Selama kita masih belum mampu melepaskan keterikatan atau kemelekatan terhadap identitas, maka selama itu pulalah kita sulit melihat jati diri kita yang sebenarnya.
Selama ini (oleh lingkungan), kita sudah dibentuk dan diprogram untuk memberi label/identitas bagi diri kita, entah itu dalam bentuk agama yang dianut, tingkat pendidikan, jabatan/pangkat, suku, ras, asal daerah, almamater, bangsa, negara, dan sebagainya.
Kemelekatan atau keterikatan pada hal-hal tersebut akan membuat kita mudah merasa tersinggung, marah, atau tersulut manakala ada yang terkesan (seolah-olah) menyinggung harga diri atau citra berbagai identitas kita tersebut. Sebagai contoh, jika ada yang menurut kita menyinggung agama yang kita anut, maka kita pun akan mudah menjadi marah atau tersulut.
Namun apakah agama adalah jati diri kita yang sebenarnya?
Jati diri dan identitas jelas dua hal yang berbeda. Identitas lebih sekadar alat bantu untuk mempermudah pengenalan dalam suatu lingkup pergaulan sosial di masyarakat. Tidak ada yang salah dengan identitas. Yang salah adalah jika kita terlalu melekat atau terlalu terikat dengannya, lalu menjadi lupa dengan hakikat atau jati diri kita yang sesungguhnya.
Jangan cuma berhenti di identitas. Berusahalah temukan jati diri. Identitas tak lebih dari kulit, kemasan, topeng, atau label. Ia bukan hakikat atau intisari. Dirimu bukanlah identitasmu!
Identitasmu bukanlah dirimu! Topengmu bukanlah
dirimu!
Kedamaian, ketenangan, dan
keheningan sejati/hakiki akan kita
temukan ketika kita berhasil
melepaskan diri dari identitas. Tak
ada gunanya memuja topeng atau
identitas (karena ia bukan jati diri
kita).