- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Lembaga Itu Mengusik Pejabat
TS
jeolla
Lembaga Itu Mengusik Pejabat
Quote:
JAKARTA, KOMPAS.com - Walau perannya amat vital, kehadiran Unit Layanan Pengadaan Barang dan Jasa DKI Jakarta seperti tidak diinginkan. Lembaga paling penting dalam pelelangan barang dan jasa di DKI ini harus babat alas. Saat disahkan pembentukannya pada Maret lalu, lembaga ini belum memiliki kantor.
Bahkan, peralatan kerja yang dibutuhkan pun terus ”dikebiri”, mulai dari komputer, mesin cetak, hingga meja dan kursi. Sejumlah pejabat sepertinya kaget, Pemprov DKI memiliki satu-satunya badan pelelangan barang dan jasa pemerintah bernama Unit Layanan Pengadaan (ULP). Lembaga ini diharapkan mempersempit ruang gerak permainan anggaran.
Melihat kondisi itu, Kepala ULP DKI Jakarta I Gede Dewa Sony tidak kuat menahan kekesalannya. Harap maklum, amanah kerja yang begitu berat tidak diimbangi dengan kelengkapan sarana. Hari Jumat (2/5), Sony memberanikan diri menyampaikan segala persoalan itu di hadapan Gubernur DKI Joko Widodo beserta sejumlah pejabat teras DKI.
Sony mengawali pembicaraanya dengan mengatakan, ”Bukannya cengeng dan memelas. Jika harus bekerja di lantai, kami akan melakukannya. Kami akan tetap kerja dengan kondisi yang ada. Namun, kami ingin sampaikan yang sebenarnya agar nanti jika ingin membuat lembaga disiapkan dahulu keperluannya.”
Kondisi darurat
Sementara ini ULP DKI menempati ruangan di Gedung Blok H Lantai 20 Balai Kota Jakarta. Kondisi ruang kerja masih darurat. Karena belum dianggarkan khusus, Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD) menyewakan komputer, mesin fotokopi, dan meja-kursi.
Namun, durasi sewa perlengkapan tersebut terbatas. Sewa 50 komputer hanya berlaku dalam waktu sebulan, 12 laptop satu bulan, mesin fotokopi 1 bulan. Adapun meja kursi tiga bulan.
Pada 25 April lalu, 50 komputer ULP habis masa sewanya. Lima hari kemudian, sewa tiga mesin fotokopi habis. Dua bulan lagi, sewa meja dan kursi juga akan habis. Walau kemudian dipinjami BPKD, ada 17 komputer dan dua mesin fotokopi, perlengkapan ini masih minim.
Sony sendiri pakai komputer pribadi. Beberapa pegawai menggunakan laptop sendiri. Bahkan, sejumlah pegawai patungan membeli 10 mesin cetak. ”Harapan kami nanti diganti oleh pemerintah. Sebab, ini mendesak dan kami pakai uang sendiri dahulu,” kata Sony.
Bukan hanya itu, ULP pun menghadapi kendala minimnya sumber daya manusia (SDM). Ada 148 pegawai yang direkrut, tetapi baru 125 yang mendapatkan surat keputusan pengangkatan. Sementara yang aktif hingga awal Mei baru 110 pegawai. Beberapa pegawai tidak aktif karena sejumlah alasan yang berbeda.
Di tengah paparan Sony, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Andi Baso terlibat pembicaraan kecil dengan Pelaksana Tugas Sekretaris Daerah Wiriyatmoko dan Kepala Biro Umum Agustino Darmawan.
Entah apa yang mereka bicarakan. Raut muka mereka terlihat resah. Mungkin mereka ingin menyiapkan solusi atas persoalan yang disampaikan Sony.
Paling penting
ULP merupakan lembaga paling penting di Pempov DKI Jakarta dalam hal pengadaan barang dan jasa. ULP menangani seluruh pelelangan barang dan jasa di atas Rp 200 juta dan biaya konsultan di atas Rp 50 juta. Paling tidak, ada 7.000 paket pengadaan barang dan jasa yang harus dilelang lewat ULP.
Jika proses di ULP tidak lancar, Anggaran Pendapatan dan Belanja DKI senilai Rp 72 triliun dipastikan tidak terserap maksimal. Rakyat jugalah yang bakal menanggung kerugiannya.
Pembentukan ULP sendiri berdasarkan amanat Perpres Nomor 70 Tahun 2012 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Mengacu pada aturan itu, tahun 2014 ini merupakan tahun terakhir batas pembentukan ULP. DKI terbilang terlambat dibandingkan daerah lain di Indonesia, seperti Jawa Barat dan sejumlah kabupaten/kota di Jawa Timur.
Mengubah pola lelang
Mengapa baru tahun ini DKI memiliki ULP? Menurut Sony, karena memang lembaga ini tidak diinginkan kelahirannya. Kehadiran ULP mengubah pola pelelangan yang sebelumnya berjalan di masing-masing satuan kerja perangkat daerah (SKPD).
Kini, tidak bisa lagi sendiri-sendiri. Model pelelangan pun sudah lain, yakni dengan menggunakan sistem belanja elektronik yang lebih detail.
Saat berkunjung ke Redaksi Kompas, pekan lalu, Wakil Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama menegaskan hal itu sebagai pola baru yang memutus pola-pola manual. Pola itu tersistem dengan nama e-budgeting.
Dengan pola yang menuntut transparansi, perhitungan detail, serta argumentasi yang kuat, kuasa pengguna anggaran tidak bisa lagi menggunakan anggaran gelondongan tanpa rincian.
Mereka harus mencantumkan harga satuan, harga penawaran sementara, dan alasan mengapa mengadakan belanja itu. Hal ini dikeluhkan sejumlah pejabat mulai di tingkat kelurahan hingga pejabat eselon II.
”Jika dulu banyak pintu (lelang), sekarang cuma satu. Wajar saja pelelangan menjadi lambat,” kata Kepala Dinas Pekerjaan Umum Rudy Manggas Siahaan.
Barang baru
Di mata pejabat DKI, ULP memang barang baru karena baru disosialisasikan pada 13 Maret 2014. Sebagian dari kuasa pengguna anggaran tidak tahu di mana kantornya. ”Mengapa baru disosialisasikan sekarang, Januari sampai Februari pada ke mana saja mereka (pejabat berwenang)? Kalau begini caranya, kami jadi kelabakan menyusun perencanaan program dengan model baru,” tutur Mulyadi, Lurah Tugu Utara, Jakarta Utara.
Begitulah, lembaga baru yang bernama ULP itu menuai beragam ekspresi di kalangan pejabat yang belum terbiasa dengan paradigma keterbukaan anggaran. Ada yang kaget, ada yang gusar, bahkan bisa jadi ada pula yang nyinyir, sinis, dan pesimistis.
Pada gilirannya, penganggaran dalam tubuh Pemprov DKI Jakarta tersandera oleh iklim yang berubah ekstrem. Sejumlah program fisik yang dinanti-nanti kelanjutannya oleh masyarakat berisiko tersendat. Sebut, misalnya, pengerukan kali dan hal-hal yang berkait dengan penanganan banjir serta penanganan kebersihan. Diharapkan sikap bijak semua pemangku kewenangan atas situasi ini. (Andy Riza Hidayat)
Bahkan, peralatan kerja yang dibutuhkan pun terus ”dikebiri”, mulai dari komputer, mesin cetak, hingga meja dan kursi. Sejumlah pejabat sepertinya kaget, Pemprov DKI memiliki satu-satunya badan pelelangan barang dan jasa pemerintah bernama Unit Layanan Pengadaan (ULP). Lembaga ini diharapkan mempersempit ruang gerak permainan anggaran.
Melihat kondisi itu, Kepala ULP DKI Jakarta I Gede Dewa Sony tidak kuat menahan kekesalannya. Harap maklum, amanah kerja yang begitu berat tidak diimbangi dengan kelengkapan sarana. Hari Jumat (2/5), Sony memberanikan diri menyampaikan segala persoalan itu di hadapan Gubernur DKI Joko Widodo beserta sejumlah pejabat teras DKI.
Sony mengawali pembicaraanya dengan mengatakan, ”Bukannya cengeng dan memelas. Jika harus bekerja di lantai, kami akan melakukannya. Kami akan tetap kerja dengan kondisi yang ada. Namun, kami ingin sampaikan yang sebenarnya agar nanti jika ingin membuat lembaga disiapkan dahulu keperluannya.”
Kondisi darurat
Sementara ini ULP DKI menempati ruangan di Gedung Blok H Lantai 20 Balai Kota Jakarta. Kondisi ruang kerja masih darurat. Karena belum dianggarkan khusus, Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD) menyewakan komputer, mesin fotokopi, dan meja-kursi.
Namun, durasi sewa perlengkapan tersebut terbatas. Sewa 50 komputer hanya berlaku dalam waktu sebulan, 12 laptop satu bulan, mesin fotokopi 1 bulan. Adapun meja kursi tiga bulan.
Pada 25 April lalu, 50 komputer ULP habis masa sewanya. Lima hari kemudian, sewa tiga mesin fotokopi habis. Dua bulan lagi, sewa meja dan kursi juga akan habis. Walau kemudian dipinjami BPKD, ada 17 komputer dan dua mesin fotokopi, perlengkapan ini masih minim.
Sony sendiri pakai komputer pribadi. Beberapa pegawai menggunakan laptop sendiri. Bahkan, sejumlah pegawai patungan membeli 10 mesin cetak. ”Harapan kami nanti diganti oleh pemerintah. Sebab, ini mendesak dan kami pakai uang sendiri dahulu,” kata Sony.
Bukan hanya itu, ULP pun menghadapi kendala minimnya sumber daya manusia (SDM). Ada 148 pegawai yang direkrut, tetapi baru 125 yang mendapatkan surat keputusan pengangkatan. Sementara yang aktif hingga awal Mei baru 110 pegawai. Beberapa pegawai tidak aktif karena sejumlah alasan yang berbeda.
Di tengah paparan Sony, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Andi Baso terlibat pembicaraan kecil dengan Pelaksana Tugas Sekretaris Daerah Wiriyatmoko dan Kepala Biro Umum Agustino Darmawan.
Entah apa yang mereka bicarakan. Raut muka mereka terlihat resah. Mungkin mereka ingin menyiapkan solusi atas persoalan yang disampaikan Sony.
Paling penting
ULP merupakan lembaga paling penting di Pempov DKI Jakarta dalam hal pengadaan barang dan jasa. ULP menangani seluruh pelelangan barang dan jasa di atas Rp 200 juta dan biaya konsultan di atas Rp 50 juta. Paling tidak, ada 7.000 paket pengadaan barang dan jasa yang harus dilelang lewat ULP.
Jika proses di ULP tidak lancar, Anggaran Pendapatan dan Belanja DKI senilai Rp 72 triliun dipastikan tidak terserap maksimal. Rakyat jugalah yang bakal menanggung kerugiannya.
Pembentukan ULP sendiri berdasarkan amanat Perpres Nomor 70 Tahun 2012 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Mengacu pada aturan itu, tahun 2014 ini merupakan tahun terakhir batas pembentukan ULP. DKI terbilang terlambat dibandingkan daerah lain di Indonesia, seperti Jawa Barat dan sejumlah kabupaten/kota di Jawa Timur.
Mengubah pola lelang
Mengapa baru tahun ini DKI memiliki ULP? Menurut Sony, karena memang lembaga ini tidak diinginkan kelahirannya. Kehadiran ULP mengubah pola pelelangan yang sebelumnya berjalan di masing-masing satuan kerja perangkat daerah (SKPD).
Kini, tidak bisa lagi sendiri-sendiri. Model pelelangan pun sudah lain, yakni dengan menggunakan sistem belanja elektronik yang lebih detail.
Saat berkunjung ke Redaksi Kompas, pekan lalu, Wakil Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama menegaskan hal itu sebagai pola baru yang memutus pola-pola manual. Pola itu tersistem dengan nama e-budgeting.
Dengan pola yang menuntut transparansi, perhitungan detail, serta argumentasi yang kuat, kuasa pengguna anggaran tidak bisa lagi menggunakan anggaran gelondongan tanpa rincian.
Mereka harus mencantumkan harga satuan, harga penawaran sementara, dan alasan mengapa mengadakan belanja itu. Hal ini dikeluhkan sejumlah pejabat mulai di tingkat kelurahan hingga pejabat eselon II.
”Jika dulu banyak pintu (lelang), sekarang cuma satu. Wajar saja pelelangan menjadi lambat,” kata Kepala Dinas Pekerjaan Umum Rudy Manggas Siahaan.
Barang baru
Di mata pejabat DKI, ULP memang barang baru karena baru disosialisasikan pada 13 Maret 2014. Sebagian dari kuasa pengguna anggaran tidak tahu di mana kantornya. ”Mengapa baru disosialisasikan sekarang, Januari sampai Februari pada ke mana saja mereka (pejabat berwenang)? Kalau begini caranya, kami jadi kelabakan menyusun perencanaan program dengan model baru,” tutur Mulyadi, Lurah Tugu Utara, Jakarta Utara.
Begitulah, lembaga baru yang bernama ULP itu menuai beragam ekspresi di kalangan pejabat yang belum terbiasa dengan paradigma keterbukaan anggaran. Ada yang kaget, ada yang gusar, bahkan bisa jadi ada pula yang nyinyir, sinis, dan pesimistis.
Pada gilirannya, penganggaran dalam tubuh Pemprov DKI Jakarta tersandera oleh iklim yang berubah ekstrem. Sejumlah program fisik yang dinanti-nanti kelanjutannya oleh masyarakat berisiko tersendat. Sebut, misalnya, pengerukan kali dan hal-hal yang berkait dengan penanganan banjir serta penanganan kebersihan. Diharapkan sikap bijak semua pemangku kewenangan atas situasi ini. (Andy Riza Hidayat)
semoga para pns yg lelet tsb segera belajar lbh cpt dlm membuat proposal pengaadaan barang yg lengkap serta logis dan tidak seenak nya beli2 barang tnp tau harga, spek, kegunaan. dlu pola pikir nya pokoknya anggaran harus habis, mo beli mesin FC 300 jt jg ga mslhsekarang di beri syarat hrs tau harga, kegunaan, serta alasan pengadaan barang tsb.
0
642
Kutip
0
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan