Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

chatarinneAvatar border
TS
chatarinne
Hatta Dituding sebagai Mafia Migas
Hatta Dituding sebagai Mafia Migas
99·10/06/2014 09:55

Mimpi Prabowo menghapus mafia minyak akan terkubur, karena mimpi ini akan berhadapan dengan cawapres Hatta Rajasa, setelah dituding  sebagai mafia migas? Ada apa dengan politik subsidi BBM? Siapa yang paling diuntungkan dengan subsidi BBM? Sikap Jokowi-JK?

Cawapres Hatta Rajasa dituding telah menerbitkan kebijakan yang membuat rakyat miskin. Dibawah Hatta,  Indonesia sangat tergantung pada impor  bahan bakar minyak. Kebijakan ini sengaja dibuat sehingga Indonesia tidak lagi mendirikan kilang minyak, sehingga ketergantungan pada  impor  migas berjalan terus.

Saat ini, kebijakan pro impor, didukung oleh  mafia migas yang mengendalikan  Pertamina Trading Energy Ltd (Petral), anak perusahan Pertamina yang bergerak di bidang perdagangan minyak. Tugas utama Petral adalah menjamin supply kebutuhan minyak yang dibutuhkan Pertamina/Indonesia dengan cara impor.

Saat ini, nilai impor mencapai  Rp 300 triliun per tahun. Hasil penelitian Badan Pemerhati  Migas, Hatta dan M Cholid Riza disebut-sebut menguasai  kegiatan impor dan ekspor migas.  Matarantai bisnis minyak dan gas telah dikuasai oleh cawapres Hatta Rajasa.

Pada tingkat struktur Pertamina, komisaris dan direksi yang diangkat oleh Presiden SBY, sebagai besan Hatta  yang dinilai gagal dalam  menyelesesaikan persoalan-persoalan ketergantungan impor minyak dan gas selam periode 10 tahun era SBY,  padahal Indonesia penghasil minyak dan gas.

Saat ini, Indonesia mampu produksi minyak  840.000 barel per hari, sementara kebutuhan BBM nasional 1,3 juta/bph. Akibatnya,  quota impor meningkat terus setiap tahunnya. Data terakhir meyebutkan,  kebutuhan BBM nasional sudah mencapai 1,5 juta/bph.

Pertanyaannya?  Siapa yang paling diuntungkan oleh kebijakan subsidi BBM? Rakyat miskinkah atau elit ekonom dan penguasa? Alokasi dana subsidi BBM, pada tahun 2014 subsidi BBM dikoreksi, naik dari Rp210,7 triliun menjadi Rp285 triliun. Subsidi BBM tetap tidak bisa dinikmati oleh rakyat, public, atau masyarakat. Karena, harga BBM dijual dengan harga pasar internasional. Nah, yang paling menikmati bisa ditebak, perusahaan jasa pengiriman minyak dan gas bumi.

Kegiatan ekspor impor BBM tentu melibatkan perusahaan kargo–forwarding. Pengusaha  yang bergerak jasa pengirimam BBM inilah yang paling diuntungkan oleh kebijakan BBM.

Dalam takaran kargo  yang pernah disampaikan politisi Partai Demokrat,  Jero Wacik bahwa pasokan gas untuk kebutuhan industri, pembangkit, pupuk dan transportasi akan dipasok dari :

1.    LNG dari BP Tangguh, Papua mulai sejak tahun 2012, 20 kargo / tahun untuk Indonesia.
2.    LNG Tangguh Train 3 (ex Sempra) akan mulai produksi tahun 2018, 40% untuk domestik.
3.   Blok Mahakam : seluruh excess Kargo dari Mahakam PSC di prioritaskan untuk kebutuhan dalam negeri, yakni sebesar 16 kargo.
4.    Dari Eni Jangkrik dan North East Jangkrik, alokasinya :
a.    Tahun 2016         : 14 Kargo
b.    Tahun 2017-2022         : 18 Kargo
c.    Tahun 2023         : 7 Kargo
d.    Tahun 2024 – 2025     : 4 Kargo
5.    Dari Chevron IDD di Selat Makassar.

Kenapa terus impor?

Direktur Riset dan Badan Pemerhati Gas,  Syafti Hidayat, ketergantungan impor sengaja dibuat supaya fee atau komisi bisnis ekpsor-impor dikuasai oleh mafia migas. Mafia ini mengendalikan Pertamina Trading Energy Ltd (Petral), anak perusahan Pertamina yang bergerak di bidang perdagangan minyak. Tugas utama Petral adalah menjamin supply kebutuhan minyak yang dibutuhkan Pertamina/Indonesia dengan cara impor.

Pasangan Jokowi-JK dengan mudah  akan dapat menyelesaikan masalah subsidi dan impor minyak. Dalam visi-misinya, mereka berjanji akan menghemat subsidi BBM hingga Rp60-70  triliun. Penghapusan subsidi BBM itu akan dilakukan secara bertahap dalam empat tahun. Artinya, rata-rata subsidi dipangkas 25% per tahun.

Berbeda dengan Jokowi-JK, pasangan Prabowo-Hatta tidak bermaksud menghapus subsidi BBM. Mereka hanya akan mengurangi subsidi BBM khususnya untuk orang kaya dengan sistem pajak dan cukai.

Jelas sudah alasan Hatta tidak akan menghapus subsidi BBM  yang hanya dinikmati oleh pengusaha ekspor-impor minyak di selilingnya. Sementara, rakyat hanya menikmati beban kenaikkan harga BBM yang bisa juga sulit dikendalikan jika investasi  di bidang migas ini dihentikan, atau dipersulit.

Subsidi BBM memang mengundang sikap kontroversi publik dan seringkali membuat mati langkah bagi presiden terpilih atau capres yang sedang kampanye.  Isu seputar BBM sangat sensitive terhadap kebijakan public lainnya. Konsumsi BBM yang membengkak pasti bakal menggerogoti anggaran—pundi-pundi negara. Akibatnya, kemampuan APBN sebagai pemacu pertumbuhan kian melemah. Ada yang menghitung tahun ini saja subsidi itu bakal mencapai Rp300 triliun dari total belanja APBN 2014 sekitar Rp1.842,5 triliun.

Persoalan subsidi bukan pada persoalan menghapus atau setidaknya mengurangi subsidi, atau bahkan menghapus subsidi. Karena, faktanya kenaikkan harga BBM tetap akan memberatkan rakyat. Belum soal yang ditimbulkan dari kenaikkan harga BBM, efek domino seperti kenaikkan harga-haraga barang (sembako)

Persoalan yang  faktual adalah  adanya permainan ekspor-impor minyak dan gas yang sengaja diabadikan untuk impor, sehingga subsidi BBM akan mengalir kepada kegiatan ekpsor-impor minyak dan gas, bukan pada kebutuhan rakyat.

Praktek mafia minyak dan gas ini sudah cukup lama terbaca. Sejak ekonom senior Rizal Ramli berteriak untuk membasmi mafia minyak. Hampir delapan tahun lebih mafia minyak dan gas dibiarkan terus menggeroti uang APBN dengan kedok subsidi. Namun sejauh ini kelompok Hatta sepertinya tetap saja abai, bahkan cenderung menutup-nutupi eksistensi mafia migas.

Semuanya menjadi terbukti, ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap tangan Kepala SKK Migas Rudy Rubiandini karena menerima suap dari perusahaan Migas untuk memenangkan tender. Realitas ini hanyalah puncak gunung es. Selain Rudi masih banyak korupsi serupa yang jumlahnya jauh lebih besar dan melibatkan pejabat yang levelnya lebih tinggi.

Jika, praktek mafia migas dihapuskan negara diuntungkan sedikitnyaUS$1 milyar/tahun. Bila KKN dan inefisiensi dihapuskan maka apa yang  disebut sebagai ‘subsidi’ tidak sebesar seperti sekarang.

Tapi anehnya, kendati produksi terus melorot, biaya mengeluarkan minyak dari perut bumi Indonesia dari waktu ke waktu justru naik terus. Pada 2007 saja, costrecovery Migas sudah mencapai 30% atau senilai US$10,4 miliar dari total penerimaan kotor senilai US$35 miliar.

Dengan faktaliftingminyak yang terus turun dibarengi terus naiknya costrecovery, sama artinya menggelembungkan biaya produksi minyak di Indonesia menjadi US$14,8 per barel. Angka ini jauh lebih besar dibandingkan dengan negara lain yang hanya US$6 per barel.

Dilema Prabowo-Hatta

Pada konteks ini, pasangan Prabowo-Hatta secara retoris menyatakan berani keluar dari kotak bernama kemelut subsidi. Mereka melihat ada jalan keluar lain yang bisa diambil tanpa harus mengerek harga BBM di pasar dalam negeri, dengan  memberantas mafia Migas.

Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, Hashim Djojohadikusumo mengakui adanya mafia minyak dalam pemerintahan. Maka  jika Prabowo Subianto terpilih sebagai Presiden RI 2014-2019, mafia minyak akan diberantas.

Hashim juga punya cita-cita senada dengan Rizal Ramli. Bedanya, adik kandung Prabowo itu terkesan sedikit lebh soft. Pemberantasan mafia Migas versi Hashim dilakukan dengan menguatkan peran dan fungsi BUMN.

Bagi Hasyim blok-blok Migas yang sudah mati, akan ditawarkan ke Pertamina. Tidak ada alasan lagi Pertamina yang milik rakyat dikuasai asing.

Tinggal kini, bagaimana merealisasikan perpaduan obsesi Rizal dan Hashim/Prabowo itu. Pasalnya, rakyat sudah teramat lama dipaksa membayar minyak dari perut buminya sendiri dengan harga standar internasional di New York Marcantile Exchange atau Singapura. Alasannya, minyak di dalam negeri harus dijual sesuai harga keekonomian. Dengan begitu, investor jadi tertarik dan APBN tidak kedodoran.

Padahal, semua paham betul, sebagian besar rakyat kita masih miskin. Pemerintah kita memang aneh bin ajaib. Giliran jualan minyak kepada rakyat, patokannya harga internasional. Tapi saat disodorkan nasib sebagian besar rakyat yang masih terpuruk, kok banyak saja alasan dan dalihnya. Ujung-ujungnya, subsidi dipangkas. Harga pun dikatrol naik. Ampuuun, deh

Produksi minyak Indonesia saat ini masih di bawah 840.000 barel per hari. Untuk meningkatkannya dibutuhkan investasi yang sangat besar. Oleh karena itu, sektor migas di Indonesia masih membutuhkan investor asing karena kemampuan domestik saja belum memadai

Salah satu cara agar investor makin banyak yang berminat untuk berinvestasi di Indonesia adalah dengan upaya promosi. Hal ini yang menjadi latar belakang IPA menyelenggarakan pameran berskala besar.

Potensi minyak komersial masih mencapai 45,5 miliar barel. Berdasarkan data IAGI (Ikatan Ahli Geologi Indonesia), cadangan minyak Indonesia yang digali baru mencapai 16%, masih banyak potensi lainnya terutama di laut dalam.

Subsidi beban rakyat, kue mafia

Dampak subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) yang nilainya mencapai ratusan triliunan rupiah, sementara anggaran untuk infrastruktur di Indonesia cukup kecil. Di dunia, nilai subsidi BBM mencapai US$ 277 miliar atau sekitar Rp 2.770 triliun.

Menurut data International Energy Agency (IEA) tahun 2012 yang dilansir dari BBC, Selasa (6/4/2014), nilai subsidi BBM ini memiliki porsi 80% dari total subsidi energi di dunia, yang angkanya mencapai US$ 544 miliar atau sekitar Rp 5.440 triliun pada 2012 lalu.

Berikut besaran porsi subsidi energi yang ada di dunia pada 2012:
  • Bensin US$ 277 miliar
  • Listrik US$ 135 miliar
  • Gas US$ 124 miliar
  • Batubara US$ 7 miliar

Dalam laporannya, IEA membuat peringkat 10 negara dengan subsidi BBM terbesar di dunia di 2012, yaitu:
  • Arab Saudi
  • Iran
  • India
  • Indonesia
  • Vanezuela
  • Mesir
  • Irak

Dari data tersebut terlihat, kebanyakan negara yang memberi subsidi BBM adalah negara-negara yang berada dalam status negara berkembang. Untuk negara-negara Timur Tengah dan di Afrika utara, subsidi BBM setara dengan 20% lebih dari belanja pemerintahnya.

Menurut hasil tulisan BBC ini, subsidi di negara berkembang memang seringkali tidak tepat sasaran. Secara umum, hanya sedikit orang miskin yang menggunakan bensin subsidi. Jadi subsidi BBM tidak efisien dalam membantu masyarakat miskin. Bahkan studi International Monetary Fund (IMF) mengatakan 20% orang kaya menikmati keuntungan subsidi 6 kali lipat lebih besar dari 20% orang miskin.

Sebenarnya pada 2009 lalu, negara-negara anggota G20 telah berkomitmen bahwa subsidi BBM tidak efisien dan mendorong pemborosan konsumsi, namun sampai sekarang progres pelaksanaan kebijakan ini sangat lambat.
Dengan fakta-fakta yang terkait di sini, program Jokowi untuk menghapus subsidi BBM, adalah kebijakan rasional, efisiensi dan efektif . sehingga subsidi BBM tidak dapat dialokasikan kepada kebutuahn rakyat, buakn segelintir orang
http://www.tempokini.com/2014/06/hat...i-mafia-migas/

-------------------------

Mudah-mudan tidak betul ini berita ...


emoticon-Ngakak
0
1.2K
4
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan