- Beranda
- Komunitas
- Pilih Capres & Caleg
Antara Prabowo dan Jokowi


TS
comANDRE
Antara Prabowo dan Jokowi

Prabowo adalah sosok yang memikat ketika muncul lagi tahun 2009. Ia menunjukkan kepedulian kepada rakyat lewat konsep ekonomi kerakyatan dan juga pemberdayaaan petani serta nelayan. Dengan lantang, ia mengkritik kebocoran kekayaan negara karena pengaruh asing.
Kalah di tahun 2009, Prabowo muncul lagi tahun 2014. Ia digambarkan sebagai pemimpin yang tegas dan berani. Kampanye Gerindra berbuah manis. Partai nasionalis di bawah pimpinan Prabowo menang 11% suara, naik dari 4% pada Pemilu 2009.
Akan tetapi, semakin mendekati pilpres, Prabowo dan partainya terlihat tidak tegas dalam bersikap. Dari yang tolak antek asing, menjadi “pro Amerika” dan “memberikan perlakuan khusus ke AS“. Dari yang anti-neolib di tahun 2009, kemudian berkata “saya tahu betul cara menerapkan neoliberalisme“. Di satu sisi mengkritik perusahaan asing mengeksploitasi alam Indonesia, tapi juga memuji peran Freeport. Kesan “tegas” nampak lebih banyak dikatakan oleh timsesnya dan bukan melalui tindakan Prabowo sendiri.
Partai-partai di belakang pencapresan Prabowo juga membuat karakter koalisinya menjadi tidak jelas. Misalnya partai Islam PKS dan PPP harus masuk ke satu gerbong dengan Gerindra, PAN, dan Golkar yang nasionalis. Akibatnya muncul ketidaksesuaian. Permasalahan koalisi nampak ketika orang terdekat dan juga adik Prabowo, Hashim Djojokusumo mengatakan bahwa Prabowo bisa mengendalikan PKS.
Koalisi Prabowo juga tiba-tiba memunculkan jabatan yang tidak dikenal di UUD 45: menteri utama. Jabatan ini muncul setelah Aburizal Bakrie bergabung dengan koalisi. Dikabarkan, kubu Prabowo meminta 3 triliun kepada Aburizal sebagai mahar bergabung dengan koalisinya.
Masalah ketidaktegasan sikap dan koalisi warna-warni menjadi semakin terbebani oleh kasus pelanggaran HAM. Data menunjukkan bahwa Prabowo terlibat dalam penculikan 9 aktivis pada masa reformasi 1998. Prabowo mengatakan bahwa penculikan tidak salah secara moral karena tujuannya mencegah teror. Namun, para aktivis yang diculik tidak dibawa ke pengadilan atas tindakan teror. Padahal selama dalam penyekapan mereka dipukul, dibenamkan di air, dan disetrum badannya.
Maka pertanyaannya adalah, apakah Jokowi alternatif yang layak untuk dipilih?
Jika pengalaman Prabowo ada di militer, Jokowi memiliki pengalaman 9 tahun dalam pemerintahan sipil. Ini mirip dengan presiden AS Reagan dan Clinton yang juga berkarir melalui jalur gubernur. Demikian juga Ahmadinejad yang baru menjabat walikota Tehran 2 tahun sebelum didaulat menjadi presiden Iran. Pengalaman dari bawah, tercermin pada pemahaman Jokowi tentang masalah riil di lapangan. Dalam debat, Jokowi cenderung tidak bicara konsep makro, melainkan hal-hal riil yang menggerakan ekonomi dan memberdayakan masyarakat.
Inilah kontrasnya kedua capres. Prabowo selalu berbicara konsep-konsep abstrak dan makro, sementara Jokowi menyentuh hal-hal kecil dari bawah ke atas. Saya melihat hobi blusukan Jokowi bukanlah sekadar pencitraan. Blusukan juga proses pembangunan bottom-up dari bawah ke atas. Di sini rakyat bukan sekadar obyek yang menerima hasil pembangunan. Rakyat justru dilibatkan dalam proses pembangunan sehingga hasilnya lebih sesuai kebutuhan. Ini fungsi blusukan: untuk mengetahui the ground truth.
Di sini perbedaan menjadi semakin kentara. Prabowo selalu menempatkan dirinya di depan rakyat, untuk mengeksploitasi sumber daya alam guna mensejahterakan rakyat. Jokowi berada di tengah rakyat—mendengarkan dan membangun manusia Indonesia—supaya rakyat dapat mensejahterakan diri sendiri. Saya melihat ini pada program pendidikan, kesehatan, dan juga pendekatan-pendekatan humanis yang dilakukan Jokowi selama ini. Misalnya Satpol PP yang mengedapankan persuasi dan tidak bawa pentungan.
Masalah yang akan dihadapi Jokowi adalah membuat gaya pembangunan bawah-ke-atas jadi bagian dari departemen, dinas, hingga kelurahan. Ini karena sebagai Presiden kelak, Jokowi tidak bisa lagi blusukan sendiri.
Jokowi juga ada masalah di jendral-jendral pendukungnya yang terkait kasus pelanggaran HAM. Akan tetapi, suporter bermasalah lebih aman daripada capres yang bermasalah.
Seperti halnya Prabowo, cara Jokowi mengelola koalisinya juga harus dicermati. Walaupun ada kecemasan bahwa ia akan menjadi boneka Megawati; Jokowi disebutkan memilih Jusuf Kalla sebagai cawapres melalui dialog dengan koalisinya. Ini tidak melibatkan Megawati. Setelah diputuskan memilih JK sebagai cawapres, Jokowi bertemu ke Mega untuk menyampaikan pilihannya.
Oleh karena itu, sebetulnya tidak benar jika kita tidak ada pilihan. Walaupun pilihan yang kita miliki tidak sempurna, tapi pilihan itu ada dan tidak buruk-buruk amat. Saya memilih mendukung Jokowi karena fokusnya pada pembangunan manusia. Pertimbangan saya, percuma jika Indonesia kaya karena dimanja oleh kekayaan sumber daya alam yang terbatas. Lebih penting untuk membangun manusia Indonesia supaya produktivitas dan kreativitasnya membuat kita disegani negara lain.
Dukungan saya ke Jokowi akan berhenti setelah dia terpilih. Saya akan mengkritisi kebijakannya dan menteri-menterinya. Ini juga alasan mengapa saya mendukung Jokowi, karena demokrasi butuh kemerdekaan untuk kritis. Capres yang berkata penculikan aktivis tidak salah secara moral tidak memberikan rasa tenang kalau kita mau kritis.
http://hermansaksono.com/2014/06/ant...an-jokowi.html
Diubah oleh comANDRE 19-06-2014 13:21
0
2.4K
8
Thread Digembok
Urutan
Terbaru
Terlama
Thread Digembok
Komunitas Pilihan