Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

alkrantiAvatar border
TS
alkranti
Langit yang Berdebu - Alamsyah Al-Kranti

Melanglangbuana ke negeri nan sepi

Karya: Alamsyah Al-Kranti


1.
Aku kembali ditelan malam. Mengamati hitam bercak putih dibalik jendela kamarku. Taburan kelap-kelip itu tak merata seluruhnya. Sang ratu tak bersinar sepenuh diri malam ini. Seolah ia tak lelah, seperempat bagiannya pun tetap ia bagikan kepada seluruh manusia di permukaan. Sendu demi sendu berterbangan melintasi langit tanpa ketahuan. Rindu demi rindu melesat. Ada yang sampai. Ada yang tidak. Para perindu itu ada yang berharap sampai. Adapula yang tidak. Mungkin khawatir penerimanya tak menanggapi baik atas rindunya. Malam ini, langit sangatlah bercerita. Pohon-pohon yang mengisap apa yang mereka buang sebelumnya. Awan-awan yang menghitam namun tak mendung. Mereka saling mengawasi, saling memeluk satu sama lain. Nafas sang fajar yang menyengat dikonversi menjadi setiup dua tiup ketenangan yang merambat. Aku dan gadis kecilku. Menyerap apapun yang Sang Kuasa sediakan kali ini. Aku. Dan anak kelas satu SD ini. Matanya serius terpejam mengkerutkan pangkal hidung. Bulu matanya melentik bak balerina pada klimaks tariannya. Pipinya yang putih menggunduk menyihir banyak orang dewasa ingin mencubitnya. Mulutnya dikatup rapat. Kedua ujung bibirnya bertarik tambang, membelah sepertiga wajahnya. Dagunya. Telinganya. Rambut sutranya. Ia benar-benar aku, sama apa yang dikata orang. Kuusap-usap rambutnya. Sungguh, aku sangat menyayangi bocah ini.

“Yah, kukira bahwa bintang itu asalnya berwarna biru bukan?”, tanya gadis kecil ini memecah kesunyian.

“Oh ya? Apa yang membuatmu berpikir seperti itu cantik?”

“Kupikir bahwa saat siang hari, semua bintang itu saling bertemu dan berkumpul. Sama seperti apa yang aku dan ayah lakukan setiap malam. Hanya saja, malam adalah siang bagi mereka. Mereka bertemu, bercerita tentang manusia, sama seperti apa yang kita lakukan saat ini, bercerita tentang bintang. Saking banyaknya mereka, mereka memadati langit yang sebenarnya hitam. Jadilah langit biru. Benar bukan, Yah?”

Kupandangi langit kembali. Kata-kata anakku yang sudah melalap hampir separuh perpustakaan ayahku, tak sewajarnya gadis berumur 6 tahun berucap. Separuh alam pula ia ajak bicara. Tangannya yang mungil terkadang seperti sedang berusaha menggapai sesuatu ketika berbaring di halaman belakang. Ia sangat tertarik pada ilmu kelangitan. Ia merasa langit sangatlah dekat untuk digapai. Pernah kupergoki ia membuat sayap-sayapan dari kemoceng dan bulu-bulu dari bantal bekas di gudang. Hampir saja ia melakukan percobaan yang dilakukan orang ratusan abad tahun yang lalu. Tak kumarahi ia. Kujelaskan cara bagaimana manusia bisa terbang. Kuberikan dia buku tentang sejarah penemuan pesawat yang dipatenkan Wright Bersaudara. Kuceritakan pula tokoh nasional Indonesia, B.J. Habibie, yang merupakan Bapak Keretakan Pesawat Dunia. Juga betapa diakuinya PT Dirgantara Indonesia oleh dunia. Wajahnya berbinar-binar setiap kuceritakan tentang dunia langit meskipun aku belum tahu tentang macam-macam awan. Namun ia tetap mencintai langit. Ia mencintai tempat di mana ibunya berada.

“Yah, lihat! Bintang itu dan itu sedang saling berbicara!” tunjuknya kepada dua butir bintang “…mungkinkah mereka seperti kita, yah? Mungkinkah mereka sedang membicarakan kita yang terlihat berkelap-kelip di dunia langit sana?”

“Ya sayang. Kamulah yang terlihat bersinar di sana. Mereka merindukanmu sayangku, meskipun mereka belum pernah bertemu denganmu.”

“Mungkinkah itu ibu, yah? Mungkin ibu sedang bercengkrama dengan bintang-bintang lainnya. Membicarakan kita berdua. Mungkinkah ibu menjadi bintang yah?

Sungguh, tak pernah kusanggup membahas Clara dengan dirinya. Apalagi di malam setepat ini. Ditambah sejuk dingin seteguh padang sunyi. Kutahan diri ini untuk tak membiarkan sesuatu meleleh dari sumber pandangan. Aku hanya menjawab pertanyaannya dengan anggukan kecil. Sekedar menjawabnya. Tak mau aku terdengar bergetar. Aku harus bisa senang dihadapannya, begitulah mendiang istriku berwasiat. Keceriaannya dititipkan padaku supaya dilestarikan. Agar seisi alam tetap seimbang, begitu kata mendiang istriku. Aku mengerti maksudnya, dan akupun merasakan hal yang sama dengannya. Tawa dan kebahagiaannya adalah elemen baru yang Tuhan turunkan melalui aku dan istriku.
Gadisku sudah menguap. Matanya sudah kelewat sayu. Namun seperti biasa, ia takkan tertidur apabila tak ku ceritakan cerita pengantar tidur. Kurebahkan dia di ranjang ungunya. Kuselimuti dia perlahan dan rapih, kuyakinkan tak ada satupun lubang udara yang dapat membuatnya tertusuk angin malam. Wajahnya yang lancip tersisa di atas bantal biru pembelian ibunya. Seluruh tubuhnya sudah kuyakinkan hangat dan aman. Ia nyengir. Berusaha meng”kode”kan ku untuk segera memulai cerita malam.

“Oke, cerita apa lagi yang mau kuceritakan?”, tanyaku sambil melihat-lihat jejeran buku di lemari Fify.

“Yah, aku ingin tahu dong, cerita waktu ayah sama ibu ketemu!”, ujarnya ceria.

Aku terhenyak. Ujian apalagi ini? Tak mungkin aku menolak permintaan anak tanpa dosa ini? Namun apakah aku akan kuasa untuk bercerita?

“Ayo yah! Kalau nggak tidur-tidur, aku bisa kesiangan loh besok!”, rengeknya.

“Hmmm. Baiklah boneka kecilku. Pertama-tama ayah ingin tahu dulu, masih ingatkah kau wajah ibumu?”, tanyaku mengetes.

“Sangat ingat yah! Ibuku cantik yah! Yang paling kuingat itu bibir ibu! Merah sekali! Pula tebal! Setiap ia berbicara, Fifi selalu makin sayang sama ibu!, ujarnya semangat.

*****


Ya, bibirnya yang tebal itu.
Mungil, namun tebal. Ciri khas Clara, dewi kami. Nampaknya ia benar-benar anakku.
Menyukai salah satu bagian yang sama pada poros keluarga ini. Aku masih ingat sekali, awal mula di mana aku bisa menjadi tokoh utama di cerita pengantar tidur anakku.

Ya, pada saat ketertarikanku pada Clara dimulai. Ketika aku masih semester lima. Aku masih ingat bangku hijau itu. Pada saat itu, aku sedang corat-coret buku gambarku. Membentukkan butiran-butiran granit menjadi replika taman utama UPI di sore hari di atas selembar kertas. Hari yang cukup indah pikirku. Kugores pelan-pelan pensilku, mulanya adalah garis-garis bayang yang membentuk garisan-garisan pembatas tanah, langit, pohon, tanaman pot, bangku taman, trotoar, dan materi-materi lainnya yang sedang kulihat saat itu. Kupandang sekali pemandangan sederhana itu, kuingat, dan kuhadapkan lagi kepada buku tulisku. Kugambar lagi garis-garis bayang agak tebal, lalu kumegahkan pemandangan itu dengan sayup-sayup cahaya matahari yang sedang beristirahat menuju malam. Kupertegas garis-garisnya, hingga jadilah satu keindahan di satu sore hari. Kutambahkan detail-detail bayangan di setiap penjuru objek. Kupandang kembali pemandangan yang kulukis, yang nampaknya sudah berubah posisi gugur-guguran daunnya. Pula saat ini, bangku hijau yang dihadapanku sudah tak kosong lagi.

Kudapatkan ada seorang wanita yang baru saja hampir dan duduk disitu ketika aku disibukkan mencorat-coret bukuku. Kuputuskan untuk menjadikannya objek di bukuku. Kuingat-ingat kembali apa yang kulihat. Lalu kulukiskan ia bersama bangku yang didudukinya. Kali ini, di atas bangku hijau itu terdapat seorang wanita berkerudung putih panjang sedang menundukkan wajahnya. Roknya yang panjang berenda di ujung bawahnya, membentuk segitiga-segitiga yang melingkari layaknya pegunungan. Kutambahkan motif bunga-bunga pada kerudungnya selayak aslinya. Lengan bajunya yang panjang menekuk dan mendaratkan kedua sikutnya di kedua pahanya. Di sampingnya terdapat sebuah kacamata berbingkai hitam yang dilipat. Lengan bajunya agak menggelap seakan baru saja dibasahi. Kedua tangannya yang kuning langsat membentang menutupi setengah wajah. Kutambahkan detail-detail kerutan kerudungnya, lengan bajunya, hingga roknya. Pula bayangan-bayangan yang vertikal mengarah kepada aku yang sedang melukis ini. Kupikir, nampaknya gadis ini tak berlaku wajarnya seseorang yang sedang menikmati sore nan indah ini. Kupandang sekali lagi dirinya, bermaksud untuk menambahkan beberapa elemen detail. Baru saja aku mendongakan kepala, gadis itu sudah tak duduk lagi di bangku hijau itu. Ia melangkahkan kaki, menuju tepat di mana aku duduk, sudah setengah jalan. Dan kurasa, ada yang tidak beres.

Kali ini kulihat alisnya meruncing tepat menuju ujung matanya yang mengerut. Pandangannya tajam, tepat ke kedua mataku. Hidungnya agak merah dan mengembang. Matanya yang tadi tak terlihat kali ini jelas sekali nampak membengkak. Ditambah bola matanya yang agak berkaca-kaca. Pertama kali kulihat bibirnya yang mungil, namun tebal bagian bawahnya. Bibirnya melengkung bagai bukit yang penuh pohon berdaun merah. Kulitnya halus semu kuning langsat, layaknya pualam yang digosok rutin. Sesaat aku seperti kehilangan tapak. Tiba-tiba perutku mendadak sakit. Wajahku mengarah tepat pada kedua wajahnya. Leherku seakan dibelenggu oleh rantai tak tampak. Seisi dadaku melompat kesana kemari, pensilku hampir patah karena tanganku yang menggenggamnya kelewat erat. Kakiku tak dapat digerakkan. Sayup angin yang tadi tak kurasakan ada tiba-tiba ada dan menerpaku perlahan. Perlahan. Dari kepalanya hingga buntutnya. Mengibaskan rambutku yang gondrong tanggung. Lalu menyelip melalui pori-pori kulitku, hingga paru-paru dan jantungku ikut tertiupnya. Matahari sore yang kuhadapi saat ini sudah dua pertiganya berada di bagian lain garis horison, inilah puncak keemasan sore hari di kala itu. Berhiaskan serangga-serangga bersayap yang semakin riuh memenuhi udara sekitarku. Pula seorang insan yang berjalan kearahku, yang digiring oleh puluhan capung-capung hijau. Seakan capung-capung itu tahu, dengan dua sensor di ujung kepala mereka, bahwa ada sesuatu yang lebih indah dibanding sore kali ini. Sesuatu itu adalah yang masih mendekatiku saat ini dengan mata tajam meski sembab kulihat. Aku tahu, serangga-serangga pun tahu, bahwa ada bidadari yang sedang menjejakkan kakinya di Bumi Pertiwi ini.

Langkahnya semakin lama semakin mendekati bangkuku. Semakin dekat, semakin sakit perutku merajai. Tinggal beberapa langkah lagi tepat tiga puluh sentimeter di depan posisiku berada. Aku memohon kedua hal yang bertolak belakang dalam hati. Semoga ia tak benar-benar datang padaku, memperparah diare dadakan ini, dan membuyarkan seisi pantatku. Sekaligus memohon semoga ia benar-benar bertujuan padaku. Menghampiriku, menyuruhku menjawab kuisioner buatannya, atau mencoba kue buatannya, atau pinjam pensil, atau mungkin menyatakan bahwa ia menyukai diriku. Logikaku sebagai seorang mahasiswa sekejap raib dimakan sayup-sayup angin lainnya. Beberapa detik berlalu, dan ia sekarang sudah tepat berada dekat kedua lututku. Matanya menyorot tajam tepat sekali pada pangkal hidungku. Angin kecil bertiup iseng satu kali. Lalu hening. Ia seakan ingin mengucapkan sesuatu, namun tertahan. Akupun begitu. Kuputuskan untuk senyum padanya yang barangkali bisa merangsang percikan interaksi antaraku dan dia. Bibir merahnya mulai terbuka sedikit, dilanjut sehela nafas, seolah tak jadi berucap. Namun kali ini, ia benar-benar berucap

“Apa yang sedang kau lakukan?”

Membalas pertanyaannya pun terasa sulit. Kustrategikan kalimat dan intonasi yang tepat untuk menjawabnya. Tak pernah aku berbuat semubazir itu. Aku gelagapan ketika sudah memutuskan. Seolah apa yang kuputuskan sebelumnya adalah jawaban yang salah. Secara spontan, bukan dari rencana yang menghabiskan kurang lebih empat detik itu, aku menjawab gagap:

“A-Aku sedang menggambar apa yang kulihat saat ini. Aku suka melukis.”

Sebenarnya, aku tak perlu berkata aku suka melukis. Nampaknya arogansiku mendadak muncul. Seolah aku ingin tampak hebat di matanya. Pertama-tama yang merespon jawabannya yaitu wajahnya yang mendadak merah. Pipinya menggembung. Matanya yang berkilat-kilat kali ini mencairkan berbutir-butir linang air. Lengan kanannya terangkat, mengacungkan jari telunjuknya ke angkasa, lalu diarahkannya, tepat sepuluh sentimeter di depan hidungku.

“KAMU PIKIR WANITA YANG SEDANG MENANGIS ITU PENGHIAS SORE HARI INI HAH?!”

Aku sebentar tersentak. Tak menyangka ia akan marah-marah begitu. Kali ini seluruh wajahnya memerah. Air matanya berjatuhan semakin deras melicinkan pipinya yang semakin memerah. Butiran-butirannya lambat laun menghantam rumput hijau yang ia injak. Tangan kirinya menutup mulutnya, seolah sudah tak kuat menahan tangisnya. Tangan kanannya yang menunjukku tadi melemas tak seperti awalnya. Sesaat aku terhenyak, mengingat ayahku selalu merayu ibuku yang sedang murka, lalu ia jinakkan ibuku dengan rayuan kecantikan tiada tara seorang wanita yang sedang marah. Kuanggap hal itu hanyalah muslihat ayahku. Kupikir wanita yang murka tak lain jadi besi yang dipanaskan apabila dipuji. Tapi kali ini, aku setuju dengan ayahku. Tangis dan murka seorang wanita mereaksikan sesuatu dalam diriku dengan cepat. Sesuatu yang metafisik. Tak pernah terjelaskan oleh ilmu biologi sekalipun, apa itu dan dimana itu. Saat ini, jantungku berada di dasar perutku. Entah apa yang terjadi saat ini.

Spontan aku meraih tengkorak kepalanya yang dibalut kain spandek putih bermotif itu. Telapak tanganku mengusap-usap ubun-ubunnya. Wanita itu nampak menerima pelukanku, dan bersedia menumpahkan kalutnya pada pundakku. Entah perasaan apa lagi ini. Aku agak bingung, antara malu dan kasihan yang tak biasa. Aku serasa dibawa ke dimensi lain, nan jauh, kosong pula hampa. Inikah rasanya dipeluk? Ketika daging bertemu daging, emosi bertemu emosi. Aku yang tadinya berusaha menghiburnya dengan mengelus kepalanya malah terhenyak. Terbawa suasana. Oranye ini. Guguran daun ini. Ceceran angin ini. Tangis yang mampu merusuhkan bumi dan seisinya. Aku terlarut dan hanya bisa diam. Tak tahu harus berbuat apa. Tangisnya mulai mereda. Ia melepaskan pelukku. Aku masih berada di nirwana, di ujung langit oranye. Memandang jauh di sana, ada kerumunan burung pergi ke barat. Sore ini, adalah sore sekali seumur hidup. Suara sentakan dan bentakan melatari megahnya ciptaan Maha Besar. Dan tanpa kusadari, diakhirilah sesi indah itu. Aku terhuyung, Telingaku berdengung, lalu tubuhku tergeletak di bangku, layaknya manusia yang sudah dicabut tulangnya. Wanita itu melangkah cepat, namun tak lari. Ia ambil kacamatanya di bangku tempat ia duduk tadi. Dia gunakan sambil memunggungiku, lalu pergi menuju arah matahari terbenam. Sekejap waktu terhenti. Sebuah lukisan yang dibuat oleh alam dan makhluknya baru saja tercipta. Sungguh indah. Mahakarya! Harusnya aku lukis pada saat itu juga di permukaan kanvas! Di sisi lain, aku tak mau melewatkan momen semacam ini, yang baru kurasakan pertama kali seumur hidupku. Langit mulai membiru gelap. Kibaran kerudung hijau mulai tak jelas warnanya, lalu menghilang di ujung bumi sana. Aku diam di bangku itu, tersadarkan oleh adzan maghrib. Oh Tuhan, nikmat macam apa yang baru saja kau jadikan ujian untukku? Pertanyaanku pada Sang Tuhan mengingatkanku pula dengan adzan maghrib yang masih berkumandang setengah bait. Adzan ini menyelamatkanku dari dunia imajinasi tiada henti. Kugendong kembali tasku. Sesaat aku baru melangkahkan kakiku, namaku dipanggil keras.

“Ting! Ting!”

Ternyata Andara, sahabatku. Ia berada di kejauhan, lalu mendekatiku dengan agak berlari. Wajahnya nampak sumingrah, namun mengundang pertanyaan. Jangan-jangan, ia menyaksikan kejadian tadi….

“Apa, An? Riweuh banget sih”, tanggapku seolah tak terjadi apa-apa.

“Siaaa belegug! Banyak yang liatin maneh dari tadi! Belegug da maneh mah sumpah!"

Sial, banyak yang melihatku tadi. Pandangan iseng Andara jadi menyebalkan. Apa yang terjadi sangatlah aib dua ratus persen! Seorang lelaki tulen yang tulangnya tercerabut oleh tangis seorang wanita, rela pula dihantam oleh lambaian telapak tangan yang halus itu. Citraku sebagai mahasiswa keren ini hancur sudah.

“An, awas weh mun barudak nepi apaleun mah!”, ancamku.

Andara hanya senyam-senyum saja. Lisannya berkata setuju namun air mukanya tidak demikian. Adzan maghrib sudah selesai dikumandangkan. Andara hampir saja membuatku ketinggalan takbiratul ihram. Aku bergegas pergi menuju masjid. Kutinggalkan Andara yang katanya mau sholat di kostan.

“Kok ibu begitu sih yah? Kan maksud ayah menghibur?”, heran gadisku.

“Fifi sayang, suatu saat Fifi sudah besar nanti, Fifi harus bisa menjaga martabat Fifi ya? Tak semuanya boleh menyentuh Fifi selayaknya ayah atau ibu pada Fifi ketika Fifi sudah besar nanti. Ayah waktu itu sangat spontan, sangat muda. Yah, suatu saat Fifi juga mengerti.”, jelasku.

“Yah, memang martabat wanita itu seperti apa? Fifi ingin tahu yah! Fifi udah gede kok!”, protes Fifi.

“Ya sudah, tentang martabat wanita, Fifi akan ayah ceritakan besok malam ya? Udah jam sepuluh nih! Ntar katanya kesiangan hayo!”

Ia mengangguk setuju. Binar matanya nampak puas dan senang karena ceritaku tadi. Kucium kening anak cantik ini, lalu kumatikan lampu meja tidurnya. Kuingatkan ia bismika, lalu kuucapkan selamat malam. Kutinggalkan kamar Fifi, lalu menuju ke kamar tidurku.

Kamar sepenuhnya merah ini adalah keinginan Clara. Ia pernah berkata, bahwa merah menandakan keberanian, dan sangatlah baik apabila bangun tidur kita dimulai dengan tersulutnya api-api keberanian. Lalu adapula meja-meja akrilik transparan, karya desainku. Ia selalu menyenangi meja ini, bahkan sempat ia tertidur di atasnya karena keasyikan membaca karya-karya Pramoedya. Bayang-bayangnya ketika ia tertidur di permukaan tanpa warna ini terus menghantu. Lampu kamar yang mati dan lampu meja yang menyoroti area tengah meja ini. Sama persis dengan keadaan penerangan di kamar ini dulu, ketika ia masih ada. Ia merupakan wanita gila baca. Sangatlah tak bisa direm apabila sudah membuka halaman pertama. Buang hajat pun ia tahan apabila belum berakhirnya suatu bab. Kupandang, lemari bukunya, kuambil satu buku yang berjudul “Alam Pikiran Yunani”, karya salah satu proklamator Indonesia, Mohammad Hatta. Sebuah buku yang mempertemukan kembali kita untuk yang kedua kalinya. Lamunanku mendadak pecah, kudengar sayup-sayup seperti handphone yang bergetar. Ternyata memang handphone-ku. Bergegas kuraih di atas ranjang. Aku memang sedang menunggu telepon dari seseorang. Sudah lebih dari tiga minggu lamanya. Dan ternyata benar saja. Ini Diyat.

“Assalamualaikum, Ting!”

“Waalaikum Salam. Bagaimana keadaannya yat?”

“Kami baik-baik saja. Dan sudah tentu kamu tahu dari suaraku. Tapi ada yang lebih penting lagi, Ting!”

Hela nafasku yang tertahan dari salam tadi akhirnya terhembus juga.
“Syukurlah kalau begitu, Yat. Kami sekeluarga setidaknya masih bisa melihat….”

“Tidak Ting! Tidak seperti dugaanmu! Pula seperti dugaanku! Wanita ini memang dicinta alam, Ting! Tak kusangka Ting, ia masih hidup! Bernafas dan berjiwa! Selayaknya ikan berada di air!”

Aku terbingung. Lalu kuminta Diyat mengulangi laporannya. Ia menyanggupi permintaanku. Ku simak baik-baik. Diyat pun menyelesaikan laporan ulangannya. Tangis yang kutahan tadi semasa bercerita, dan sempat menghilang pula, mereka kembali. Membludak. Aku meraung. Tak pernah aku menangis seberisik ini. Sunyi senyap itu yang kuanggap abadi itu mendadak hilang, seakan menghangat, menjadi suasana yang aku suka. Handphone-ku tergeletak di atas ubin. Sempat tak kusadarkan diri, lalu kujatuhkan begitu saja. Spontan aku bersyukur kepada Sang Pemilik. Diriku telah kembali seutuhnya. Tak selayak beberapa menit yang lalu.
anasabilaAvatar border
anasabila memberi reputasi
1
1.5K
2
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan