Palestina, beliau mampu memperkuat hubungan yang sebelumnya personal meluas menjadi hubungan kuat antar negara dengan Yordania serta mendesak terbentuknya perdamaian Palestina dan Israel.

Hubungan yang bagaikan membuat jalan tol baru menuntaskan ziarah ke Masjidil Aqsa yang aman dan nyaman, hal yang dimana pada hari ini masih tertunda-tunda serta penuh kekhawatiran.

[Jakarta, 3 Februari 2014]

versi Kompasiana: http://sosok.kompasiana.com/2014/02/...wo-629292.html

Sumber : https://www.facebook.com/hazmi.srondol
0
2.3K
13
Thread Digembok
Urutan
Terbaru
Terlama
Thread Digembok
Komunitas Pilihan