Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

fat279Avatar border
TS
fat279
Prabowo, Titiek, dan Keluarga






Bulan Mei tahun seribu sembilan ratus delapan puluh tiga, Prabowo Subianto, anak ketiga Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo, menikah dengan Siti Hediyati, putri Presiden Republik Indonesia, Soeharto. Bertindak sebagai saksi Jenderal M. Jusuf.

Peristiwa ini berlangsung setelah keduanya hampir dua tahun berpacaran. Banyak cerita beredar mengenai awal perkenalan dua muda-mudi ini. Ada sumber yang mengatakan bahwa perjumpaan diatur oleh Wismoyo (Arismunandar—ed.), yang waktu itu memang menjadi komandannya Prabowo. Tapi, sumber yang berbeda menyebut nama lain, bukan Wismoyo.

Orang memang bisa membuat cerita macam-macam, demikian pula dapat menilai rupa-rupa apakah pernikahan dengan anak presiden merupakan berkah atau justru membawa petaka. Sumitro mungkin tidak seekstrim itu, kecuali menyebutnya sebagai peristiwa sejarah yang berkebetulan (historical accident). Yang jelas, kelak Letjen Prabowo, harus mengakhiri kariernya di kemiliteran secara tragis dan niscaya menyimpan trauma akibat “dikhianati”—atau dalam bahasa Prabowo: ditikam dari belakang—oleh keluarga istana sendiri.

Pertunangan dengan Siti Hediyati (Titiek Soeharto) bukan­lah yang pertama buat Prabowo. Ia sebelumnya sempat membina hubungan cukup serius dengan seorang gadis Yogya, namun putus di jalan lantaran Prabowo sebagai tentara terlalu sibuk tugas ke lapangan.

Sebelum dan sesudah itu, Prabowo memiliki beberapa teman wanita yang lain, tapi Sumitro cuma memperhatikannya secara sambil lalu.

Sampai suatu waktu Prabowo meminta izin kepada Sumitro bahwa ia hendak membawa seorang teman wanita. Rupanya teman wanita yang satu ini langsung menarik perhatian sang ayah. Dalam hati Sumitro, bertanya-tanya, “Siapa wanita ini? She looks familiar.” Prabowo cuma menjelaskan bahwa pacarnya itu termasuk salah satu murid Sumitro. [Suatu hari kelak, Sumitro mengetahui pula bahwa Titiek pernah harus mengulang mata kuliah yang diajarkan Sumitro, lantaran tidak lulus! Sumitro memang tak mengenal satu per satu mahasiswanya sebab kuliah-kuliah yang dibawakan Sumitro senantiasa dipenuhi mahasiswa, sehingga ia tak mengetahui bahwa salah satu pesertanya ialah anak presiden. Diketahui pula bahwa Titiek tak pernah berani duduk di depan, sebaliknya lebih senang di bangku belakang].

Sumitro baru belakangan mengetahui bahwa gadis tadi anak Cendana. Ia juga belum tahu persis apakah Prabowo serius entah tidak menjalin hubungan tersebut. Mengingat kali ini pacar Prabowo adalah anak Cendana, maka pikir Sumitro, “If Prabowo is not serius, he’ll be in trouble.” Tak terbayang­kan oleh Sumitro kalau Prabowo sampai mempermainkan anak Presiden. Dan, hal ini disampaikannya kepada putranya tersebut, “Kalau kali ini kamu tidak serius, payah deh kamu.”

Diperoleh lagi kabar bahwa Prabowo sudah membawa seorang teman wanitanya berkunjung ke kediaman Ibunda Sumitro di kawasan Matraman, Jakarta Timur. Ini berarti Prabowo serius, sebab yang paling disegani oleh anak-anak Sumitro adalah neneknya. Ibunda Sumitro mengemukakan bahwa ia mempunyai kesan yang baik terhadap teman wanita Prabowo tersebut. Pendek kata, sikapnya tampak baik, lemah-lembut dan sopan. Nenek Prabowo belum mengetahui siapa Titiek sebenarnya, hanya mengira ia anak Yogya yang kuliah di Jakarta dan mondok di kawasan sekitar Menteng. Prabowo agaknya masih menyembunyikan identitas Titiek.

Dalam kunjungan kedua kali ke Matraman, anak kemenakan Sumitro justru mengenalinya dan ia memberitahu kepada Ibunda Sumitro bahwa teman Prabowo itu putri Presiden. Kontan saja nenek Prabowo terperanjat! Semenjak itu sikapnya justru agak berubah. Bukannya tak setuju, melainkan ia sangat anti feodal. Dia tahu Ibu Tien berasal dari Mangkunegara, alhasil sangat feodal. Ini tentu sangat berbeda dengan latar belakang budaya Ibunda Sumitro yang berasal dari Jawa Timur. (Ibunda Sumitro pernah meminta suaminya, Margono Djojohadikusumo, agar jangan menggunakan gelar kebangsawanan KRT, seraya menolak tinggal di Solo).

Namun, baik Sumitro maupun Ibu Sumitro, sesungguhnya cukup tertarik dengan kepribadian Titiek yang dinilai sangat rendah hati dan sopan. Jadinya, muncullah kebimbangan!



Pada suatu waktu di sela upacara yang berlangsung di Istana Merdeka, Ibu Tien mendekati Sumitro, setengah berbisik ia bertanya, “Eh, Pak Mitro, bagaimana?”

“Baik-baik saja, Bu,” jawab Sumitro, tak mengira bahwa bukan itu sesungguhnya yang dimaksud Ibu Tien.

“Bagaimana anak-anak kita?” ulang Bu Tien lebih jelas.

Baru Sumitro mengerti arah pertanyaan Ibu Tien, dan Sumitro dengan berlagak pilon menjawab, “Ya, bagaimana Bu, kita serahkan saja pada anak-anak kita.”

“Ya, tapi kita diam-diam saja, jangan diumumkan dahulu,” tambah Ibu Tien lagi.

Dalam adat Jawa, sebetulnya Ibu Tien tidak patut bertanya demikian, mengingat hubungan Prabowo-Titiek belum pasti benar. Tapi, Sumitro senang juga, berarti Ibu Tien dalam hal ini sudah tidak terlalu kaku dalam memegang adat Jawa.

Tak seberapa lama setelahnya datang lagi Tjoa Hok Sui—orang kepercayaan Probosutedjo dalam mengurusi impor cengkeh—dan berkata kepada Sumitro mengenai hal yang sama, bahkan mendorong Sumitro agar meresmikan segera hubungan Prabowo-Titiek.

Sumitro masih bingung harus bagaimana, lantas bertanya kepada Prabowo mengenai keseriusannya. Prabowo sendiri belum mengerti adat Jawa, yang dinilainya irasional, dan menganggap aneh banyak orang yang hendak ikut campur dalam hubungannya dia dengan Titiek. Ia menjawab, “Ya, nanti saya lamar.” Prabowo terkejut saat diberitahu bahwa ia tidak boleh melamar sendiri, melainkan harus pihak keluarga yang datang.

Melalui emisario (utusan khusus)—yang sebenarnya berfungsi semata-mata untuk mencegah kehilangan muka—ada pemberitahuan bahwa keluarga Sumitro Djojohadikusumo sudah dapat datang melamar ke keluarga Soeharto. Sebelumnya Sumitro telah memutuskan bahwa ia akan datang melamar tanpa menggunakan bahasa Jawa priyayi (kromo inggil), melainkan dengan bahasa Indonesia. Pikirnya kala itu, “Isteri saya orang Minahasa, bukan Jawa, jadi nggak mengerti bahasa Jawa. Saya ingin siapa pun, termasuk besan saya, harus menghormati isteri saya. Kalau nggak mau, ya, nggak apa-apa. Kalau mereka menganggap ini kurang sopan, ya, that’s too bad.”

Dalam jawaban atas lamaran yang disampaikan Sumitro, maka Soeharto menjawab, “Pak Mitro, tentu kita betul-betul merasa bahagia, tapi saya harus bicara juga sama kedua anak ini terlebih dahulu untuk kasih nasehat. Bagaimanapun juga, pasti masyarakat luas akan menyoroti ini, mengingat saya sebagai kepala negara dan Pak Mitro sebagai cendekiawan terkemuka.”

Sumitro memahami “kecemasan” Soeharto mengingat dua anak ini: yang satu seorang perwira tapi tak mengerti adat Jawa, dan yang wanita masih suka disco.

Singkat cerita keluarga Soeharto menerima lamaran keluarga Sumitro dengan baik dan dengan penuh sikap hormat. Terlebih-lebih Ibu Tien terlihat amat bahagia. Mungkin sudah lupa olehnya bagaimana “luka-luka” tempo hari ditolak Sumitro ihwal impor cengkeh.



Setelah menjadi besan, hubungan keluarga Sumitro-Soeharto dilukiskan berjalan secara normal, dalam artian tak dapat dikatakan jauh, tapi juga tak bisa dibilang mesra. Beberapa kali bahkan diwarnai perbedaan pendapat.

Agak sulitnya terjalin hubungan yang akrab, menurut analisis Sumitro, bersumber dari perbedaan kultur di antara kedua keluarga. Soeharto dari Yogya dan isterinya berasal dari lingkungan keraton Mangkunegara. “Kombinasi” ini tentu saja membentuk sebuah keluarga yang sangat kental warna Jawanya: amat feodal. Sebaliknya, keluarga Sumitro sangat berbeda dalam tradisi yang terbuka, egaliter, sangat modern, basil pendidikan barat, dan dalam banyak hal justru “tak paham” dengan tradisi Jawa. Isteri Sumitro berasal dari Minahasa yang lama hidup di Eropa, sedangkan Sumitro sendiri dibesarkan keluarganya di daerah Banyumas yang memiliki tradisi “memberontak”. Sumitro menjelaskan bahwa silsilah keluarganya sebetulnya juga berasal dari Yogya, namun dari kelompok pemberontaknya, sehingga harus terusir ke Banyumas. Leluhurnya ialah Pangeran Diponegoro dan Pangeran Moerdoningrat.

Sumitro mengemukakan bahwa ia tidak mungkin dapat menempatkan diri dalam suasana keluarga yang sangat Jawa seperti di keluarga Soeharto. “I can’t do that, daripada saya harus munafik.” Sumitro menyadari bahwa pribadinya sangat berbeda, dengan kebiasaan untuk senantiasa bersikap terbuka, dalam mengutarakan sesuatu tak ada yang perlu ditutup-tutupi. Semuanya serba terus-terang.

Namun, keluarga Soeharto tetap menghormati adanya perbedaan kultur tersebut.

Dalam saat-saat berlebaran atau di hari ulang tahun Soeharto dan Bu Tien, keluarga Sumitro tetap diundang ke Cendana.

Sebagai akibat akumulasi dari berbagai persoalan, hubungan keluarga Sumitro-Soeharto mulai agak renggang semenjak sekitar tahun 1995. Sumitro sebagaimana diketahui tetap dengan sifatnya yang terbuka dan merdeka. Ia, umpamanya, masih merasa bebas berkunjung dan mengundang H.R. Dharsono, semata-mata didorong oleh perasaan tak bisa melupakan segala kebaikan Dharsono selama Sumitro berada di pembuangan, di London. Perasaan ini nyatanya tetap hidup, dan jauh lebih penting ketimbang “kewajiban” menyenangkan hati Soeharto, yang notabene merupakan musuh politik Dharsono. Kecuali itu, Sumitro juga tak pernah berhenti melancarkan kritik-kritiknya yang tajam terhadap jalannya pembangunan. Sumitro tak mengenal kamus off the record. Bila mengatakan sesuatu memang itulah maksudnya. Ia mengupas berbagai persoalan secara gamblang dan ungkapannya ditujukan pada persoalannya dan bukan kepada orang per orang atau pejabat-pejabatnya.

Salah satu kritik Sumitro yang membuat merah panas telinga Presiden ialah sinyalemennya mengenai kebocoran 30 persen dana pembangunan. Dari kasus ini, kian tebal kesan yang tertangkap oleh Sumitro bahwa Soeharto semakin memerintah bak seorang raja. Bila semula Soeharto masih mau memperhatikan kritik-kritik Sumitro, namun dalam sepuluh tahun terakhir sangat terasa bahwa Presiden enggan menggubrisnya lagi, ia terlihat lebih senang memperhatikan ucapan dan kemauan orang-orang semacam Anthony Salim atau Bob Hasan. Dalam tahun-tahun terakhir, advis dari Widjojo cs pun kabarnya sudah tak didengarkan lagi.

Sumitro sesungguhnya sangat menghormati Soeharto sebagai seseorang yang memiliki begitu banyak kecerdasan alamiah. Meskipun hanya mengenyam pendidikan formal terbatas, Soeharto mampu menguasai berbagai persoalan pelik, termasuk masalah ekonomi. “Sewaktu pembahasan dalam penyusunan rencana pembangunan lima tahun pertama bersama para menteri, Presiden lebih banyak mendengar dan mencatat. Namun, pada saat penyusunan rencana pembangunan lima tahun kedua, ia sudah menguasai masalah-masalah ekonomi yang serba kompleks, dan justru para menterinya yang banyak mencatat,” ungkap Sumitro.

Namun bekal kecerdasan alamiah yang luar biasa ditambah dengan kemampuan naluri yang tajam seakan tak ada artinya ketika di kemudian hari, di saat-saat terakhirnya, ia semakin bersikap keras kepala dan menutup telinganya dari saran orang lain, kecuali memperhatikan kepentingan anak-cucu dan suara segelintir cukong.

Sumitro, sekitar dua tahun menjelang kejatuhan Soeharto, sudah mengingatkan bahwa diperlukan kearifan dalam kepemimpinan Presiden Soeharto pada tahap sejarah yang begitu penting bagi Indonesia. “Ada berbagai masalah dalam pemerintahan yang tidak pernah saya dengar tatkala saya masih menjadi menteri. Banyak rakyat yang sudah kesal dengan berbagai rupa ketidakadilan. Rakyat kecil yang selama ini selalu mendapat tekanan dan intimidasi dari penguasa, saat ini sudah mulai menggunakan saluran-saluran di luar hukum untuk menuntut penguasa tersebut. Hal ini membuktikan adanya peningkatan keresahan di hampir seluruh wilayah Indonesia. “Saya percaya, Presiden adalah seorang pemimpin yang sangat cerdas dan rasional. Setiap saat ia memutuskan untuk bertindak, kita akan menyaksikan kesungguhan politik. Namun pertanyaannya ialah apakah orang-orang di sekelilingnya memiliki keberanian untuk secara sungguh-sungguh menyampaikan kepada Presiden mengenai keresahan-keresahan ataupun gangguan-gangguan yang terjadi tersebut,” ujarnya.[1]

Masa tiga tahun terakhir menjelang kejatuhan Soeharto dengan demikian merupakan saat yang kritis, yang ditandai dengan semakin sukarnya Soeharto menerima kritik. Bila Sumitro kelewat keras mengkritik, maka sang anak menantu akan datang kepada Sumitro sembari menyampaikan pesan Presiden.

“Ada apa, Tiek, ada pesan dari Bapak?” begitu biasanya Sumitro langsung menyambut.

“Ya, Bapak bilang, ‘Tiek, mertuamu sudah priyayi sepuh kok masih radikal saja!” ujar Siti Hediyati.

Sumitro tenang saja menerima pesan tersebut, dan justru ia balik berkata, “Ya, saya memang sudah terlalu tua untuk mengubah diri!”

Banyak sekali persoalan yang telah disampaikan Sumitro kepada Presiden, semata-mata untuk mengingatkan Presiden bahwa tengah terjadi sesuatu yang tidak beres dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yakni tepatnya sedang berlangsung suatu pengkhianatan terhadap cita-cita kerakyatan! Dari hari ke hari Soeharto semakin bertambah kurang senang mendengar tajamnya kritik-kritik yang dilontarkan sang besan, tapi ia tak pernah menunjukkan rasa marahnya terhadap Sumitro. Kata-kata Soeharto tetap halus, walaupun mungkin sedang marah. Ia adalah pribadi yang mampu mengendalikan emosinya dengan sangat baik.

Sumitro tak sungkan pula mengkritik Soeharto ihwal perilaku anak-anak Presiden. “Pak, yang saya dengar dari mana-mana, putra-putri Bapak menjadi masalah politik.” Mendengar kritik tersebut niscaya panas hati Soeharto, namun ketika hendak berpisah toh Soeharto berkata juga kepada Sumitro, “Ya, Pak Mitro, saya menyadari anak-anak sudah menjadi isu politik.” Bagi orang waras, ucapan Soeharto itu mungkin pertanda bahwa yang bersangkutan sudah menyadari kekhilafannya, dan mungkin bisa berharap akan terjadi perbaikan. Namun, betapa kagetnya Sumitro menyaksikan dua pekan setelah pertemuan itu, Soeharto memberikan lagi proyek- proyek lain kepada anak-anaknya!

Sumitro dalam saat-saat merenung mencoba berusaha memahami mengapa “cinta” Soeharto kepada anak-anaknya sedemikian besarnya. Sumitro akhirnya menemukan jawabannya. Bahwa itu mungkin pengaruh psikologis dari masa kecil Soeharto yang suram, sebagaimana pernah diceriterakan sendiri oleh Soeharto dalam acara lamaran Prabowo-Titiek. Saat itu Soeharto berkisah tentang masa kecilnya yang niscaya membekaskan luka yang dalam pada dirinya. Di usia tiga bulan di dalam kandungan, ibu kandungnya memutuskan untuk meninggalkan hal-hal duniawi: untuk menempuh jalan hidup spiritual, yakni suatu keputusan yang diambil oleh seorang wanita dalam situasi batin yang sangat rumit, lantaran mungkin dikecewakan oleh lelaki. Soeharto pun lantas dibesarkan oleh familinya di Godean. “Ketika ibu angkatnya itu meninggal, Soeharto berkisah bahwa ia datang ke Godean, seraya berkata, ‘Inilah satu-satunya Ibu yang saya kenal’,” ujar Sumitro.

Sewaktu berusia sepuluh tahun, Soeharto jadi rebutan antara orang tua angkatnya dengan ayah kandungnya yang berasal dari lingkungan keraton. Oleh sebab itulah, Soeharto dipindahkan ke Wonosari dan kemudian tinggal bersama keluarga Sudwikatmono. “Wajar kiranya bila Soeharto menganggap Sudwikatmono lebih dari saudara kandung, sehingga semua-semua dikasih ke Sudwikatmono,” tambah Sumitro.

Sumitro berusaha menangkap maksud di balik mengapa Soeharto bercerita tentang masa kecilnya yang suram itu di depan segenap anggota keluarga pada acara lamaran Prabowo-Titiek. Bagi Sumitro ini cukup ganjil mengingat sebelumnya Soeharto pernah memarahi Sugiyanto (eksponen Opsus) lantaran yang bersangkutan mengungkapkan silsilah keluarga Soeharto di suatu majalah, di mana disebutkan bahwa Soeharto memiliki darah bangsawan. “Itu artinya, kamu nggak boleh menegur terlalu keras kalau ia banyak memberi fasilitas kepada anak-anaknya. Ia tak ingin anak-anaknya menderita seperti dia. Apa pun anak-anaknya minta, akan diluluskan,” ujar Ibunda Sumitro coba menjelaskan kepada Sumitro. Ibunda Sumitro sangat memahami perangai Sumitro, kalau tidak suka maka langsung menegur, tanpa peduli.

Hubungan keluarga Sumitro dengan putra-putri Cendana kelak memang tak berjalan mulus. Bahkan Prabowo Subianto telah lama memiliki hubungan yang dingin dan boleh dibilang tegang dengan Bambang, Tutut, Mamiek, dan Tommy. “Semua anak Soeharto mendendam kepada Bowo. Cuma Sigit yang sedikit netral,” ungkap Sumitro. Hal ini sebenarnya wajar bila mengingat bahwa Prabowo mewarisi sikap ayahnya yang kerap bersikap terbuka, bila tidak senang/tidak setuju terhadap sesuatu hal maka langsung mengemukakan rasa ketidak-senangannya itu. Prabowo terutama amat prihatin menyangkut sepak terjang bisnis anak-anak Presiden. Ia pernah menentang pembelian tank dan pesawat lantaran mark-up nya mencapai empat kali lipat dari harga sebenarnya! Prabowo dengan ketus menyebut perbuatan itu sebagai penjarahan! Komentar-komentar tajam semacam ini pastilah menyakiti hati keluarga Soeharto. Tatkala Tutut sangat mendominasi penyusunan kabinet dan keanggotaan MPR/DPR 1997, Prabowo juga bereaksi keras, “Mengapa orang-orang terbaik disingkirkan?”

Setiap kali berselisih paham dengan Prabowo, anak-anak Soeharto biasanya segera mengadu kepada ayahanda tercinta: Soeharto.

Padahal, semula Sumitro mengenal putra-putri Soeharto sebagai anak-anak yang “manis”. Pada tahun-tahun awal di mana hubungan keluarga Sumitro-Soeharto masih lancar, Sumitro-lah yang diminta menjadi saksi perkimpoian Mamiek. “She is a very nice girl,” kata Sumitro mengenai kesannya terhadap Mamiek kala itu. Namun, rupanya waktu telah mengubah segalanya.



Tindak-tanduk Sumitro dan keluarga rupanya semakin tidak berkenan di hati keluarga Cendana. Puncaknya adalah peristiwa lengsernya Soeharto pada 21 Mei 1998. Cendana marah mengapa Prabowo membiarkan mahasiswa menduduki gedung MPR/DPR, mereka curiga bahwa itu disengaja oleh Prabowo sebagai bagian dari konspirasi untuk menjatuhkan sang raja. Tutut dan Mamiek marah-marah kepada Prabowo, “Kamu ke mana saja dan mengapa membiarkan mahasiswa menduduki gedung MPR/DPR?” Prabowo dengan sengit balik bertanya apakah ia harus menembaki para mahasiswa itu!



“Dua kali setelah ia lengser saya coba menelepon, namun ia menolak menjawab. Bagi saya, ah, sudahlah peduli amat! Saya memang punya kebiasaan, kalau ada orang yang turun dari jabatan atau dilanda kesulitan, saya undang makan. Dharsono atau Ibnu Sutowo pun pernah saya undang waktu dia dibebaskan dari kedudukan,” tutur Sumitro.

*) Dicuplik dari buku Aristides Katoppo, dkk., Sumitro Djojohadikusumo: Jejak Perlawanan Begawan Pejuang (Jakarta: Sinar Harapan, 2000). Judul asli bagian yang dipetik, “Besanan dan Hubungan dengan Soeharto”.

[1] Wawancara Sumitro Djojohadikusumo dengan wartawan The Busi­ness Times, Singapura, edisi 15-16 Februari 1997

COPAS
Diubah oleh fat279 24-05-2014 13:10
0
5.7K
5
Thread Digembok
Urutan
Terbaru
Terlama
Thread Digembok
Komunitas Pilihan