- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Inspirasi Kartini : Buruh Gendong


TS
keretasenja08
Inspirasi Kartini : Buruh Gendong

Spoiler for #norepsol:
Quote:
Seperti biasa tiap jam 3 dini hari, ane pergi ke pasar untuk belanja sayuran di pasar. Terlintas sudah merasa bosan melakukan rutinitas seperti ini, pengen rasanya liburan atau istirahat sejenak. Keinginan itu meraung-raung dalam pikiran sejak berangkat dari menuju pasar.
Sesampai di pasar, perasaan ane tadi pecah seketika. Melihat seorang wanita tua yang melintas di depan ane duduk. Wanita tua itu baru saja menurunkan keranjang kubis dari gendongannya yang beratnya ditaksir kira-kira 30 kilogram.

Dengan banyaknya keringat yang membuat baju sedikit basah, wanita tua ini tetap bisa tersenyum dan melanjutkan pekerjaan itu dengan semangat.
Ane merasa harus punya rasa malu dengan wanita itu. Dengan pekerjaan berat seperti buruh gendong yang upahnya antara 2-3ribu sekali angkat, mereka menjalani pekerjaan ini tanpa kenal lelah dan jarang sekali libur. Demi membantu penghasilan suami serta mengumpulkan upah untuk menyekolahkan anak dan minimal dapur rumah bisa ngebul.

Inilah contoh yang bisa membuat ane terinspirasi, ane harus termotivasi lebih baik lagi, dan malu apabila menyerah dengan keadaan. Ya, ane akui, harus bangkit dari kemalasan, seberapa bodohnya andai ane tidak begitu peduli dengan contoh seorang buruh gendong yang tak pernah patah semangat menjalani hidup.
Sesampai di pasar, perasaan ane tadi pecah seketika. Melihat seorang wanita tua yang melintas di depan ane duduk. Wanita tua itu baru saja menurunkan keranjang kubis dari gendongannya yang beratnya ditaksir kira-kira 30 kilogram.

Dengan banyaknya keringat yang membuat baju sedikit basah, wanita tua ini tetap bisa tersenyum dan melanjutkan pekerjaan itu dengan semangat.
Ane merasa harus punya rasa malu dengan wanita itu. Dengan pekerjaan berat seperti buruh gendong yang upahnya antara 2-3ribu sekali angkat, mereka menjalani pekerjaan ini tanpa kenal lelah dan jarang sekali libur. Demi membantu penghasilan suami serta mengumpulkan upah untuk menyekolahkan anak dan minimal dapur rumah bisa ngebul.

Inilah contoh yang bisa membuat ane terinspirasi, ane harus termotivasi lebih baik lagi, dan malu apabila menyerah dengan keadaan. Ya, ane akui, harus bangkit dari kemalasan, seberapa bodohnya andai ane tidak begitu peduli dengan contoh seorang buruh gendong yang tak pernah patah semangat menjalani hidup.
Quote:
Ini ada cerita buruh gendong lain :
VIVAnews - Seorang perempuan seperti merayap menggendong keranjang. Isinya, aneka barang belanjaan. Keranjang bambu itu diikatnya ke punggung, dengan jarik atau kain panjang motif Jawa. Turun dari lantai dua pasar itu, dia hati-hati menuruni tangga. Tangannya memegang besi pembatas, takut apa yang dipanggulnya itu jatuh.
Tiba di lantai dasar, napasnya terengah-engah. Dia berjalan terus sekitar 150 meter, ke mobil yang empunya barang. Di sana, perempuan itu meletakkan bawaannya. Menuk, nama perempuan itu. Upahnya begitu murah: Rp3.000. Itu kalau gendongannya penuh. Jika tidak, upahnya hanya Rp2.000.

Padahal, keranjang yang dipanggulnya berisi berbagai macam barang kebutuhan pokok, seperti sayur-mayur, gula, dan beras. Berat rata-rata 50 hingga 75 Kilogram. Keningnya berkeringat. Punggungnya basah. Tapi, Menuk tampak cinta dengan pekerjaan mengandalkan kekuatan fisik ini.
“Bawa barang sedikit senang, dan bawa barang banyak juga senang. Saya mencintai pekerjaan ini.”
Begitulah prinsip Menuk. Terlahir dari keluarga buruh tani di kampung Wonobroto, Desa Tuksono, Kecamatan Sentolo, Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta, 43 tahun silam, Menuk memang tak punya banyak pilihan selain bekerja sebagai kuli panggul atau buruh gendong. Soalnya, bekerja di sawah, pendapatannya tak menentu.

Ia menjalani profesi kuli panggul sejak 1980. Di saat orang-orang masih lelap, Menuk sudah memulai kegiatan pada pukul 03.30 WIB. Dengan penuh semangat, ia mengayuh sepeda ontel tua miliknya menuju Kecamatan Sentolo, yang berjarak 10 Kilometer dari kampung Wonobroto.
Setalah menitipkan sepeda itu di Sentolo, Menuk naik bus ke Wirobrajan. Dari terminal itu dia naik bus lain menuju Pasar Beringharjo. Ongkos transportnya menghabiskan sekitar Rp12.500, setiap harinya. Itu sudah termasuk biaya penitipan sepeda sebesar Rp1.000.
Seperti ratusan perempuan lainnya yang bekerja sebagai kuli panggul di Beringharjo, Menuk mengangkut barang-barang milik penjual. Namun, tak jarang ia juga membawa barang belanjaan milik pembeli. Biasanya upahnya lebih besar, sekitar Rp5.000. “Kalau pasar ramai bisa sampai Rp50.000, tapi kalau sepi hanya Rp20.000,” kata Menuk.
Tulang punggung
Menuk memang harus bekerja keras, agar keluarganya bisa hidup. Sang suami, Rubijo, 44 tahun, bekerja sebagai buruh tani di kampung. Rubijo tak punya penghasilan tetap, lantaran bekerja sebagai buruh tani bersifat musiman. Alhasil, Menuk menjadi tulang punggung.
Menuk dan Rubijo menikah pada 1987 lalu, mereka dikaruniai dua anak perempuan. Putri pertama Menuk, Eka, 24 tahun, lulusan SMP dan telah berkeluarga. Sementara si bungsu, Ayu, 13 tahun, tengah menempuh pendidikan di Sekolah Luar Biasa (SLB) kelas 1 atau setingkat SMP.
Ayu yang tunga rungu adalah penyemangat Menuk untuk tetap bekerja keras. Dengan bangga, Menuk bercerita putri keduanya itu seorang siswi berprestasi. Ayu pernah meraih juara II lomba Peragawati Tingkat SD se-DIY mewakili Kabupaten Kulonprogo dan menjuarai berbagai lomba lainnya. Menuk pun menyimpan harapan besar, yakni Ayu bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi.
“Saya ingin anak saya yang bungsu sekolah sampai SMA. Anak saya Ayu yang bungsu tuna rungu sejak kecil. Walaupun berpikirnya lemah di SD karena sekolah umum, tapi di SLB dia berprestasi,” kata Menuk yang buta huruf.
Menuk menyadari penghasilannya sebagai kuli panggul tak menentu. Pendapatan sedikit, otomatis belanja untuk makan dikurangi. Bagi keluarga Menuk, kerupuk dan mie adalah makanan mewah yang hanya bisa dinikmati ketika ada uang berlebih.
Meski harus hidup pas-pasan, Menuk mengaku tak akan meninggalkan profesinya sebagai kuli panggul. Lelah dan pegal yang datang mendera tak membuat semangat Menuk surut. “Saya merasa tidak ada dukanya jadi buruh gendong,” ujarnya. Ia akan terus menjalani profesinya ini hingga tua. Menurut dia, pekerjaan buruh gendong, yang sudah ia jalani puluhan tahun itu, tak ada bedanya antara laki-laki dan perempuan.
Dengan segala keterbatasan, dia rupanya menikmati pekerjaan kasar itu. “Saya tidak akan berpindah ke pekerjaan lain,” ujarnya.(np)
VIVAnews - Seorang perempuan seperti merayap menggendong keranjang. Isinya, aneka barang belanjaan. Keranjang bambu itu diikatnya ke punggung, dengan jarik atau kain panjang motif Jawa. Turun dari lantai dua pasar itu, dia hati-hati menuruni tangga. Tangannya memegang besi pembatas, takut apa yang dipanggulnya itu jatuh.
Tiba di lantai dasar, napasnya terengah-engah. Dia berjalan terus sekitar 150 meter, ke mobil yang empunya barang. Di sana, perempuan itu meletakkan bawaannya. Menuk, nama perempuan itu. Upahnya begitu murah: Rp3.000. Itu kalau gendongannya penuh. Jika tidak, upahnya hanya Rp2.000.

Padahal, keranjang yang dipanggulnya berisi berbagai macam barang kebutuhan pokok, seperti sayur-mayur, gula, dan beras. Berat rata-rata 50 hingga 75 Kilogram. Keningnya berkeringat. Punggungnya basah. Tapi, Menuk tampak cinta dengan pekerjaan mengandalkan kekuatan fisik ini.
“Bawa barang sedikit senang, dan bawa barang banyak juga senang. Saya mencintai pekerjaan ini.”
Begitulah prinsip Menuk. Terlahir dari keluarga buruh tani di kampung Wonobroto, Desa Tuksono, Kecamatan Sentolo, Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta, 43 tahun silam, Menuk memang tak punya banyak pilihan selain bekerja sebagai kuli panggul atau buruh gendong. Soalnya, bekerja di sawah, pendapatannya tak menentu.

Ia menjalani profesi kuli panggul sejak 1980. Di saat orang-orang masih lelap, Menuk sudah memulai kegiatan pada pukul 03.30 WIB. Dengan penuh semangat, ia mengayuh sepeda ontel tua miliknya menuju Kecamatan Sentolo, yang berjarak 10 Kilometer dari kampung Wonobroto.
Setalah menitipkan sepeda itu di Sentolo, Menuk naik bus ke Wirobrajan. Dari terminal itu dia naik bus lain menuju Pasar Beringharjo. Ongkos transportnya menghabiskan sekitar Rp12.500, setiap harinya. Itu sudah termasuk biaya penitipan sepeda sebesar Rp1.000.
Seperti ratusan perempuan lainnya yang bekerja sebagai kuli panggul di Beringharjo, Menuk mengangkut barang-barang milik penjual. Namun, tak jarang ia juga membawa barang belanjaan milik pembeli. Biasanya upahnya lebih besar, sekitar Rp5.000. “Kalau pasar ramai bisa sampai Rp50.000, tapi kalau sepi hanya Rp20.000,” kata Menuk.
Tulang punggung
Menuk memang harus bekerja keras, agar keluarganya bisa hidup. Sang suami, Rubijo, 44 tahun, bekerja sebagai buruh tani di kampung. Rubijo tak punya penghasilan tetap, lantaran bekerja sebagai buruh tani bersifat musiman. Alhasil, Menuk menjadi tulang punggung.
Menuk dan Rubijo menikah pada 1987 lalu, mereka dikaruniai dua anak perempuan. Putri pertama Menuk, Eka, 24 tahun, lulusan SMP dan telah berkeluarga. Sementara si bungsu, Ayu, 13 tahun, tengah menempuh pendidikan di Sekolah Luar Biasa (SLB) kelas 1 atau setingkat SMP.
Ayu yang tunga rungu adalah penyemangat Menuk untuk tetap bekerja keras. Dengan bangga, Menuk bercerita putri keduanya itu seorang siswi berprestasi. Ayu pernah meraih juara II lomba Peragawati Tingkat SD se-DIY mewakili Kabupaten Kulonprogo dan menjuarai berbagai lomba lainnya. Menuk pun menyimpan harapan besar, yakni Ayu bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi.
“Saya ingin anak saya yang bungsu sekolah sampai SMA. Anak saya Ayu yang bungsu tuna rungu sejak kecil. Walaupun berpikirnya lemah di SD karena sekolah umum, tapi di SLB dia berprestasi,” kata Menuk yang buta huruf.
Menuk menyadari penghasilannya sebagai kuli panggul tak menentu. Pendapatan sedikit, otomatis belanja untuk makan dikurangi. Bagi keluarga Menuk, kerupuk dan mie adalah makanan mewah yang hanya bisa dinikmati ketika ada uang berlebih.
Meski harus hidup pas-pasan, Menuk mengaku tak akan meninggalkan profesinya sebagai kuli panggul. Lelah dan pegal yang datang mendera tak membuat semangat Menuk surut. “Saya merasa tidak ada dukanya jadi buruh gendong,” ujarnya. Ia akan terus menjalani profesinya ini hingga tua. Menurut dia, pekerjaan buruh gendong, yang sudah ia jalani puluhan tahun itu, tak ada bedanya antara laki-laki dan perempuan.
Dengan segala keterbatasan, dia rupanya menikmati pekerjaan kasar itu. “Saya tidak akan berpindah ke pekerjaan lain,” ujarnya.(np)
sumber
Spoiler for #tambahan:
Terima kasih buat yang sudah mampir di thread ini..
Dengan senang hatinya thread ane ini diberi
dan thanks berat buat yang mau kasih
..
Salam Kaskus
dan Salam Indonesia
#ks/12
Dengan senang hatinya thread ane ini diberi


Salam Kaskus


#ks/12
Diubah oleh keretasenja08 20-04-2014 20:39
0
5.4K
Kutip
29
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan