jambronxAvatar border
TS
jambronx
UANG RECEH YANG TERLECEHKAN
Sri, tolong beliin Fanta ijo dong di warung,” suruhku dengan sopan.

“Lah, kok pakenya uang gocapan semua, non…engga diterima lagi sama si Nur…,” balas si Sri, pembantuku di Indonesia yang umuran 20-an saat itu.

“Walah, sini deh gue yang pergi kalo kamu engga berani bayarnya! ” kataku lagi sebel…

Gemes banget lihat tingkah mereka! Entah Sri yang malu dan jaga gengsi maunya membayar dengan uang gede, atau si Nur, penjaga warung, yang memang pernah negor Sri agar aku kalau bayar jangan dengan uang recehan. Tapi rupa-rupanya memang Nur lah yang pernah menegor Sri.

Sombong benar aku pikir, tidak mau terima rejeki 10 x Rp50.-, atau Rp 500.-. Aku sering bilang ke Sri, uang adalah uang. Sini deh kasih ke aku uang gocapan sekarung, pasti aku terima dengan senang hati. Sri sih ketawa-tawa saja dengan ocehanku. Toch akhirnya dia berani membayarkan recehanku ini.

Sungguh saat itu aku memang mau benar-benar memberi pelajaran ke si tukang warung. Masih jadi orang kecil saja sudah sombong mau menolak rejeki, sudah berani menghina uang recehan. Uang kecil kalau dikumpulkan sedikit demi sedikit kan akhirnya juga menjadi uang yang nominalnya besar juga.

Teringat dulu aku suka membantu menjaga usaha orang tuaku sebagai menjaga kasir. Jaman dulu alat pembayaran yang ada hanya uang kontan. Setiap uang yang masuk ke dalam kas kami hargai dengan sungguh-sungguh. Tidak perduli pelanggan membayar dengan uang receh, uang kertas kinclong-kinclong atau uang lapuk yang berbau busuk. Semuanya sama! Yang penting mereka membayar sesuai dengan harganya. Jangan lecehkan keberadaan uang kecil ini. Nilai Satu Juta Rupiah tidak akan bernilai yang sama apabila berkurang 50 Rupiah.

Teringat pula ada kenalan orang tuaku yang bekerja sebagai penjual pia keliling ke warung-warung kecil di hampir seluruh pelosok Jabotabek. Tiap hari mereka harus memasok pia-pia baru dan menukarnya dengan yang baru. Si penjual warungpun membayarkan pia yang terjual ke kenalan orang tuaku ini biasanya dengan uang seratusan yang lecek-lecek kadang juga bau. Mereka benar-benar pekerja keras yang mengumpulkan hasil recehan dari warung ke warung hingga dapat menyekolahkan 3 anaknya menjadi sarjana semua dari universtitas swasta terkenal. Bagaimana hasilnya apalabila mereka tidak mau menerima, jaga gengsi dan melecehkan penghasilan mereka yang berupa uang recehan, tapi omzetnya ratusan ribu sampai jutaan tiap harinya? Sering keluargaku juga menukarkan uang besar menjadi uang kecil ke mereka, ke uang-uang lembaran seratus rupiah. Kami merasa sangat beruntung bila mendapatkan uang kecil, berarti kami bisa mengembalikan uang kembalian ke pelanggan.

Masih tak habis pikir aku bagaimana supermarket memberikan nilai kembalian seharga Rp50.- dengan permen. Masihkan sampai sekarang? Bukankah ini berarti juga pelecehan terhadap nilai uang itu sendiri. Dan tidak adilnya, sang supermarket tidak mau diperlakukan yang sama, tidak mau menerima juga permen yang sudah diberikan ke kita sebagai barter uang kembalian.

Untuk mata uang Eropa, mereka masih menghargai nilai nominal 1 cent € (0,01 €). Tapi khususnya untuk di Belanda, untuk pembayaran dengan uang kontan nilainya diadakan pembulatan 5 (afronding Eurocent). Misalnya kita harus membayar 0.98 cent, akan dibulatkan ke 1. Kita tidak akan mendapat kembalian 2 cent apabila membayar dengan 1 €. Begitu pula sebaliknya untuk 1.22 €, akan dibulatkan ke 1.20€. Kelebihan 2 cent tidak dihitung. Berdasarkan survey, bahkan 83 % merasa tidak keberatan, karena menurutnya, mereka tidak perlu lagi menyimpan banyak uang receh.

Termasuk pelecehan uang receh? Bisa jadi! Dan untuk negara Eropa lainnya sepertinya tidak ada pembulatan (silahkan ralat apabila aku salah). Mereka masih menerima uang sampai nilai nominal terkecil. Bagi yang tidak terima dengan aturan ini, silahkan bayar dengan pinnen atau dengan kartu debit, maka nilai 1 cent pun masih tetap bentuknya atau tidak dibulatkan ke atas atau ke bawah.


Walaupun demikian, tetap saja tidak semua orang menghargai uang kecil ini. Pernah aku membayar uang perjalanan kereta, saat itu masih banyak loket-loket sekarang sebagian besar sudah tergantikan dengan mesin tiket otomatis, dengan uang kontan berupa uang kertas dan uang recehan. Memang saat itu uang kecilnya termasuk banyak. Tanpa disangka aku kena tegur, dibilang, lain kali tidak boleh ya bayar dengan recehan. Tapi aku balas, memang kenapa, toch sama-sama uang. Ini adalah kejadian satu-satunya kejadian yang aku alami di sini. Selebihnya aku tidak pernah mendapat kesulitan membayar dengan uang receh. Apalagi supermarket dengan sukarela juga menerima uang receh.

Kalau ingin tahu apakah orang menghargai uang atau tidak, cobalah bayar dengan uang receh. Apakah diterima dengan senang hati atau malah dicemberutin… berani mencoba?

“Sri, tolong beliin lagi dong Fanta ijo…” pintaku lagi dan lagi-lagi dengan uang receh. Sengaja… biar si tukang warung sadar, kalau sekecil apapun uang dan rejeki harus dihargai!



Catatan: ini cerita 15 tahun yang lalu di mana mata uang minimal Rupiah masih Rp.50,-. Mungkin saja sudah tidak relevan ceritanya, tapi receh yang aku maksud di sini bisa menjadi relevan dengan nilai mata uang terkecil Rupiah saat ini, yang mungkin saja bukan uang logam recehan tapi uang kertas bernominal relative kecil.[img][img]Sri, tolong beliin Fanta ijo dong di warung,” suruhku dengan sopan.

“Lah, kok pakenya uang gocapan semua, non…engga diterima lagi sama si Nur…,” balas si Sri, pembantuku di Indonesia yang umuran 20-an saat itu.

“Walah, sini deh gue yang pergi kalo kamu engga berani bayarnya! ” kataku lagi sebel…

Gemes banget lihat tingkah mereka! Entah Sri yang malu dan jaga gengsi maunya membayar dengan uang gede, atau si Nur, penjaga warung, yang memang pernah negor Sri agar aku kalau bayar jangan dengan uang recehan. Tapi rupa-rupanya memang Nur lah yang pernah menegor Sri.

Sombong benar aku pikir, tidak mau terima rejeki 10 x Rp50.-, atau Rp 500.-. Aku sering bilang ke Sri, uang adalah uang. Sini deh kasih ke aku uang gocapan sekarung, pasti aku terima dengan senang hati. Sri sih ketawa-tawa saja dengan ocehanku. Toch akhirnya dia berani membayarkan recehanku ini.

Sungguh saat itu aku memang mau benar-benar memberi pelajaran ke si tukang warung. Masih jadi orang kecil saja sudah sombong mau menolak rejeki, sudah berani menghina uang recehan. Uang kecil kalau dikumpulkan sedikit demi sedikit kan akhirnya juga menjadi uang yang nominalnya besar juga.

Teringat dulu aku suka membantu menjaga usaha orang tuaku sebagai menjaga kasir. Jaman dulu alat pembayaran yang ada hanya uang kontan. Setiap uang yang masuk ke dalam kas kami hargai dengan sungguh-sungguh. Tidak perduli pelanggan membayar dengan uang receh, uang kertas kinclong-kinclong atau uang lapuk yang berbau busuk. Semuanya sama! Yang penting mereka membayar sesuai dengan harganya. Jangan lecehkan keberadaan uang kecil ini. Nilai Satu Juta Rupiah tidak akan bernilai yang sama apabila berkurang 50 Rupiah.

Teringat pula ada kenalan orang tuaku yang bekerja sebagai penjual pia keliling ke warung-warung kecil di hampir seluruh pelosok Jabotabek. Tiap hari mereka harus memasok pia-pia baru dan menukarnya dengan yang baru. Si penjual warungpun membayarkan pia yang terjual ke kenalan orang tuaku ini biasanya dengan uang seratusan yang lecek-lecek kadang juga bau. Mereka benar-benar pekerja keras yang mengumpulkan hasil recehan dari warung ke warung hingga dapat menyekolahkan 3 anaknya menjadi sarjana semua dari universtitas swasta terkenal. Bagaimana hasilnya apalabila mereka tidak mau menerima, jaga gengsi dan melecehkan penghasilan mereka yang berupa uang recehan, tapi omzetnya ratusan ribu sampai jutaan tiap harinya? Sering keluargaku juga menukarkan uang besar menjadi uang kecil ke mereka, ke uang-uang lembaran seratus rupiah. Kami merasa sangat beruntung bila mendapatkan uang kecil, berarti kami bisa mengembalikan uang kembalian ke pelanggan.

Masih tak habis pikir aku bagaimana supermarket memberikan nilai kembalian seharga Rp50.- dengan permen. Masihkan sampai sekarang? Bukankah ini berarti juga pelecehan terhadap nilai uang itu sendiri. Dan tidak adilnya, sang supermarket tidak mau diperlakukan yang sama, tidak mau menerima juga permen yang sudah diberikan ke kita sebagai barter uang kembalian.

Untuk mata uang Eropa, mereka masih menghargai nilai nominal 1 cent € (0,01 €). Tapi khususnya untuk di Belanda, untuk pembayaran dengan uang kontan nilainya diadakan pembulatan 5 (afronding Eurocent). Misalnya kita harus membayar 0.98 cent, akan dibulatkan ke 1. Kita tidak akan mendapat kembalian 2 cent apabila membayar dengan 1 €. Begitu pula sebaliknya untuk 1.22 €, akan dibulatkan ke 1.20€. Kelebihan 2 cent tidak dihitung. Berdasarkan survey, bahkan 83 % merasa tidak keberatan, karena menurutnya, mereka tidak perlu lagi menyimpan banyak uang receh.

Termasuk pelecehan uang receh? Bisa jadi! Dan untuk negara Eropa lainnya sepertinya tidak ada pembulatan (silahkan ralat apabila aku salah). Mereka masih menerima uang sampai nilai nominal terkecil. Bagi yang tidak terima dengan aturan ini, silahkan bayar dengan pinnen atau dengan kartu debit, maka nilai 1 cent pun masih tetap bentuknya atau tidak dibulatkan ke atas atau ke bawah.


Walaupun demikian, tetap saja tidak semua orang menghargai uang kecil ini. Pernah aku membayar uang perjalanan kereta, saat itu masih banyak loket-loket sekarang sebagian besar sudah tergantikan dengan mesin tiket otomatis, dengan uang kontan berupa uang kertas dan uang recehan. Memang saat itu uang kecilnya termasuk banyak. Tanpa disangka aku kena tegur, dibilang, lain kali tidak boleh ya bayar dengan recehan. Tapi aku balas, memang kenapa, toch sama-sama uang. Ini adalah kejadian satu-satunya kejadian yang aku alami di sini. Selebihnya aku tidak pernah mendapat kesulitan membayar dengan uang receh. Apalagi supermarket dengan sukarela juga menerima uang receh.

Kalau ingin tahu apakah orang menghargai uang atau tidak, cobalah bayar dengan uang receh. Apakah diterima dengan senang hati atau malah dicemberutin… berani mencoba?

“Sri, tolong beliin lagi dong Fanta ijo…” pintaku lagi dan lagi-lagi dengan uang receh. Sengaja… biar si tukang warung sadar, kalau sekecil apapun uang dan rejeki harus dihargai!



Catatan: ini cerita 15 tahun yang lalu di mana mata uang minimal Rupiah masih Rp.50,-. Mungkin saja sudah tidak relevan ceritanya, tapi receh yang aku maksud di sini bisa menjadi relevan dengan nilai mata uang terkecil Rupiah saat ini, yang mungkin saja bukan uang logam recehan tapi uang kertas bernominal relative kecil.[/img][/img]
0
2.2K
14
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan