- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Fenomena Demokrasi di Indonesia


TS
deaztec
Fenomena Demokrasi di Indonesia
Mangga gan baca tulisan ane tentang fenomena demokrasi di Indonesia. Tulisan ini ane tulis ketika jadi Redpel pers kampus. Ane kaitin fenomena demokrasi sama teori Antropologi Ekonomi dan Anarkisme.
“Kawan... jadikan pemilu 2009 masa kemenangan bagi golput. Ya, untuk apa memilih orang yang tak sekali pun memikirkanmu. Bukankah tidak memilih pun merupakan sebuah pilihan?” CAKA #3 Desember 2008
Kutipan tadi diambil dari teman-teman pers mahasiswa kita yang berada di Sulawesi Selatan sana. Bahwa menjadi seorang golput juga adalah sebuah pilihan selain pilihan kita memilih calon-calon yang ada ditempat pemilihan suara. Menjadi seorang apatis dan golput adalah dua sisi koin yang berbeda. Ketika menjadi apatis kita seolah tidak peduli dengan apa yang ada disekitar kita, dan menjadi seorang golput yang belum tentu apatis adalah sebuah pilihan dari dampak realitas bahwa memilih itu tidak akan memberikan pengaruh apapun. Opini ini dianggap menjadi masalah dalam pesta demokrasi yang mengharuskan setiap pemilih itu berpartisipasi agar demokrasi yang demokratis itu berjalan dengan baik.
Di akhir tahun 2013 ini kita dihadapkan oleh yang biasa disebut sebagai pesta demokrasi. Dari pemilu nasional 2014, pemilu DPRD, pemilu Dekanat, pemilu BEM FISIP, dan pemilu BEM KEMA atau prama 2013. Ketika mahasiswa-mahasiswi yang berlomba-lomba ingin menjadi orang nomor satu di tingkat fakultas maupun di tingkat Universitas. Ketika setiap fakultas mengirimkan tiga calonnya ke ketua senat Universitas untuk dijadikan bakal calon dekanat yang menjabat 5 tahun sekali. Para caleg yang berusaha menggalang suara agar mendapat kursi ditempat paling istimewa di NKRI. Dan para capres yang berlomba-lomba menjadi orang nomor satu di negara ini.
Pesta demokrasi dewasa ini makin begitu memprihatinkan, dengan banyaknya angka golput, poilitik uang, dan kecurangan. Keadaan ini tidak hanya tercermin di tingkat nasional, namun di tingkat universitas pun yang skalanya lebih kecil. Realitas yang terjadi di skala kecil itu merupakan representasi dari skala yang lebih besar. Di tingkat kampus keadaan yang terjadi adalah tingkat golput yang jumlahnya sangat banyak dan ketidaktransparannya pemilu seperti KPU prama 2012 yang tidak mau memberikan data perincian KPU dan DPTnya pada redaksi Polar.
Apakah bisa disebut demokrasi apabila yang memilihnya saja kurang dari 50% pemilih yang masih mempunyai hak pilih. Dari kurang lebih 31.000 mahasiswa yang punya hak pilih, hanya 11.667 yang memilih. Sedangkan 301 suara tidak sah dan 61 suara abstein (LPJ KPU 2012). Untuk Pemilu Presiden dan Pemilu Kepala Daerah, angka golput juga tinggi. Pilpres 2004 angka golput 21,5%, Pilpres 2009 naik jadi 23,3% (angka partisipasi pemilih Pilpres 2009 sebesar 72,09%). Angka golput pilkada rata-rata 27,9%. Pilkada Jateng 2008, angka golput 45,25, Pilkada Jabar 24 Februari 2013 sebesar 35%, Pilkada Sumatera Utara 7 Maret 2013 mencapai 51%. Di Jabar dan Sumut, golput bahkan menjadi ’’pemenang’’ sesungguhnya (suara merdeka).Keadaan ini timbul dari dampak realitas dan kesadaran masyarakat bahwa memilih tidak akan mengubah hidupnya lima tahun kedepan atau satu tahun kedepan bagi mahasiswa. Keadaan ini timbul dari ketidakpercayaan pemilih terhadap kandidat calon terpilih untuk membawa aspirasi. Ketidakpedulian masyarakat salah satunya terbentuk dari realitas bahwa program atau kebijakan yang dijalankan sebuah lembaga tidak dirasakan dampaknya dan tidak menyelesaikan masalah yang ada di setiap elemen.
Politik uang sudah makin menjalar bak jamur di musim hujan. Adanya istilah percaloan suara dan strategi menjual diri marak terjadi di pemilu nasional. Strategi menjual diri ini bermacam-macam bentuknya, tapi mempunyai esensi yang sama yaitu politik uang. Calo suara yang mempunyai banyak massa, akan selalu didatangi oleh para caleg atau capres untuk menggalang suara dengan sejumlah uang yang dikeluarkan. Sasaran calo seperti pengangguran-pengangguran yang butuh uang dan kelaparan akan memaksimalkan hasil yang didapat berdasar pada perhitungan rasional. Teori formalis antropologi ekonomi ini yang mengakibatkan pengangguran-pengangguran tidak punya pilihan lain selain memilih calon yang belum tentu ingin mereka pilih. Perhitungan rasional mereka agar memilih calon yang sudah memberi mereka makan, sadar tidak sadar sudah masuk kedalam jurang transaksi praktek politik praktis. Sistem politik uang merupakan penyebab dari tindak korupsi. Politik ini menyebabkan para caleg berusaha untuk mengembalikan uang yang begitu banyak keluar pada saat kampanye, dan peluang setelah menjadi pejabat terbuka lebar untuk korupsi, uang kampanye bisa kembali, kembali ke rekening pribadi ataupun rekening partai yang telah mengusungnya.
Kecurangan yang timbul pada saat kampanye maupun pada saat perhitungan suara pun banyak terjadi ketika banyak dari mereka yang mengadukannya ke Mahkamah Konstitusi. Dan ternyata lembaga independen yang dibuat dengan tujuan “demokratis” pun tidak bersih, setelah terbongkarnya kasus suap Akil Mochtar. Kecurangan-kecurangan yang terjadi dalam pemilu yaitu politik uang, pemilih ganda, manipulasi hasil suara, kesalahan DPT, pengerusakan surat suara, dan tidak menerima surat atau kartu pemilih. Ini bisa dicegah jika kita bisa lebih mengawasi dengan tindak benar-benar independen dan tidak dikendarai oleh elemen apapun. KPU dan KPP yang ada dikampus juga harus benar-benar bersih, jujur, dan independen. KPU yang harus mempunyai integritas dan pengalaman yang mumpuni dalam konteks pemilu yang bersih dan jauh dari kendaraan-kendaraan politik dibelakangnya. Transparansi tersebut harus benar dinomorsatukan oleh KPU. KPU juga jangan membuat kita menjadi seperti memilih kucing didalam karung. Tentunya KPP diwajibkan mengawasi dengan benar dan harus benar-benar bersih daripada KPU.
Krisis demokrasi di negara dunia ketiga atau negara yang corak ekonominya kapitalis ecek-ecek ini bisa dianggap parah. Dunia ketiga yang selalu jadi korban liberalisasi ekonomi dunia akan selalu bermuara dari masalah-masalah yang seperti ini adanya. Demokrasi yang sangat jauh dari esensi telah dikotori oleh kelakuan pragmatis uang yang wajar dalam dunia kapitalis. Bahwa uang adalah Yang Maha Esa, uang adalah segala-galanya, ketika uang bisa membeli segalanya, ketika uang bisa membeli hukum, ketika uang bisa membuat kita menjadi orang nomor satu dikampus, didaerah, ataupun di tingkat negara. Hal yang wajar dalam dunia kapitalis tersebut adalah momok terburuk negara-negara yang menyandang sebutan dunia ketiga atau negara dengan corak ekonomi kapitalis yang ecek-ecek.
Praktek demokrasi yang terjadi di Indonesia maupun di tingkat Universitas merupakan demokrasi representatif atau demokrasi perwakilan yang mewajibkan adanya sebuah lembaga perwakilan yang membutuhkan birokrasi bertingkat dan memisahkan para wakil dengan para pemilihnya. Para wakil yang mempunyai kewenangan lebih dari para pemilihnya sering disebut mempunyai privilage atau hak istimewa dalam membuat kebijakan-kebijakan yang katanya dapat menyejahterakan rakyatnya atau mewakili suara-suara bersama untuk kebaikan bersama. Kenyataanya memang hampir semua tidak seperti itu. Golput yang semakin menjamur seakan seperti sebuah simbol akan perlawanan sebuah sistem yang sudah tidak cocok lagi. Meskipun hal tersebut bukan merupakan salah satu penyebab dari mengapa masyarakat menjadi seorang golput.
Kaum anarkis, yang sering disalahartikan oleh masyarakat dan juga dosa media, sebagai saudara kembarnya vandalisme, membuat solusi radikal yang memang tidak bisa dipraktekkan didalam kehidupan masyarakat bernegara. Hal ini memang representatif kaum anarkis yang menolak aparatur negara sebagai horor atau katanya Bakunin: “negara itu seperti rumah jagal raksasa atau kuburan mahaluas, dimana sebuah aspirasi riil, semua daya hidup sebuah negeri masuk dengan murah hati dan suka hati didalam bayang-bayang abstraksi tersebut, untuk membiarkan diri mereka dicincang dan dikubur”. Negara merupakan kekerasan fundamental bagi kaum anarkis terutama anarkis klasik. Solusi radikal tersebut ialah menjungkirbalikan hirarki demokrasi dengan mengganti demokrasi representatif dengan demokrasi partisipatoris atau demokrasi akar-rumput.
Demokrasi partisipatoris atau demokrasi akar-rumput atau bisa juga disebut demokrasi konsensus, adalah kebalikan dari demokrasi representatif. Demokrasi model ini sangat menekankan pada partisipasi aktif dari anggota komunitas bukan hanya untuk menentukan pilihan saja, tapi juga dalam pembuatan pilihan-pilihan. Demokrasi partisipatoris jelas tidak dapat dipraktekkan dalam kenegaraan karena negara membutuhkan birokrasi yang bertingkat, yang memisahkan para wakil dengan para pemilihnya. Demokrasi partisipatoris adalah demokrasi dalam artian sesungguhnya, di mana masing-masing orang memiliki hak untuk menentukan apa yang terbaik bagi dirinya. Jika demokrasi representatif menggunakan metode dari atas ke bawah (top-down), maka demokrasi partisipatoris lebih menekankan pengambilan keputusan dari bawah (bottom-up). (timkatalis)
Demokrasi partisapatoris sangat memungkinkan seseorang untuk mengambil alih setiap keputusan bagi dirinya sendiri. Sistem demokrasi ini terwujud dalam komunitas sedulur sikep di daerah-daerah Jawa Timur. Para partisipan selalu terlibat dalam pengambilan keputusan harian, melalui desentralisasi ilmu pengetahuan dan kekuasaan, sehingga pengambilan kontrol atas hidup sehari-hari menjadi sesuatu yang sangat mungkin. Demokrasi yang bersifat seperti ini mungkin bisa dijadikan solusi akan krisis demokrasi yang terjadi dalam dunia ketiga.
Pesta demokrasi yang katanya dirayakan oleh banyak orang ternyata tidak sesuai dengan realitas yang terjadi. Angka golput yang jumlahnya sangat banyak membuat pesta demokrasi ini tidak layak dikatakan dirayakan oleh banyak orang. Marilah lebih sadar dan peduli terhadap keadaan sekitar, dan juga menjadi pemilih yang cerdas. Menjadi pemilih yang cerdas bukan hanya sekedar tahu dan lebih mengenal calonnya, tapi juga sadar bahwa kita akan memilih atau tidak, mempunyai dasar alasan yang jelas. Tunjukkan lah kebebasan dalam memilih, karena salah satu esensi demokrasi adalah bebas. Suara Tuhan adalah suara rakyat. (AK)
http://www.suaramerdeka.com/v1/index...ning-II-Parpol
http://timkatalis.blogspot.com/2009/...mu-jangan.html
Spoiler for Mannga Dibaca:
Fenomena Pesta Demokrasi di Indonesia
“Kawan... jadikan pemilu 2009 masa kemenangan bagi golput. Ya, untuk apa memilih orang yang tak sekali pun memikirkanmu. Bukankah tidak memilih pun merupakan sebuah pilihan?” CAKA #3 Desember 2008
Kutipan tadi diambil dari teman-teman pers mahasiswa kita yang berada di Sulawesi Selatan sana. Bahwa menjadi seorang golput juga adalah sebuah pilihan selain pilihan kita memilih calon-calon yang ada ditempat pemilihan suara. Menjadi seorang apatis dan golput adalah dua sisi koin yang berbeda. Ketika menjadi apatis kita seolah tidak peduli dengan apa yang ada disekitar kita, dan menjadi seorang golput yang belum tentu apatis adalah sebuah pilihan dari dampak realitas bahwa memilih itu tidak akan memberikan pengaruh apapun. Opini ini dianggap menjadi masalah dalam pesta demokrasi yang mengharuskan setiap pemilih itu berpartisipasi agar demokrasi yang demokratis itu berjalan dengan baik.
Di akhir tahun 2013 ini kita dihadapkan oleh yang biasa disebut sebagai pesta demokrasi. Dari pemilu nasional 2014, pemilu DPRD, pemilu Dekanat, pemilu BEM FISIP, dan pemilu BEM KEMA atau prama 2013. Ketika mahasiswa-mahasiswi yang berlomba-lomba ingin menjadi orang nomor satu di tingkat fakultas maupun di tingkat Universitas. Ketika setiap fakultas mengirimkan tiga calonnya ke ketua senat Universitas untuk dijadikan bakal calon dekanat yang menjabat 5 tahun sekali. Para caleg yang berusaha menggalang suara agar mendapat kursi ditempat paling istimewa di NKRI. Dan para capres yang berlomba-lomba menjadi orang nomor satu di negara ini.
Pesta demokrasi dewasa ini makin begitu memprihatinkan, dengan banyaknya angka golput, poilitik uang, dan kecurangan. Keadaan ini tidak hanya tercermin di tingkat nasional, namun di tingkat universitas pun yang skalanya lebih kecil. Realitas yang terjadi di skala kecil itu merupakan representasi dari skala yang lebih besar. Di tingkat kampus keadaan yang terjadi adalah tingkat golput yang jumlahnya sangat banyak dan ketidaktransparannya pemilu seperti KPU prama 2012 yang tidak mau memberikan data perincian KPU dan DPTnya pada redaksi Polar.
Apakah bisa disebut demokrasi apabila yang memilihnya saja kurang dari 50% pemilih yang masih mempunyai hak pilih. Dari kurang lebih 31.000 mahasiswa yang punya hak pilih, hanya 11.667 yang memilih. Sedangkan 301 suara tidak sah dan 61 suara abstein (LPJ KPU 2012). Untuk Pemilu Presiden dan Pemilu Kepala Daerah, angka golput juga tinggi. Pilpres 2004 angka golput 21,5%, Pilpres 2009 naik jadi 23,3% (angka partisipasi pemilih Pilpres 2009 sebesar 72,09%). Angka golput pilkada rata-rata 27,9%. Pilkada Jateng 2008, angka golput 45,25, Pilkada Jabar 24 Februari 2013 sebesar 35%, Pilkada Sumatera Utara 7 Maret 2013 mencapai 51%. Di Jabar dan Sumut, golput bahkan menjadi ’’pemenang’’ sesungguhnya (suara merdeka).Keadaan ini timbul dari dampak realitas dan kesadaran masyarakat bahwa memilih tidak akan mengubah hidupnya lima tahun kedepan atau satu tahun kedepan bagi mahasiswa. Keadaan ini timbul dari ketidakpercayaan pemilih terhadap kandidat calon terpilih untuk membawa aspirasi. Ketidakpedulian masyarakat salah satunya terbentuk dari realitas bahwa program atau kebijakan yang dijalankan sebuah lembaga tidak dirasakan dampaknya dan tidak menyelesaikan masalah yang ada di setiap elemen.
Politik uang sudah makin menjalar bak jamur di musim hujan. Adanya istilah percaloan suara dan strategi menjual diri marak terjadi di pemilu nasional. Strategi menjual diri ini bermacam-macam bentuknya, tapi mempunyai esensi yang sama yaitu politik uang. Calo suara yang mempunyai banyak massa, akan selalu didatangi oleh para caleg atau capres untuk menggalang suara dengan sejumlah uang yang dikeluarkan. Sasaran calo seperti pengangguran-pengangguran yang butuh uang dan kelaparan akan memaksimalkan hasil yang didapat berdasar pada perhitungan rasional. Teori formalis antropologi ekonomi ini yang mengakibatkan pengangguran-pengangguran tidak punya pilihan lain selain memilih calon yang belum tentu ingin mereka pilih. Perhitungan rasional mereka agar memilih calon yang sudah memberi mereka makan, sadar tidak sadar sudah masuk kedalam jurang transaksi praktek politik praktis. Sistem politik uang merupakan penyebab dari tindak korupsi. Politik ini menyebabkan para caleg berusaha untuk mengembalikan uang yang begitu banyak keluar pada saat kampanye, dan peluang setelah menjadi pejabat terbuka lebar untuk korupsi, uang kampanye bisa kembali, kembali ke rekening pribadi ataupun rekening partai yang telah mengusungnya.
Kecurangan yang timbul pada saat kampanye maupun pada saat perhitungan suara pun banyak terjadi ketika banyak dari mereka yang mengadukannya ke Mahkamah Konstitusi. Dan ternyata lembaga independen yang dibuat dengan tujuan “demokratis” pun tidak bersih, setelah terbongkarnya kasus suap Akil Mochtar. Kecurangan-kecurangan yang terjadi dalam pemilu yaitu politik uang, pemilih ganda, manipulasi hasil suara, kesalahan DPT, pengerusakan surat suara, dan tidak menerima surat atau kartu pemilih. Ini bisa dicegah jika kita bisa lebih mengawasi dengan tindak benar-benar independen dan tidak dikendarai oleh elemen apapun. KPU dan KPP yang ada dikampus juga harus benar-benar bersih, jujur, dan independen. KPU yang harus mempunyai integritas dan pengalaman yang mumpuni dalam konteks pemilu yang bersih dan jauh dari kendaraan-kendaraan politik dibelakangnya. Transparansi tersebut harus benar dinomorsatukan oleh KPU. KPU juga jangan membuat kita menjadi seperti memilih kucing didalam karung. Tentunya KPP diwajibkan mengawasi dengan benar dan harus benar-benar bersih daripada KPU.
Krisis demokrasi di negara dunia ketiga atau negara yang corak ekonominya kapitalis ecek-ecek ini bisa dianggap parah. Dunia ketiga yang selalu jadi korban liberalisasi ekonomi dunia akan selalu bermuara dari masalah-masalah yang seperti ini adanya. Demokrasi yang sangat jauh dari esensi telah dikotori oleh kelakuan pragmatis uang yang wajar dalam dunia kapitalis. Bahwa uang adalah Yang Maha Esa, uang adalah segala-galanya, ketika uang bisa membeli segalanya, ketika uang bisa membeli hukum, ketika uang bisa membuat kita menjadi orang nomor satu dikampus, didaerah, ataupun di tingkat negara. Hal yang wajar dalam dunia kapitalis tersebut adalah momok terburuk negara-negara yang menyandang sebutan dunia ketiga atau negara dengan corak ekonomi kapitalis yang ecek-ecek.
Praktek demokrasi yang terjadi di Indonesia maupun di tingkat Universitas merupakan demokrasi representatif atau demokrasi perwakilan yang mewajibkan adanya sebuah lembaga perwakilan yang membutuhkan birokrasi bertingkat dan memisahkan para wakil dengan para pemilihnya. Para wakil yang mempunyai kewenangan lebih dari para pemilihnya sering disebut mempunyai privilage atau hak istimewa dalam membuat kebijakan-kebijakan yang katanya dapat menyejahterakan rakyatnya atau mewakili suara-suara bersama untuk kebaikan bersama. Kenyataanya memang hampir semua tidak seperti itu. Golput yang semakin menjamur seakan seperti sebuah simbol akan perlawanan sebuah sistem yang sudah tidak cocok lagi. Meskipun hal tersebut bukan merupakan salah satu penyebab dari mengapa masyarakat menjadi seorang golput.
Kaum anarkis, yang sering disalahartikan oleh masyarakat dan juga dosa media, sebagai saudara kembarnya vandalisme, membuat solusi radikal yang memang tidak bisa dipraktekkan didalam kehidupan masyarakat bernegara. Hal ini memang representatif kaum anarkis yang menolak aparatur negara sebagai horor atau katanya Bakunin: “negara itu seperti rumah jagal raksasa atau kuburan mahaluas, dimana sebuah aspirasi riil, semua daya hidup sebuah negeri masuk dengan murah hati dan suka hati didalam bayang-bayang abstraksi tersebut, untuk membiarkan diri mereka dicincang dan dikubur”. Negara merupakan kekerasan fundamental bagi kaum anarkis terutama anarkis klasik. Solusi radikal tersebut ialah menjungkirbalikan hirarki demokrasi dengan mengganti demokrasi representatif dengan demokrasi partisipatoris atau demokrasi akar-rumput.
Demokrasi partisipatoris atau demokrasi akar-rumput atau bisa juga disebut demokrasi konsensus, adalah kebalikan dari demokrasi representatif. Demokrasi model ini sangat menekankan pada partisipasi aktif dari anggota komunitas bukan hanya untuk menentukan pilihan saja, tapi juga dalam pembuatan pilihan-pilihan. Demokrasi partisipatoris jelas tidak dapat dipraktekkan dalam kenegaraan karena negara membutuhkan birokrasi yang bertingkat, yang memisahkan para wakil dengan para pemilihnya. Demokrasi partisipatoris adalah demokrasi dalam artian sesungguhnya, di mana masing-masing orang memiliki hak untuk menentukan apa yang terbaik bagi dirinya. Jika demokrasi representatif menggunakan metode dari atas ke bawah (top-down), maka demokrasi partisipatoris lebih menekankan pengambilan keputusan dari bawah (bottom-up). (timkatalis)
Demokrasi partisapatoris sangat memungkinkan seseorang untuk mengambil alih setiap keputusan bagi dirinya sendiri. Sistem demokrasi ini terwujud dalam komunitas sedulur sikep di daerah-daerah Jawa Timur. Para partisipan selalu terlibat dalam pengambilan keputusan harian, melalui desentralisasi ilmu pengetahuan dan kekuasaan, sehingga pengambilan kontrol atas hidup sehari-hari menjadi sesuatu yang sangat mungkin. Demokrasi yang bersifat seperti ini mungkin bisa dijadikan solusi akan krisis demokrasi yang terjadi dalam dunia ketiga.
Pesta demokrasi yang katanya dirayakan oleh banyak orang ternyata tidak sesuai dengan realitas yang terjadi. Angka golput yang jumlahnya sangat banyak membuat pesta demokrasi ini tidak layak dikatakan dirayakan oleh banyak orang. Marilah lebih sadar dan peduli terhadap keadaan sekitar, dan juga menjadi pemilih yang cerdas. Menjadi pemilih yang cerdas bukan hanya sekedar tahu dan lebih mengenal calonnya, tapi juga sadar bahwa kita akan memilih atau tidak, mempunyai dasar alasan yang jelas. Tunjukkan lah kebebasan dalam memilih, karena salah satu esensi demokrasi adalah bebas. Suara Tuhan adalah suara rakyat. (AK)
http://www.suaramerdeka.com/v1/index...ning-II-Parpol
http://timkatalis.blogspot.com/2009/...mu-jangan.html
Diubah oleh deaztec 29-03-2014 12:51
0
3.5K
Kutip
8
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan