- Beranda
- Komunitas
- Food & Travel
- Domestik
Larangan Makan Nasi di Sebuah Desa (Mitos Ki Ageng Selo-Penangkap Petir)


TS
ramailham
Larangan Makan Nasi di Sebuah Desa (Mitos Ki Ageng Selo-Penangkap Petir)
maaf gan kalo ane repost dari forum sebelah 
langsung aje ye, ane jga bingung mau jelasinnya kyk gmana
ini cerita dri kampung halaman ane gan
cekidot!!!!
nah sampai disini dulu, ane newbie gan jdi ya maaf kalo thread ane masih jelek ato kurang bagus
kalo thread ane bagus syukur2 dikasih


atau kalau gak ya ninggalin jejak


kalo masih kurang bagus jngan dikasih

ya gan hehe

langsung aje ye, ane jga bingung mau jelasinnya kyk gmana
ini cerita dri kampung halaman ane gan

MITOS JUALAN NASI DI SELO,TAWANGHARJO
Grobogan, Jawa Tengah
Tak Ada Penjual Nasi di Selo Panjimatan
JANGAN pernah berniat membeli nasi di Dukuh Selo Panjimatan, Desa Selo, Kecamatan Tawangharjo, Grobogan. Sebab, itu sebuah kesia-siaan. Ada mitos di dukuh asal Ki Ageng Selo tersebut yang melarang nasi diperjualbelikan. Warga menghormati mitos itu dari dulu hingga sekarang.
Tak satu pun dari mereka berani menjajakan nasi di warungnya. Pelanggaran terhadap mitos diyakini membawa akibat buruk. Dari petir menyambar-nyambar, sampai mendapat petaka.
Badrul Munir (42), seorang warga menyampaikan cerita tutur berkait pamali itu. Suatu ketika, Ki Ageng Selo kedatangan tamu. Tokoh yang dipercaya sebagai cikal-bakal raja-raja Mataram, baik Surakarta maupun Ngayogyakarta itu segera meminta istrinya menyiapkan hidangan. Saat hidangan siap, Ki Ageng Selo pun mengajak tamunya bersantap. Namun, di luar dugaan ajakan itu ditolak. Sang tamu berdalih baru saja makan nasi di warung. Merasa jengkel, lelaki bernama kecil Raden Bagus Sogom itu lantas mengucap sepata: "Wiwit saiki tekane besok, anak turunanku aja padha dodolan sega ing papan kene" (Mulai sekarang hingga kelak, anak keturunanku jangan ada yang berjualan nasi di tempat ini).
Terlepas benar-tidaknya, warga masih memegang teguh piweling itu. Para pemilik warung di sekitar masjid, yakni di Dukuh Selo Panjimatan dan sebagian Selo Krajan, tidak ada yang berani menjual menu makanan dari nasi.
[Tak Melayani] Ny Uti (43) misalnya. Sebagai ganti nasi, pemilik warung di Selo Panjimatan itu menjajakan lontong sayur dan mi jawa. Lontong sayur dijajakan sejak pagi dan mi jawa mulai sore hingga malam. Dia tidak akan melayani pengunjung warung yang menghendaki nasi.Kalau toh terpaksa, Ny Uti akan memberikan nasi secara cuma-cuma. Itu pun dengan syarat tidak boleh dimakan di warung. "Suatu hari ada santri yang minta nasi. Karena kasihan, saya beri dia nasi dan memintanya untuk makan di dalam rumah, bukan di warung," kata Ny Uti.
Kepercayaan itu demikian kuat melekat di benak warga. Maka, jika suatu hari ada petir menyambar-nyambar, mereka akan bertanya: "Siapa yang berani menjual nasi di dukuh ini." Petir sebagai penanda yang diyakini warga, barangkali tak lepas dari sosok Ki Ageng Selo. Dikisahkan dalam Babad Tanah Jawi edisi Meinsma, ia mampu menangkap petir yang menyerang nya.
Suatu ketika di masa pemerintahan Sultan Trenggana, Ki Ageng Selo pergi ke ladang. Hari hujan, petir menyambar-nyambar. Petir tiba-tiba menghantam tubuh Ki Ageng Selo. Dengan sigap tangannya menangkap petir berwujud kakek-kakek itu. Setelah diringkus, tubuh kakek diikat di pohon gandri, sementara ia meneruskan pekerjaannya. Petir berwujud kakek-kakek itu diserahkan kepada Sultan. Oleh Sultan kemudian dimasukkan ke dalam kerangkeng besi yang kuat dan diletakkan di tengah alun-alun. Orang-orang ramai berdatangan untuk melihat wujud petir tersebut. Di antara mereka ada seorang nenek yang memberi petir air kendi. Tak lama berselang, terjadi ledakan dahsyat yang menghancurkan kerangkeng besi, penjara tubuh si kakek.
Tak Ada Penjual Nasi di Selo Panjimatan
JANGAN pernah berniat membeli nasi di Dukuh Selo Panjimatan, Desa Selo, Kecamatan Tawangharjo, Grobogan. Sebab, itu sebuah kesia-siaan. Ada mitos di dukuh asal Ki Ageng Selo tersebut yang melarang nasi diperjualbelikan. Warga menghormati mitos itu dari dulu hingga sekarang.
Tak satu pun dari mereka berani menjajakan nasi di warungnya. Pelanggaran terhadap mitos diyakini membawa akibat buruk. Dari petir menyambar-nyambar, sampai mendapat petaka.
Badrul Munir (42), seorang warga menyampaikan cerita tutur berkait pamali itu. Suatu ketika, Ki Ageng Selo kedatangan tamu. Tokoh yang dipercaya sebagai cikal-bakal raja-raja Mataram, baik Surakarta maupun Ngayogyakarta itu segera meminta istrinya menyiapkan hidangan. Saat hidangan siap, Ki Ageng Selo pun mengajak tamunya bersantap. Namun, di luar dugaan ajakan itu ditolak. Sang tamu berdalih baru saja makan nasi di warung. Merasa jengkel, lelaki bernama kecil Raden Bagus Sogom itu lantas mengucap sepata: "Wiwit saiki tekane besok, anak turunanku aja padha dodolan sega ing papan kene" (Mulai sekarang hingga kelak, anak keturunanku jangan ada yang berjualan nasi di tempat ini).

Terlepas benar-tidaknya, warga masih memegang teguh piweling itu. Para pemilik warung di sekitar masjid, yakni di Dukuh Selo Panjimatan dan sebagian Selo Krajan, tidak ada yang berani menjual menu makanan dari nasi.
[Tak Melayani] Ny Uti (43) misalnya. Sebagai ganti nasi, pemilik warung di Selo Panjimatan itu menjajakan lontong sayur dan mi jawa. Lontong sayur dijajakan sejak pagi dan mi jawa mulai sore hingga malam. Dia tidak akan melayani pengunjung warung yang menghendaki nasi.Kalau toh terpaksa, Ny Uti akan memberikan nasi secara cuma-cuma. Itu pun dengan syarat tidak boleh dimakan di warung. "Suatu hari ada santri yang minta nasi. Karena kasihan, saya beri dia nasi dan memintanya untuk makan di dalam rumah, bukan di warung," kata Ny Uti.
Kepercayaan itu demikian kuat melekat di benak warga. Maka, jika suatu hari ada petir menyambar-nyambar, mereka akan bertanya: "Siapa yang berani menjual nasi di dukuh ini." Petir sebagai penanda yang diyakini warga, barangkali tak lepas dari sosok Ki Ageng Selo. Dikisahkan dalam Babad Tanah Jawi edisi Meinsma, ia mampu menangkap petir yang menyerang nya.
Suatu ketika di masa pemerintahan Sultan Trenggana, Ki Ageng Selo pergi ke ladang. Hari hujan, petir menyambar-nyambar. Petir tiba-tiba menghantam tubuh Ki Ageng Selo. Dengan sigap tangannya menangkap petir berwujud kakek-kakek itu. Setelah diringkus, tubuh kakek diikat di pohon gandri, sementara ia meneruskan pekerjaannya. Petir berwujud kakek-kakek itu diserahkan kepada Sultan. Oleh Sultan kemudian dimasukkan ke dalam kerangkeng besi yang kuat dan diletakkan di tengah alun-alun. Orang-orang ramai berdatangan untuk melihat wujud petir tersebut. Di antara mereka ada seorang nenek yang memberi petir air kendi. Tak lama berselang, terjadi ledakan dahsyat yang menghancurkan kerangkeng besi, penjara tubuh si kakek.

nah sampai disini dulu, ane newbie gan jdi ya maaf kalo thread ane masih jelek ato kurang bagus

kalo thread ane bagus syukur2 dikasih



atau kalau gak ya ninggalin jejak



kalo masih kurang bagus jngan dikasih



SEKIAN




tien212700 dan nona212 memberi reputasi
2
5.5K
4


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan