Kaskus

News

mikhsansAvatar border
TS
mikhsans
Yang pro dan kontra golput mampir ke sini gan.megawati juga pernah golput
Permisi agan2 sekalian.ijin sharing tulisan ya gan

Yang pro dan kontra golput mampir ke sini gan.megawati juga pernah golput

Suara dari Alam Golput

Dalam konteks kekuasaan, suatu fragmen sejarah sering dianggap bak kepingan yang tak diinginkan dalam puzzle kehidupan, yang memang tak akan pernah terselesaikan. Karena itu yang dituliskan Milan Kundera dalam The Book of Laughter and Forgetting di 1979 silam tak pernah terasa usang: Perjuangan manusia melawan kekuasaan, memang perjuangan melawan lupa.

Tak usah heran jika bentuk perlawanan di masa silam bisa dilupakan, lalu dianggap sebagai bentuk ketidakpedulian di masa sekarang. Setidaknya, pergeseran makna itu terasa mulai dilekatkan kepada Golongan Putih alias Golput. Karena itu marilah kita sibak suatu masa dalam sejarah di negeri kita, tepatnya di era Orde Baru, ketika pemilihan umum hanyalah ritual kepura-puraan yang diadakan rutin lima tahunan.

Sore itu, 22 Mei 1997, perhatian jutaan orang di Indonesia tertuju ke kawasan Kebagusan, Jakarta Selatan. Seorang ikon perlawanan terhadap rezim orde baru bersiap memberikan pernyataan. Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia yang digulingkan setahun sebelumnya, akan bersuara tentang pilihannya di Pemilihan Umum 1997.

Sikap Megawati jadi sebuah pernyataan yang sangat dinanti. Setelah penzaliman yang dilakukan terhadap kadernya di Peristiwa 27 Juli 1996, langkah yang dilakukan Megawati diprediksi akan berpengaruh di perpolitikan tanah air.

Di tengah ribuan massa kader PDI yang berkumpul di kediamannya sejak pagi, anak perempuan Presiden Soekarno itu lantang berkata: memilih untuk tidak memilih. (Reportase menarik dilakukan Tempo, yang bisa dibaca di tautan ini.)

Megawati melawan. Sikapnya untuk golput dianggap sudah terbaca dari ‘bahasa jari’ yang dipopulerkan kadernya, dengan telunjuk dan ibu jari yang dilekatkan membentuk angka nol. Tapi Megawati membebaskan kadernya untuk memilih “sesuai hati nurani”. Salah satu opsi yang dimiliki kader PDI ketika itu adalah memberikan suara ke Partai Persatuan Pembangunan, yang sudah disuarakan oleh koalisi jalanan dengan istilah “Mega-Bintang”.

Megawati menjelma menjadi ‘juru kampanye’ baru bagi Golput. Pilihan Golput yang dilakukan Megawati menjadi momentum dalam gerakan perlawanan terhadap Soeharto. Sebelumnya, Golput sering diidentikkan dengan nama Arief Budiman. Kakak dari aktivis Soe Hok Gie ini memang begitu lekat dengan ‘kampanye’ Golput sejak 1971, pemilu pertama di era Orde Baru yang diikuti sembilan organisasi partai politik (OPP) ditambah Golongan Karya.

Situs Wikipedia mencatat Imam Waluyo sebagai pencetus istilah Golput, dari anjuran mencoblos bagian putih di atas kertas suara. Nama aktivis hak asasi manusia Asmara Nababan ikut tercatat dalam kelompok yang kemudian beraksi dengan menyebarluaskan “pilihan baru di Pemilu” yang disertai dengan tanda gambar segi lima dengan dasar putih.

Para aktivis Golput lantang menyuarakan hak untuk tidak memilih sebagai bentuk perlawanan terhadap Orde Baru yang dianggap hanya melanggengkan kekuasaan melalui sandiwara pemilu. Dengan atau tanpa pemilu, Soeharto dianggap tetap akan berkuasa dengan kekuatan efektif yang dipegangnya, yaitu Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.

Perkara Ketidakpercayaan

Perjalanan Golput sepertinya tak jauh nasibnya dengan tren fashion bergaya retro, yang tak lekang dimakan zaman. Malahan, angka golput tercatat meningkat secara signifikan. Data partisipasi pemilu versi KPU memperlihatkan di Pemilu 1999 partisipasi tercatat sebesar 92 persen, yang turun jadi 84 persen di Pemilu 2004, hingga hanya 71 persen di Pemilu 2009.

Golput, dalam analogi Arief Budiman, memang seperti nyamuk yang tak membahayakan sampai bisa membunuh, tapi menjengkelkan. Tentu menjengkelkan untuk KPU sebagai penyelenggara pemilu, atau bagi pemenang Pemilu yang merasa legitimasinya terancam.

Padahal masalah utama yang menyebabkan munculnya Golput dari masa ke masa melulu soal ketidakpercayaan, dan bukan ketidakpedulian. Kepada siapa ketidakpercayaan ditujukan? Berbagai elemen pemilu, tentu saja. Namun apakah Golput masih dianggap sebagai perlawanan terhadap sistem di era yang tak lagi memiliki kepemimpinan diktator seperti Soeharto? Tentu ini harus dilihat secara luas.

Pertama, dilihat dari segi KPU, apa jaminan sehingga masyarakat harus percaya netralitas mereka sebagai penyelenggara? Di saat dugaan kecurangan muncul dengan adanya spekulasi permainan di sistem Teknologi Informasi KPU misalnya, kejutan malah dihadirkan Komisioner KPU Andi Nurpati yang bergabung dengan jajaran pengurus Partai Demokrat. Wajar jika ada kecurigaan yang dialamatkan ke Andi Nurpati, sebab Partai Demokrat tercatat sebagai pemenang pemilu 2009.

Dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum sebenarnya telah diatur tentang anggota KPU yang tak boleh menduduki jabatan politik dan jabatan struktural. UU itu juga mengatur agar Komisioner KPU tidak pernah menjadi anggota partai politik selama lima tahun terakhir. Aturan yang terlihat nyata hanya berpandangan ke masa silam, tapi tak memperhatikan masa depan.

Andi Nurpati kini tercatat sebagai Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat setelah meninggalkan posisinya di KPU. Lalu kita pun sadar seharusnya ada aturan yang melarang mantan anggota KPU untuk bergabung dengan partai politik–setidaknya dalam kurun waktu lima tahun ke depan. Dengan demikian, aturan ini diharapkan bisa menghilangkan prasangka dan berbagai dugaan negatif yang dialamatkan kepada penyelenggara.

Sebab, tercatat beberapa nama pejabat partai politik yang malah dilahirkan dari rahim penyelenggara pemilu. Misalnya saja Anas Urbaningrum yang menjadi anggota KPU 2001-2005, dan bergabung dengan Partai Demokrat sebagai Ketua Bidang Politik dan Otonomi Daerah di 2005.

Ketidakpercayaan lain juga tertuju kepada partai politik. Tak perlulah membicarakan konteks lain di luar penyelenggaraan pemilu, seperti anggota DPR yang ketahuan nonton video porno saat sidang paripurna atau yang terlibat korupsi miliaran rupiah. Pertanyaan pertama yang pantas diajukan adalah: apakah para anggota legislatif yang terpilih melalui mekanisme pemilihan langsung ini bisa mempertahankan amanahnya begitu terpilih.

bersambung..

tulisan lengkapnya di sini gan: http://www.bertutur.com/suara-dari-alam-golput/

masih panjang tulisannya
0
2.5K
14
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan