- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Melawan lupa.. . rekam jejak militer PS
TS
dyenfalee
Melawan lupa.. . rekam jejak militer PS
Quote:
Rekam Jejak Masa Lalu Prabowo Pada tahun 1997-1998 ketika rezim Soeharto semakin terancam jatuh oleh berbagai aksi perlawanan rakyat pro-reformasi dan demokrasi, yang dimotori para mahasiswa dan dibekengi oleh tokoh-tokoh masyarakat, rezim itu menggunakan segala cara untuk mempertahankannya. Cara-cara represif dan teror khas diktator yang selama ini sukses melestarikan kekuasaan rezim itu pun semakin ditingkatkan kuantitas dan kualitasnya, termasuk dan terutama menculik sejumlah aktivis oleh tim-tim siluman di luar undang-undang, dari militer/ Kopassus, dengan maksud dapat membungkam aksi-aksi demonstrasi antiSoeharto itu. Tiga belas orang dari mereka yang diculik sampai hari ini belum kembali, diduga telah tewas dibunuh. Salah satu aktor utama penculikan itu adalah Komandan Jenderal (Danjen) Kopassus saat itu, Letjen TNI Prabowo Subianto. Prabowo sudah mengakui perbuatannya itu. Dia membentuk Tim Mawar dengan 11 anggota Kopassus, anak buahnya.
Mereka menculik 9 orang aktivis. Selama penculikan para aktivis itu disiksa dengan cara-cara di luar batas peri kemanusiaan untuk mengetahui misi mereka dan siapa saja teman-temannya, serta agar menjadi ketakutan, dan tidak berani lagi melawan Soeharto Mengecam Soeharto identik dengan tindakan subversif. Salah satunya korban penculikan itu adalah Faisol Riza. Pengalamannya semasa berada dalam sekapan para penculik dari Tim Mawar itu pernah disampaikan lewat kicauan Twitter-nya dan dimuat di Merdeka.com (http://www.merdeka.com/peristiwa/cerita-korban-penculikan-aktivis-disetrum-kopassus.html)
Unjuk rasa di Bundaran HI (2011): foto 13 aktivis pro demokrasi , yang diculik dan masih hilang sampai sekarang (Kompas.com) Prabowo mengatakan dia hanya bertanggung jawab terhadap penculikan yang dilakukan oleh Tim Mawar. Para korban penculikannya itu, katanya, semua kembali dalam keadaan selamat, bahkan beberapa di antaranya menjadi pengurus teras Partai Gerindra. Sedangkan terhadap penculikan aktivis lain, termasuk mereka yang belum kembali itu, Prabowo mengaku tidak mengetahuinya. Prabowo juga mengaku bahwa aksi penculikan tersebut berdasarkan perintah dari atasannya. Siapa saja mereka yang turut melakukan penculikan-penculikan itu, siapakah otak utamanya, apakah Panglima ABRI, atau Presiden Soeharto, dan lain-lain? Sampai hari ini rahasianya masih disimpan Prabowo. Layakkah dengan status seperti ini Prabowo mau menjadi presiden? Pengakuan Prabowo bahwa semua aktivis yang diculik timnya itu kembali dengan selamat, bertentangan dengan keterangan yang disampaikan oleh Pius Lustrilanang, salah satu korban penculikan Tim Mawar, sebagaimana dimuat di Tempo.co . Pius bersaksi, ketika berada di dalam penyekapan para penculiknya, dia sempat berkomunikasi dengan tiga aktivis lainnya, yaitu, Herman Hendrawan, Yani Afri, dan Soni. Tiga orang ini termasuk mereka yang sampai hari ini belum kembali. Ketika dibebaskan, Pius mengecek tiga rekannya ini yang katanya dibebaskan terlebih dulu daripadanya, tetapi ternyata mereka tidak kembali. Pius menulis, "Saya lalu teriingat pada perkataan salah seorang penculik: 'Ada yang keluar (dalam keadaan) hidup dan ada yang keluar (dalam keadaan) mati dari tempat ini'. Pada April 1999 anggota Kopassus yang bergabung dalam Tim Mawar itu telah menjalani peradilan militer dan divonis bersalah. Sedangkan, khusus untuk Prabowo, berdasarkan rekomendasi dari Dewan Kehormatan Perwira yang khusus dibentuk untuk kasus tersebut, Panglima ABRI ketika itu, Prabowo dinilai bersalah, tetapi hanya menjatuhkan sanksi politik kepadanya, yaitu pemecatan (pensiun dini) dari kedinasannya di ABRI (sekarang TNI). Prabowo pun pensiun dengan pangkat terakhir Letnan Jenderal.
Doa bersama di Monumen 12 Mei 1998 di Universitas Trisakti(Antara/Dhoni SetiawanBerita utama Harian Kompas
(Selasa, 22/08/1998) ttg pemecatan Prabowo dari ABRI karena kasus penculikan (sumber: @Fadjroel Rahman) Jadi, sampai hari ini Prabowo tidak pernah menjalani peradilan militer, dia hanya dijatuhkan sanksi secara politik. Sejak saat itu juga Amerika Serikat tidak mengizinkan Prabowo masuk ke negara mereka dengan alasan Prabowo telah melakukan pelanggaran HAM berat. Pada September 2009, Pansus Orang Hilang pernah merekomendasikan pemerintah dalam hal ini Kejaksaan Agung untuk membentuk Pengadilan HAM Ad-Hoc untuk mengadili para aktor penculikan aktivis di tahun 1997-1998 itu, tetapi rekomendasi itu tidak pernah dilaksanakan. Selain itu, Prabowo juga banyak dituding bertanggung jawab atas tragedi kerusuhan Mei 1998, yang membakar Jakarta selama beberapa hari, dengan korban jiwa yang mencapai seribu lebih orang itu, termasuk korban-korban pemerkosaan dari etnis Tionghoa. (Rekomendasi: Baca buku Kerusuhan Mei 1998, Fakta, Data & Analisa, -- Mengungkap Kerusuhan Mei 1998 Sebagai Kejahatan Terhadap Kemanusiaan, Penerbit Solidaritas Nusa Bangsa dan Asosiasi Penasehat Hukum dan HAM Indonesia, Edisi Revisi: Mei 2007) Di dalam bukunya yang berjudul
Menyibak Tabir Orde Baru, Memoar Politik Indonesia 1965-1998 (Penerbit Buku Kompas, 2014), Jusuf Wanandi, salah seorang pendiri CSIS ada sedikit menyinggung masa-masa menjelang kerusuhan Mei 1998 itu. Menurut dia, yang melakukan penyerangan terhadap kantor pusat PDI pada 27 Juli 1996 adalah massa preman yang dikerahkan oleh beberapa jenderal TNI. Dua tahun kemudian (1998) hal itu diulangi lagi. Sebelum kerusuhan Mei 1998 meledak, diketahui Letjen Prabowo Subianto mengerahkan kelompok ektremis untuk menghadapi mahasiswa.
“Ketika itu sebagai Komandan Kopassus, ia mengadakan acara buka puasa di rumahnya yang dihadiri oleh hampir 3.000 orang yang terdiri dari kelompok garis keras kanan,” tulis Jusuf Wanandi di bukunya itu (halaman 376). Pasukan Paramiliter di Timor Timur (1995) Dalam bukunya yang berjudul Timor-Timur,The Untold Story (Penerbit Buku Kompas, 2012), Letjen (Purn.) Kiky Syahnakri, Komandan Korem Timor Timur pada 1995, mengakui tentang adanya pasukan paramiliter ilegal yang melakukan teror dan pembunuhan di Timor Timur ketika itu. Pasukan paramiliter di luar struktur ABRI (ilegal) itu dikabarkan dibentuk oleh Prabowo Subianto yang ketika itu adalah Wakil Komandan Kopassus. Pasukan sipil ilegal berpakaian ala ninja itu diterjunkan di Timor Timur yang ketika itu sedang bergejolak untuk melancarkan teror ke warga sipil dalam rangka melawan kelompok gerilyawan Xanana Gusmao. Pembentukan kelompok paramiliter itu dibuat dengan maksud agar aksi-aksi teror ke warga sipil itu tidak dapat diminta pertanggungjawabannya ke ABRI.
Prabowo sendiri mengakui bahwa ia memfasilitasi pembentukan pasukan yang terdiri dari kalangan pendukung pro-integrasi, tetapi ia membantah bahwa pasukan paramiliter itu membunuhi masyarakat sipil. Jadi, kelihatannya melakukan aksi-aksi teror di luar struktur resmi ABRI sudah merupakan ciri khas Prabowo sejak dulu. Apakah "hobbi" seperti ini tidak akan kambuh lagi, jika Prabowo merasa terdesak ketika dia mempunyai kekuatan untuk melakukannya lagi? Seandainya Dulu Gerakan Pro-Reformasi
Berhasil Ditumpas Prabowo memang telah membantah bahwa dirinya sebagai satu-satunya yang bertanggung jawab atau otak dari kerusuhan itu, tetapi, seharusnya, terlepas dari terbukti bersalah atau tidaknya Prabowo, sebelum mengajukan diri sebagai presiden, dia terlebih dulu membuka semua misteri tersebut sebatas yang diua ketahui untuk kemudian bisa ditindaklanjuti investigasinya oleh yang berwenang. Termasuk siapa sebenarnya yang penanggung jawab utama (pemberi perintah) penculikan-penculikan itu, apakah benar dia hanya bertanggung jawab atas 9 aktivis yang diculik Tim Mawar itu. Selain dia, siapa (Jenderal) yang waktu itu juga melakukan penculikan seperti itu, siapa yang bertanggung atas 13 aktivis yang masih hilang sampai hari ini, penanggung jawab kerusuhan Mei 1998 yang sebenarnya, dan seterusnya. Tidak mungkin Prabowo tidak tahu sama sekali mengenai misteri-misteri di balik salah satu tragedi terburuk bangsa ini tersebut. Seandainya ketika itu, dengan aksi-aksi penculikannya itu Prabowo cs sukses mempertahankan kekuasaan rezim Presiden Soeharto, yang juga mertuanya ketika itu, terus diwarisi sampai sekarang, apakah
Prabowo akan menjadi Prabowo seperti sekarang? Ketika itu semua pelaku (aktivis) pro-reformasi menentang rezim diktator Soeharto adalah sama dengan musuh Prabowo Subianto, yang harus dia tumpas. Tetapi, sekarang, setelah perjuangan reformasi yang menang sampai terciptanya alam demokrasi seperti sekarang ini,
Prabowo jugalah yang ikut menikmatinya, sampai pada taraf pencalonan dirinya sebagai presiden mendatang. Yang terjadi adalah kekuasaan Soeharto gagal dipertahankan. Rezim yang berkuasa sekitar 32 tahun itu runtuh pada 21 Mei 1998. Setelah Habibie menjadi Presiden mengganti Soeharto, sempat terjadi juga ketegangan antara Habibie dengan Prabowo. Prabowo dicurigai hendak melakukan kudeta dengan mengerahkan “pasukan tak dikenal” masuk Jakarta menuju Istana Negara. Atas informasi dari Panglima ABRI Wiranto, Habibie pun mengambil langkah tegas dengan memerintahkan Panglima ABRI memecat Prabowo sebagai Pangkostrad hari itu juga, “sebelum matahari terbenam.” Prabowo yang tidak terima dirinya dipecat, mendatangi kediaman Presiden Habibie, terjadilah perdebatan hebat di antara mereka. Habibie tetap pada pendiriannya. Di ujung kejatuhannya, sang mertua (Soeharto) juga kehilangan kepercayaannya terhadap Prabowo. Soeharto lebih percaya Wiranto ketimbang anak mantunya sendiri.
Diikuti dengan terjadinya perceraian antara Prabowo dengan Siti Hediati Hariyadi (Mbak Titiek), anak keempat Soeharto. Mempertanyakan Perintah Atasan Protes Prabowo kepada Presiden Habibie atas pemecatannya itu saja merupakan suatu hal yang tidak lazim.
Biasanya apa pun alasannya seorang perwira TNI (ketika itu masih bernama ABRI) akan menerima perintah atasannya terhadap dirinya, apalagi dari seorang Presiden sebagai Panglima Tertinggi ABRI. Mempertanyakan perintah atasan terhadap dirinya, bukan baru pertama kali ini dilakukan Prabowo. Seperti yang ditulis oleh Letjen TNI (Purnawirawan) Sintong Panjaitan, dalam bukunya Perjalanan Seorang
Prajurit Parakomando (Penerbit Buku Kompas, 2009), pada Maret 1983, Prabowo yang waktu itu masih berusia 32 tahun dengan pangkat Kapten, menjabat sebagai Wakil Komandan Kopassandha, diam-diam mempersiapkan pasukannya dari Den 81 dengan maksud hendak menculik para Jenderal, yakni, Letnan Jenderal Benny Moerdani dan kawan-kawannya (antara lain Moerdiono, Sudharmono, dan Ginanjar Kartasasmita), dengan tuduhan hendak melakukan kudeta terhadap Presiden Soeharto. Jika itu sampai terjadi, kejadiannya mirip-mirip dengan penculikan para Jenderal di tahun 1965. Rencana penculikan itu akhirnya gagal dijalankan karena tak ada satupun dukungan yang diperoleh Prabowo dari petinggi ABRI di atasnya.
