Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

Fallen.AngeloAvatar border
TS
Fallen.Angelo
Pengalaman Muslimah Indonesia Ngopi Di Vatikan
Quote:
Jika saya beruntung terbangun pagi-pagi sekali, saya pasti akan memilih pergi berjalan kaki ke salah satu kampus saya, Universitas Kepausan Thomas Aquinas. Kami menyebutnya Angelicum. Saya akan menghemat €1 dan berolahraga selama tiga puluh menit tanpa harus berlari atau melakukan senam berat. Saya orang Indonesia, walaupun sudah beberapa kali tinggal di luar negeri, kemampuan saya berjalan kaki cepat masih kalah jauh dibandingkan teman-teman seasrama saya. Jadi, kalau harus berjalan kaki, saya mempertimbangkan lamanya waktu yang mesti saya tempuh. Keuntungan ketiga, pada jam tujuh lewat lima belas menit, Kolosseum dan situs-situs purba di sekitarnya masih sangat sepi. Jadi saya bisa menikmati pemandangan kota tua Roma seakan-akan saya memilikinya seorang diri. Keuntungan lain, tentu saja adalah secangkir cappuccino yang bisa saya nikmati pelan-pelan, tanpa tergesa-gesa karena harus masuk kelas. Ya, secangkir cappuccino, seperti kata Padre Carlo–sebutsaja begitu—pada suatu pagi di kafe kampus Angelicum. “Mengapa Padre berjalan kaki dari pinggir Vatikan sampai ke kampus, mengapa tidak naik bus atau metro?” Kalau saya melakukan hal itu, pasti saya harus menghabiskan sekitar satu jam lebih, pikir saya. Jawabnya, “Demi secangkir cappuccino. Saya menghemat satu euro, dan harga secangkir cappuccino di sini kan hanya delapan puluh sen.” Padre Carlo adalah salah satu teman sekelas saya di salah satu mata kuliah. Di Angelicum, saya mengambil dua mata kuliah di Fakultas Teologi. Jadi empat kali seminggu setiap pagi saya harus ke Angelicum. Pengalaman menikmati kopi di kafe-kafe selama saya di Italia, baik di kampus maupun bukan, adalah pengalaman yang paling berharga dari segi bahasa. Orang Italia tidak banyak yang fasih berbahasa Inggris, sedangkan saya hanya sempat belajar Italia dasar. Padahal saya harus berbelanja dengan berbahasa Italia, sampai setiap kali ke mana pun awalnya saya selalu minta ditemani karena takut tidak bisa berkomunikasi. Nah, di kafelah pelajaran bahasa Italia saya pertama kali saya praktekkan. Saya mulai berani memesan, “Un cappuccino, per favore (Secangkir cappuccino, please)”. Atau jika mentraktir teman, disebut due bukan duo. Saya kemudian jadi lebih hafal harga-harga dalam bahasa Italia dan berbagai istilah sehari-hari lain secara otodidak. Kalau bertemu Padre Carlo di kafe pada pagi hari, dia pasti akan bercerita banyak hal (untunglah dia orang Amerika jadi bicara dalam bahasa Inggris), dan selalu terlihat sangat menikmati cappuccino-nya. Padahal, kata Donna Orsuto, kepala asrama tempat aku tinggal, dari seluruh kopi di kampus-kampus Kepausan, kopi di kafe Angelicum adalah yang terburuk. Padre Carlo dan Donna sama-sama orang Amerika, tetapi mungkin karena Padre Carlo seorang biarawan, dia tidak terlalu peduli dengan mana kopi terlezat dan mana yang tidak.
Spoiler for Foto Penulis, 2 Pastor, 1 Suster dan Passionisti dari Indonesia:
Kampus Gregoriana lebih besar daripada Kampus Angelicum, dari segi arsitektur bangunan juga lebih modern, sedangkan Kampus Angelicum lebih kelihatan seperti sebuah sekolah kuno. Saya sangat jarang minum kopi di kafe Gregoriana karena jadwal kuliah saya hanya dua kali seminggu. Kelasnya terletak di lantai tiga yang membutuhkan waktu lima menit sendiri ke kafe. Setelah selesai kuliah di Kampus Gregoriana saya harus berlari ke Kampus Angelicum yang terletak sekitar dua kilometer untuk melanjutkan kuliah. Di samping itu, kafenya lebih besar, mahasiswanya lebih banyak, jadi antrian lebih panjang. Bahkan, untuk mengatasi antrian yang panjang, pihak pengelola kafe mengeluarkan semacam kupon yang dijual sehingga jika sudah membeli kupon itu sebanyak sekian jumlahnya dia tidak perlu mengantri, cukup meletakkan kupon di meja kasir dan memesan jenis kopi yang diinginkan. Kafe di kampus Gregoriana mempunyai semacam meja panjang dengan bangku stool tinggi, yang biasa digunakan untuk para pembeli dengan cara minum kopi cepat orang Italia, serta menu makan siang yang sangat bervariasi. Hal itu sangat berbeda dengan kafe di Angelicum yang hanya menyajikan roti, kue, dan potongan pizza. Di salah satu sudut kafe terdapat sebuah pigura besar yang memajang mata uang dari berbagai negara. Selembar uang rupiah—saya tidak ingat nominalnya—juga ada di situ. Di antara persamaan dengan kafe di Angelicum adalah seluruh pembeli harus mengembalikan langsung cangkir kopi ke meja barista, serta dua jenis gula disediakan untuk bebas diambil. Harga secangkir cappuccino juga sama, yaitu delapan puluh sen. Seluruh teman saya di asrama mempunyai kebiasaan minum kopi mengikuti budaya orang Italia, walaupun mereka berasal dari berbagai negara, seperti AS, Jerman, Cheko, Bosnia, Serbia, Rumania, Mesir, Kanada, Georgia, Belarus, Meksiko, Hongkong, dan Israel. Mereka semua adalah mahasiswa dari beberapa Universitas Kepausan. Asrama kami berada di atas sebuah biara tua. Dapat dikatakan bahwa kopi dapat menyatukan kami. Kami biasa hang out bareng ke kafe-kafe aneh yang murah meriah untuk diskusi ringan maupun serius. Sering kami merasa duduk semeja dan ngopi bareng seakan-akan kami adalah anggota dewan PBB membahas krisis Timur Tengah, dan konflik antar agama. Donna Orsuto, kepala asrama kami, adalah warganegara Amerika keturunan Italia. Dia seorang kritikus kopi amatir, tetapi pendapatnya selalu disetujui oleh banyak kawan kami. Termasuk salah satu tamu asrama kami seorang pengusaha kafe dari AS yang menyewa salah satu kamar asrama kami untuk mencicipi kopi-kopi di Roma. Karena Donna sudah 16 tahun tinggal di Italia dan menjadi dosen di beberapa kampus Kepausan, dia sudah menjelajahi tak hanya berbagai kafe seperti para turis, juga kafe-kafe Kepausan. Menurutnya, disetujui oleh teman kami Hispanik-AS, dan yang berasal dari Cheko, kopi kafe kampus Kepausan terbaik itu di Kampus Laterano.
Spoiler for Penulis bersama seorang Perawan Berkaul (bukan biarawati) dari Amerika di kafe Angelicum.:
Kampus Laterano terletak tak jauh dari asrama kami, tetapi di arah berbeda dengan Gregoriana dan Angelicum. Letaknya persis di samping Gereja Laterano yang termasyhur. Saya pernah khusus mengunjungi Laterano hanya untuk mencoba cappuccinonya, dan apa yang diiklankan Donna dan teman-temannya memang bukan bualan. Harga secangkirnya hanya enampuluh sen, baristanya seorang pria muda Italia yang sangat ramah dan jika pelanggan sepi dia dengan senang hati akan membuat gambar apa pun yang kita mau di atas cappuccino yang kita pesan. Ketika saya datang, dia memuji saya cantik, dan membuat gambar hati di atas cappuccino pesanan saya. Kafe ini juga lebih luas dan besar daripada di Gregoriana dan Angelicum. Sambil minum, saya berpikir, pantas saja sahabat saya Pamela dan Jan, mahasiswa di Laterano, selalu mempromosikan kafe kampusnya. Siapa yang tidak suka dilayani oleh barista setampan dan sehangat itu? Apalaginya kopinya juga enak! Orang Italia minum kopi paling sedikit dua kali sehari, tetapi yang paling wajib adalah minum sesudah makan siang. Kopi hitam dalam secangkir cawan kecil. Namun, yang lucu, sesudah makan siang, mereka mempunyai kebiasaan tidur siang selama sejam. Toko-toko tutup pada jam makan siang dari jam duabelas sampai jam dua siang karena budaya nap ini. Namun, tentu saja kebiasaan ini tidak berlaku buat mahasiswa yang masih ada kelas pada siang hari. Kebiasaan ini hanya dilakukan jika para frater yang masih kuliah sudah pulang ke biara masing-masing. Di biara bawah kami dihuni oleh para biarawan, frater, dan pastor dari Kongregasi Passionisti. Kebetulan dua bruder yang bekerja merawat kebun dan urusan rumah tangga di biara tersebut adalah orang Indonesia. Saya—meskipun perempuan—sering diundang minum kopi dari mesin kopi gratis di salah satu ruang makan mereka. Kami biasa melepaskan kangen berbicara bahasa Indonesia. Hampir di semua biara, atau kantor-kantor kongregasi dan organisasi Katolik mempunyai mesin kopi gratis seperti ini. Ada juga yang berbayar, biasanya itu di kantor organisasi Katolik di ruang publiknya. Mesin kopinya mirip dengan mesin kopi yang ada di depan kafe Angelicum, tetapi tentu saja yang ini gratis. Para biarawan ini hidup sangat sederhana, waktu pesiar mereka juga tidak banyak, jadi mereka lebih jarang ke kafe di luar—selain di kampus—tidak seperti kami. Biasanya mereka lebih suka menghabiskan waktu pesiar makan di luar daripada ke kafe. Kalau biarawan dan frater dari Asia pasti akan pergi ke restoran Cina.
Spoiler for Penulis di Kafe Kampus Laterano bersama dua orang Pastor dari Kolumbia dan Italia.:
Seorang teman saya frater dari Vietnam adalah putra seorang pengusaha kopi di Vietnam. Dia mengeluhkan budaya minum kopi di Italia yang berbeda dengan budaya minum kopi di tempatnya. “Kami biasa minum kopi di kafe berjam-jam, di sini sama sekali jarang ada kafe yang bisa santai dan kongkow-kongkow begitu.” Dia juga membanggakan kopi dari negaranya. “Kopi dari negara kami terkenal di seluruh penjuru dunia,” katanya. Sahabatnya, frater dari Ruteng, NTT, tidak mau kalah membanggakan biji kopi terbaik berasal dari kampung halamannya. Saya dijanjikan akan dikirimi kopi setelah dia menunjukkan sedang memetik biji kopi di kebunnya. Saya kemudian jadi ingat, di asrama, sahabat Muslimah saya dari Mesir pernah menyuguhkan kopi Mesir, dengan bangga. Begitupun ketika saya ikut pesta makan Idul Adha di rumah sekelompok Turki, kami disuguhi kopi ala Turki dengan bangga pula. Ternyata, di negara pencinta kopi ini, saya bertemu dengan orang-orang yang selalu membanggakan kopi asalnya. Asrama kami kemudian juga kedatangan mahasiswa baru seorang Muslim dari Maroko, tetapi berkewarganegaraan Pantai Gading. Dia juga selalu membanggakan bahwa kopi sesungguhnya berasal dari negara asalnya, Pantai Gading. Maka begitu pula pembahasan kami orang Indonesia di biara sambil minum kopi murahan dari mesin kopi gratis, kami juga membanggakan macam-macam kopi Indonesia, sambil sesekali membahas tentang kampung halaman, politik Indonesia, konflik antar agama, dan berbagi pengetahuan tentang ajaran agama kami. Secangkir kopi benar-benar dapat menyatukan kami. Kadang-kadang, sekarang, jika saya minum kopi, terutama cappuccino favorit saya, sambil mengaduk-aduk cappuccino saya, saya teringat kampus-kampus kepausan, juga biara demi biara yang pernah saya diami dan pernah saya kunjungi selama saya berada di Italia. Diskusi yang acapkali berat seperti perbedaan teologi, politik Timur Tengah, topik-topik religius dan filsafat, ternyata dapat dibawa begitu santai dan ringan dengan meneguk secangkir kopi bersama-sama. Tak peduli apakah kopi yang diminum adalah secangkir americana, cappuccino, caffe latte, atau mochaccino. Dengan gula atau tanpa gula. Ya. Un café, per favore. Betapa sederhananya. Seperti kehidupan dalam biara.


Quote:


Quote:
Diubah oleh Fallen.Angelo 17-05-2014 15:17
0
11.8K
55
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan