Liputan6.com, Jenewa - Bayangkan jika suatu saat nanti kita bergantung pada para robot cerdas yang punya 'otak' dan kemampuan menjadi autonomous (bergerak otomatis). Lalu, perang tak terelakkan, robot-robot pembunuh bisa saja mengambil alih kuasa atas manusia.

Terdengar tak masuk akal dan seperti plot film fiksi ilmiah populer? Jangan dulu tertawa. Siapa tahu robot seperti Terminator T-800 Model 101, yang diperankan oleh Arnold Schwarzenegger dalam film 'Terminator' akan menjadi nyata. Seperti halnya segala perkembangan teknologi saat ini, yang sama sekali tak terbayangkan 1 atau 2 dekade lalu.

Perkembangan teknologi drone (pesawat tanpa awak) dan juga robot yang pesat saat ini, menjadi fakta pendukung bagi gagasan bahwa manusia akan membutuhkan perlindungan dari robot pembunuh, mungkin bukan candaan.

Potensi ancaman tersebut menjadi alasan sejumlah perwakilan negara dan organisasi dunia berkumpul, untuk mendiskusikan bagaimana cara mencegah 'robot otonom mematikan' atau lethal autonomous robots, dalam Konvensi Khusus PBB tentang Senjata Konvensional Tertentu (CCW) yang digelar di Jenewa, Swiss.

Sebuah konvensi yang sudah diratifikasi oleh 117 negara, termasuk negara-negara yang diduga memiliki persenjataan canggih otonom yaitu Amerika Serikat, Rusia, Inggris, Israel, China, dan Korea Selatan.

Perdebatan panas tentang untung rugi menggunakan robot pembunuh di medan perang dipandu 2 ahli robot, Profesor Ronald Arkin dan Profesor Noel Sharkey.

Profesor Ronald Arkin dari Georgia Institute of Technology terang-terangan mendukung. Dengan alasan robot yang diprogram mengidentifikasi dan menyerang target tanpa kontrol manusia bisa mengurangi korban jiwa dari pihak non-kombatan. Tapi ia mengkhawatirkan para robot itu akan sekonyong-konyong melibatkan diri di medan tempur tanpa perintah.

Di sisi lain, Profesor Noel Sharkey menentangnya mati-matian. "Ini akan menimbulkan risiko besar pada kemanusiaan," katanya kepada BBC . "Saya mengkhawatirkan potensi terjadinya otomatisasi peperangan."

Tentangan juga muncul dari para pembela hak asasi manusia (HAM). "Robot pembunuh akan mengancam hak dan prinsip paling mendasar dalam hukum internasional," kata Steve Goose, direktur divisi senjata LSM Human Rights Watch, seperti Liputan6.com kutip dari situs sains LiveScience, Rabu (14/5/2014). "Kita tidak melihat peluang metode bagaimana membuat mesin-mesin, benda mati itu bisa memahami atau menghormati nilai kehidupan, meski mereka punya kuasa untuk mengambilnya (nyawa)."

Human Rights Watch berpendapat, kemunculan robot-robot pembunuh harus dicegah secepat mungkin. Sebelum terlambat.

Saat ini, senjata robotik, seperti drone telah dikirim ke medan perang di seluruh dunia. Ribuan orang tewas karenanya, di antaranya adalah orang-orang tak berdosa termasuk anak-anak.

Operator drone membunuh banyak orang yang berada ribuan kilometer jauhnya, sementara ia duduk dengan aman di sebuah bunker komando.

Tak sampai di situ. Sejumlah pengamat militer memprediksi, penelitian termutakhir akan bisa mewujudkan robot pembunuh otonom dalam 20 tahun.

"Sangat tak masuk di akal, tapi ini fakta, bahwa manusia berpikir baik-baik saja menyerahkan kekuasaan atas hak hidup manusia lain pada mesin," kata Jody Williams, aktivis politik sekaligus pemenang Nobel Perdamaian atas upayanya melarang ranjau darat. "Jika kita tak mendiskusikan persoalan moral dan etika terkait hal ini, kita tidak akan mampu mengendalikan perang yang mengerikan." (Tnt)

(Elin Yunita Kristanti) ;

http://news.liputan6.com/read/204964...gancam-manusia

kayanya jaman skrg byk org yg bandel meski sudah ada regulasi pun.klo ada pihak yg sengaja ingin merusak.robotnya bisa di program asal tembak siapapun.bahaya. gampangnya spy drone amrik aja bs di hack.apalagi tekno laen lagi.klo di hack di disable masi ok la.klo di hack lalu sala hack sembarang tembak isinya nuklir. mampus lah