Mayor Luhut Pandjaitan yang menjadi atasan Prabowo menolak mengikuti saran Prabowo untuk menggerakkan pasukan. Jenderal M. Jusuf yang ketika itu adalah Menhankam/Panglima ABRI juga mengabaikan kecurigaan Prabowo.
Luhut sendiri menganggap bahwa Prabowo ketika itu sedang stress berat. Karena tindakannya itu, kemudian atas perintah KSAD Rudini, Prabowo dipindahtugaskan ke Kostrad, dengan jabatan Wakil Komandan Batalyon. Karena pemutasian itu, Prabowo mempersoalkannya kepada pimpinannya ketika itu, yaitu, Brigjen Sintong Panjaitan. Padahal, mempertanyakan keputusan pimpinan adalah hal tabu bagi kalangan militer dan bisa berakibat pemecatan, tetapi Prabowo melakukannya. Protes Prabowo pun kemudian disampaikan Sintong Panjaitan kepada beberapa petinggi ABRI, tetapi saran mereka agar Sintong melupakannya. Maklum anak mantu Soeharto, penguasa yang paling ditakuti ketika itu.
Ingkar Jokowi vs Ingkar
Prabowo Apa yang dilakukan Prabowo itu jelas sudah merupakan suatu pengingkaran terhadap sumpah prajurit (ABRI/TNI). Jika dibandingkan dengan pengingkaran
Jokowi terhadap komitmennya sebagai Gubernur DKI Jakarta, -- hal mana untuk tugas gubernur otomatis diganti oleh wakilnya yang naik menjadi gubernur (jika Jokowi terpilih sebagai presiden), pengingkaran mana yang jauh lebih berat? Pengingkaran Jokowi atau pengingkaran Prabowo? Yang berusaha diciptakan saat ini adalah imej seolah-olah pengingkaran Jokowi terhadap komitmennya itu sebagai Gubernur DKI Jakarta lauh lebih serius daripada pengingkaran Prabowo Subianto terhadap sumpah prajuritnya itu. Karena itu Jokowi harus terus dipermasalahkan, sedangkan rekam jejak kelam
Prabowo boleh diabaikan, dilupakan?
Masih sehatkah bangsa ini? ***
Mereka menculik 9 orang aktivis. Selama penculikan para aktivis itu disiksa dengan cara-cara di luar batas peri kemanusiaan untuk mengetahui misi mereka dan siapa saja teman-temannya, serta agar menjadi ketakutan, dan tidak berani lagi melawan Soeharto Mengecam Soeharto identik dengan tindakan subversif. Salah satunya korban penculikan itu adalah Faisol Riza. Pengalamannya semasa berada dalam sekapan para penculik dari Tim Mawar itu pernah disampaikan lewat kicauan Twitter-nya dan dimuat di Merdeka.com (http://www.merdeka.com/peristiwa/cerita-korban-penculikan-aktivis-disetrum-kopassus.html)
Unjuk rasa di Bundaran HI (2011): foto 13 aktivis pro demokrasi , yang diculik dan masih hilang sampai sekarang (Kompas.com) Prabowo mengatakan dia hanya bertanggung jawab terhadap penculikan yang dilakukan oleh Tim Mawar. Para korban penculikannya itu, katanya, semua kembali dalam keadaan selamat, bahkan beberapa di antaranya menjadi pengurus teras Partai Gerindra. Sedangkan terhadap penculikan aktivis lain, termasuk mereka yang belum kembali itu, Prabowo mengaku tidak mengetahuinya. Prabowo juga mengaku bahwa aksi penculikan tersebut berdasarkan perintah dari atasannya. Siapa saja mereka yang turut melakukan penculikan-penculikan itu, siapakah otak utamanya, apakah Panglima ABRI, atau Presiden Soeharto, dan lain-lain? Sampai hari ini rahasianya masih disimpan Prabowo. Layakkah dengan status seperti ini Prabowo mau menjadi presiden? Pengakuan Prabowo bahwa semua aktivis yang diculik timnya itu kembali dengan selamat, bertentangan dengan keterangan yang disampaikan oleh Pius Lustrilanang, salah satu korban penculikan Tim Mawar, sebagaimana dimuat di Tempo.co . Pius bersaksi, ketika berada di dalam penyekapan para penculiknya, dia sempat berkomunikasi dengan tiga aktivis lainnya, yaitu, Herman Hendrawan, Yani Afri, dan Soni. Tiga orang ini termasuk mereka yang sampai hari ini belum kembali. Ketika dibebaskan, Pius mengecek tiga rekannya ini yang katanya dibebaskan terlebih dulu daripadanya, tetapi ternyata mereka tidak kembali. Pius menulis, "Saya lalu teriingat pada perkataan salah seorang penculik: 'Ada yang keluar (dalam keadaan) hidup dan ada yang keluar (dalam keadaan) mati dari tempat ini'. Pada April 1999 anggota Kopassus yang bergabung dalam Tim Mawar itu telah menjalani peradilan militer dan divonis bersalah. Sedangkan, khusus untuk Prabowo, berdasarkan rekomendasi dari Dewan Kehormatan Perwira yang khusus dibentuk untuk kasus tersebut, Panglima ABRI ketika itu, Prabowo dinilai bersalah, tetapi hanya menjatuhkan sanksi politik kepadanya, yaitu pemecatan (pensiun dini) dari kedinasannya di ABRI (sekarang TNI). Prabowo pun pensiun dengan pangkat terakhir Letnan Jenderal.
Doa bersama di Monumen 12 Mei 1998 di Universitas Trisakti(Antara/Dhoni SetiawanBerita utama Harian Kompas
(Selasa, 22/08/1998) ttg pemecatan Prabowo dari ABRI karena kasus penculikan (sumber: @Fadjroel Rahman) Jadi, sampai hari ini Prabowo tidak pernah menjalani peradilan militer, dia hanya dijatuhkan sanksi secara politik. Sejak saat itu juga Amerika Serikat tidak mengizinkan Prabowo masuk ke negara mereka dengan alasan Prabowo telah melakukan pelanggaran HAM berat. Pada September 2009, Pansus Orang Hilang pernah merekomendasikan pemerintah dalam hal ini Kejaksaan Agung untuk membentuk Pengadilan HAM Ad-Hoc untuk mengadili para aktor penculikan aktivis di tahun 1997-1998 itu, tetapi rekomendasi itu tidak pernah dilaksanakan. Selain itu, Prabowo juga banyak dituding bertanggung jawab atas tragedi kerusuhan Mei 1998, yang membakar Jakarta selama beberapa hari, dengan korban jiwa yang mencapai seribu lebih orang itu, termasuk korban-korban pemerkosaan dari etnis Tionghoa. (Rekomendasi: Baca buku Kerusuhan Mei 1998, Fakta, Data & Analisa, -- Mengungkap Kerusuhan Mei 1998 Sebagai Kejahatan Terhadap Kemanusiaan, Penerbit Solidaritas Nusa Bangsa dan Asosiasi Penasehat Hukum dan HAM Indonesia, Edisi Revisi: Mei 2007) Di dalam bukunya yang berjudul
Menyibak Tabir Orde Baru, Memoar Politik Indonesia 1965-1998 (Penerbit Buku Kompas, 2014), Jusuf Wanandi, salah seorang pendiri CSIS ada sedikit menyinggung masa-masa menjelang kerusuhan Mei 1998 itu. Menurut dia, yang melakukan penyerangan terhadap kantor pusat PDI pada 27 Juli 1996 adalah massa preman yang dikerahkan oleh beberapa jenderal TNI. Dua tahun kemudian (1998) hal itu diulangi lagi. Sebelum kerusuhan Mei 1998 meledak, diketahui Letjen Prabowo Subianto mengerahkan kelompok ektremis untuk menghadapi mahasiswa.
“Ketika itu sebagai Komandan Kopassus, ia mengadakan acara buka puasa di rumahnya yang dihadiri oleh hampir 3.000 orang yang terdiri dari kelompok garis keras kanan,” tulis Jusuf Wanandi di bukunya itu (halaman 376). Pasukan Paramiliter di Timor Timur (1995) Dalam bukunya yang berjudul Timor-Timur,The Untold Story (Penerbit Buku Kompas, 2012), Letjen (Purn.) Kiky Syahnakri, Komandan Korem Timor Timur pada 1995, mengakui tentang adanya pasukan paramiliter ilegal yang melakukan teror dan pembunuhan di Timor Timur ketika itu. Pasukan paramiliter di luar struktur ABRI (ilegal) itu dikabarkan dibentuk oleh Prabowo Subianto yang ketika itu adalah Wakil Komandan Kopassus. Pasukan sipil ilegal berpakaian ala ninja itu diterjunkan di Timor Timur yang ketika itu sedang bergejolak untuk melancarkan teror ke warga sipil dalam rangka melawan kelompok gerilyawan Xanana Gusmao. Pembentukan kelompok paramiliter itu dibuat dengan maksud agar aksi-aksi teror ke warga sipil itu tidak dapat diminta pertanggungjawabannya ke ABRI.
Prabowo sendiri mengakui bahwa ia memfasilitasi pembentukan pasukan yang terdiri dari kalangan pendukung pro-integrasi, tetapi ia membantah bahwa pasukan paramiliter itu membunuhi masyarakat sipil. Jadi, kelihatannya melakukan aksi-aksi teror di luar struktur resmi ABRI sudah merupakan ciri khas Prabowo sejak dulu. Apakah "hobbi" seperti ini tidak akan kambuh lagi, jika Prabowo merasa terdesak ketika dia mempunyai kekuatan untuk melakukannya lagi? Seandainya Dulu Gerakan Pro-Reformasi
Berhasil Ditumpas Prabowo memang telah membantah bahwa dirinya sebagai satu-satunya yang bertanggung jawab atau otak dari kerusuhan itu, tetapi, seharusnya, terlepas dari terbukti bersalah atau tidaknya Prabowo, sebelum mengajukan diri sebagai presiden, dia terlebih dulu membuka semua misteri tersebut sebatas yang diua ketahui untuk kemudian bisa ditindaklanjuti investigasinya oleh yang berwenang. Termasuk siapa sebenarnya yang penanggung jawab utama (pemberi perintah) penculikan-penculikan itu, apakah benar dia hanya bertanggung jawab atas 9 aktivis yang diculik Tim Mawar itu. Selain dia, siapa (Jenderal) yang waktu itu juga melakukan penculikan seperti itu, siapa yang bertanggung atas 13 aktivis yang masih hilang sampai hari ini, penanggung jawab kerusuhan Mei 1998 yang sebenarnya, dan seterusnya. Tidak mungkin Prabowo tidak tahu sama sekali mengenai misteri-misteri di balik salah satu tragedi terburuk bangsa ini tersebut. Seandainya ketika itu, dengan aksi-aksi penculikannya itu Prabowo cs sukses mempertahankan kekuasaan rezim Presiden Soeharto, yang juga mertuanya ketika itu, terus diwarisi sampai sekarang, apakah
Prabowo akan menjadi Prabowo seperti sekarang? Ketika itu semua pelaku (aktivis) pro-reformasi menentang rezim diktator Soeharto adalah sama dengan musuh Prabowo Subianto, yang harus dia tumpas. Tetapi, sekarang, setelah perjuangan reformasi yang menang sampai terciptanya alam demokrasi seperti sekarang ini,
Prabowo jugalah yang ikut menikmatinya, sampai pada taraf pencalonan dirinya sebagai presiden mendatang. Yang terjadi adalah kekuasaan Soeharto gagal dipertahankan. Rezim yang berkuasa sekitar 32 tahun itu runtuh pada 21 Mei 1998. Setelah Habibie menjadi Presiden mengganti Soeharto, sempat terjadi juga ketegangan antara Habibie dengan Prabowo. Prabowo dicurigai hendak melakukan kudeta dengan mengerahkan “pasukan tak dikenal” masuk Jakarta menuju Istana Negara. Atas informasi dari Panglima ABRI Wiranto, Habibie pun mengambil langkah tegas dengan memerintahkan Panglima ABRI memecat Prabowo sebagai Pangkostrad hari itu juga, “sebelum matahari terbenam.” Prabowo yang tidak terima dirinya dipecat, mendatangi kediaman Presiden Habibie, terjadilah perdebatan hebat di antara mereka. Habibie tetap pada pendiriannya. Di ujung kejatuhannya, sang mertua (Soeharto) juga kehilangan kepercayaannya terhadap Prabowo. Soeharto lebih percaya Wiranto ketimbang anak mantunya sendiri.
Diikuti dengan terjadinya perceraian antara Prabowo dengan Siti Hediati Hariyadi (Mbak Titiek), anak keempat Soeharto. Mempertanyakan Perintah Atasan Protes Prabowo kepada Presiden Habibie atas pemecatannya itu saja merupakan suatu hal yang tidak lazim.
Biasanya apa pun alasannya seorang perwira TNI (ketika itu masih bernama ABRI) akan menerima perintah atasannya terhadap dirinya, apalagi dari seorang Presiden sebagai Panglima Tertinggi ABRI. Mempertanyakan perintah atasan terhadap dirinya, bukan baru pertama kali ini dilakukan Prabowo. Seperti yang ditulis oleh Letjen TNI (Purnawirawan) Sintong Panjaitan, dalam bukunya Perjalanan Seorang
Prajurit Parakomando (Penerbit Buku Kompas, 2009), pada Maret 1983, Prabowo yang waktu itu masih berusia 32 tahun dengan pangkat Kapten, menjabat sebagai Wakil Komandan Kopassandha, diam-diam mempersiapkan pasukannya dari Den 81 dengan maksud hendak menculik para Jenderal, yakni, Letnan Jenderal Benny Moerdani dan kawan-kawannya (antara lain Moerdiono, Sudharmono, dan Ginanjar Kartasasmita), dengan tuduhan hendak melakukan kudeta terhadap Presiden Soeharto. Jika itu sampai terjadi, kejadiannya mirip-mirip dengan penculikan para Jenderal di tahun 1965. Rencana penculikan itu akhirnya gagal dijalankan karena tak ada satupun dukungan yang diperoleh Prabowo dari petinggi ABRI di atasnya.
Mayor Luhut Pandjaitan yang menjadi atasan Prabowo menolak mengikuti saran Prabowo untuk menggerakkan pasukan. Jenderal M. Jusuf yang ketika itu adalah Menhankam/Panglima ABRI juga mengabaikan kecurigaan Prabowo.
Luhut sendiri menganggap bahwa Prabowo ketika itu sedang stress berat. Karena tindakannya itu, kemudian atas perintah KSAD Rudini, Prabowo dipindahtugaskan ke Kostrad, dengan jabatan Wakil Komandan Batalyon. Karena pemutasian itu, Prabowo mempersoalkannya kepada pimpinannya ketika itu, yaitu, Brigjen Sintong Panjaitan. Padahal, mempertanyakan keputusan pimpinan adalah hal tabu bagi kalangan militer dan bisa berakibat pemecatan, tetapi Prabowo melakukannya. Protes Prabowo pun kemudian disampaikan Sintong Panjaitan kepada beberapa petinggi ABRI, tetapi saran mereka agar Sintong melupakannya. Maklum anak mantu Soeharto, penguasa yang paling ditakuti ketika itu.
Ingkar Jokowi vs Ingkar
Prabowo Apa yang dilakukan Prabowo itu jelas sudah merupakan suatu pengingkaran terhadap sumpah prajurit (ABRI/TNI). Jika dibandingkan dengan pengingkaran
Jokowi terhadap komitmennya sebagai Gubernur DKI Jakarta, -- hal mana untuk tugas gubernur otomatis diganti oleh wakilnya yang naik menjadi gubernur (jika Jokowi terpilih sebagai presiden), pengingkaran mana yang jauh lebih berat? Pengingkaran Jokowi atau pengingkaran Prabowo? Yang berusaha diciptakan saat ini adalah imej seolah-olah pengingkaran Jokowi terhadap komitmennya itu sebagai Gubernur DKI Jakarta lauh lebih serius daripada pengingkaran Prabowo Subianto terhadap sumpah prajuritnya itu. Karena itu Jokowi harus terus dipermasalahkan, sedangkan rekam jejak kelam
Prabowo boleh diabaikan, dilupakan?
Masih sehatkah bangsa ini? ***
0
4.9K
Kutip
22
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan