comANDREAvatar border
TS
comANDRE
[HATERS MASUK!] Calon Presiden Tanpa Haters
Jurnas.com |

Oleh : Yanto *)



PUTARAN pemilihan Presiden belum dimulai. Bahkan siapa calon yang akan diusung oleh masing – masing partai pun belum ditentukan. Namun demikian, pertarungan di antara bakal calon presiden selama beberapa bulan terakhir cukup sengit, terutama perang opini di media dan pencitraan di dunia maya.

Meski ada beberapa nama baik yang secara terang–terangan maupun yang malu–malu menyatakan diri akan maju sebagai dalam bursa pemilihan presiden seperti Wiranto, Aburizal Bakrie, Prabowo dan Jokowi, namun hanya dua nama terakhir yang diperkirakan akan menang. Setidaknya hal ini didasarkan pada hasil survei mengenai elektabilitas masing – masing kandidat.

Perkembangan teknologi informasi memungkinkan perang opini antar kandidat presiden dapat diakses secara luas dan intensif melalui media berita online, facebook dan twitter. Bagi pemilih, hal ini tentu saja memberikan banyak keuntungan.

Profil, pengalaman, rekam jejak dan visi – misi masing – masing kandidat dapat kita ketahui dari berbagai sumber informasi tersebut. Kita dapat dengan lebih mudah menentukan pilihan kita pada saatnya pemilihan presiden nanti dilangsungkan. Kemungkinan kita seperti memilih kucing dalam karung semakin kecil.

Sayangnya, tidak semua informasi yang beredar di berbagai media tersebut benar. Menyebarluaskan keunggulan calon yang didukung dan kelemahan calon lawan merupakan hal yang biasa dalam sebuah kompetisi. Namun yang terjadi ternyata tidak sebatas itu. Banyak bertebaran di media sosial fitnah–fitnah yang disebarkan oleh lawan masing–masing kandidat.

Kelompok–kelompok yang melakukan serangan negatif ini kemudian dikenal sebagai kelompok haters (pembenci). Kita pun mengenal ada Jokowi haters, ada pula Prabowo haters. Meski tidak masuk dalam tiga besar kandidat potensial di berbagai survey, di dunia maya ternyata juga muncul Dahlan Iskan haters. Yang unik tentu saja munculnya PKS haters. Sejauh yang saya amati PKS merupakan satu–satunya partai yang memiliki haters.

Tugas utama para haters adalah membuat citra negatif lawan–lawan politiknya. Bentuk aksi yang dilakukan oleh para haters pun bermacam–macam. Sebagian menampilkan kembali arsip–arsip berita lama yang memuat cacat lawan politik lalu diberi tagar #melawanlupa.

Sebagian yang lain berusaha menjatuhkan citra lawan dengan merekayasa foto–foto dengan berbagai tagline lalu disebarkan di berbagai media sosial. Namun ada juga yang membuat kicauan palsu mengenai masa lalu lawan baik yang berkaitan dengan urusan publik maupun juga persoalan pribadi.

Sejauh ini aksi dan reaksi dari para haters masih terbatas di dunia maya. Wajar, karena gelaran pilpres memang belum dimulai. Apabila saatnya putaran pilpres dimulai dan calon presiden yang maju sudah definitif, pertarungan para haters besar kemungkinan akan meluas tidak hanya di dunia maya namun juga sampai ke dunia nyata.

Bentuk aksi yang dilakukan pun akan jauh berbeda dengan aksi di dunia nyata. Demikian juga dengan dampak dan resikonya. Bukan tidak mungkin jika Prabowo dan Jokowi sama–sama menjadi capres (setelah masing–masing mendapatkan rekan koalisi), pertarungan para haters di dunia nyata akan menciptakan benturan fisik. Kekhawatiran ini tidak berlebihan sebab kebencian yang dibangun selama beberapa waktu terakhir akan terakumulasi pada putaran pilpres mendatang.

Koalisi Nusantara

Tentu kita tidak boleh berpikir negatif, tetapi bersikap waspada jelas diperlukan. Apabila salah satu dari kedua kandidat di atas berhasil memenangkan pilpres dan kekecewaan pihak yang kalah memicu reaksi negatif yang membahayakan patut kita waspadai. Adalah tugas partai politik untuk memberikan alternatif calon presiden yang terbebas dari pertarungan para haters untuk mengurangi potensi terjadi dan meluasnya konflik horizontal.

Sebab di masa dimana demokrasi dan kebebasan sedang berkembang, peran masyarakat semakin besar, potensi terjadinya konflik horizontal jauh lebih besar dibandingkan konflik vertikal.

Di luar tiga besar pemenang pemilu legislatif, gabungan partai–partai tengah merupakan kekuatan potensial yang dapat menentukan hasil pilpres. Wacana membangun koalisi partai–partai Islam bukanlah gagasan yang relevan dengan kondisi masyarakat kita. Sebab wilayah Nusantara tidak hanya dihuni oleh satu pemeluk agama saja.

Ada bermacam–macam agama dan suku budaya yang memiliki Nusantara. Oleh karena itu koalisi partai–partai tengah sebagaimana yang diwacanakan oleh Amien Rais mestinya merupakan koalisi yang menggambarkan dan mewakili berbagai kepentingan di wilayah Nusantara.

Tentu saja ide pembentukan Koalisi Nusantara ini bukan gagasan baru. Namun soal siapa tokoh yang layak dicapreskan oleh Koalisi Nusantara ini merupakan hal baru yang layak dipikirkan bersama.

Selisih perolehan suara beberapa partai tengah yang tidak signifikan (antara 1–3 persen) menyebabkan tidak adanya satu partai tengah yang cukup dominan. Akibatnya tarik–menarik mengenai tokoh dari partai mana yang akan diusung sebagai capres akan menjadi kendala bagi pembentukan Koalisi Nusantara ini.

Satu–satunya jalan agar koalisi ini dapat terbentuk dan mengusung pasangan capres dan cawapres sendiri adalah dengan memunculkan tokoh dari luar partai–partai peserta koalisi yang dinilai mampu menjadi perekat koalisi. Tentu saja ini bukan satu-satunya persyaratan.

Persyaratan lain yang musti dipenuhi adalah tokoh tersebut memiliki keunggulan–keunggulan yang dapat menyaingi dua kandidat terkuat yang ada sampai saat ini yaitu Prabowo dan Jokowi. Apabila Jokowi dianggap sebagai capres muda (menurut usia) yang sederhana, santun, rendah hati dan tidak temperamental, maka tokoh yang diusung oleh Koalisi Nusantara mestilah tokoh yang lebih muda, sederhana, santun dan mampu mengendalikan emosi secara baik.

Apabila Prabowo dianggap sebagai capres yang tegas, berwibawa dengan visi kebangsaan yang kuat, maka Koalisi Nusantara juga harus memilih tokoh dengan visi kebangsaan yang kuat, tegas serta berwibawa.

Gagasan ini sepertinya utopis. Seolah kita sedang mengharapkan munculnya Satria Piningit atau Ratu Adil. Tentu saja yang ideal seperti yang kita syaratkan tidak akan pernah ada. Tetapi dari dua ratus juta lebih penghuni Nusantara ini, tentu ada di antaranya yang mendekati kriteria–kriteria di atas.

Seandainya saja saat ini saya menjadi Ketua Partai politik dari salah satu partai–partai tengah tersebut, maka saya akan mempertimbangkan dua nama yang dengan kelebihan dan kekurangannya akan mampu menyaingi bahkan mengungguli kandidat yang ada sekarang. Dua nama tersebut adalah Anies Baswedan dan Abraham Samad.

* Penulis adalah alumni Universitas Michigan, Ann Arbor, Amerika Serikat dan kandidat doctor di Universitas Colorado, Boulder, Amerika Serikat.

- See more at: http://www.jurnas.com/news/133309/Ca....R7HG0OjC.dpuf


=======


emoticon-Recommended Seller:
anasabilaAvatar border
anasabila memberi reputasi
1
3.7K
20
Thread Digembok
Urutan
Terbaru
Terlama
Thread Digembok
Komunitas Pilihan