Sedikit yang paham bahwa kotoran ternak bahkan kotoran manusia sebenarnya bisa menjadi energi, dengan sedikit sentuhan teknologi.

Adalah Miftahul Hinan (45), warga Desa Watugaluh, Kecamatan Diwek, Jombang yang juga pengelola Panti Asuhan (PA) Al Hasan, mempraktikkan dan sekaligus pengguna energi berbahan baku kotoran ternak.

Laki-laki alumnus Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Malang ini sudah sejak sekitar lima tahun terakhir ini memanfaatkan kotoran ternak, utamanya kotoran sapi sebagai energi pengganti minyak tanah (mitan) dan elpiji. Ternak itu sendiri merupakan bagian dari bisnis yang digelutinya.

Konkretnya, dengan teknologi tergolong sederhana, Hinan mampu mengubah kotoran sapi menjadi biogas, sebagai bahan bakar pengganti elpiji, guna menyalakan kompor untuk memasak kebutuhan makan sehari-hari bagi sekitar 60 orang penghuni panti asuhan yang dikelolanya.

Dengan cara demikian, Miftahul Hinan tak lagi pusing memikirkan pengeluaran untuk pembelian elpiji, yang setiap bulan menghabiskan dana cukup besar, sekitar Rp 3 juta.

Ditemui di kediamannya, Jumat (5/4/2013), laki-laki beristrikan Musafikhah, dan memiliki tiga anak ini mengungkapkan gagasan membuat biogas ini muncul sekitar 2007.

Ketika itu mitan mulai langka, dan harga merambat naik. Di sisi lain, sebagai peternak, dia memiliki 25 ekor sapi, yang semua itu tentu menghasilkan faeces (kotoran) berlimpah.

Hinan mempraktikkan pembuatan biogas yang ilmunya diperoleh dari sahabatnya, Dr Junaidi, dari Boyolali, Jawa tengah. Proses pembuatan biogas cukup sederhana.

Sembari membersihkan kandang, kotoran sapi disemprot air, dialirkan ke septic tank. Ukuran septic tank mirip sumur itu, sedalam lima meter dan diameter lima meter, dan mampu menampung 60.000 liter faeces (kotoran).

Septic tank itu sendiri didesain sedemikian rupa, sehingga meskipun setiap hari digelontor kotoran sapi, selalu terdapat ruang kedap udara antara permukaan faeces dengan dinding atas septic tank.

Caranya, setiap kali timbunan faeces menyentuh batas tertentu di dalam septic tank, sebagian faeces otomatis mengalir ke septic tank kedua, yang kapasitasnya lebih kecil.

Septic tank kedua ini memang berfungsi menampung sisa kotoran di septic tank utama. Selanjutnya faeces sisa itu menjadi ampas dan dialirkan ke penampungan tersendiri.

Dari ruang kedap udara itulah terkumpul biogas yang muncul dari proses fermentasi faeces. Unsur utama dalam biogas itu gas metana (CH4) yang mudah terbakar 55-75 persen, karbon dioksida (CO2) 25-45 persen, Nitrogen (N2) 0,3 persen, hidrogen (H2) 1-5 persen, hidrogen sulfida (H2S) 0-3 persen, dan Oksigen (O2) 0,1-0,5 persen.

Pada septic tank bagian atas dipasang pipa besi yang disalurkan melalui instalasi pipa paralon ke dapur dan rumah, untuk kemudian digunakan sebagai bahan bakar kompor pengganti elpiji. Selain itu, juga sebagai bahan bakar bagi lampu tekan (petromaks) di dapur.

Juga digunakan mengaktifkan genset khusus berbahan bakar biogas, guna menghasilkan energi listrik, yang dipakai jika kebetulan listrik mati. “Untuk sepenuhnya mengganti energi listrik, saya kira belum mampu. Sebab, maksimal hanya berdaya 500 watt,” kata Hinan.

Guna membangun septic tank dan peralatan, termasuk dua kompor dan dua genset, Miftahul Hinan menghabiskan dana sekitar Rp 50 juta. Kendati untuk biaya itu harus menggerogoti modal untuk usaha peternakan lelenya, tapi dia mengaku bahagia.

“Setidaknya sekarang ini saya tidak dipusingkan keharusan membeli elpiji. Saya perkirakan dalam waktu 1-2 tahun, penghematan sekitar Rp 3 juta setiap bulan bisa menutup biaya pembuatan biogas. Ya semacam BEP (break even point/titik impas),” tutur Hinan.


sumber = http://kisahmandiri.blogspot.com/201...k-menjadi.html