- Beranda
- Komunitas
- Pilih Capres & Caleg
[bekal nonton debat capres] Membandingkan Janji Dua Capres dalam Upaya Menjamin HAM


TS
comANDRE
[bekal nonton debat capres] Membandingkan Janji Dua Capres dalam Upaya Menjamin HAM
Oleh Isyana Artharini | Newsroom Blog – Sel, 3 Jun 2014
Jika isu HAM akan selalu jadi keraguan terbesar pemilih dalam melihat sosok Prabowo Subianto, apakah sang capres punya niat untuk mengubah pikiran orang dengan menunjukkan komitmennya di isu tersebut?
Kita memang belum tahu seperti apa upaya menjamin HAM (atau bahkan menyelesaikan kasus-kasus lama) di masa pemerintahan Prabowo atau Jokowi nanti, tapi setidaknya ada gambaran dan bahan yang bisa kita dapat lewat dokumen visi, misi, dan program aksi resmi dari dua pasangan capres-cawapres.
Di visi, misi, dan program kerja yang diberikan oleh pasangan capres-cawapres nomor 1, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, ‘hak asasi manusia’ hanya disebut satu kali di halaman 8 dari 9 halaman dokumen tersebut.
![[bekal nonton debat capres] Membandingkan Janji Dua Capres dalam Upaya Menjamin HAM](https://dl.kaskus.id/s2.yimg.com/bt/api/res/1.2/Bg8lXntHqp6LRk6Dcxjj0g--/YXBwaWQ9eW5ld3M7cT04NTt3PTYwMA--/http://l.yimg.com/os/publish-images/news/2014-06-03/9a20f640-eaf7-11e3-af18-1561c874cf1c_Capres-Prabowo-240514-Amr-1-1-.JPG)
Sejumlah warga berebut berjabat tangan dengan calon presiden Prabowo Subianto usai melaksanakan Shalat Dzuhur di Masjid Raya Darussalam Samarinda, Kalimantan Timur, Sabtu (24/5). …
Penyebutan HAM ada di bab VIII soal “Membangun pemerintahan yang melindungi rakyat, bebas korupsi, dan efektif melayani”. Di nomor satu dari bab tersebut pasangan Prabowo-Hatta berjanji untuk “Melindungi rakyat dari berbagai bentuk diskriminasi, gangguan dan ancaman, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia, sesuai dengan sila-sila Pancasila dan UUD 45.”
Singkat, tak spesifik, dan sayangnya tak jelas. Seolah sama sekali tak menunjukkan niat Prabowo untuk menghapus keraguan orang akan reputasi kelamnya soal isu HAM.
(Baca juga: [URL="https://id.berita.yahoo.comS E N S O Rnewsroom-blog/karena-nyeri-itu-setiap-hari-bukan-lima-tahun-sekali-075850029.html"]Karena Nyeri itu Setiap Hari, Bukan Lima Tahun Sekali[/URL])
Kemudian, jika kita bandingkan dengan visi, misi, dan program aksi yang diberikan oleh Jokowi-Jusuf Kalla, setidaknya ada 9 kali ‘HAM’ disebut dalam dokumen tersebut.
Penyebutan pertama muncul pada pemetaan tiga problem pokok bangsa. Problem pertama, menurut pasangan tersebut, adalah ancaman terhadap wibawa negara. Bahwa, “membiarkan (terjadinya) pelanggaran hak asasi manusia (HAM)” adalah yang menjadi penyebab merosotnya wibawa negara.
Sudut pandang seperti ini dari seorang calon presiden dalam melihat isu hak asasi manusia adalah sebuah terobosan.
Selama ini, pemikiran yang berkembang dari penguasa dan/atau tentara soal isu HAM adalah bahwa dalam upaya menegakkan atau menjaminnya hanya akan mengguncang stabilitas dan wibawa negara. Seolah kita harus memilih antara menjunjung tinggi dan menjamin hak asasi manusia dengan stabilitas dan keamanan.
Selama masa Orde Baru, kita melihat (dan mengalami sendiri) bagaimana hak atas kebebasan berbicara, berpolitik, berkumpul, dan menyatakan pendapat mengalami pengekangan demi alasan keamanan negara.
Bahwa sampai sekarang, dalam ‘tugas mengamankan aset-aset strategis’ (atau lahan milik perusahaan), polisi dan tentara kerap menggunakan cara-cara kekerasan—yang kemudian menyebabkan terjadinya pelanggaran HAM—dalam menghalau masyarakat adat atau penduduk setempat yang dianggap berpotensi mengganggu stabilitas ekonomi.
Belum lagi kasus-kasus pelanggaran HAM yang belum terungkap dan/atau terjadi atas nama upaya menjaga keutuhan NKRI. Dari kasus Talangsari, operasi militer terhadap GAM di Aceh, sampai penculikan (dan penghilangan paksa) aktivis pada 1997-1998.
Bahkan, dalam kasus penyerangan terhadap penganut Syiah di Sampang, Madura, tak hanya negara membiarkan pelanggaran HAM terjadi, tapi juga negara lewat Kementerian Agama malah menjadi pelaku kekerasan dengan memaksa pindah keyakinan melalui pembinaan. Dalam konteks ini, perbedaan dilihat sebagai suatu ancaman terhadap keamanan dan wibawa negara sehingga para korban justru harus ‘diseragamkan’ agar kondisi kembali tentram.
Ternyata, menurut dokumen visi, misi, dan program kerja Jokowi-Jusuf Kalla, pembiaran seperti inilah yang malah justru menjatuhkan wibawa negara.
Di nomor empat dari sembilan agenda prioritas mereka, dokumen ini menyatakan bahwa Jokowi-Jusuf Kalla “akan menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya.” Salah satu cara yang mereka sebutkan adalah lewat “penghormatan HAM dan penyelesaian secara berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM pada masa lalu.”
Kemudian di halaman 27, dalam upaya berdikari di bidang politik, pasangan ini juga berjanji untuk “mewujudkan dan sistem penegakan hukum yang berkeadilan” salah satunya dengan “memasukkan muatan HAM dalam kurikulum pendidikan umum di SD dan SMP maupun dalam kurikulum pendidikan aparat negara seperti TNI dan Polri.”
Mereka juga “berkomitmen menyelesaikan secara berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu yang sampai dengan saat ini masih menjadi beban sosial politik bagi bangsa Indonesia seperti; Kerusuhan Mei, Trisakti-Semanggi 1 dan 2, Penghilangan Paksa, Talang Sari-Lampung, Tanjung Priok, Tragedi 1965.”
Penyebutan kasus-kasus secara spesifik ini jadi keunggulan buat Jokowi-Jusuf Kalla karena setidaknya ada ukuran jelas apa yang akan mereka ungkap nantinya.
Dokumen visi, misi, dan program kerja Jokowi-Jusuf Kalla juga memasukkan komitmen pasangan ini dalam “menghapus semua bentuk impunitas di dalam sistem hukum nasional, termasuk di dalamnya merevisi UU Peradilan Militer yang pada masa lalu merupakan salah satu sumber pelanggaran HAM.”
Pernyataan ini juga mengirimkan pesan yang, meski implisit, tapi kuat. Bahwa peradilan militer, alih-alih memenuhi rasa keadilan, justru menjadi mekanisme perlindungan buat aparat pelanggar HAM.
Dalam konteks internasional, pasangan ini juga berjanji untuk “memperjuangkan penghormatan terhadap HAM di lingkungan negara-negara ASEAN untuk diimplementasikan sesuai kesepakatan yang sudah ditandatangani di dalam ASEAN-Charter.”
Meski secara dokumen Jokowi unggul, namun ada yang mengganjal, terutama di isu hak asasi manusia, yaitu kedekatan Jokowi (dan PDIP) dengan jenderal-jenderal yang reputasinya tak kalah kelam soal HAM.
(Baca juga: [URL="https://id.berita.yahoo.comS E N S O Rnewsroom-blog/pdip-dan-perkara--politik-ingatan-062104678.html"]PDIP dan Perkara Politik Ingatan[/URL])
Jokowi, bersama Megawati, Muhaimin Iskandar, Wiranto, Pramono Anung, dan Effendi Simbolon, terlihat datang menghadiri pengukuhan Mantan Ketua Badan Intelijen Negara A.M Hendropriyono sebagai guru besar dalam bidang ilmu intelijen dari Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN) di Jakarta (7/5) lalu.
![[bekal nonton debat capres] Membandingkan Janji Dua Capres dalam Upaya Menjamin HAM](https://dl.kaskus.id/s1.yimg.com/bt/api/res/1.2/yt0DWpDC_V14zgVD4wCpyw--/YXBwaWQ9eW5ld3M7cT04NTt3PTYwMA--/http://l.yimg.com/os/publish-images/news/2014-06-03/cd03d910-eaf7-11e3-af18-1561c874cf1c_Pengukuhan-Hendropriyono-Guru-Besar-070514-wpa-9-1-.jpg)
Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri (kanan), Ketua Umum Hanura Wiranto (tengah), Capres dari PDIP Joko Widodo (kedua kiri) dan Wakil DPR dari PDI P Pramono Anung (kiri) menghadiri pengukuhan Mantan Ketua Badan Intelijen Negara (BIN) A.M Hendropriyono sebagai guru besar dalam bidang ilmu intelijen dari Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN) di Balai Sudirman, Jakarta, Rabu (7/5). Rapat senat terbuka STIN mengukuhkan Hendropriyono menjadi guru besar ilmu intelijen pertama di dunia. ANTARA FOTO/Wahyu Putro A/Koz/pd/14.
Padahal Hendropriyono adalah perwira yang diduga terkait dalam penyerangan ratusan penduduk sipil di Talangsari, Lampung Tengah, dan ‘Talangsari’ adalah kasus yang secara spesifik disebutkan dalam dokumen visi misi Jokowi akan diselesaikan secara berkeadilan.
Masih ada lagi Wiranto dan Sutiyoso yang melalui partainya masing-masing, Hanura dan PKPI, memberikan dukungan politik pada Jokowi. Peran Wiranto dalam penculikan dan penghilangan paksa aktivis pada 1997-1998 masih harus ditelusuri, sedangkan Sutiyoso juga punya andil dalam penyerbuan markas PDIP pada 27 Juli.
Selain itu, ada Ryamizard Ryacudu. Kedekatan Ryamizard dengan PDIP, terutama Megawati, sudah awam diketahui. Ia pun jadi salah satu calon kuat cawapres Jokowi. Meski tak terpilih, cawapres Jusuf Kalla mendatangi Ryamizard dengan alasan diutus Jokowi untuk minta doa restu. Ryamizard pun menjadi ‘penasihat tim pemenangan’.
Dalam esai yang ditulis aktivis Usman Hamid di situs New Mandala dengan judul “Wither Human Rights?”, ia mengutip wawancara Ryamizard dengan majalah TIME Asia pada 2 Juni 2003. Dalam wawancara itu, Ryamizard mengatakan, bahwa dalam operasi militer di Aceh yang menewaskan ribuan orang, “Tugas kami adalah menghancurkan kemampuan militer GAM. Masalah keadilan, agama, otonomi, kesejahteraan sosial, pendidikan — itu bukan urusan TNI.”
Pernyataan seperti itu sekali lagi menunjukkan bahwa seolah ada pemisahan antara menjaga keamanan dan menjamin HAM. Maka Jokowi-JK mengambil langkah tepat dengan berencana untuk mengajarkan kurikulum HAM pada aparat TNI-Polri. Namun, yang sekarang membuat penasaran (dan mungkin harus segera dijawab) adalah bagaimana mereka, jika benar terpilih nanti, akan mampu memenuhi janji-janji kampanyenya ketika berada sangat dekat dengan jenderal-jenderal ‘bermasalah’.
sumber : [url]https://id.berita.yahoo.comS E N S O Rnewsroom-blog/membandingkan-janji-dua-capres-dalam-upaya-menjamin-ham-080928984.html[/url]
Jika isu HAM akan selalu jadi keraguan terbesar pemilih dalam melihat sosok Prabowo Subianto, apakah sang capres punya niat untuk mengubah pikiran orang dengan menunjukkan komitmennya di isu tersebut?
Kita memang belum tahu seperti apa upaya menjamin HAM (atau bahkan menyelesaikan kasus-kasus lama) di masa pemerintahan Prabowo atau Jokowi nanti, tapi setidaknya ada gambaran dan bahan yang bisa kita dapat lewat dokumen visi, misi, dan program aksi resmi dari dua pasangan capres-cawapres.
Di visi, misi, dan program kerja yang diberikan oleh pasangan capres-cawapres nomor 1, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, ‘hak asasi manusia’ hanya disebut satu kali di halaman 8 dari 9 halaman dokumen tersebut.
Sejumlah warga berebut berjabat tangan dengan calon presiden Prabowo Subianto usai melaksanakan Shalat Dzuhur di Masjid Raya Darussalam Samarinda, Kalimantan Timur, Sabtu (24/5). …
Penyebutan HAM ada di bab VIII soal “Membangun pemerintahan yang melindungi rakyat, bebas korupsi, dan efektif melayani”. Di nomor satu dari bab tersebut pasangan Prabowo-Hatta berjanji untuk “Melindungi rakyat dari berbagai bentuk diskriminasi, gangguan dan ancaman, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia, sesuai dengan sila-sila Pancasila dan UUD 45.”
Singkat, tak spesifik, dan sayangnya tak jelas. Seolah sama sekali tak menunjukkan niat Prabowo untuk menghapus keraguan orang akan reputasi kelamnya soal isu HAM.
(Baca juga: [URL="https://id.berita.yahoo.comS E N S O Rnewsroom-blog/karena-nyeri-itu-setiap-hari-bukan-lima-tahun-sekali-075850029.html"]Karena Nyeri itu Setiap Hari, Bukan Lima Tahun Sekali[/URL])
Kemudian, jika kita bandingkan dengan visi, misi, dan program aksi yang diberikan oleh Jokowi-Jusuf Kalla, setidaknya ada 9 kali ‘HAM’ disebut dalam dokumen tersebut.
Penyebutan pertama muncul pada pemetaan tiga problem pokok bangsa. Problem pertama, menurut pasangan tersebut, adalah ancaman terhadap wibawa negara. Bahwa, “membiarkan (terjadinya) pelanggaran hak asasi manusia (HAM)” adalah yang menjadi penyebab merosotnya wibawa negara.
Sudut pandang seperti ini dari seorang calon presiden dalam melihat isu hak asasi manusia adalah sebuah terobosan.
Selama ini, pemikiran yang berkembang dari penguasa dan/atau tentara soal isu HAM adalah bahwa dalam upaya menegakkan atau menjaminnya hanya akan mengguncang stabilitas dan wibawa negara. Seolah kita harus memilih antara menjunjung tinggi dan menjamin hak asasi manusia dengan stabilitas dan keamanan.
Selama masa Orde Baru, kita melihat (dan mengalami sendiri) bagaimana hak atas kebebasan berbicara, berpolitik, berkumpul, dan menyatakan pendapat mengalami pengekangan demi alasan keamanan negara.
Bahwa sampai sekarang, dalam ‘tugas mengamankan aset-aset strategis’ (atau lahan milik perusahaan), polisi dan tentara kerap menggunakan cara-cara kekerasan—yang kemudian menyebabkan terjadinya pelanggaran HAM—dalam menghalau masyarakat adat atau penduduk setempat yang dianggap berpotensi mengganggu stabilitas ekonomi.
Belum lagi kasus-kasus pelanggaran HAM yang belum terungkap dan/atau terjadi atas nama upaya menjaga keutuhan NKRI. Dari kasus Talangsari, operasi militer terhadap GAM di Aceh, sampai penculikan (dan penghilangan paksa) aktivis pada 1997-1998.
Bahkan, dalam kasus penyerangan terhadap penganut Syiah di Sampang, Madura, tak hanya negara membiarkan pelanggaran HAM terjadi, tapi juga negara lewat Kementerian Agama malah menjadi pelaku kekerasan dengan memaksa pindah keyakinan melalui pembinaan. Dalam konteks ini, perbedaan dilihat sebagai suatu ancaman terhadap keamanan dan wibawa negara sehingga para korban justru harus ‘diseragamkan’ agar kondisi kembali tentram.
Ternyata, menurut dokumen visi, misi, dan program kerja Jokowi-Jusuf Kalla, pembiaran seperti inilah yang malah justru menjatuhkan wibawa negara.
Di nomor empat dari sembilan agenda prioritas mereka, dokumen ini menyatakan bahwa Jokowi-Jusuf Kalla “akan menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya.” Salah satu cara yang mereka sebutkan adalah lewat “penghormatan HAM dan penyelesaian secara berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM pada masa lalu.”
Kemudian di halaman 27, dalam upaya berdikari di bidang politik, pasangan ini juga berjanji untuk “mewujudkan dan sistem penegakan hukum yang berkeadilan” salah satunya dengan “memasukkan muatan HAM dalam kurikulum pendidikan umum di SD dan SMP maupun dalam kurikulum pendidikan aparat negara seperti TNI dan Polri.”
Mereka juga “berkomitmen menyelesaikan secara berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu yang sampai dengan saat ini masih menjadi beban sosial politik bagi bangsa Indonesia seperti; Kerusuhan Mei, Trisakti-Semanggi 1 dan 2, Penghilangan Paksa, Talang Sari-Lampung, Tanjung Priok, Tragedi 1965.”
Penyebutan kasus-kasus secara spesifik ini jadi keunggulan buat Jokowi-Jusuf Kalla karena setidaknya ada ukuran jelas apa yang akan mereka ungkap nantinya.
Dokumen visi, misi, dan program kerja Jokowi-Jusuf Kalla juga memasukkan komitmen pasangan ini dalam “menghapus semua bentuk impunitas di dalam sistem hukum nasional, termasuk di dalamnya merevisi UU Peradilan Militer yang pada masa lalu merupakan salah satu sumber pelanggaran HAM.”
Pernyataan ini juga mengirimkan pesan yang, meski implisit, tapi kuat. Bahwa peradilan militer, alih-alih memenuhi rasa keadilan, justru menjadi mekanisme perlindungan buat aparat pelanggar HAM.
Dalam konteks internasional, pasangan ini juga berjanji untuk “memperjuangkan penghormatan terhadap HAM di lingkungan negara-negara ASEAN untuk diimplementasikan sesuai kesepakatan yang sudah ditandatangani di dalam ASEAN-Charter.”
Meski secara dokumen Jokowi unggul, namun ada yang mengganjal, terutama di isu hak asasi manusia, yaitu kedekatan Jokowi (dan PDIP) dengan jenderal-jenderal yang reputasinya tak kalah kelam soal HAM.
(Baca juga: [URL="https://id.berita.yahoo.comS E N S O Rnewsroom-blog/pdip-dan-perkara--politik-ingatan-062104678.html"]PDIP dan Perkara Politik Ingatan[/URL])
Jokowi, bersama Megawati, Muhaimin Iskandar, Wiranto, Pramono Anung, dan Effendi Simbolon, terlihat datang menghadiri pengukuhan Mantan Ketua Badan Intelijen Negara A.M Hendropriyono sebagai guru besar dalam bidang ilmu intelijen dari Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN) di Jakarta (7/5) lalu.
![[bekal nonton debat capres] Membandingkan Janji Dua Capres dalam Upaya Menjamin HAM](https://dl.kaskus.id/s1.yimg.com/bt/api/res/1.2/yt0DWpDC_V14zgVD4wCpyw--/YXBwaWQ9eW5ld3M7cT04NTt3PTYwMA--/http://l.yimg.com/os/publish-images/news/2014-06-03/cd03d910-eaf7-11e3-af18-1561c874cf1c_Pengukuhan-Hendropriyono-Guru-Besar-070514-wpa-9-1-.jpg)
Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri (kanan), Ketua Umum Hanura Wiranto (tengah), Capres dari PDIP Joko Widodo (kedua kiri) dan Wakil DPR dari PDI P Pramono Anung (kiri) menghadiri pengukuhan Mantan Ketua Badan Intelijen Negara (BIN) A.M Hendropriyono sebagai guru besar dalam bidang ilmu intelijen dari Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN) di Balai Sudirman, Jakarta, Rabu (7/5). Rapat senat terbuka STIN mengukuhkan Hendropriyono menjadi guru besar ilmu intelijen pertama di dunia. ANTARA FOTO/Wahyu Putro A/Koz/pd/14.
Padahal Hendropriyono adalah perwira yang diduga terkait dalam penyerangan ratusan penduduk sipil di Talangsari, Lampung Tengah, dan ‘Talangsari’ adalah kasus yang secara spesifik disebutkan dalam dokumen visi misi Jokowi akan diselesaikan secara berkeadilan.
Masih ada lagi Wiranto dan Sutiyoso yang melalui partainya masing-masing, Hanura dan PKPI, memberikan dukungan politik pada Jokowi. Peran Wiranto dalam penculikan dan penghilangan paksa aktivis pada 1997-1998 masih harus ditelusuri, sedangkan Sutiyoso juga punya andil dalam penyerbuan markas PDIP pada 27 Juli.
Selain itu, ada Ryamizard Ryacudu. Kedekatan Ryamizard dengan PDIP, terutama Megawati, sudah awam diketahui. Ia pun jadi salah satu calon kuat cawapres Jokowi. Meski tak terpilih, cawapres Jusuf Kalla mendatangi Ryamizard dengan alasan diutus Jokowi untuk minta doa restu. Ryamizard pun menjadi ‘penasihat tim pemenangan’.
Dalam esai yang ditulis aktivis Usman Hamid di situs New Mandala dengan judul “Wither Human Rights?”, ia mengutip wawancara Ryamizard dengan majalah TIME Asia pada 2 Juni 2003. Dalam wawancara itu, Ryamizard mengatakan, bahwa dalam operasi militer di Aceh yang menewaskan ribuan orang, “Tugas kami adalah menghancurkan kemampuan militer GAM. Masalah keadilan, agama, otonomi, kesejahteraan sosial, pendidikan — itu bukan urusan TNI.”
Pernyataan seperti itu sekali lagi menunjukkan bahwa seolah ada pemisahan antara menjaga keamanan dan menjamin HAM. Maka Jokowi-JK mengambil langkah tepat dengan berencana untuk mengajarkan kurikulum HAM pada aparat TNI-Polri. Namun, yang sekarang membuat penasaran (dan mungkin harus segera dijawab) adalah bagaimana mereka, jika benar terpilih nanti, akan mampu memenuhi janji-janji kampanyenya ketika berada sangat dekat dengan jenderal-jenderal ‘bermasalah’.
sumber : [url]https://id.berita.yahoo.comS E N S O Rnewsroom-blog/membandingkan-janji-dua-capres-dalam-upaya-menjamin-ham-080928984.html[/url]
Polling
0 suara
Apakah kasus pelanggaran HAM akan jadi pertimbangan agan dalam pilpres nanti?


anasabila memberi reputasi
1
3.3K
11
Thread Digembok
Urutan
Terbaru
Terlama
Thread Digembok
Komunitas Pilihan