- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Cerpen : BOLEH KUPETIK BUNGA INI?


TS
akangckp
Cerpen : BOLEH KUPETIK BUNGA INI?
BOLEH KUPETIK BUNGA INI?
“Bolehkah kupetik bunga ini?” Kataku ketika sudah sampai dikontrakan barunya.
“Sssett.. Jangan, itu ada pemiliknya” sembari senyum melihat ke samping dan mengangguk, tampak seorang bapak tua yang sudah beruban mendorong perlahan kursi roda dengan seorang nenek sedang duduk.
“Jangan kau ambil nak, jika hanya untuk dibuang” sahut nenek yang dikursi itu menyela.
“Ijinkan aku Nek, untuk aku ambil dan kusimpan”
“Mengapa kau petik bunga itu, jika hanya untuk disimpan saja”
“Tapi aku senang dengan bunga cantik ini” aku terus membela apa yang aku inginkan.
“Sudahlah, itu punya orang” dia menjawab pelan, “kamu masih dapat mencarinya di tempat lain” menarik tanganku masuk pelataran rumah, melewati bapak tua dan nenek dikursi roda.
“He, nak!” sambil memegang pundakku, aku menurunkan tas dari pundakku diatas kursi rotan dan berdiri mematung didekat bapak itu. “Jika kamu dapat merawat bunga ini, jangan kamu petik untuk menjadi layu dan mati, peliharalah, seperti bapak lakukan, bapak siram tiap hari, bapak tengok dan pelihara, bapak bersihkan tangkai-tangkainya, dipupuk tiap hari tak pernah bosan, sampai saat ini tumbuh indah dan terawat. Sesungguhnya bunga itu akan terus tumbuh sehat dan menarik hati jika kau pelihara dan dijaga”
Aku hanya mengangguk dan senyum. Malu rasanya baru bertemu sudah diceramahi tentang bunga.
Aku masuk rumah kontrakan itu, melihat-lihat ruangan tengah, kamar yang akan diisinya tepat diatas kamar dibawahnya, dan sesekali bisa menengok kebun mungil disamping rumahnya. Balkon kamar dia cukup nyaman, dapat menatap miniatur telaga disudut rumah.
Melihat keadaan rumah kontrakan itu, teringat pada suasana ketika aku kerja di rumah desain di jalan Supratman, hampir mirip, hanya saja tempat dulu aku kerja rumah tua peninggalan belanda, bangunan cukup luas dengan tanaman hampir meliputi bagian depan rumah, sedangkan ini hanya sebuah perum yang baru sekira dua puluh tahunan dihuni.
Bunga-bunga segar yang masih basah oleh air hujan terlihat didepan jendela kamar, tempias hujan berloncatan dari bambu penyangga, aku mengira dilantai bawah ini kamar bapak tua tadi dan isterinya. Sewaktu datang tadi, tampak dari balik jendela ranjangnya yang terlihat samar-samar tertutup kelambu krem, sepasang kursi rotan dengan cat putih kelupas disamping jendela dan asbak patung petani membawa cangkul.
Aku turun dari lantai atas menuju halaman mungil itu, tempat taman bunga berjejer membentuk setengah lingkaran. Ada kolam kecil dengan air terjun buatan, seperti sebuah telaga. Sunyi terasa ketika mengamati lumut-lumut yang menutupi batu-batu yang menempel diminiatur sungai.
“Nak, gadis itu saudaramu?” suara bapak itu terdengar dibelakangku. Mengagetkankku yang larut dalam miniatur telaga.
“Mmm.., kenapa gitu Pak?” aku jadi balik nanya.
“Dikira saudaramu, mungkin saja, ada kemiripan” katanya mencoba menebak. Aku senyum, hatiku menjawab tebakannya yang salah itu.
“Saudara baru” jawabku lepas. Tanpa sengaja!, tiba-tiba saja berucap itu.
“Bukan kakaknya yang waktu itu diceritakan?” sambil keheranan.
Mungkin saja dia menceritakan kakaknya, sewaktu dia kesini, atau bareng kakaknya kesini, atau ‘kakak’ lainnya yang dia ajak atau dia ceritakan. Mungkin dan mungkin… Apa yang harus aku jawab? Sejujurnya? Ya, memang sejujurnya aku menjawab lepas tadi.
“Oooh, dia cerita?” aku mencoba tenang.
“Katanya dia punya kakak yang mungkin akan main kesini, dia hanya nanya boleh tidaknya saja, itu kata nenek, bapak kira kamu nak, siapa namamu?
“Zein, lengkapnya Ahmad Zein Al Hakim, Bapak?”
“Nama yang bagus Nak, sesuai namamu semoga kau bijaksana” Dia tidak menjawab namanya, hanya mencoba menerjemahkan namaku, “Sudah kerja atau masih kuliah?” si Bapak melangkah dan merebahkan badan dikursi, mengambil rokok kretek disamping asbak patung. Aku membalikan badan, kemudian berdiri dan menghampiri. Bingung juga ditanya seperti ini, kuliah tidak, kerja ke orang pun tidak, sedang pengangguran semu pasti.
“Aku tidak kerja” Maksudku sudah bukan karyawan pada perusahaan.
“Kuliah dimana?” Menebak pertanyaan selanjutnya yang dia ajukan tadi.
“Tidak juga Pak, aku baru nyoba usaha kecil-kecilan, bareng teman-teman, sudah hampir tiga tahun keluar kerja” Aku duduk dikursi sampingnya, hanya terhalang meja ramping dari jati, dadaku sedikit lapang, tidak menahan napas lagi.
“Ooh, kalo begitu wiraswasta yah?” Menatapku, Aku mengangguk dan senyum.
Lama-lama enak juga bicara dengan bapak itu, cara bicaranya kadang membuat aku geli, sebagian yang dia tebak dan obrolkan menjurus pada harapan-harapanku.
Ternyata datang ke Bandung hanya beda sekitar tiga tahunan dibanding aku, tapi pengalaman tentang Bandung, jauh lebih detail dibandingkan dengan pribumi Bandung sendiri. Bicara tentang filsafat sungguh mengagumkan. Banyak hal-hal inti tentang ilmu filsafat yang dia kuasai, kadang seperti campur mengetest kemampuanku, dia seperti pura-pura tidak tahu tentang beberapa hal yang berhubungan dengan filsafat agama.
Ada sedikit campur kejawen yang dia fikirkan, mulai dari rajah-rajah ataupun tentang psikotes yang dibaca secara gaib, aku kurang tertarik dengan hal itu, tapi asyik juga berbagi pengalaman dengannya. Juga tentang nama perusahaanpun dia mengaitkan beberapa simbol dengan jenis usaha yang dilakukan. Entah kagum atau tidak, yang jelas ketika mengartikan nama perusahaan yang aku jalankan sekarang, dia menilai begitu sempurna dengan jenis usaha jasa yang aku lakukan ini. Ah, mungkin ini berlebih, tapi akupun berdoa semoga terkabulkan apa yang dia kemukakan.
“Ada cara yang paling mudah tentang kecocokan berfikir” katanya ketika aku menanyakan sifat seseorang dari wajah.
“Seperti dalam Islam, ada yang mengatakan membaca perilaku manusia itu dari mukanya ataupun telapak tangannya. Nah kau harus tau Nak, beberapa ilmu psikologi ada yang menerjemahkan bahwa jika seseorang yang ketika bicara dominan terlihat gigi atas, maka orang itu biasanya cenderung pintar dan semangat. Pintar dalam bidang-bidang eksak, juga biasanya lebih suka berfikir pada teknik daripada politis. Sedangkan jika bicara terlihat dominan gigi bawah, maka orang itu biasanya lebih bijak dan berfikir panjang, kalem dan terpola, pintar dalam bidang ilmu sosial, tapi kadang malas, seperti bapak lihat kau bicara Nak, kamu sangat cocok dengan namamu, apa nama panjangnya?”. “al-Hakim” sahutku, “Nah, al-Hakim, gaya bicaramu terlihat dominan gigi bawah, apa kamu tidak merasakan dalam kriteria ini?, coba saja fikirkan apa kriteria yang bapak tadi sebutkan ada dalam dirimu. Begitu juga dalam membangun suatu kegiatan atau kerjasama apapun namanya, mereka yang cenderung cocok itu jika bertemunya dua spesifikasi gaya bicara ini biasanya akan sejalan jika memahami dan mengakui pola fikir masing-masing”.
Aku berfikir dan mencoba menebak keadaanku, ada beberapa yang sama walau mungkin hanya kebetulan saja. Tapi aku kurang faham secara logika dan mungkin hanyalah sebuah tebakan yang tepat. Atau dia seorang dukun? paranormal? aku mulai curiga dengan status bapak ini.
Sampai hampir Maghrib, aku baru selesai ngobrol, salaman sambil memegang pundak. “Baik-baik kau Nak, jangan patah semangat” melepaskan jabat tanganku perlahan dan menatapku dalam.
“Iya Pak, semoga kita diberkati Tuhan” jawabku singkat. Aku lihat Jasmin kedalam rumah untuk kuajak pulang, sebab mulai hari esok dia baru boleh mengisi kontrakan barunya. Aku baru sadar, nama bapak ini siapa? Apa perlu ku tanya sekarang? Hmmm.. tidak, mungkin besok-besok masih bisa aku tanyakan sambil ngobrol asyik lagi. Dia dorong perlahan kursi roda nenek dan diserahkannya pada bapak tadi. Dia sepertinya sedang asyik ngobrol dengan nenek itu, tapi waktu hampir maghrib dan harus pamitan pulang.
***
Jam 11.30 siang hujan belum reda, inginnya aku mandi kemudian menemui Jasmin sambil makan siang, tapi selimut dikasurku mendekap erat malas untuk aku lepaskan, tanganku meraba tombol power radio, aku kocek tuningnya, dangdut, rock, pop dan obrolan tentang kesehatan anak menjejal kupingku. Sebuah berita keluarga disela obrolan, menghentikan jariku dari geseran frekwensi yang sedang kuacak.
“…. No. 17A Bandung, Kami atas nama Keluarga Besar TNI Angkatan Darat, turut berduka cita sedalam-dalamnya. Semoga amal ibadahnya diterima Tuhan Yang Maha Kuasa, Amien”
Aku ingat alamat itu rumah kontrakan baru Jasmine, siapa yang meninggal? Nenek yang dikursi roda itu? Atau orang lain, aku heran dan penasaran. Jangan-jangan…. Aku langsung turun dari kasur dan segera pergi menemui Jasmine…
***
Aku menangis tiada henti, pertemuan terakhir yang mengasyikkan di petang kemarin, selepas hujan, yang tidak sempat memberitahukan namanya membuat aku terharu… Mengapa aku tidak menanyakan namanya? Mengapa aku melupakannya begitu saja? Sedang dia begitu baiknya memberi petuah kebijakan padaku walau hanya beberapa jam, menit, detik! Oh, Tuhan… Padahal aku ingin sekali membongkar ilmu-ilmu yang beliau miliki. Bapak menggoda ya? Mencari penasaranku ya? Kenapa bapak tidak berterus terang? Kenapa bapak hanya senyum dan menjanjikan ketika buku-buku dirakmu itu ingin kupinjam? Kenapa, kenapa, kenapa….? Hatiku sangat tercabik-cabik dengan keterbatasanku mengenalnya… uluhatiku terasa sakit…
Karangan bunga berjejer di depan rumah yang baru ku kenal itu, puluhan mobil sedan dan militer parkir disamping kanan kiri jalan raya. sebuah nama terpampang dengan gagahnya berikut pangkat terakhir dimiliter dan jabatan akademisnya, dalam usia 61 tahun.
Aku dan Jasmine mendorong nenek dikursi roda yang ternyata ibunya, satu-satunya keluarga sang Jenderal ini miliki. Tidak meninggalkan keturunan dan isterinya meninggal sebelum kepindahannya ke Bandung. Detik-detik ketika mendorong ibunya ini aku mulai tahu tentang Jenderal TNI AD ini. Tidak lagi menebak yang bukan-bukan.
“Nak, bisakah petikan bunga yang kau minta kemarin itu untuk kau antarkan pada pemiliknya?”
“Bukankah nenek yang akan menyiramkannya?” sahut Jasmin lirih dan memandangku sambil menyeka air mata dipipinya.
“Biar kau bawa Nak, kau kan yang minta memetik, sekarang saatnya yang tepat, keinginan anakku akan aku lakukan, katanya boleh dipetik jika dia sudah pergi dari rumah ini” Hatiku semakin sedih, aku membawa baki bunga yang sebagian sudah dikumpulkan dan dirangkai para tetangga.
Ambulan meraung-raung diluar, upacara penghormatan militer dan pemakaman akan dilakukan sore ini….
(Juli-August ‘05) Zzz | 110705
Sumber : akangckp.wordpress.com
“Bolehkah kupetik bunga ini?” Kataku ketika sudah sampai dikontrakan barunya.
“Sssett.. Jangan, itu ada pemiliknya” sembari senyum melihat ke samping dan mengangguk, tampak seorang bapak tua yang sudah beruban mendorong perlahan kursi roda dengan seorang nenek sedang duduk.
“Jangan kau ambil nak, jika hanya untuk dibuang” sahut nenek yang dikursi itu menyela.
“Ijinkan aku Nek, untuk aku ambil dan kusimpan”
“Mengapa kau petik bunga itu, jika hanya untuk disimpan saja”
“Tapi aku senang dengan bunga cantik ini” aku terus membela apa yang aku inginkan.
“Sudahlah, itu punya orang” dia menjawab pelan, “kamu masih dapat mencarinya di tempat lain” menarik tanganku masuk pelataran rumah, melewati bapak tua dan nenek dikursi roda.
“He, nak!” sambil memegang pundakku, aku menurunkan tas dari pundakku diatas kursi rotan dan berdiri mematung didekat bapak itu. “Jika kamu dapat merawat bunga ini, jangan kamu petik untuk menjadi layu dan mati, peliharalah, seperti bapak lakukan, bapak siram tiap hari, bapak tengok dan pelihara, bapak bersihkan tangkai-tangkainya, dipupuk tiap hari tak pernah bosan, sampai saat ini tumbuh indah dan terawat. Sesungguhnya bunga itu akan terus tumbuh sehat dan menarik hati jika kau pelihara dan dijaga”
Aku hanya mengangguk dan senyum. Malu rasanya baru bertemu sudah diceramahi tentang bunga.
Aku masuk rumah kontrakan itu, melihat-lihat ruangan tengah, kamar yang akan diisinya tepat diatas kamar dibawahnya, dan sesekali bisa menengok kebun mungil disamping rumahnya. Balkon kamar dia cukup nyaman, dapat menatap miniatur telaga disudut rumah.
Melihat keadaan rumah kontrakan itu, teringat pada suasana ketika aku kerja di rumah desain di jalan Supratman, hampir mirip, hanya saja tempat dulu aku kerja rumah tua peninggalan belanda, bangunan cukup luas dengan tanaman hampir meliputi bagian depan rumah, sedangkan ini hanya sebuah perum yang baru sekira dua puluh tahunan dihuni.
Bunga-bunga segar yang masih basah oleh air hujan terlihat didepan jendela kamar, tempias hujan berloncatan dari bambu penyangga, aku mengira dilantai bawah ini kamar bapak tua tadi dan isterinya. Sewaktu datang tadi, tampak dari balik jendela ranjangnya yang terlihat samar-samar tertutup kelambu krem, sepasang kursi rotan dengan cat putih kelupas disamping jendela dan asbak patung petani membawa cangkul.
Aku turun dari lantai atas menuju halaman mungil itu, tempat taman bunga berjejer membentuk setengah lingkaran. Ada kolam kecil dengan air terjun buatan, seperti sebuah telaga. Sunyi terasa ketika mengamati lumut-lumut yang menutupi batu-batu yang menempel diminiatur sungai.
“Nak, gadis itu saudaramu?” suara bapak itu terdengar dibelakangku. Mengagetkankku yang larut dalam miniatur telaga.
“Mmm.., kenapa gitu Pak?” aku jadi balik nanya.
“Dikira saudaramu, mungkin saja, ada kemiripan” katanya mencoba menebak. Aku senyum, hatiku menjawab tebakannya yang salah itu.
“Saudara baru” jawabku lepas. Tanpa sengaja!, tiba-tiba saja berucap itu.
“Bukan kakaknya yang waktu itu diceritakan?” sambil keheranan.
Mungkin saja dia menceritakan kakaknya, sewaktu dia kesini, atau bareng kakaknya kesini, atau ‘kakak’ lainnya yang dia ajak atau dia ceritakan. Mungkin dan mungkin… Apa yang harus aku jawab? Sejujurnya? Ya, memang sejujurnya aku menjawab lepas tadi.
“Oooh, dia cerita?” aku mencoba tenang.
“Katanya dia punya kakak yang mungkin akan main kesini, dia hanya nanya boleh tidaknya saja, itu kata nenek, bapak kira kamu nak, siapa namamu?
“Zein, lengkapnya Ahmad Zein Al Hakim, Bapak?”
“Nama yang bagus Nak, sesuai namamu semoga kau bijaksana” Dia tidak menjawab namanya, hanya mencoba menerjemahkan namaku, “Sudah kerja atau masih kuliah?” si Bapak melangkah dan merebahkan badan dikursi, mengambil rokok kretek disamping asbak patung. Aku membalikan badan, kemudian berdiri dan menghampiri. Bingung juga ditanya seperti ini, kuliah tidak, kerja ke orang pun tidak, sedang pengangguran semu pasti.
“Aku tidak kerja” Maksudku sudah bukan karyawan pada perusahaan.
“Kuliah dimana?” Menebak pertanyaan selanjutnya yang dia ajukan tadi.
“Tidak juga Pak, aku baru nyoba usaha kecil-kecilan, bareng teman-teman, sudah hampir tiga tahun keluar kerja” Aku duduk dikursi sampingnya, hanya terhalang meja ramping dari jati, dadaku sedikit lapang, tidak menahan napas lagi.
“Ooh, kalo begitu wiraswasta yah?” Menatapku, Aku mengangguk dan senyum.
Lama-lama enak juga bicara dengan bapak itu, cara bicaranya kadang membuat aku geli, sebagian yang dia tebak dan obrolkan menjurus pada harapan-harapanku.
Ternyata datang ke Bandung hanya beda sekitar tiga tahunan dibanding aku, tapi pengalaman tentang Bandung, jauh lebih detail dibandingkan dengan pribumi Bandung sendiri. Bicara tentang filsafat sungguh mengagumkan. Banyak hal-hal inti tentang ilmu filsafat yang dia kuasai, kadang seperti campur mengetest kemampuanku, dia seperti pura-pura tidak tahu tentang beberapa hal yang berhubungan dengan filsafat agama.
Ada sedikit campur kejawen yang dia fikirkan, mulai dari rajah-rajah ataupun tentang psikotes yang dibaca secara gaib, aku kurang tertarik dengan hal itu, tapi asyik juga berbagi pengalaman dengannya. Juga tentang nama perusahaanpun dia mengaitkan beberapa simbol dengan jenis usaha yang dilakukan. Entah kagum atau tidak, yang jelas ketika mengartikan nama perusahaan yang aku jalankan sekarang, dia menilai begitu sempurna dengan jenis usaha jasa yang aku lakukan ini. Ah, mungkin ini berlebih, tapi akupun berdoa semoga terkabulkan apa yang dia kemukakan.
“Ada cara yang paling mudah tentang kecocokan berfikir” katanya ketika aku menanyakan sifat seseorang dari wajah.
“Seperti dalam Islam, ada yang mengatakan membaca perilaku manusia itu dari mukanya ataupun telapak tangannya. Nah kau harus tau Nak, beberapa ilmu psikologi ada yang menerjemahkan bahwa jika seseorang yang ketika bicara dominan terlihat gigi atas, maka orang itu biasanya cenderung pintar dan semangat. Pintar dalam bidang-bidang eksak, juga biasanya lebih suka berfikir pada teknik daripada politis. Sedangkan jika bicara terlihat dominan gigi bawah, maka orang itu biasanya lebih bijak dan berfikir panjang, kalem dan terpola, pintar dalam bidang ilmu sosial, tapi kadang malas, seperti bapak lihat kau bicara Nak, kamu sangat cocok dengan namamu, apa nama panjangnya?”. “al-Hakim” sahutku, “Nah, al-Hakim, gaya bicaramu terlihat dominan gigi bawah, apa kamu tidak merasakan dalam kriteria ini?, coba saja fikirkan apa kriteria yang bapak tadi sebutkan ada dalam dirimu. Begitu juga dalam membangun suatu kegiatan atau kerjasama apapun namanya, mereka yang cenderung cocok itu jika bertemunya dua spesifikasi gaya bicara ini biasanya akan sejalan jika memahami dan mengakui pola fikir masing-masing”.
Aku berfikir dan mencoba menebak keadaanku, ada beberapa yang sama walau mungkin hanya kebetulan saja. Tapi aku kurang faham secara logika dan mungkin hanyalah sebuah tebakan yang tepat. Atau dia seorang dukun? paranormal? aku mulai curiga dengan status bapak ini.
Sampai hampir Maghrib, aku baru selesai ngobrol, salaman sambil memegang pundak. “Baik-baik kau Nak, jangan patah semangat” melepaskan jabat tanganku perlahan dan menatapku dalam.
“Iya Pak, semoga kita diberkati Tuhan” jawabku singkat. Aku lihat Jasmin kedalam rumah untuk kuajak pulang, sebab mulai hari esok dia baru boleh mengisi kontrakan barunya. Aku baru sadar, nama bapak ini siapa? Apa perlu ku tanya sekarang? Hmmm.. tidak, mungkin besok-besok masih bisa aku tanyakan sambil ngobrol asyik lagi. Dia dorong perlahan kursi roda nenek dan diserahkannya pada bapak tadi. Dia sepertinya sedang asyik ngobrol dengan nenek itu, tapi waktu hampir maghrib dan harus pamitan pulang.
***
Jam 11.30 siang hujan belum reda, inginnya aku mandi kemudian menemui Jasmin sambil makan siang, tapi selimut dikasurku mendekap erat malas untuk aku lepaskan, tanganku meraba tombol power radio, aku kocek tuningnya, dangdut, rock, pop dan obrolan tentang kesehatan anak menjejal kupingku. Sebuah berita keluarga disela obrolan, menghentikan jariku dari geseran frekwensi yang sedang kuacak.
“…. No. 17A Bandung, Kami atas nama Keluarga Besar TNI Angkatan Darat, turut berduka cita sedalam-dalamnya. Semoga amal ibadahnya diterima Tuhan Yang Maha Kuasa, Amien”
Aku ingat alamat itu rumah kontrakan baru Jasmine, siapa yang meninggal? Nenek yang dikursi roda itu? Atau orang lain, aku heran dan penasaran. Jangan-jangan…. Aku langsung turun dari kasur dan segera pergi menemui Jasmine…
***
Aku menangis tiada henti, pertemuan terakhir yang mengasyikkan di petang kemarin, selepas hujan, yang tidak sempat memberitahukan namanya membuat aku terharu… Mengapa aku tidak menanyakan namanya? Mengapa aku melupakannya begitu saja? Sedang dia begitu baiknya memberi petuah kebijakan padaku walau hanya beberapa jam, menit, detik! Oh, Tuhan… Padahal aku ingin sekali membongkar ilmu-ilmu yang beliau miliki. Bapak menggoda ya? Mencari penasaranku ya? Kenapa bapak tidak berterus terang? Kenapa bapak hanya senyum dan menjanjikan ketika buku-buku dirakmu itu ingin kupinjam? Kenapa, kenapa, kenapa….? Hatiku sangat tercabik-cabik dengan keterbatasanku mengenalnya… uluhatiku terasa sakit…
Karangan bunga berjejer di depan rumah yang baru ku kenal itu, puluhan mobil sedan dan militer parkir disamping kanan kiri jalan raya. sebuah nama terpampang dengan gagahnya berikut pangkat terakhir dimiliter dan jabatan akademisnya, dalam usia 61 tahun.
Aku dan Jasmine mendorong nenek dikursi roda yang ternyata ibunya, satu-satunya keluarga sang Jenderal ini miliki. Tidak meninggalkan keturunan dan isterinya meninggal sebelum kepindahannya ke Bandung. Detik-detik ketika mendorong ibunya ini aku mulai tahu tentang Jenderal TNI AD ini. Tidak lagi menebak yang bukan-bukan.
“Nak, bisakah petikan bunga yang kau minta kemarin itu untuk kau antarkan pada pemiliknya?”
“Bukankah nenek yang akan menyiramkannya?” sahut Jasmin lirih dan memandangku sambil menyeka air mata dipipinya.
“Biar kau bawa Nak, kau kan yang minta memetik, sekarang saatnya yang tepat, keinginan anakku akan aku lakukan, katanya boleh dipetik jika dia sudah pergi dari rumah ini” Hatiku semakin sedih, aku membawa baki bunga yang sebagian sudah dikumpulkan dan dirangkai para tetangga.
Ambulan meraung-raung diluar, upacara penghormatan militer dan pemakaman akan dilakukan sore ini….
(Juli-August ‘05) Zzz | 110705
Sumber : akangckp.wordpress.com


nona212 memberi reputasi
1
1.2K
4


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan