Kaskus

News

siskanasutionAvatar border
TS
siskanasution
Kampanye Hitam dan Narasi Budaya Demokrasi Indonesia
sumber : http://nefosnews.com/post/opini/kamp...rasi-indonesia by : Jauhari Zailani

Banyak pakar yang gelisah oleh maraknya kampanye hitam di media sosial. Dalam suatu wawancara, Prof Tjipta Lesmana, pakar komunikasi politik, dengan bersemangat mengecam laku politik kampanye hitam. Guru besar itu mengatakan bahwa “kampanye hitam itu bodoh, tidak intelek, dan biadab”. Ditambahkan oleh Boni Hargens, pengamat politik, bahwa kampanye hitam itu “degradasi demokrasi”, menurunkan kualitas demokrasi.

Pendapat itu ada benarnya. Meski jika dicermati, bisa jadi terasa kurang pas. Anggapan yang berbasis hasil penelitian itu bisa mematikan inisiatif warga bangsa untuk berpartisipasi. Juga melupakan fungsi sosial dari media, yaitu mengurangi ketegangan sosial. Lebih baik berdiskusi di media sosial daripada ketemu di darat.

Melalui media sosial, warga dan pendukung saling adu argumen, menuliskan ide, mencari informasi dan bahan untuk memperkuat pendapatnya, atau melemahkan opini pendukung capres lainnya. Kecerdasan itu bisa tereduksi oleh emosi, jika diskusi dan perbedaan dukungan itu terjadi dan bertemu muka di darat.

Melalui media sosial, antar pendukung capres saling serang dan pertahankan argumen. Bukan sekedar cuap-cuap, tetapi berbasis emosi, pikiran, dan informasi. Bukan saja menguras energi, tetapi juga memerlukan biaya. Kampanye hitam, hanyalah satu paragraf dari narasi panjang dalam pendidikan politik dan partisipasi politik warga bangsa dalam budaya demokrasi.

Pilpres 2014 adalah berkah proses berdemokrasi dan menjadi titik uji pada proses pendewasaan berpolitik warga bangsa. Dengan capres-cawapres dua pasang, Prabowo-Hatta versus Jokowi-JK. Ada gerbong panjang berada di belakang dua kubu itu. Melalui dua capres ini, warga bangsa tak sekedar menentukan pilihan nomer 1 atau nomer 2. Prabowo atau Jokowi. Tetapi ada proses panjang dengan aneka motif di balik keputusan memilih satu capres dan menolak capres yang lain.

Di balik keputusan mendukung Prabowo, misalnya, ada sejarah panjang tentang sentuhan sang pemilih pada kekuasaan dan simbol-simbol kekuasaan. Simbol-simbol itu telah eksis dan dipakai oleh leluhurnya. Perjalanan sikap politik manusia tak sepi dari pengalaman budaya itu, termasuk pengalaman dan pendidikan pribadinya. Karena itu, pendapat dan dukungan pada capres tertentu, acap kali diyakini sebagai kebenaran mutlak. Hal seperti itu juga terjadi pada para pendukung Jokowi.

Peningkatan partisipasi politik, setidaknya melalui media sosial, kini begitu berasa. Terlebih jika membandingkan dengan Pemilu pada era masa lalu. Masa ketika dalam Pemilu, orang dimobilisasi (dipaksa-paksa) ke TPS-TPS. Ketika warga bangsa ditakut-takuti dan dipaksa ikut Pemilu untuk sekedar melegitimasi sebuah rezim. Sebuah Pemilu, seperti sebuah sandiwara politik. Pemilu yang hasilnya sudah diketahui sebelum Pemilu dilangsungkan.

Kini, proses pembudayaan demokrasi warga bangsa mengalami pasang naik. Partisipasti politik itu bergerak dari mobiliasi ke partisipasi aktif warga bangsa. Pemilu, dari mobilisasi, di mana warga dipaksa (di bawah ancaman) menuju TPS, kini warga berpartisipasi aktif. Pemilu dan politik bukan monopoli segelintir elite warga, tetapi menjadi urusan semua warga. Warga rela membiayai aktivitas politiknya dalam media sosial, maupun berorganisasi dalam “relawan-relawan”. Suatu capaian yang sudah sepatutnya disyukuri oleh segenap warga bangsa Indonesia.

Politik memang sebuah ironi. Di satu pihak ingin merangkul, saat yang sama memukul. Ketika mendengungkan persatuan, sekaligus memecah belah. Begitu juga mengikuti Pilpres 2014. Sejak awal, massa sudah terbelah dan terkotak-kotak. Perdamaian dan permusuhan menyatu dalam wacana. Pusaran elite politik menjelang penentuan capres, menggambarkan betapa kerasnya persaingan politik antara kontestan Pilpres 2014 ini. Ketika akhirnya mengerucut pada dua capres, media pun seolah terbelah.

Tapi, tak perlu cemas. Ketika Metro TV terasa ada di belakang Jokowi dan TV One terkesan di belakang Prabowo, media lainnya sibuk hipnotis dan melawak, kita masih memiliki media sosial.

Ketika televisi dan koran sudah kita curigai tak lagi netral dan bertindak sebagai “media kelompok”, warga masih memiliki media sosial. Tak seperti media mainstream yang terikat oleh etika profesi dan etika “karyawan” pemilik media, media sosial lebih bebas. Dunia demokratis, ada di media sosial. Tak mengenal strata sosial dan budaya. Semua setara dan bebas berekspresi.

Andai pikiran warga bangsa sudah teracuni dan terhegemoni media massa, kita masih memiliki ruang sosial yaitu media sosial. Ketika pemilik media massa terlihat sudah berada di belakang capres, kita rakyat masih memiliki media sosial. Semua bebas memilih tema dan bebas membuat topik diskusi. Ketika koran, terbatas oleh waktu, kita masih memiliki media sosial.

Di pagi dini hari, waktu bertahajud, di media sosial orang-orang masih berceloteh, berdebat sengit. Rela tak tidur, berceloteh dengan atau tanpa argumen. Dengan narasi berisi atau sekedar celetukan. Pagi hari, siang hari, petang hari, hingga malam hari lagi, media sosial selalu hiruk-pikuk.

Suatu waktu, sebuah “status” dimunculkan, berupa pujian atau cercaan pada satu capres. Komentar-komentar bermunculan. Komen bernada sopan dan argumentatif, ada juga yang lepas kontrol “lugas membalas cerca pujian”. Aneka pesan murni dari gagasan sendiri, atau sekedar “copy paste” pendapat orang lain. Untuk mendukung pendapatnya, atau mengonter pendapat orang lain, acap digunakan “copy link” dari surat kabar, majalah, atau blog. Banyak disajikan gambar dan foto orisinal, untuk meyakinkan argumen sendiri atau untuk menyangkal pendapat orang lain. Tak kalah seru, argumen dengan foto “rekayasa” untuk mengejek atau sekedar “joke”.

Media sosial dan pergunjingan memang akrab dan dekat dengan kita. Media sosial berkembang subur dalam masyarakat kita, boleh jadi karena cocok dengan “budaya gosip” yang kita miliki. Nenek moyang kita, bergosip di beranda rumah, di sela kesibukan ke sawah atau kerja di dapur. Kini, kita mengalami, bergosip tak kenal waktu dan tempat. Pendidikan politik pada era kampanye. Kita berargumen dan berbeda pilihan. Pendapat dan pilihan politik individual, berbasis kesadaran. Lebih dari sekedar dari mobilisasi yang berbasis kepatuhan pada kelompok.

Partisipasi aktif dari segenap warga bangsa itulah modal budaya politik yang sehat. Politik tak sekedar urusan elite, tapi menjadi urusan kita semua warga bangsa. Mari kita nikmati kebebasan dan keceriaan warga. Lihatlah betapa bebasnya, mereka mengolah kata dan gambar di media sosial. Sesuatu yang mustahil, jika rezim otoriter berkuasa.

Kini, warga bangsa belajar politik melalui media sosial. Menghindari mobilisasi massa dengan rela membiayai sikap dan keputusan politiknya. Membiayai diri sendiri, aktif mencari, aktif berdiskusi, mengorbankan waktu dan dana. Kalau kini, terasa masih sarat dengan kampanye hitam, tak perlu risau. Bukan monopoli Indonesia, bukan pula satu-satunya penanda sebuah peradaban bangsa. Kampanye hitam hanyalah satu kata, satu kalimat, atau satu paragraf dari sebuah buku berjudul “Budaya Demokrasi Indonesia”.
0
1.1K
1
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan